Monthly Archives: January 2014

tempatsampah.bdg

Tempat sampah baru di Bandung

Tempat sampah baru di Bandung

Semester ini, MK Desain Berkelanjutan di Program Studi Magister Desain diselenggarakan lagi. Seperti biasanya, di minggu pertama pertemuan, mahasiswa diminta untuk menyampaikan permasalahan lingkungan yang (dapat) dipengaruhi oleh desain, baik sebagai penyebab maupun solusi.

Salah satu kelompok membahas tempat sampah umum yang baru dimiliki Bandung beberapa minggu belakangan ini. Diskusi mengenai tempat sampah yang terbuat dari plastik biodegradable ini mencakup hal-hal pro dan kontra terhadap jenis material biodegradable itu sendiri, namun dalam sesi ini lebih banyak dibahas juga dari segi Desain. “Desain” di sini bukan hanya berarti penampilan visual, bentuk, dimensi, dan warna, tapi juga dalam hal usability, operasional penggunaan, persepsi pengguna terhadap obyek itu sendiri, penempatan, dan sebagainya.

RK hadir lagi di kelas ini, kali ini bukan sebagai dosen tamu seperti biasanya, tapi secara virtual sebagai wali kota di cuplikan berita mengenai tempat sampah Bandung

RK hadir lagi di kelas ini, kali ini bukan sebagai dosen tamu seperti biasanya, tapi secara virtual, sebagai wali kota dalam cuplikan berita mengenai tempat sampah Bandung

Salah satu segi desain yang dibahas di sini adalah operasional membuka-tutup tempat sampah tersebut. Pada tempat sampah ini, orang harus memegang dan mengangkat handle yang terlekat pada tutup tempat sampah bila hendak memasukkan sampah ke dalamnya. Hal ini tidak biasa, karena desain tempat sampah pada umumnya tidak menuntut penggunanya untuk menyentuh tutup atau lubang buangannya secara langsung. Sebab, biasanya, mulut tempat sampah umum cenderung kotor karena tumpahan sampah yang dibuang, atau karena bekas bakaran puntung rokok yang dimatikan di sana. Sehingga, ketika menghadapi tempat sampah Bandung ini, orang yang merasa jijik cenderung harus menciptakan “sampah baru”, dengan cara menggunakan selembar tissue bersih untuk mengangkat handle tersebut sebelum cepat-cepat memasukkan sampah yang akan dibuang (sekaligus lembaran tissue pemegang handle itu) ke dalam tempat sampah tersebut. Akan lebih manusiawi bila terdapat perbaikan desain yang tidak mengharuskan orang untuk bersentuhan langsung dengan handle atau mulut tempat sampah umum.

Hal lain yang dibahas dari segi desain adalah penggunaan kode warna jenis sampah dan icon/ simbol pada tempat sampah tersebut. Bila akan dilakukan perbaikan desain pada tempat sampah ini, kelompok ini mengusulkan agar terdapat perubahan pada grafisnya, yang didahului dengan studi mengenai kode warna dan icon/simbol yang umum dipakai dan dimengerti sebagai kode pemilahan jenis-jenis sampah, namun juga sekaligus lebih akrab dengan masyarakat umum di Bandung/Indonesia sehingga dapat dimengerti dengan lebih tepat, sesuai dengan konteks lokal.

Jadi bagaimana peran tempat sampah ini terhadap isu keberlanjutan? Sebagai langkah awal, tersedianya tempat-tempat sampah di ruang-ruang publik ini mungkin cukup dapat mengajak warga untuk tidak lagi sembarangan membuang sampah ke jalan, taman dan selokan. Sebagai solusi sementara, tempat-tempat sampah ini mungkin ampuh, namun masih ada permasalahan-permasalahan seputar daya tahan, usability, dan visual pada fasilitas ini, yang berpotensi untuk mengurangi daya gunanya di masa mendatang. Artinya, ada banyak peluang dan kontribusi dari segi desain untuk membuat fasilitas ini lebih berkelanjutan.

[youtube http://www.youtube.com/watch?v=–mToeCkCjc]

What’s Next?

DAbdg putihDesignAction.bdg 2013 was over about three months ago. It was our first attempt to conduct a colossal design thinking workshop-conference in order to find innovative solutions for urban problems; in this case, within the issues of urban mobility. Among our motivations to conduct that event was inadequate infrastructure and public service of Bandung, due to insufficient years of governance at that time.

We consider “design thinking” as among the methods that we could apply to come up with solutions that don’t require complicated bureaucracy, gigantic infrastructure, and massive financing. These are the kind of solutions that are feasible in a short-term, yet effective, although some might be temporary. We did a workshop-conference; we practiced the “fun theory” and we did have fun indeed. A productive kind of fun.

It’s 2014 now and we have a new leader for our beloved city. Our mayor for 2013-2018 is a visionary, progressive person; not to mention that he is the former chair of Bandung Creative City Forum (2008-2012), an organization that has been providing examples and conducting city-scale experiments, in order to show the previous government how a city and its creative potentials could excel.

Within the new mayor’s first 100 days period in office (September-December 2013), most citizens have been benefiting from improvements of public facilities and services in Bandung. The mayor also stated that 2014 is the year for strengthening infrastructure and disciplines. His vision for Bandung is seemingly simple, but quite apt: a livable, lovable city.

twitRK2014

What's next?

What’s next?

Now that the government has a similar line of thinking to ours, what’s next? What could the next DesignAction.bdg be about? It was too “easy” before: to fix a badly-run city. But now that the city seems to be in good hands, we are facing a different challenge. Therefore, in this phase of transition from old to new Bandung, DesignAction.bdg will be very interesting.

Starting a few weeks back, we at BCCF gathered again to find the answer to that “What’s Next?” question. Whatever we do, it is still based on our affection for Bandung and our intention to make it more pleasant to live in. There are lots of issues going around; we even picked one for Helarfest, our other main program. We consider it better if the results of DesignAction.bdg this time could be realized within three months or so.

Idea sketches

Brainstorming

We also consider the municipal programs, improving public facilities and services, and relating them to their impacts to society. How would people react? How would people respond to those improved product and services? What does it mean to live in a maintained city, with accessible public spaces and facilities with good conditions? Are Bandung citizens ready to accept all these improvements; do they have suitable mindsets and behaviors, in order to sustain these pleasant facilities? A bigger question for us would be; what does it mean to be an urban citizen?

Based on these questions, and more and more discussions, which I’m sure will happen a lot more times, we decided that the theme for our next DesignAction.bdg is iden[c]ity. We’d like to encourage our fellow citizens to define who they are, related to their urban habitat. It might seem abstract at this phase, but we have a lot of keywords that can be translated into programs, pre-events, workshops, and so on. Watch our sites http://www.dabdg.bccf-bdg.com/ http://www.bccf-bdg.com  and, hopefully, we could spill more in the coming weeks!