Melembagakan Ekraf

Di kuartal ketiga tahun 2014, sebuah periode pemerintahan baru sedang dipersiapkan oleh kelompok-kelompok kerja di berbagai bidang di bawah Rumah Transisi. Salah satunya adalah Kelompok Kerja Ekonomi Kreatif (Pokja Ekraf) yang paling belakangan dibentuk, jadi hanya punya waktu sekitar dua bulan untuk menghasilkan sebuah Lembar Kerja. Tulisan ini merunut kembali pemikiran-pemikiran awal sekitar satu dekade lalu, ketika Ekonomi Kreatif menjadi salah satu sektor dalam struktur lembaga pemerintahan. Saat itu kita semua sedang sama-sama belajar dan berproses.

Sebelum masuk ke substansi ekraf, mungkin perlu disinggung dulu mengenai tugas dari tim transisi ini, merujuk dari paparan Yogi Suprayogi Sugandi, Ph.D. berjudul, “Kick-off Rumah Transisi Pokja Ekraf: Elaborasi Ide dalam Kebijakan”. Kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye, adalah, “Whatever the government choose to do or not to do”. Sementara, kebijakan Indonesia yang terkenal sangat rumit dan birokratis, terbagi atas lima keputusan: (1) bersifat ke dalam (internal), (2) bersifat keluar (eksternal), (3) bersifat mengikat seluruh warga tanpa kecuali, (4) bersifat mengikat dengan pengecualian, (5) hybrid. Jadi, Tim Transisi digolongkan sebagai sebuah tim yang merumuskan kebijakan, bukan sebagai implementor kebijakan (terkecuali bila salah satu dari Tim Transisi terpilih dalam kabinet berikutnya), namun ini pun akan rumit ketika berhadapan dengan birokrasi. Tim Transisi Pokja Ekraf mengusung berbagai macam ide tentang Ekraf, namun harus menjadi catatan bahwa tim ini hanya dapat merumuskan, sedangkan menerjemahkan perumusan tersebut ke pemerintah haruslah dengan tepat. Produk dari Tim Transisi disebut dengan produk Teknokrasi yang harus diterjemahkan oleh Birokrasi Pemerintahan.

Tim Pokja Ekraf bertugas membuat Lembar Kerja yang memuat rekomendasi untuk segala sesuatu yang perlu ada, direncanakan, disiapkan dan dilaksanakan bila Sektor Ekonomi Kreatif masuk ke dalam struktur pemerintahan. Termasuk rekomendasi Quick Win 100 Hari Kerja dan usulan bentuk kelembagaan Ekraf. Untuk menerjemahkan hasil Pokja Ekraf ke format dokumen birokrasi, Tim Pokja Ekraf dibantu oleh seorang konsultan ahli, Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.T., QRGP, CGRE, yang sekarang menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Maritim di Kemenkomarves.

Selama dua bulan penuh, secara intensif, tim Pokja Ekraf berdiskusi dengan beragam narasumber of prominent positions in their respective professional fields, merumuskan dan mengujikan berbagai konsep implementasi Sektor Ekraf yang relevan bagi Indonesia, serta menyusun rekomendasi dalam narasi yang dapat dipahami baik oleh pemerintah maupun para pelaku Ekraf di Indonesia. Sesekali tim ini juga memaparkan perkembangannya kepada para Deputi Tim Transisi untuk mendapatkan masukan dan arahan.

Draf Lembar Kerja tertanggal 20 Agustus 2014 yang disusun oleh Kang Tb. Fiki Satari, Kang Gustaff H. Iskandar dan saya ini memuat sembilan bagian, yang kemudian dielaborasi menjadi Lembar Kerja final dalam versi yang lebih lengkap, yang memuat rekomendasi perwujudan Sektor Ekonomi Kreatif di Indonesia.

=====

[I] Janji Kampanye & 9 Piagam. Proses diawali dengan mencermati Janji Kampanye dan 9 Piagam yang menjadi Visi presiden terpilih. Hal-hal seperti Tol Laut, ekonomi rakyat, dan perluasan pasar ekspor dieksplorasi dari sisi relevansinya dengan Ekraf. Arahan ini menunjukkan bahwa pengembangan Ekraf bukan hanya dilakukan secara ‘internal’, atau terbatas pada sub-sub sektor industri kreatif saja, tapi untuk memetakan peran Ekraf dalam sektor-sektor penting lainnya.

[II] Identifikasi Peran Berdasarkan Potensi Kewilayahan. Setiap wilayah tentunya memiliki potensi unggulnya masing-masing dalam Ekosistem Ekraf. Misalkan, ada wilayah dengan kekayaan SDA yang beragam dan melimpah, sehingga menjadi andalan sumber bahan baku sub-sektor Kriya dan Desain. Ada wilayah yang memiliki kawasan industri massal dengan SDM terampil yang dapat menjadi sentra produksi; ada yang sarat dengan perguruan tinggi dan pusat riset sehingga dapat menjadi sentra penelitian dan pengembangan; dst.

[III] Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kota. Dilakukan juga pemetaan di skala kota terkait potensi unggul dalam Ekosistem Ekraf. Wilayah Indonesia sangat luas, kondisi setiap kotanya sangat beragam, sehingga identifikasi potensi unggulan ini akan menjadi asupan bagi penyusunan strategi Ekraf secara bottom up.

[IVa] Strategi. Pengembangan Sektor Ekraf dapat dilakukan dengan strategi Pelaku, Pusat Data, dan Captive Order. Strategi Pelaku mempertimbangkan skala mikro, kecil, menengah dan besar (dengan segala kriterianya); masing-masing disesuaikan dengan kapasitasnya untuk memenuhi permintaan/kebutuhan lingkup kota, provinsi dan nasional. Strategi Pusat Data produk & jasa kreatif meliputi pengembangan portal pemasaran, promosi, dan etalase internasional.

[IVb] Strategi. Strategi Captive Order kurang lebih serupa dengan government procurement, pemerintah sebagai off-taker, di mana dilakukan identifikasi kebutuhan produk oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang dapat dipenuhi oleh para pelaku dan pengusaha di Sektor Ekraf. Untuk itu, perlu dilakukan klasterisasi produk sekaligus profiling sub-sektor industri kreatif yang dapat memenuhi kebutuhan produk-produk tsb.         

[V] Lembaga. Pengampu Sektor Ekraf diusulkan dalam bentuk UKP-Ekraf dengan piloting yang meliputi hal-hal kewilayahan (desa, kota, dst.), juara/unggulan (baik produk, pelaku maupun kebijakan), kurikulum, pusat data dan kebijakan; masing-masing mengampu tugas & target tertentu dalam jangka waktu yang disepakati.

[VI] Daya Dukung. Pelaksanaan Sektor Ekraf membutuhkan dukungan infrastruktur (dasar & penunjang) dan lintas kementerian dalam fungsi-fungsi koordinasi, fasilitasi, dst., sehingga diperlukan pemetaan keterlibatan K/L dan sektor-sektor terkait.

[VII] Pemangku Kepentingan. Di tahun 2014, telah diidentifikasi 6 (enam) unsur pemangku kepentingan (stakeholders) Sektor Ekraf, yang kini kerap disebut sebagai “helix”. Dalam bagan ini, helix ke-6 adalah Financing Institution, baik perbankan maupun non-perbankan, namun disebut sebagai Aggregator ketika mulai dimunculkan di tahun 2020.

[IX] Usulan Koordinasi. UKP-Ekraf (Unit Kerja Presiden Bidang Ekonomi Kreatif) adalah bentuk kelembagaan yang diusulkan sebagai pengampu Sektor Ekraf, melaporkan langsung ke presiden melalui UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).

=====

Semangat Bandung

Konperensi Asia-Afrika 1955, yang disebut-sebut menginspirasi kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika, yang diingat juga sebagai “Bandung Conference” sehingga mengabadikan nama Kota Bandung sebagai “Ibu Kota Asia-Afrika”, dianggap sebagai tonggak sejarah di mana pertama kalinya 29 negara di Asia dan Afrika bertemu untuk menentukan nasibnya sendiri. Arsip KAA (dokumen, foto dan film) telah ditetapkan sebagai UNESCO Memory of The World sejak tahun 2015. Gedung Merdeka/Museum KAA di Bandung dan beragam artifak di dalamnya menjadi saksi bisu peristiwa penting ini. Tapi gentingnya sejarah menjelang dan setelah KAA berlangsung tidak dapat diperoleh dengan hanya mengunjungi museum atau berdiam di Bandung. Untuk bisa mendalami serunya KAA, sepertinya harus menyimak sendiri dari pelakunya langsung.

Belum lama ini, saya sempat bongkar-bongkar perpustakaan mendiang bapak di Jakarta dan menemukan buku yang tipis tapi sarat semangat, berjudul “Sejarah, Cita-cita dan Pengaruhnya: Konperensi Asia-Afrika Bandung” (1977) yang memuat ceramah Dr. H. Roeslan Abdulgani pada tanggal 26 Oktober 1974 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta.

[Buat saya yang waktu SMP & SMA nggak suka pelajaran sejarah karena isinya hapalan melulu, buku-buku semacam inilah yang berhasil membangkitkan keingintahuan soal sejarah dan tokoh-tokohnya.]

Berhubung sekarang kita sedang menjelang peringatan KAA ke-70, ada baiknya mengupas sekelumit sejarahnya. Berikut ini sebagian kutipan yang menjadi catatan pengingat, betapa pentingnya KAA di kancah dunia, terutama bagi negara-negara yang terlibat.

Konperensi Kolombo (Srilanka, April 1954) yang diprakarsai PM Srilanka Sir John Kotelawala adalah saat Indonesia — saat itu diwakili PM Ali Sastroamidjojo — mengajukan gagasan untuk mengadakan konperensi yang lebih luas dari sekedar 5 negara Kolombo saja (Srilanka, Birma, India, Pakistan, Indonesia), yaitu konperensi antar negara di Asia-Afrika. Padahal tadınya Indonesia nggak diundang ke Kolombo, lho. Tapi Sir John Kotelawala bilang, “However, it was pointed out to me, that Indonesia too belonged to the same cultural area, and that she too had shaken off the shackles of colonialism at about the same time as ourselves, although her masters were different from ours”. Indonesia berada di wilayah budaya yang sama, dan juga baru saja membebaskan diri dari kolonialisme. PM Ali mengusulkan diselenggarakannya Konperensi Asia-Afrika tersebut, karena meskipun di PBB sudah ada konsultasi dan kerja sama antar negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, namun di luar forum PBB tidak ada platform penampung dan mesin penggeraknya. Jadi sama sekali tidak bermaksud untuk membuat suatu “blok”.

Usulan Indonesia ditanggapi dengan skeptis oleh PM lainnya, karena rencana-rencana sebelumnya untuk menyelenggarakan  konperensi serupa had proved abortive, atau mati sebelum dilahirkan. Tapi Indonesia bersikeras, sehingga usulan tersebut menjadi salah satu butir Komunike Konperensi Kolombo. Setelah itu, di Bogor pada akhir tahun 1954, dilakukan pertemuan persiapan KAA. Konperensi Bogor inilah yang memutuskan negara mana saja yang akan diundang, dengan segala pertimbangannya, menjadi total 29 negara: 5 negara sponsor, 12 negara Asia lainnnya, 8 negara Arab, dan 4 negara Afrika (waktu itu hanya 4 negara Afrika yang sudah merdeka).

29 negara yang akan hadir, berarti hampir separuh dari anggota PBB yang waktu itu beranggotakan 60 negara, jadi dinamika KAA ini membelah peta dunia politik internasional. Jan Romein, ahli sejarah internasional, di bukunya “The Asian Century” (1956) menulis demikian, “The Bandung Conference marked the end of an era, the era of European ascendancy”. Pernyataan ini merujuk dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, Konperensi Berlin (1884) di mana terjadi pembagian negara-negara Asia Afrika sebagai tanah jajahan, dan Konperensi Brussel (1927) di mana disuarakan cita-cita persatuan dan kemerdekaan Asia Afrika oleh pemuda dan mahasiswa. Bandung menjadi tempat di mana persatuan tersebut dilaksanakan. Dalam pidato pembukaan KAA, Presiden Sukarno mengingatkan tentang Konperensi Brussel, “I recall in this connection the Conference of the League against imperialism and colonialism, which was held in Brussels almost thirty years ago. At that Conference many distinguished Delegates who are present here today met each other and found new strength in their fight for independence. But that was a meeting place thousands miles away, amidst foreign people, in a foreign country, in a foreign continent. It was assembled there not by choice, but by necessity”.

Jadi, Berlin 1884 adalah simbol menanjaknya Eropa kolonialis dan imperialis yang membagi-bagi Asia Afrika; Brussels 1927 adalah simbol pernyataan pemuda Asia Afrika untuk persatuan dan kemerdekaan; maka Bandung 1955 menjadi simbol terlaksanannya solidaritas Asia Afrika dan terhapusnya noda Berlin!

Kebangkitan Asia Afrika melalui Konperensi Bandung ini membuka mata dan hati dunia Barat yang selalu menganggap remeh dunia AA, demikian pendapat Vera Micheles Dean, seorang guru besar di New York University, melalui bukunya “The Nature of the Non Western World” dalam bab “Land of Bandungia”, “Here is the terra incognita of the 20th century, which is yet to be carefully surveyed and properly mapped by the West. Here is the Land of which we know so little — the land that we might call Bandungia in honor of the first Afro-Asian Conference in history held at Bandung, Indonesia, in April 1955. […] This land of Bandungia is peripatetic”. Bandung itu peripatetic, dinamis, berputar-bergerak.

Sebagai hasil dari desakan Konperensi Bandung, antara 1955-1957, tidak kurang dari 20 negara, yang dulunya selalu menjadi korban perang dingin tidak dapat masuk menjadi anggota PBB, semuanya kemudian dapat masuk karena Semangat Bandung. Akibatnya, dominasi Sovyet dengan vetonya di Dewan Keamanan PBB patah, dominasi Amerika di Majelis Umum dengan 2/3 mayoritasnya pun patah; dan PBB menjadi badan yang juga terdiri dari politik bebas Asia-Afrika dan Amerika Latin yang ikut menentukan jalannya sidang.   

Hans J. Morgenthau, seorang profesor ilmu politik, dalam bukunya “Politics among Nations” menyebutkan bahwa, “The compositions of the majority supporting recommendations of the General Assembly underwent a drastic change with the admission of 20 new members in 1956/1957. This date constitutes a turning point in the history of the UN, closing one phase and ushering in a new one.”

Apa perbedaan antara gagasan Konperensi Bandung 1955 (Dasa Sila Bandung) dan Konperensi Beograd 1961 (non-blok)? Keduanya sama-sama bermaksud meredakan kegentingan internasional sebagai akibat meruncingnya perang dingin; dan mendobrak bipolarisasi dunia dari perang dingin ke multipolar dunia, serta mendorong suasana konfrontasi super power ke arah koeksistensi secara damai.

Namun secara detail, terdapat perbedaan dalam butir-butir komunike kedua konperensi tersebut. Dalam Dasa Sila Bandung, dinyatakan, “respect for the right of each nation to defend itself singly or collectively, in conformity with the Charter of the UN”, yang tidak terdapat dalam Komunike Beogard. Juga, “abstention from the use of arrangements of collective defense to serve the particular interest of any of the big powers”, atau tidak akan menggunakan persetujuan pertahanan kolektif untuk mengabdi kepada kepentingan khusus dari setiap negara besar. Ditegaskan di Bandung bahwa freedom and peace are interdependent, oleh karena itu colonialism in all its manifestations is an evil which should be brought to an end.

Dilihat dari negara-negara yang dilibatkan, kriteria Bandung semata-mata adalah geografis, sementara kriteria Beogard adalah sikap politis tertentu, yaitu politik non-aligned militer dengan protagonis perang dingin. Bandung mempunyai corak kelanjutan sebagai non-white, sedangkan Beogard menitikberatkan pada sikap politis dan mengaburkan garis geografis dan garis warna non-white, sambil sebenarnya memberlakukan garis pemisah antara negara-negara Asia-Afrika yang ikut dalam blok militer super power masing-masing.

Dalam buku ini, Roeslan Abdulgani menyatakan bahwa titik tolak pendekatan Beogard adalah pragmatis kontemporer, sementara Bandung lebih historis filosofis. Semangat Bandung turut menggerakkan beberapa rumusan berbagai keputusan KTT non-aligned selanjutnya.

Faktor apa saja yang menyebabkan suksesnya KAA? (1) Kuatnya dan mendalamnya cita-cita solidaritas Asia Afrika dalam menghadapi dominasi Barat dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti kolonialisme, imperialisme, fasisme, komunisme, dsb.; (2) Situasi dan kondisi sekitar tahun 1954-1955 di mana cita-cita tersebut tumbuh dan berkembang; (3) Bangsa Indonesia sendiri sebagai pemrakarsa dan tuan rumah KAA telah membangkitkan suatu pushing power dan organisational skill yang menjamin suasana kondusif bagi berjalannya konperensi.

Meskipun demikian, bukan berarti seluruhnya berjalan mulus. Tidak sedikit halangan masa itu, seperti jatuhnya pesawat terbang Kashmir Princess yang membawa delegasi RRC di Natuna karena sabotase di Hongkong; situași keamanan di Bandung karena gangguan gerombolan Darul Hikam; sampai habisnya persediaan bensin di Jawa Barat, khususnya Bandung.

Peaceful coexistence antar negara-negara dengan sistem politik, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda adalah yang paling baik di dunia, Peaceful coexistence atas dasar persamaan derajat, keadilan dan kemakmuran, dan keuntungan secara timbal balik, bebas dari penindasan dan ketakutan. Peaceful coexistence adalah inti dari Semangat Bandung!

Catching Up

My previous post is dated August 2024. It is now April 2025 and lots of momentous things have been happening! Here’s the rest of 2024.

On 22-23 August 2024 another round of Connecti:City, an annual International Conference on Creative Economy, took place at Gedung Sate, organized by the West Java Creative Economy and Innovation Committee (KREASI), hosted by the West Java Province. Connecti:City was first held in 2019 as a means to convene on creative hubs, creative economy, and creative city. This event commonly comprises a conference, an exhibition, a launching of the latest PROSPEK (a report on Creative Economy development and opportunities in West Java) that contains the much-awaited West Java Creative Cities Index; lately Connecti:City also held Creative City Dialogue that invited the focal points of UNESCO Creative Cities in SouthEast Asia. In 2024, the theme was “Creative Diplomacy: The Role of Creatives in Driving Impactful Regional Development”, and the sessions were divided into People, Place, Policy. Policy Recommendations as the result of Connecti:City 2024 can be accessed here (downloadable for free). 

 

On 27 August 2024, I shared about “Future Workforce in The Creative Economy: Creative Community Network Roles & Impacts” in a Panel Discussion on “Leaving no one behind: Preparing a skilled workforce in the creative economy”, as a part of a Workshop on Promoting Social Inclusion in the Creative Economy Sector to Accelerate SDGs Achievement in Indonesia, held by the UN Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) and The Ministry of Tourism and Creative Economy (Kemenparekraf). Here I got the chance to meet Putri Ariani, who is globally recognized for her participation in AGT 2023. On stage, she delivered her messages on equality, on being consistent in what we choose, and on spreading positivity in every step we take.

On 7 September 2024, I went to Malacca, Malaysia, for a talk and a workshop titled “Placemaking & Identity: City Branding & Placemaking for Community Resilience” as a series of event called “Vibrant Melaka: Creating A People-Centric Living Space“. Happy to hook up again with Jia-Ping and roam about in a city full of heritage and stories! My stay was too short, so I could only get a glimpse of the city, which got me wanting to explore more. The open night market, renewed river bank, revamped old houses and shops, public parks, museums; all adaptive reuse of existing heritage, powered by design, supporting policy, substantial resources, and leaders’ commitment.  Another good practice for our typical SEA cities.

I don’t recall ever having posted about this here: I (assisted by Amira and Qonita) wrote an essay for an IFACCA Report on Culture as a Public Good: Navigating its role in policy debates, that was launched in July 2024. On 23 September 2024, IFACCA hosted an online discussion on that publication. I’ll make a separate post about this.

The next adventure should also be posted separately! The Global Creative Economy Council (GCEC) made a study trip to Central Asia: Bishkek (Kyrgyzstan), Almaty (Kazakhstan) and Tashkent (Uzbekistan) – where we participated in the 3rd edition of the World Conference on Creative Economy (WCCE), 2-4 October 2024. As a member of WCCE International Steering Committee, I was right away occupied with WCCE matters and ‘duties’. But before arriving in Tashkent, I was fully immersed in an amazing experience, witnessing how the creatives in Central Asia, aptly represented by Daniar (a fellow GCEC member) and his Ololo communities & networks in Kyrgyzstan, struggle and thrive. I wish, one day, our creative practitioners could visit Bishkek and Almaty to experience and learn firsthand how they establish their hubs and conduct their businesses.

After the Central Asia trip, there were momentous events, too, such as the National Coordination Meeting of ICCN in Jakarta, 8-9 October 2024; the National Congress of ADPII in Jakarta, 10-12 October 2024; Bandung Creative Week talk show on Bandung Creative Economy Roadmap at The Hallway Space, 14 October 2024. Then come another big trip: UNESCO Cities of Design Subnetwork Meeting at Asahikawa, followed by an extra trip to Kobe and Nagoya, 20-30 October 2024. Which obviously deserves its own post, too.

 

On 4 November 2024, a sudden call brought me to Bali, to speak about “Indonesia Creative Economy Development Strategy” in a Creative Economy Workshop with Organization of African, Caribbean, and Pacific States (OACPS), held by OACPS and the Indonesia Ministry of Industries. Some materials were prepared by the Ministry of Tourism and Creative Economy, since I was filling in for them, so I only added several slides from my viewpoints as a non-ministry personnel, but as an academia and community member. I was excited, noticing that OACPS members were keen to explore the CE sector and pursue its development within their own contexts.

A busy end of the year. On 8 November 2024 I spoke in the Urban Future Leaders Summit on “Livable Cities: Ways to enhance urban living conditions through intelligent infrastructure, inclusive design, and community-centric approaches” at ITB. On 10 November 2024 I went to Malang, attending their annual FM:IX event and talking about “Active Citizens with Powerful Impact make a Creative City: What It Takes for Bandung to Become A Creative City of Design”. On 15 November 2024 there was an online technical training on CE Development for Sukabumi Regency Government, where I delivered the subjects, “Perkembangan Ekonomi Kreatif Global” & “Perkembangan Ekonomi Kreatif Nasional”.

It was such an honor for me to participate in the CREATIVE APEC 1st International Meeting of Creative Economy on 19 November 2024, where I had an opportunity to share online about “Indonesia Creative Economy Development Strategy: Experiences in promoting the development of the Creative Economy in the APEC Economies”. I prepared a video presentation beforehand, to avoid any tech glitch, which was a great idea since there was also a challenge for me to join the event in real time (our time zones are 24 hours apart). We got connected when I talked in the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Forum, with the theme “Technologies, maker movement and tourism Entrepreneurship in Creative Tourism: Innovation and Technologies in Tourism” in Peru, early June 2024.

On 23 November 2024 there was another National Coordination Meeting of ADPII that was held at Dedato, South Tangerang; on 24 November 2024 I attended the launch of Porter Pamphlet vol.2 at Mbloc Jakarta, which was quite exciting because my graphic diary is a part of that zine, along with other works by distinguished Indonesian authors/ poets/ artists! On  1 December 2024 I appeared in a talkshow on “People and Place: Enhancing Space Quality for Creative Communities” of Festival Gaung Bandung with the theme, “Where Creativity Meets Community”, held by GUNADHARMA, the association of architecture students of ITB; on 6-7 December 2024 I went to Malang again to attend two congresses: ALMI and Ilmuwan Muda Indonesia, where I got a chance to participate in ALMI Knowledge Sharing session on “Culture, Art, Science”. On 12 December 2024, I spoke about “Good Practice in Climate Action in Bandung City of Design UCCN” in an event called “Heritage, Creative Crafts and Lifelong Learning Communities” hosted by Sukhothai in Thailand, a city with three UNESCO titles: UNESCO World Heritage Sites, UNESCO Creative Cities Network, and UNESCO Global Network of Learning Cities. Again, it was such an amazing experience; lots to learn on how living culture and traditions can provide added values, if managed properly. On 13-14 December 2024, ICCN gathered in South Tangerang for the annual ICCF. In this occasion, ICCN launched a book “Retrospektif Kota Kreatif” and a manifesto for “Culture-Based Creative Economy Sector Development for Sustainable Development”.

 

There’s a first time for everything. In my case, it’s doing a podcast. On 20 December 2024, I was asked by our (then) Dean of the Faculty of Art & Design, Dr. Rikrik Kusmara, to have a recorded conversation with our elected rector, Prof. Tatacipta Dirgantara. It turned out to be fine; I’ve worked with him and his faculty (Mechanical and Aerospace Engineering), so the talk went smoothly. It even seemed that we needed more time to further explore his stances, ideas, and concrete plans for our campus!

Well, these pretty much summed up the rest of 2024. Will have to update faster for 2025!

Urban Games: The City as A Playground

Bahasan tentang Urban Games sebenarnya sudah beberapa kali saya angkat dalam beberapa kesempatan. Ulasan tentang Urban Games ini bahkan pernah menjadi bagian dari laporan riset dari negara-negara Brazil, Chile, Kolombia, Ekuador, Mesir, Kenya, India, Indonesia, Afrika Selatan mengenai informal Economy and Culture in The Global South  yang dilakukan oleh Global Creative Economy Council di tahun 2021 (mengenai Urban Games, dapat diakses di tautan berikut: https://medium.com/informal-economy-in-the-global-south/the-city-as-a-playground-841aa132ffb7). Tulisan kali ini untuk merekap sedikit, terutama dari forum-forum di tahun 2024 ini: United Cities and Local Governments (UCLG) Leading Cities Workshop di Jinju, Korea, dan pada Panel Tematik di UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Conference di Braga, Portugal.

Kegiatan di Jinju, yang adalah juga UCCN City of Crafts & Folk Art sejak 2019, berlangsung pada tanggal 13 Juni, dalam skema Culture 21 PLUS UCLG di mana Jinju menjadi salah satu Leading Cities yang menerapkan toolkit for Cultural Rights in Cities and Communities tsb. Jinju fokus pada pemuda, dan berencana mengaktivasi beberapa agenda pendidikan dan kreativitas bagi pengembangan kota. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan, pejabat dan pendidik di perguruan tinggi, aktivis dalam bidang pendidikan termasuk vokasi, dsb., yang semuanya dikoordinasi oleh Prof. Byung-Hoon Jeong, yang juga focal point Jinju untuk UCCN. Di forum ini, paparan berjudul “The City as A Playground: Urban Games for Regeneration and Resilience” memuat pendekatan dan praktik Bandung sebagai Kota Desain UCCN, lalu fokus pada urban games sebagai salah satu wahana yang mewadahi kebutuhan generasi muda Bandung untuk berinteraksi dan berkontribusi kepada kotanya secara empatik, produktif, sekaligus menyenangkan. Berikut sebagian dari paparan tersebut.

Urban game dapat dirancang sesuai dengan isu perkotaan yang direspons, dan kesesuaian gameplay dengan segmen (peserta/pemain) sasaran. Dalam eksekusinya, permainan memberikan pengalaman bagi para pesertanya, namun sedapat mungkin juga menghasilkan purwarupa solusi dari isu kota yang diangkat. Setelah permainan selesai, hasilnya dapat berlanjut menjadi feedback atau masukan bagi isu tersebut, baik dalam bentuk program lanjutan, bahkan regulasi dan kebijakan.

Beberapa urban games yang pernah dilakukan sebagai kolaborasi Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan beberapa komunitas mitra, seperti EcoEthno, Sahabat Kota, Pustakalana, dan banyak lagi, dengan mengangkat isu tertentu seperti ruang publik, kampung kota, skenario masa depan, dsb. Luaran dari kegiatan ini disesuaikan dengan tujuan awal ketika permainan dirancang, dapat berupa promosi taman dan museum, model kota masa depan, hingga purwarupa solusi permasalahan kota.

Beberapa permainan sebagai contoh di sini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kembali kota melalui budaya pusaka dan kulinernya; (2) mempromosikan bisnis mikro/lokal sekaligus mengangkat isu ekonomi informal dan inklusif; (3) merawat sensitivitas dan empati terhadap kota dengan memanfaatkan TIK dan media sosial; serta (4) menyediakan ruang belajar dan akses keterlibatan sejak dini untuk berkontribusi kepada kota.

Pada kerangka kerja ini (Hexa Helix stakeholders dan tahapan Connect-Collaborate-Commerce/Celebrate), dipetakan prosedur urban games secara umum, yang dapat menjadi rujukan bagi terciptanya permainan-permainan selanjutnya.

Dalam materi presentasi di Thematic Panel UCCN, ditambahkan satu slide berikut, yang memaparkan dampak urban games terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui pembangunan infrastruktur sosial.     

Harapannya, intervensi terhadap kota oleh para kaum muda dalam lintas komunitas/ stakeholders dengan cara yang menyenangkan (playful) dan memikat (engaging) melalui Urban Games dapat terus diaktivasi dan dikembangkan, demi melaksanakan iterasi solusi perkotaan dan menciptakan purwarupa inovatif yang berdampak nyata dan terukur. Sebab inilah esensi sebuah perkembangan kota kreatif sebagai entitas organik, seperti halnya pertumbuhan manusia kreatif: terus bermain, berani mencoba, mencipta dan berbagi solusi bersama.       

=====

Berikut beberapa post dan video urban games di Bandung: Riung Gunung: children as co-designers

 

Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Regeneratif

Awal Juni lalu, saya mewakili pihak non-pemerintah Indonesia dalam forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) bertema “Technologies, maker movement and tourism Entrepreneurship in Creative Tourism: Innovation and Technologies in Tourism”, Sesi III dalam Co-Creation Forum: Impact of Creative Economies on the Future of Tourism in the APEC region. Kabarnya, ini adalah satu dari sangat sedikit forum APEC yang mengangkat subyek Ekonomi Kreatif dan Pariwisata, diselenggarakan di Cusco, Peru, pada tanggal 5 Juni 2024.

*Semua yang mengikuti Instagram saya mungkin ingat bagian heboh dari perjalanan ke Peru ini: drama koper yang tak kunjung tiba. Bahkan setelah saya kembali ke Indonesia, koper itu baru menyusul pulang beberapa hari setelahnya. Tapi ini cerita untuk di lain kali, sekarang kembali pada Forum APEC…

Berikut ini paparan yang disampaikan dengan durasi 10 menit, mengenai Ekonomi Kreatif dan Pariwisata.

Untuk menjaga relevansi bahasan antara kedua sektor tersebut, di awal disampaikan kutipan Presiden Indonesia dalam APEC Leaders Informal Dialogue di Bangkok, 2022, yang menyebutkan bahwa “Ekonomi Kreatif adalah sektor masa depan dan pilar pertumbuhan inklusif”. 

Untuk menegaskan konteks, disampaikan juga definisi Ekonomi Kreatif menurut UU di Indonesia (2019), sebagai “perwujudan nilai tambah dari Kekayaan Intelektual yang berasal dari kreativitas, berbasis pusaka budaya, ilmu, dan/atau teknologi”; serta referensi dari OECD (2014), “industri kreatif dapat menstimulasi pertumbuhan pariwisata dengan menyediakan konten kreatif bagi tourism experiences, dengan mendukung pendekatan-pendekatan inovatif untuk pengembangan pariwisata”.

Slide ini mencoba menggambarkan spektrum destinasi pariwisata, dari yang bersifat sangat alami/hampir tanpa sentuhan tangan manusia, hingga yang bersifat buatan secara keseluruhan/dalam sebuah lingkungan binaan (built environment). Porsi dan bentuk intervensi sektor Ekraf pun berbeda-beda, namun tentu saja perlu dipertimbangkan dampak dari kegiatan dua sektor tersebut — tidak saja secara berkelanjutan (sustainable), atau menjaga kualitas wilayah sesuai dengan kondisi semula; namun juga secara regeneratif, atau meningkatkan kualitas kondisi wilayah dan seisinya, sehingga membaik dengan adanya intervensi aktivitas pariwisata dan ekonomi kreatif.   

Dalam konteks tersebut, terdapat irisan besar antara Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Regeneratif dalam menjawab tantangan SDG. Kedua sektor tersebut sama-sama memiliki purpose, yang kerap muncul dalam bentuk idealisme sebuah kegiatan; juga berupaya memberi nilai tambah, bahkan penciptaan nilai; melibatkan komunitas, termasuk masyarakat setempat;  menjalin hubungan sinergis dengan para pihak (stakeholders) yang berbeda-beda; serta memiliki kinerja yang terukur, agar dapat selalu mengevaluasi dan melakukan perbaikan di masa mendatang.

Berikut ini disampaikan contoh Ekonomi Kreatif x Pariwisata pada kondisi destinasi yang berbeda. Pertama adalah Samsara Living Museum di Karangasem, Bali, yang sarat kondisi alami dan praktik-praktik tradisional, budaya adat masyarakat setempat. Intervensi Ekraf berbasis budaya tentu mendominasi destinasi tersebut, agar tetap menjaga harmonisasi antara alam dan tradisi yang telah berlangsung selama sekian generasi. Intervensi tersebut hadir dalam bentuk, antara lain, penyediaan paket-paket pengalaman aktivitas tradisi bagi para pengunjung, pengemasan produk/komoditi lokal sehingga mendapatkan konsumen (off taker) yang dapat mengapresiasi secara pantas, dan sebagainya.

Contoh kedua adalah Urban Games oleh Bandung Creative City Forum (BCCF), sebuah kegiatan yang menawarkan destinasi pariwisata alternatif di perkotaan yang minim potensi alami. Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan kota melalui budaya kuliner, (situs) pusaka & bersejarah, serta beragam bisnis mikro/keluarga dalam narasi permainan ‘berburu harta karun’. Permainan ini melibatkan lintas komunitas kreatif, bahkan yang menaungi para difabel berbakat, serta mempromosikan berbagai usaha mikro bidang kuliner dan kriya yang selama ini telah memberi warna dan karakteristik pada Kota Bandung. Permainan ini juga dapat dirancang dengan fokus-fokus tertentu, seperti Ekologi, Ekonomi dan Sosial-Budaya; juga dapat disesuaikan dengan profil para pesertanya (keluarga, mahasiswa, siswa sekolah, dsb.).

HutaNMenyala, sebuah wahana immersive experience di Tahura, Bandung, oleh SembilaNMatahari, merupakan contoh di mana intervensi Ekonomi Kreatif memberi nilai tambah pada sebuah destinasi dalam konteks pariwisata pasca pandemi. Narasi dan visualisasi HutaNMenyala diangkat dari elemen dan tradisi lokal; produksinya dilakukan oleh para pelaku muda dalam subsektor desain, animasi, film, literatur, dsb.; operasionalnya melibatkan masyarakat setempat sebagai pemandu hutan dan usaha kuliner lokal; dan banyak lagi dampak positif dari intervensi ekraf di kawasan ini yang bersifat regeneratif bagi lingkungan dan penduduk lokal, bila mendapatkan dukungan untuk berlanjut secara kondusif.

Pemahaman terhadap spektrum destinasi “alami x binaan” ini oleh para penyusun kebijakan dan otoritas, juga operator dan pengelola destinasi, menjadi kunci untuk terciptanya sektor pariwisata yang tidak hanya berkelanjutan, namun juga regeneratif.      

Sebagai penutup ringkas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Sektor Ekraf berpotensi besar untuk menambah nilai pada sebuah destinasi, melalui dampak-dampak sosial, lingkungan dan ekonomi yang bersifat regeneratif; (2) Sektor Pariwisata mendorong eksplorasi beragam ekspresi produk dan jasa kreatif dalam ekosistem Ekonomi Kreatif; (3) Keberhasilan sinergi antara sektor Ekraf dan Pariwisata memerlukan pemahaman menyeluruh terhadap konteks lokal, dukungan kebijakan dan inovasi, serta kolaborasi erat antar seluruh pihak.

 

The Art of City Making

I came across this link in LinkedIn, a recording of NUS Cities Lecture Series dated 27 March 2024 with Charles Landry, “Where next with the Art of City Making?”. As commonly occurs when I have tight deadlines, of course this kind of distraction successfully diverted my focus as I watched the session right away.

To put in context; Charles came to Bandung, West Java, Indonesia, in 2008 as a keynote speaker in the 2nd Arte-Polis, an international conference on creative communities and the making of place, held biannually by the Architecture Department of Institut Teknologi Bandung (ITB). It’s the same year when (later named) Bandung Creative City Forum (BCCF) held the first Helarfest, a creative communities festival. It was when BCCF launched a community-initiated city branding “.bdg” and slogan, “an emerging creative city”. Helarfest became the first milestone of many that confirmed the significant roles of creative individuals and communities in Bandung as powerful city changers and city shapers. I met Charles again in 2014 at the Bellagio Center, Lake Como, Italy. Together, within a group of city makers & thinkers, we had days-long working sessions on the resilience and livability of complex urban systems. In 2016, we met again in Östersund, Sweden, where Charles delivered a keynote speech during the Annual Meeting of UNESCO Creative Cities Network (UCCN). That was the 1st time for Bandung to attend the Meeting, after joining UCCN as a City of Design in December 2015. Afterwards, there were various occasions: a dialogue on Placemaking in Helarfest 2020, the Creative Bureaucracy conference, and so on.

Every interaction with Charles has always been intriguing; confirming floating thoughts and sparking new ones. Therefore I took no delay in watching this video. Here are a few things that caught my attention.      

  1. Culture matters: it’s like the air we breathe, you forget that it’s there. [It’s very much embedded in the way we conduct our lives that we take it for granted. Culture, with all its assimilation and evolution, should be recognized as a determining factor of how we organize society.]
  2. Creative matters: the first thing on “creativity” is about curiosity. However, no city has a strategy to generate curiosity. [True. A “creative city” should not only brag about its citizens’ achievements in creative fields, but — if it believes that creativity actually drives urban development and innovation — it should be committed to creating an environment that supports such playful yet productive “curiosity”.]
  3. Are we giving young people the opportunity to shape the city? [How much space do we allow them to participate in decision making? How far do we let them influence a cityscape?]
  4. Some cities are OK, some are not. How come? Leaderships! [It does require top-down commitments to establish substantial Changes in a city, to set the priorities.]
  5. Revaluing value beyond GDP. [This notion has been discussed in many platforms, particularly regarding indexes of (creative) cities, and should always be exercised and improved. Indonesia Creative Cities Network (ICCN) has established the “10 Principles of Indonesia Creative Cities” in 2015 and has piloted a Creative City Index dashboard in 2016, the West Java Creative Economy and Innovation Committee (KREASI) has been publishing a Creative City Index annual report for all 27 cities/regencies in West Java Province since 2020; encouraging local governments to improve the 10 determining variables of the index.]

The last part of the lecture offers a list of points, that “Great livable creative resilient culturally vibrant places are:” [We can consider these as a checklist, how do our cities perceive these points? Do we have concrete examples?]

  • Places of anchorage & distinctiveness
  • Places of blending the old & the new
  • Places of nourishment & nurture
  • Places of affordability & access
  • Places of diversity & inclusiveness
  • Places of communication & connection
  • Places of critical thinking & reflection
  • Places of aspiration & inspiration
  • Places of serious fun & celebration
  • Places of bending the market to big picture purposes

The lecture took about 48 minutes, followed by a Q&A session for about an hour. Interesting issues were brought up. Including the one about “brand” for cities: does it encourage superficial labelling, or does it really reflect the personalities of a city? Go on and check it out yourself — you might find different angles, depending on your interests. Thanks, Charles, and thanks to NUS College of Design & Engineering for making the lecture available for public!

Transisi Ekraf Indonesia?

Sektor Ekonomi Kreatif (Ekraf) di Indonesia sedang berada di persimpangan nomenklatur menjelang periode pemerintahan baru di akhir 2024. Adalah satu hal untuk merancang skenario ekraf di masa mendatang, dengan peta jalan berdasarkan seluruh (rekomendasi) kebijakan yang telah dihasilkan sebelumnya; namun adalah hal lain, bila dalam praktiknya nanti, terdapat berbagai penyesuaian menurut struktur pemerintahan yang baru. Apakah Ekraf akan tetap digandeng dengan Pariwisata, atau berdiri sendiri? Atau digabung dengan sektor lain, seperti Budaya, Pendidikan, Ekonomi, bahkan Digital?

19 Maret 2024 lalu, Kemenparekraf menggelar FGD Penyusunan Rancangan Teknokratik Rencana Strategis Kemenparekraf/Baparekraf 2025-2029. Sebagai salah satu narasumber, saya diberi tema “Pengembangan Ekonomi Kreatif melalui Kota Kreatif dan Klaster Kreatif”. O ya, sebelum FGD ini berlangsung, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) turut memberikan masukan bagi renstra tsb., sehingga materi ini kurang lebih merupakan elaborasi dari masukan ICCN yang juga dipertajam ke hal-hal seputar Kota Kreatif. Berikut ini beberapa butir paparan yang disampaikan.

1 Kepemimpinan Indonesia dalam Sektor Ekonomi Kreatif Global | Hingga kini, Indonesia masih memegang posisi tawar yang tinggi dalam sektor Ekraf skala global, terutama karena reputasinya sebagai inisiator World Conference on Creative Economy (WCCE), Friends of Creative Economy (FCE), dan Resolusi PBB No. A/78/459 tahun 2023 tentang Promosi Ekraf untuk Pembangunan Berkelanjutan yang berkonsekuensi pada pelaporan kinerja ekraf secara berkala (setiap dua tahun, mulai 2026). Untuk dapat menjaga posisi tersebut, diperlukan kepemimpinan yang komprehensif, serta pemahaman, pengawalan dan keterkaitan isu-isu ekraf dari satu platform/forum ke platform/forum yang berikutnya. Diperlukan juga sebuah Centre of Excellence di Indonesia yang benar-benar berperan/ berfungsi sebagai pusat keunggulan Ekraf terutama dari karakteristik ekraf Indonesia dan perspektif Global South.

2 White Paper & Rekomendasi Kebijakan Ekraf Skala Global | Hingga kini, Indonesia telah banyak terlibat dalam penyusunan white paper dan rekomendasi kebijakan Ekraf skala global dalam berbagai platform/forum (G20, ADBI, WCCE, Connecti:City, dsb.). Dokumen-dokumen tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda, namun semuanya mengangkat kata-kata kunci kepentingan Indonesia, atau sudut pandang Global South, sehubungan dengan Ekraf sebagai strategi pembangunan: SDG, pekerja informal, intermediary/agregator, inklusivitas, transformasi digital, pengukuran/index, inovasi berbasis budaya, dan penemuan masa depan.

3 Roadmap Ekraf Global — Agenda Ekraf Nasional | Dari semua rekomendasi kebijakan, peta jalan, dll. yang telah dihasilkan, seluruhnya menyediakan opsi arahan sesuai dengan prioritas; apakah Indonesia puny agenda Ekraf utama, adakah sudut pandang negara bagian Bumi Selatan, atau isu wilayah ASEAN yang perlu diangkat? Sehingga dipnerlukan adanya peta jalan, rencana strategis, rencana aksi dan indikator kinerja ekonomi kreatif nasional yang dapat menjadi rujukan dan diterapkan secara sistematis oleh pemerintah daerah.

4 Tata Kelola Ekraf di Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota | Saat ini terdapat beberapa K/L yang kewenangannya saling tumpang tindih dengan Kemenparekraf, seperti Kementerian BUMN untuk daerah pariwisata, Kemendikbudristek untuk situs-situs bersejarah, KemenKopUKM untuk hasil kerajinan, dll. Harus ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas agar cakupan sasaran program jadi semakin luas dan indeks kinerja setiap K/L terkait bisa diukur.

5 Ekonomi Kreatif, Kota Kreatif, Klaster Kreatif | kota, ICCN telah memiliki kerangka kerja & panduan program/kegiatan Kota Kreatif, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota/jejaringnya, sehingga tiap kabupaten/kota di Indonesia dapat menerapkannya sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah. Dalam konteks skala kota, komitmen terhadap SDG mengacu pada New Urban Agenda; sementara Ekraf dilihat sebagai sebuah ekosistem, terutama untuk memetakan peran pemerintah, sesuai dengan UU Ekraf dan Perda Ekraf; dan kerangka kerja ICCN (10 Prinsip Kota Kreatif, Catha Ekadasa, Hexa Helix) menjadi acuan sistematika dalam upaya menganalisis data untuk Indeks Kabupaten/Kota Kreatif. Perhitungan indeks ini telah dipraktikkan setiap tahunnya di Provinsi Jawa Barat sejak 2020.

6 Kota Kreatif v 1.0 x Kota Kreatif v 2.0 | Mengutip Prof. Andy Pratt, UNESCO Chair of Global Creative Economy, mengenai Kota Kreatif versi 2.0: kota-kota kreatif versi pertama adalah yang mengangkat konteks globalisasi, place marketing/branding, dan menyelenggarakan aktivitas budaya. Namun kota kreatif versi kedua, adalah yang menjembatani perbedaan-perbedaan, memiliki sistem keterhubungan, serta cenderung berkolaborasi untuk mewujudkan “Kota Kreatif untuk Dunia”. Pergeseran paradigma ini pun berpengaruh pada konsep “Ekonomi Kreatif”, yang tadinya merupakan model Industri Budaya dan Kreativitas dalam ranah ekraf itu sendiri, kini memperluas lingkupnya menjadi perwujudan barang & jasa budaya, serta terjalinnya jejaring berdasarkan makna dan penciptaan nilai dalam konteks Ekonomi Sirkular.

7 Menuju Institusionalisme Baru dalam Tata Kelola Ekonomi Kreatif | Masih berkaitan dengan “kota kreatif versi 2.0”, dengan model kelembagaan yang baru, maka diperlukan pula tata kelola yang sesuai. Antara lain dengan menerapkan perantara (intermediation) dan dukungan untuk para produsen kebudayaan, peningkatan kapasitas dalam hal dukungan strategis, mengembangkan praktik-praktik kerja lintas bidang, dsb.

8 Evaluasi Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UCCN) 2024 | Mengacu pada hasil evaluasi UCCN 2024, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi refleksi bagi kota-kota anggota UCCN di Indonesia, sekaligus perlu diantisipasi dalam penyelenggaraan “kota kreatif” di masa mendatang. Berkut ini butir-butir rekomendasi yang diajukan:

  • Perlu penyelarasan konsepsi Kabupaten/Kota Kreatif ICCN, Kota Kreatif UNESCO, KaTa Kreatif Kemenparekraf
  • Perlu mekanisme pendukungan bagi para focal point UCCN di Indonesia dari kementerian terkait dan KNIU (koordinasi tingkat nasional, mobilisasi, promosi, laporan berkala, dsb.)
  • Perlu benchmarking unit/lembaga pengampu “kota kreatif” dengan merujuk pada existing unit/agency di kota-kota UCCN di luar Indonesia (misalkan: DesignSingapore Council, Creative Economy Agency Thailand)
  • Perlu koordinasi khusus dan skema koleksi & analisis data ekraf Indonesia secara komprehensif; terutama dari perspektif karakteristik ekraf Indonesia/Global South, terkait persiapan laporan berkala mulai 2026 (Resolusi PBB No. A/78/459)
  • Website KNIU perlu dilengkapi dengan laman tentang kota-kota UCCN di Indonesia; seleksi di tingkat nasional belum melibatkan masukan dari para focal point UCCN di Indonesia untuk mendapatkan update terbaru mengenai konten dan proses yang berlaku di UNESCO    

Ekonomi Kreatif adalah sektor yang dinamis, sangat kontekstual, mengikuti perkembangan era yang sarat disrupsi, sehingga transisi nomenklaturnya pun akan selalu terjadi. Paparan ini adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi kondisi mendatang, agar kita selalu siap dengan opsi skenario yang dapat membawa sektor Ekraf untuk tetap relevan dan unggul dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Mari lanjut berkarya!


Tautan ke dokumen Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388996?posInSet=3&queryId=N-eb11463d-4573-442b-b667-ff7fee229946

Tautan ke dokumen Ringkasan Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388645

 

Borang Mondiacult 2024

Secara berkala, setiap 4 tahun, semua kota anggota UCCN (UNESCO Creative Cities Network) wajib menyerahkan Laporan Pemantauan Keanggotaan (Membership Monitoring Report/MMR). Kota Desain Bandung telah menyerahkan laporan pertamanya di tahun 2019, dan juga telah menyelesaikan yang kedua di tahun 2023 (meskipun baru dapat diunggah di tahun 2024). Namun di tahun 2024 ini, ada kewajiban lain yang harus diserahkan.

Sebagai tindak lanjut dari Mondiacult (UNESCO World Conference on Cultural Policies and Sustainable Development) yang diselenggarakan di Mexico, September 2022, UCCN mengarahkan seluruh kota anggotanya (yang bergabung sebelum 2023) untuk melengkapi kuesioner terkait “kontribusi sektor budaya dan kreatif dalam pembangunan berkelanjutan”.  Hasil dari kuesioner ini diharapkan dapat mengidentifikasi peran kota kreatif dalam menjawab tantangan SDG, sejalan dengan Deklarasi Mondiacult 2022, Pernyataan Misi UCCN dan prioritas Sektor Budaya di UNESCO.

Koordinasi awal pengisian borang Mondiacult: focal point Bandung UCCN dengan Bappelitbang Kota Bandung, 28 Maret 2024

Kuesioner ini disebarkan akhir Februari 2024 lalu, untuk diisi dan dikirimkan kembali selambat-lambatnya pada Juni 2024. Seluruh pertanyaannya secara umum terkait Budaya, Kreativitas dan Kota, meliputi kebijakan dan program kota dalam hal-hal berikut: (1) Menjamin hak-hak budaya, (2) Mengangkat teknologi digital dalam sektor budaya, (3) Memupuk pendidikan kebudayaan dan seni, (4) Memungkinkan sistem ekonomi berkelanjutan untuk budaya, (5) Melindungi dan mempromosikan budaya dalam menghadapi perubahan iklim, dan (6) Melindungi seniman dan budaya dalam bahaya.

Dengan sendirinya, diperlukan masukan dari pemerintah kota untuk melengkapi jawaban di borang ini. Setelah bersurat ke Pj Wali Kota Bandung, terdapat disposisi bagi Bappelitbang untuk mengkoordinasi OPD terkait, membagi tugas untuk menanggapi butir-butir yang relevan dengan tugas dan fungsi di kedinasan.

Pertanyaan-pertanyaan di borang yang panjangnya kurang lebih 10 halaman ini ternyata perlu dirembug oleh dinas-dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pendidikan, Lingkungan Hidup, Komunikasi dan Informatika, Pemuda dan Olah Raga, dll., termasuk juga yang membidangi infrastruktur fisik, ekonomi, hukum/regulasi, dan sebagainya. Terutama karena sering terdapatnya regulasi yang saling terkait, yang dapat saling mengisi dalam menanggapi suatu pertanyaan. Borang ini sekarang masih dalam proses penyelesaian, namun iterasi yang telah dilakukan dengan lintas OPD ini makin mengkonfirmasi beberapa hal:

  1. Budaya”, meskipun nomenklaturnya hanya terdapat dalam salah satu struktur pemerintahan (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata), sebenarnya adalah urusan bagi beberapa dinas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa pertanyaan pada borang Mondiacult ini memerlukan jawaban inti dari lebih dari satu kedinasan.
  2. “Budaya” bukanlah sekedar tradisi atau pertunjukan seperti yang biasanya dipersepsikan dalam arti sempit, namun merasuk ke seluruh lini kehidupan, yang dipraktikkan dalam keseharian, dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, dsb., yang berpusat pada pengembangan Sumber Daya Manusia.
  3. “Budaya” dalam strategi pembangunan daerah biasanya menjadi urusan sekunder, bahkan tersier, sehingga alokasi anggarannya pun tidak sebesar urusan primer. Namun bila tidak dirawat dan dipraktikkan dengan benar, peradaban akan terkikis, sehingga seluruh “urusan primer” pun akan menjadi sia-sia. Mengutip Charles Landry (2020), “Not ‘what is the value of culture’, but ‘what is the cost of NOT valuing arts/culture’”.
  4. Dalam lingkup kota, perlu adanya kepemimpinan yang paham benar bahwa potensi budaya dan kreativitas harus dikelola dengan layak, serta diberi akses dan peluang yang setara, agar dapat menjadi bahan bakar terbarukan bagi pembangunan yang inovatif, inklusif dan berkelanjutan.

Seusai iterasi pertama pengisian borang Mondiacult bersama lintas OPD Kota Bandung, 4 April 2024

Dengan adanya borang Mondiacult ini, setidaknya kita di Kota Bandung jadi dapat mengetahui dan mengukur sendiri, seberapa jauh perhatian dan keberpihakan kita terhadap sektor budaya dan kreativitas, sampai dengan bercermin pada berbagai hal yang telah dihasilkan dari aktivasi sektor budaya dan kreativitas. Sambil terus bersama-sama belajar, tidak hanya tentang konten borang, namun juga tentang jalinan komunikasi yang membaik dan semoga terus terjaga baik – antar dinas, antar personel, dan antar pihak hexa helix – demi tujuan yang sama: dampak nyata Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia. Terima kasih, jajaran Pemerintah Kota Bandung, mari kita lanjutkan dulu kewajiban yang satu ini, sebelum berangkat ke program-program seru berikutnya.

Menuju Kota Kreatif versi 2.0

Pertengahan Januari 2024 lalu, National Art Council (NAC) Singapura kembali menyelenggarakan Art Thought Leadership Forum, berbarengan dengan berlangsungnya Singapore Art Week (SAW). Forum dengan tema “Creative Regions, Creative Economies” ini mengundang Prof. Andy Pratt [UNESCO Chair of Global Creative Economy, Director of the Centre of Culture and the Creative Industries, and Professor of Cultural Economy, City, University of London] sebagai pembicara kunci. Berikut ini ringkasan dari paparan Prof. Pratt.

=====

Prof. Pratt membahas mengenai Kota Kreatif versi 1.0 yang sedang bergeser menuju versi 2.0. Penjelasannya dimulai dengan membahas Kota Kreatif versi 1.0 di mana kota-kota menjenamakan diri untuk keperluan promosi (place marketing/branding), dalam konteks globalisasi, serta mengaktivasinya dengan beragam kegiatan budaya. Sementara, Kota Kreatif versi 2.0 adalah di mana kota-kota ini mulai menjembatani perbedaan-perbedaan, melalui sistem yang saling terhubung (misalkan, identifikasi sub-sektor unggul di tiap kota), serta berkolaborasi antar “kota-kota kreatif dunia”.

Beliau melanjutkan dengan paparan mengenai pergeseran konsep Ekonomi Kreatif 1.0, yang mempengaruhi perkembangan kota-kota kreatif. Ketimpangan menjadi salah satu penyebab pergeseran tersebut, antara lain dalam hal terpisahnya pelaku seni/kreator dari produksi dan masyarakat; terlalu terfokusnya konsep romantika (barat) terhadap pelaku seni/kreator; dan pembagian secara hirarkis terhadap nilai budaya (barat). Sementara, terjadi pula konsep-konsep keterhubungan pada proses budaya/kreatif, aliran-aliran lintas-lokalitas sebagai komponen utama ruang dan budaya, serta ekosistem budaya yang  bersiklus, heuristis, dan rekursif.

Dalam sebuah bagan “Lingkaran Konsentris” sebagai permodelan Industri Budaya dan Kreatif, beliau menunjukkan lingkaran terdalam sebagai Inti Ekspresi Budaya (literatur, musik, seni pertunjukan, seni rupa), yang dilapisi oleh Inti Industri Kreatif Lainnya (film, fotografi, museum, galeri, perpustakaan), kemudian terdapat lapisan Industri Budaya yang Lebih Luas (jasa heritage, penerbitan dan media cetak, televisi dan radio, reman suara, video dan game komputer), dan lapisan terakhir Industri Terkait (periklanan, arsitektur, desain).

Dalam perkembangannya, perluasan bidang-bidang Industri Budaya dan Kreatif tersebut membentuk Ekonomi Kreatif 2.0, yang meliputi hal-hal berikut: obyek dan jasa budaya; jejaring yang terjalin antara penciptaan makna dan nilai; justifikasi, terhubung dan tersematnya nilai-nilai; serta ekonomi sirkular. Di bagian ini beliau menyebutkan rantai nilai ekonomi kreatif [Ide/gagasan -> produksi -> distribusi -> pertukaran -> pengarsipan -> (kembali ke ide/gagasan)], serta bagaimana kota-kota kreatif memiliki kapasitas yang berbeda dalam menangani elemen-elemen tersebut. Prof. Pratt melanjutkan, Ekonomi Kreatif berjalan secara bauran (hybrid), bukan secara rangkap (dualism). Hal ini dapat dilihat dari kecepatan pergantian ide/ produk/ fashion; beberapa platform/ perusahaan besar; pentingnya reputasi (integrasi horisontal); perbedaan antar industri (kreatif); serta perlintasan (antar pelaku, subsektor, dsb.).

Dinamika Ekonomi Kreatif ini berujung pada konsekuensi di mana solusinya bukanlah sekedar berupa perusahaan skala menengah, namun lebih kepada keberadaan “perantara” (intermediation). Perantara ini berperan mengkoordinasi hal-hal berikut: desain, ide pasar, atau proses produksi, teknologi, kecakapan teknis; dan komunitas pelaku. Ia juga berperan mengkoordinasi pengetahuan dan gagasan, mencakup ‘kaum berpengetahuan’ ‘dalam lingkaran’; kritik dan diferensiasi perbedaan mikro; memutuskan pengetahuan mana yang ‘baik’; serta menandai pengetahuan dengan berkolaborasi atau bekerja secara paralel.

Ning (FOFA), Prof. Andy Pratt, me, Edwin Tong (Singapore Minister of Community, Culture and Youth), Reem Fadda, Daehyung Lee

Sehingga, dalam pra-penjelasan tentang Ekonomi Kreatif, yang terlihat adalah pertumbuhan perdagangan dari jaringan produksi budaya yang bersifat lintas-lokalitas. Hal ini tertanam dalam reproduksi ‘keterampilan’ dan ‘nilai’ secara sosial dan ekonomi; dimensi dari fasilitasi lingkungan yang unik; (batas) ‘distribusibudaya bersama (cultural commons); serta pembelajaran/ pemahaman non-verbal (tacit) dan nilai-nilai yang kompleks.

Untuk menanggapi tantangan terhadap ‘kenyataan baru’ dengan pendekatan-pendekatan baru terhadap tata kelola Ekonomi Kreatif, Prof. Pratt menawarkan hal-hal berikut: memperhatikan bentuk organisasi, penyematan dan artikulasi lintas-lokalitas; melihat harga dan nilai kesatuan (pasar atau sosial) sebagai hasil, bukan penyebab; mempertahankan dan memelihara lembaga dan jejaring.

Paparan ini ditutup dengan tema menuju kelembagaan baru untuk tata kelola Ekonomi Kreatif; yang meliputi pasar (baik yang bercabang maupun monopolistik) dan struktur organisasi, seperti halnya sistem berbasis proyek.

  • Membutuhkan respons organisasi dan tata kelola alternatif yang cerdas
  • Memerlukan peran perantara dan dukungan bagi produsen budaya
  • Memerlukan dukungan arahan strategis, dan analisis data
  • Meningkatkan kapasitas dalam keterampilan dan pelatihan untuk menawarkan dukungan strategis
  • Membangun praktik-praktik kerja lintas (bidang, pihak, dsb.)
  • Mempertimbangkan juga hal-hal selain pelaku seni/ kreator
  • Mempertimbangkan bentuk-bentuk kelembagaan bagi pertukaran pengetahuan (lintas-lokalitas)

Dari atas panggung, dalam sesi panel bersama Reem Fadda dan Daehyung Lee, dimoderatori oleh Ning Chong

=====

Refleksi singkat terhadap materi ini: pergeseran Kota Kreatif versi 1.0 ke versi 2.0 sangat relevan dengan kegiatan Indonesia Creative Cities Network (ICCN) di periode ini. Versi 1.0 yang mencakup penjenamaan kota, atau city branding, sebagai upaya mempromosikan tempat/destinasi melalui narasi, slogan, logo dan berbagai strategi pengelolaannya, memang telah dan akan selalu dilakukan. Versi 1.0 mencakup juga identifikasi potensi unggul/ dominan di tiap kota dalam kategori sub-sektor industri kreatif, dengan hasil predikat yang melekat pada kota tersebut. “Pengelolaan penjenamaan kota” ini telah menjadi bagian dari Catha Ekadasa, sebagai jurus ke-9.

Bersama Prof. Andy Pratt dan dua narsum lainnya, Reem Fadda dan Daehyung Lee, dan host kita dari FOFA (Family Office For Art)

Versi 2.0 ternyatakan dalam peta jalan ICCN 2022-2025, di tahun pertama, “KOTABORASI/ UNICITIES”, di mana kota-kota anggota/ jejaring didorong untuk melakukan kolaborasi, dan untuk mengidentifikasi di mana mereka dapat saling melengkapi dalam konteks ekonomi kreatif.

Selebihnya, pesan pembicara kunci tersebut berhubungan erat dengan tata kelola sektor ekonomi kreatif dalam skala lokal (kabupaten/kota), yang mendorong kerja sama “lintas-lokalitas” (“gerakan kalcer”!), yang juga diekspresikan di ruang-ruang kota (“cipta ruang”!), di mana perhatian tidak hanya dipusatkan pada pelaku seni/kreator, namun juga pada pihak-pihak lain (“hexa helix”!) dalam ekosistem ekonomi kreatif. Termasuk juga kegiatan pendataan dan peningkatan kapasitas, yang juga secara umum telah tercantum dalam haluan Catha Ekadasa dan peta jalan ICCN di tahun kedua, “KOMUNITANGGUH/ COMMUNITYPOWER“.

Memperhatikan keselarasan konten ini, teman-teman, rasanya makin yakin bahwa kita sedang berada di jalur yang tepat. Mari lanjutkan dengan tetap bersemangat dan bergembira! Padamu negeri, kami berkolaborasi; bagimu negeri, kreativitas kami!

BEYOND Conference 2023 London

BEYOND adalah sebuah konferensi terkemuka mengenai penelitian dan pengembangan untuk industri kreatif, dan telah tiba pada tahun ke-6 penyelenggaraannya. Kali ini, BEYOND yang berlangsung pada 21-22 November di The Royal Institution, London, bermitra strategis dengan British Council, berkolaborasi dalam menentukan tema Global Creative Economies. Konferensi ini mempertemukan audience dari beragam latar belakang (pimpinan bisnis, kreatif, peneliti, pembuat kebijakan, jurnalis dan penyandang dana), dan juga sekitar 30 delegasi internasional (Turki, Ukraina, Uzbekistan, Filipina, Mesir, Maroko dan Jepang). Informasi lebih lengkap mengenai BEYOND dapat diakses di sini: https://beyondconference.org/

Pada BEYOND, terdapat sesi dengan format TEDTalk, dan sesi panel. Saya ditempatkan dalam sesi panel dengan tema “Emerging Trends in The Creative Economy: Perspectives from The Global South”, bersama Daniar Amanaliev (Co-founder and Band Master, ololo Group) dan John Newbigin (Chair, PEC International Council), dan Samira Ahmed (Broadcaster and Journalist, BBC) sebagai pemandu diskusi. Dalam durasi yang terbatas, tidak disarankan menggunakan materi tayangan, tapi Daniar dan saya punya beberapa slide untuk memberi gambaran konteks “The Global South” dengan lebih jelas bagi audience yang mayoritas berasal dari belahan bumi utara. Dan tampaknya memang perlu, melihat dari tanggapan positif terhadap berjalannya sesi tersebut dan konten-konten yang disampaikan.

Inti dari paparan saya adalah tren ekonomi kreatif di pasca pandemi, ketika orang telah menentukan prioritas baru. Di Indonesia, dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya, terdapat hal-hal yang menjadi karakteristik dan potensi umum, sehingga Ekonomi Kreatif pun mengarah ke sana, untuk memenuhi kebutuhan dengan lebih relevan, dengan sensitivitas terhadap isu-isu global. Hal-hal tersebut meliputi: keberagaman sumber daya alam dan budaya, dominasi usia muda/produktif, teknologi tepat guna, padat karya, usaha mikro & kecil, dan scale & balance (dalam konteks lingkup usaha, proporsi konsumsi sumber daya, dsb.). Diikuti dengan contoh-contoh kecenderungan karya produk kreatif (yang membawa kata-kata kunci upcycling, food security, responsible fashion, digital for equality, dan material culture technology), Laboratorium UKM Masa Depan, indeks kota kreatif, serta tema-tema utama dari rekomendasi kebijakan yang selama ini diajukan oleh Indonesia di forum-forum global (SDG, informal workers, intermediary, inclusivity, digital transformation, measurement/index, culture-based innovative experiments & future discoveries).

Video dari sesi tersebut dapat diakses di sini:

Video dari sesi-sesi lain dari BEYOND 2023 dapat diakses di sini: https://beyondconference.org/b23/ondemand/

Dari acara itu, yang membuat agak deg-degan bukan berbicara di dalam ruangan yang dipadati audience dari kalangan terpilih, tapi karena ruang auditorium/teater The Royal Institution (Ri) yang didirikan tahun 1799 itu adalah di mana para ilmuwan terkemuka menyampaikan gagasan-gagasannya dan mendemonstrasikan temuan-temuannya, seperti Jane Goodall dan David Attenborough (yang kabarnya juga berkantor di situ). Di ruang masuk utama, terdapat patung Michael Faraday, yang pernah menjadi Direktur Laboratorium Ri pada tahun 1852. Gedung ini dipenuhi koleksi buku, berbagai sampel dan alat peraga, dan foto-foto para tokoh ilmuwan pendahulunya; ruangan-ruangannya ditata dengan setting seminar atau diskusi, langsung mengundang rasa hormat, curious dan eksploratif terhadap siapa pun yang masuk. Rasa keingintahuan yang tinggi, namun dengan kerendahan hati; a humbling scientific attitude. Sangat sesuai dengan tagline The Royal Institution: Science Lives Here. Respect.