Monthly Archives: June 2019

PEC

PEC DICE 01Oke. Tulisan ini lama tertunda karena terlalu lama mempertimbangkan, nulisnya enakan pake Bahasa Indonesia atau Inggris ya? Hingga akhirnya memutuskan, pakai Bahasa Indonesia saja, supaya lebih mudah tersebar di antara rekan-rekan pegiat ekonomi kreatif di tanah air.   

 

Creative Industries Policy & Evidence Centre

Kejadiannya memang lumayan cepat. Beberapa minggu sebelumnya, Direktur Regional British Council untuk Seni & Industri Kreatif yang bertempat di Singapura menanyakan kesediaan saya untuk menjadi salah satu anggota Dewan Penasehat Internasional untuk Kebijakan Industri Kreatif Inggris. Istilah mereka: International Advisory Council for Creative Industries Policy & Evidence Centre (PEC). Terdengar sangat serius, dan lumayan menantang sepertinya untuk ditelusuri lebih lanjut. Mengingat pengalaman beberapa tahun belakangan ini terkait sektor ekonomi kreatif dari tingkat kota hingga internasional, juga keterlibatan langsung di aspek-aspek akademik, kebijakan, maupun praktisi dan komunitas, tawaran ini saya terima, sambil menunggu informasi selanjutnya, mengenai peran, konten, dan sebagainya. Tim PEC ini diketuai oleh John Newbigin, OBE, pendiri dan ketua pertama Creative England, sebuah rekanan pemerintah/swasta yang berinvestasi pada bisnis konten kreatif dan teknologi digital; juga Penasihat Khusus Menteri Budaya Inggris, selain juga anggota Dewan Industri Kreatif Pemerintah Inggris, dan Duta Industri Kreatif bagi Wali Kota London. PEC ini sendiri, selain didukung penuh oleh British Council, diampu oleh Nesta, sebuah yayasan yang memusatkan aktivitasnya pada penelitian untuk mewujudkan inovasi.

IMG_1979 

Dewan Penasehat Internasional PEC ini baru pertama kalinya dibentuk, orang-orangnya sebagian besar belum saling mengenal, namun karena satu dan lain hal terhubung melalui jejaring British Council. Sidang pertama tim PEC ini dijadwalkan berlangsung di London, 20-21 Mei 2019 lalu. Untuk pertemuan pertama ini, karena memang masih dalam tahap perkenalan, kami diminta untuk menyiapkan paparan ringkas mengenai “tantangan kebijakan dari negara atau wilayah masing-masing, atau isu internasional yang dianggap dapat memperoleh manfaat dari yang dihasilkan oleh PEC”. Maksud dibentuknya PEC ini sendiri adalah:

…untuk menyediakan penelitian independen dan rekomendasi yang berotoritas, yang akan membantu pengembangan kebijakan industri kreatif Inggris, dan berkontribusi pada kelanjutan keberhasilannya. 

Sementara, tujuan pertemuan pertama ini adalah:

…mempertemukan kami (Dewan Penasehat Internasional) dengan kolega di PEC dan British Council, untuk membahas agenda penelitian PEC yang sedang dan akan berlangsung, dan (bagi mereka) untuk mengetahui prioritas dan kepentingan kami, selama badan internasional yang unik ini kita bangun bersama.  

IMG_1990Ketika berkumpul pada hari pertama pertemuan, yang hadir berjumlah belasan, dan ada 2-3 anggota yang berhalangan. Di awal, disampaikan mengenai PEC dan hal yang memotivasi dibentuknya Dewan Penasehat Internasional ini. Oh iya, sebelum mulai, John menghampiri dan memberitahu bahwa dia pernah ke Bandung, sekitar tahun 2008. Ternyata kunjungannya waktu itu adalah bersama dengan Creative Catalyst BC, yang terdiri dari para juara IYCE (International Young Creative Entrepreneurs) dari seluruh dunia, yang berkumpul di Rumah Botol-nya Kang Emil dan juga meramaikan Helarfest 2008. Beliau juga hadir di Arte-Polis 2008 dengan pembicara kunci saat itu, Charles Landry. Tentu saja beliau ingat Kang Emil, bahkan nitip salam. Di Connecti:City berikutnya beliau kita undang jadi pembicara, ya, Pak Gub 🙂 

Kembali ke PEC. Berikut ini beberapa pointers yang bisa diambil dari pertemuan pertama ini:

  1. Kenapa kebijakan industri kreatif Inggris perlu pertimbangan dari sebuah Dewan Internasional? Tak dapat dipungkiri, Inggris adalah negara yang pertama kali mencetuskan hal “industri kreatif” sebagai sektor ekonomi yang penting. Mau tidak mau, konsep ini dibawa oleh lembaga budayanya, yaitu British Council, yang dalam usianya ke-85 tahun kini telah berada di 110 negara. Apa pun yang diputuskan sebagai kebijakan di Inggris terkait industri kreatif, akan menjadi program/ kegiatan di BC sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Inggris yang tersebar di negara-negara tersebut. Mengacu dari yang selama ini telah terjadi, termasuk di Indonesia, program BC lumayan berpengaruh pada gerakan seni, budaya, dan ekonomi kreatif. Sehingga kajian mengenai arah dan konten kebijakan tersebut menjadi penting, terutama terkait relevansinya dengan kebijakan dan program-program sektor industri kreatif di internal negara-negara tersebut. 
  2. PEC memiliki Dewan Pengelola yang berhubungan secara interaktif dengan pemerintah, mendapatkan masukan dari Dewan Penasehat Internasional, Panel Ilmiah Internasional, Panel Industri (yang terdiri dari para juara/ unggulan bidang industri kreatif), serta Unit Kebijakan.
  3. PEC telah menggandeng 10 perguruan tinggi di Inggris, yang masing-masing mengampu tema-tema kajian: (1) klaster kreatif dan inovasi, (2) keterampilan, talenta, dan keberagaman, (3) HKI, model bisnis, akses pada pembiayaan dan regulasi konten, (4) seni, budaya, dan penyiaran layanan publik, (5) industri kreatif dan daya saing internasional.
  4. PEC akan lebih terfokus pada dampak, mencakup keluwesan dalam penerapannya; bersifat inklusif (tidak hanya menekankan pada indikator ekonomi, tapi juga pada bidang sosial yang mungkin tidak selalu terukur secara kuantitatif); melibatkan pihak-pihak pemerintah, swasta, dan akademisi; menghasilkan rekomendasi dan panduan untuk kebijakan; serta membangun platform komunikasi dan jejaring hingga skala internasional.           
  5. Kajian yang digarap di PEC tidak tanya mengandalkan isu-isu kuantitatif, namun juga menekankan pada isu-isu kualitatif, yang sebagian besar berupa laporan berbasis bukti (evidence-based report) dalam format story-telling atau narasi. Informasi kualitatif ini dianggap penting dalam menentukan makna penerapan budaya dan ekspresi seni. Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana mengukur dampak dari isu-isu kualitatif tersebut. Perkembangannya dalam skala global bukan berarti menerapkan satu solusi ke yang lain, namun lebih kepada kesesuaian penerapan solusi tersebut, dalam adaptasinya terhadap kondisi yang berbeda. 

IMG_2440

Dari komunitas untuk kebijakan ekraf di Indonesia      

Di sesi paparan perkenalan, saya sampaikan bahwa Kota Bandung – bahkan sebelum menjadi anggota UNESCO Creative Cities Network (UCCN) sebagai Kota Desain – sempat memiliki Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif (Ekraf.bdg, dibentuk tahun 2014) yang ditandem dengan salah satu badan di Pemerintah Kota Bandung (awalnya di Bagian Ekonomi Setda, kemudian di Bidang Ekraf Disbudpar), yang berfungsi untuk menyusun peta jalan, strategi, dan program-program pengembangan ekraf . Setelah bergabung dengan UCCN pada tahun 2015, tugas Ekraf.bdg bertambah satu, yaitu mengawal komitmen Bandung terhadap UCCN: memanfaatkan potensi kreativitasnya untuk menjawab tantangan Sustainable Development Goals (SDG) dan New Urban Agenda (NUA). Salah satu program Bandung Creative City Forum (BCCF) yang didukung oleh Pemkot Bandung, yaitu DesignAction.bdg (DA.bdg), bahkan telah mendapat pengakuan UCCN (pada tahun 2017) sebagai salah satu praktik terbaik bagi SDG #11, Sustainable Cities & Communities. Kini Kota Bandung tengah menunggu disahkannya Perda Ekraf, yang dalam prosesnya telah menuntaskan tahapan Naskah Akademik dan Uji Publik, dan tinggal menunggu tahap politisnya sebelum disahkan pada tahun 2020.  

Di tingkat provinsi, sebagai Tim Ahli Jabar Juara bidang Ekonomi Kreatif, saya sampaikan bahwa berdasarkan Perda Ekraf Jabar, Pemprov Jabar sedang menggarap bentukan sebuah lembaga ekonomi kreatif tingkat provinsi, serta mempersiapkan simpul-simpul kreatif (creative hubs) di seluruh kota/kabupaten di Jawa Barat, dan perkembangannya yang tidak hanya secara top-down, namun juga terdapat upaya bottom-up agar kebijakan, regulasi, serta fasilitasi dari pemerintah dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat secara inklusif.

Lebih lanjut lagi, saya sampaikan adanya 10 Prinsip Kota Kreatif yang dideklarasikan di Bandung saat berlangsungnya Creative Cities Conference (CCC) tahun 2015. CCC ini menjadi cikal bakal Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang dalam perjalanannya hingga kini telah menggabungkan inisiatif dan komunitas dari sekitar 210 kota/kabupaten se-Indonesia. 10 prinsip ini sedang diupayakan oleh ICCN untuk dapat diadaptasi ke dalam Sistem & Laporan Akuntabilitas Kinerja Institusi Pemerintahan (SAKIP & LAKIP), yang menjadi parameter prestasi/ kinerja pemerintah. Upaya ini terutama untuk memastikan tercantumnya hal “ekonomi kreatif” dan “industri kreatif” ke tingkat  “urusan utama” (bukan sampingan) dalam rencana pembangunan daerah, dan tetap ada meskipun personel pemerintahannya mengalami pergantian atau perubahan. Dari paparan ini, Indonesia menjadi contoh bagaimana komunitas dapat mendorong perubahan kebijakan, yang jelas sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan warga. Simulasi adaptasi 10 Prinsip Kota Kreatif dalam SAKIP & LAKIP ini tercantum dalam Buku Putih Kota Kreatif, yang versi Bahasa Inggrisnya telah saya berikan untuk John, dan untuk koleksi perpustakaan PEC.

IMG_2455

Pertanyaan-pertanyaan terkait kebijakan

Di pertemuan hari kedua, Nesta menyampaikan hal-hal yang telah mereka lakukan dalam upaya menjawab tema-tema kajian, dalam bentuk berbagai Pertanyaan Kebijakan (butir 3 di atas) yang diampu oleh kampus-kampus yang berbeda di Inggris. Pertanyaan- pertanyaan inilah yang akan terus-menerus diolah dan dikembangkan sesuai dengan temuan dan masukan yang diperoleh.

  1. Klaster kreatif dan inovasi: Bagaimana perkembangan yang baik itu? Bagaimana daerah dapat mendukung klaster-klaster kreatif? Bagaimana kita dapat meningkatkan anggaran untuk litbang dalam industri kreatif?  
  2. Keterampilan, talenta, dan keberagaman: Bagaimana posisi seni (kreativitas) dalam sistem pendidikan? Bagaimana kita dapat memastikan meningkatnya keberagaman dalam tenaga kerja industri kreatif? Keterampilan dan pekerjaan apa yang dibutuhkan industri kreatif di masa mendatang? Apa saja faktor-faktor positif dan negatif dari tenaga kerja paruh waktu?
  3. HKI, model bisnis, akses pada pembiayaan dan regulasi konten: Bagaimana caranya memastikan bahwa bisnis memperoleh pendanaan yang diperlukan untuk bertumbuh? Bagaimana caranya mengukur bisnis kreatif? Bagaimana meregulasi platform ekonominya?
  4. Seni, budaya, dan penyiaran layanan publik: Terkait penciptaan nilai yang berkelanjutan sebagai hasil dari anggaran negara/daerah untuk badan-badan budaya, regulasi model pendanaan, serta penelitian berbasis etnografi, kualitatif, dan action research. 
  5. Industri kreatif dan daya saing internasional: Terkait keterbukaan perdagangan dan distribusi (terutama untuk komoditas digital), perusahaan ekspor, konsentrasi spasial, kendala perdagangan dalam tingkat mikro dan makro, serta kebijakan internasional.

Dalam kesempatan ini dipaparkan pula penelitian yang telah dan sedang dilakukan terkait keseimbangan gender dalam industri kreatif, sebaran konsentrasi suatu bentuk usaha tertentu di Kota London, dll. 

Selanjutnya…?

Secara keseluruhan, PEC ini menjadi peluang yang sangat baik bagi Indonesia untuk mengkomunikasikan posisi dan kepentingannya dalam sektor ekonomi kreatif, dalam skala global namun relevan dengan kebutuhan nyata bagi pelakunya di tingkat nasional. Dalam posisi sebagai Dewan Penasehat Internasional, Indonesia juga dapat berperan dalam memberikan masukan terkait kebijakan yang berpotensi untuk diberlakukan secara global, yang seharusnya dapat pula mendukung perkembangan ekonomi kreatif Indonesia dengan adanya ekosistem yang terbangun secara global. Akan selalu menjadi hal yang menarik untuk mengetahui perbedaan dan persamaan perspektif mengenai industri kreatif, dan ekosistem ekonomi kreatif pada umumnya, yang dimiliki oleh negara-negara yang berbeda; dan akan terus dapat menjadi bahan pembelajaran yang selalu berkembang sesuai dengan zaman dan dinamika masyarakat saat ini. Dari pertemuan ini saja, sudah dapat ditemukan hal-hal yang menjadi pembeda penentuan kebijakan, seperti persepsi pelaku ekraf terhadap HKI, pertimbangan terhadap sektor-sektor informal, dan sebagainya. Pertemuan PEC berikutnya direncanakan menjelang akhir tahun ini, dengan target adanya konsep atau gagasan yang dapat lebih termaterialisasi. Sampai update berikutnya!