Monthly Archives: November 2019

Placemaker Week ASEAN, Kuala Lumpur, Malaysia, 7-8 November 2019

Placemaker Week ASEAN 2019 baru saja usai diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia; pertama kalinya di kawasan Asia setelah sebelumnya hanya berlangsung di Eropa Barat. PMWA2019 ini digelar di stadion Ching Woo yang dibangun tahun 1950an, yang beberapa fasilitasnya masih berfungsi dan terbuka utk publik. Apa itu “placemaking”? Kata-kata kunci yang banyak dilempar di forum ini, terkait istilah tersebut, antara lain: keberlanjutan, pemberdayaan komunitas dalam menciptakan perubahan, transformasi ruang (publik), hak terhadap (ruang) kota, inklusivitas, dan sejenisnya. Bisa dilihat dari kotretan #graphicnotes di sini 🙂 

placemakerASEAN tita

Senang hadir di sini, karena juga bisa sambil reuni sebentar dengan Mas Singgih, yang menekankan bahwa dalam konteks Asia, aspek warga desa (tidak hanya warga kota) berpengaruh besar terhadap pergerakan di skala wilayah kota/kabupaten. Intinya, meskipun placemaking bukanlah hal yang baru bagi kita di Asia, namun dalam platform ini kita bisa saling berbagi dan menunjukkan cara orang Asia membentuk dan mengubah ruang-ruangnya sendiri, dengan caranya sendiri; sekaligus dapat menjadi rujukan bagi warga belahan dunia lain yang masih berjuang untuk menentukan ruang hidupnya sesuai dengan kapasitas dan ekspresinya sendiri. Pointers dari acara ini antara lain:

  1. ThinkCity, yang awalnya dibentuk khusus untuk menangani peremajaan area bersejarah Penang sebagai Kota Pelabuhan abad ke-14, yang telah diakui UNESCO sebagai Kota Pusaka, dalam melaksanakan tugasnya berprinsip untuk membentuk ruang-ruang sosial berbasis budaya, untuk membuat orang nyaman berada di dalamnya, dengan mempelajari sosiologi ruang kota dan behavioural economics.  
  2. Karena keberhasilannya di Penang, ThinkCity pun melebarkan garapannya ke kota-kota lain seperti Kuala Lumpur, Johor Baru, dll., dengan memegang konsep transformasi kota yang berpihak pada manusia, serta mempromosikan keberagaman dan inklusivitas. Bagaimana peran placemaking dalam hal ini? Apa kontribusinya?  
  3. Setiap orang punya hak untuk membentuk ruangnya, sehingga kesetaraan sosial dapat tercapai.
  4. Placemaking harus bisa menciptakan a sense of space, juga rasa memiliki. Pendekatan bottom-up memungkinkan hal ini, untuk mewujudkan kemauan masyarakat yang sebenarnya; bukan kemauan masyarakat yang diasumsikan oleh pemerintah.    
  5. Placemaking bukan berarti membangun yang baru, tapi justru memanfaatkan yang telah dimiliki, dengan cara memberikan dimensi dan perspektif baru pada ruang tersebut. 
  6. Ruang sosial dapat dibentuk dalam tahapan: Branding >> Destinasi >> Liveability.
  7. Kesetaraan dalam kota dapat tercapai dengan mempertimbangkan aspek-aspek Place, Product, Program, People, Prosperity, Promotion.
  8. Intinya adalah empati, ketika berurusan dengan komunitas, keadilan, dan orisinalitas.  

Setelah sesi panel, saya bergabung dengan workshop yang difasilitasi oleh The City at Eye Level Asia, sebuah inisiatif yang dimulai di Belanda dan mulai menyebar ke seluruh dunia, dan baru kali ini dicoba untuk Asia. Format workshop-nya adalah world cafe, di mana para peserta dalam kelompok-kelompok secara bergiliran mampir berdiskusi dari satu meja ke meja berikutnya. Tiap meja memiliki tema yang berbeda; dalam hal ini berupa pertanyaan How, Who, When, Why, What, Where, untuk gagasan pembentukan jejaring The City at Eye Level di Asia. Hasil dari sesi ini adalah pengajuan diri dari kota-kota di Asia untuk menjadi tuan rumah, sekretariat, dan sebagainya. The City of Eye Level selama ini telah mengadakan pertemuan dan menerbitkan publikasi seputar partisipasi masyarakat dalam kotanya; diharapkan terdapat pula publikasi dengan tema tersebut dari wilayah Asia dari jejaring yang telah terbentuk ini.

Ada satu sesi lagi di mana saya berkesempatan menyampaikan contoh-contoh intervensi ruang publik yang telah dilakukan oleh BCCF, yang kemudian bergeser ke program-program yang bersifat pengembangan kapasitas SDM melalui urban games, workshop design thinking bagi pemerintah, sebagai modul sekolah, dsb. 

placemakerASEAN tita2

Selama di sana, saya juga sempat diwawancara oleh salah satu media terbesar Malaysia, The Star, yang hasilnya bisa dibaca di tautan ini:

https://www.thestar.com.my/metro/metro-news/2019/11/16/placemaking-speakers-share-their-experience-and-ideas

Dari acara-acara semacam ini, yang paling menyenangkan adalah kesempatan bertemu kembali dengan rekan-rekan ‘seperjuangan’ di wilayah Asia Tenggara. Setelah menunaikan seluruh sesi hari itu, saya kembali berdiskusi dengan tim ThinkCity terkait rencana kolaborasi berikutnya. Hubungan erat yang kami mulai sejak tahun 2014, ketika kami sebagai Kota-kota Bandung dan Penang beserta Cebu dan Chiang Mai bersepakat untuk bekerja sama dalam korteks Jejaring Kota Kreatif Asia Tenggara, hingga kini telah mengalami dinamika yang tak terduga. Di sinilah kami harus saling belajar melihat manfaat dan dampak dari kolaborasi yang selama ini terjadi. Nantikan rencana-rencana kami berikutnya, karena sepertinya bakal lebih seru, terutama yang juga terkait dengan Indonesia Creative Cities Network (ICCN).

Asia Pacific Creative Cities Conference, Adelaide, Australia, 23-26 Okt 2019

Yak — mari kita mulai rangkaian tulisan dari beberapa perjalanan belakangan ini:

Asia Pacific Creative Cities Conference di Adelaide, Australia, 23-26 Oktober 2019 — sebagai focal point Bandung City of Design UCCN, untuk bicara di sesi panel bertema Maximising the Potential of the Asia-Pacific Region: Entrepreneurship and the Movement of Ideas, Creators and Innovation

Placemaker Week ASEAN 2019 di Kuala Lumpur, Malaysia, 7-8 November 2019 — untuk bicara di sesi panel ASEAN dan sesi diskusi tentang Placemaking & Identity  

Indonesia Now di Amsterdam, Belanda, 12 November 2019 — sebagai pembicara keynote bersama Mbak Leila Chudori, serta di sesi tentang Design for Sustainability

PEC Meeting di Edinburgh, Inggris, 14-15 November 2019 — pertemuan kedua sebagai anggota International Advisory Council for Creative Industries Policy and Evidence Centre (PEC) UK   

 

20191024 OzAsia APCC Convention - Social - Daniel PurvisPMDX3697

Para delegasi kota-kota kreatif Asia Pasifik yang hadir di APCCC 2019

ASIA PACIFIC CREATIVE CITIES CONFERENCE — Adelaide, Australia, 23-26 Okt 2019

Asia Pacific Creative Cities Conference (APCCC) diinisiasi oleh Adelaide, Kota Musik UNESCO Creative Cities Network (UCCN), dalam rangka menghubungkan antara kota-kota kreatif UCCN yang berada di wilayah Asia & Pasifik. APCCC juga mengundang kota-kota di Asia Pasifik, yang sedang menunggu keputusan bergabungnya mereka dalam UCCN. Forum ini terbagi dalam panel-panel diskusi, yang menampilkan beberapa perwakilan dari kota-kota kreatif Asia Pasifik sekaligus dalam tema-tema tertentu, terutama terkait dengan jejaring UCCN: sejauh mana kota-kota anggota UCCN dapat merasakan manfaat jejaring ini bagi pertumbuhan masing-masing. 

Adelaide, Kota Musik UCCN, menyelenggarakan APCCC ini berbarengan dengan berbagai festival yang telah rutin diselenggarakan di kota tersebut, sehingga para delegasi juga sekaligus dapat menikmati acara-acara lain yang digelar tidak jauh dari tempat pertemuan APCCC dan hotel tempat menginap. Kesiapan Adelaide menjadi tuan rumah jelas meyakinkan, karena pengelolaan festivalnya telah menjadi andalan yang serius bagi kota tersebut; sehingga baik pendatang maupun warga sama-sama mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, bukan hanya karena festival itu sendiri, tapi juga karena infrastruktur, akses dan sistem terhadap segala fasilitasnya telah berjalan dengan baik. 

Tambahan lagi, seluruh delegasi di forum ini adalah staf pemerintah kota dan/atau dari lembaga yang resmi menjadi rekanan kota dalam mengelola kotanya sebagai Kota Kreatif UCCN; yang beraeti mendapatkan alokasi anggaran yang sepantasnya untuk mengaktivasi jejaring dan mengelola program-programnya. Selain Bandung yang diwakili oleh saya sendiri sebagai focal point Bandung Kota Desain UCCN, dari Indonesia hadir pula perwakilan Ambon (yang saat itu sedang menunggu keputusan UCCN atas bergabungnya Ambon sebagai Kota Musik), terdiri dari wali kota dan rombongan OPD terkait, serta personel dari Ambon Music Office.

Berikut ini hal-hal yang tertangkap selama forum tersebut berlangsung:

  1. Tahun 90an produksi manufaktur berkembang di Asia, hingga menjadi keuntungan kompetitif untuk dunia Barat. Krisis finansial di tahun 97 membawa tantangan kreativitas bagi negara-negara di Asia, yang kemudian mengadopsi ekonomi kreatif dan menjadi pemain terbesar dalam sektor ini.
  2. Tantangan terbesar kota, selain menjamin pertumbuhan sosial dan ekonominya, adalah “homogenisasi”. Sehingga kota-kota harus mampu menampilkan vitalitas, daya tarik, serta keunikannya, yang damat dicapai melalui industri kreatif di kota-kota tersebut, yang kemudian membentuk identitasnya sebagai “kota kreatif”. 
  3. Kisah tentang manusia dan ruang didokumentasi sedemikan rupa sehingga membentuk narasi seni dan budaya yang kemudian menjadi identitas bagi sekelompok manusia di ruang tersebut. Kegiatan ekspresi budaya ini menjadi makin besar dan melembaga, sehingga terjadi pendefinisian terhadap beragam ekspresi tersebut.     
  4. Untuk apa melakukan kolaborasi? Untuk memperoleh gagasan dan pendangen baru, selain juga untuk dapat merasa lebih berdaya ketika dipertemukan dengan orang-orang dengan perjuangan dan semangat serupa.
  5. Mengenai pariwisata: apakah brand sebuah “kota kreatif” benar-benar berpengaruh bagi penentuan kebijakan dan strategi pemasaran kota tersebut? Terutama dalam kaitannya dengan pengembangan kota yang mengutamakan kepentingan warga lokalnya, meskipun sambil juga meningkatkan bisnis hospitality.
  6. Brand Kota Kreatif sendiri mungkin belum terlalu dikenal; menjadi anggota UCCN bukanlah tujuan akhir, tapi menjadi salah satu cara untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan. 
  7. Kota-kota memiliki tantangan sumber daya, sehingga memanfaatkan kreativitas sebagai penggerak sektor ekonominya.
  8. Kota-kota yang tangguh (resilient) dikelompokkan berdasarkan indikator kesejahteraan, yang sebenarnya harus didefinisi ulang, terutama dalam kaitannya dengan skala ekonomi makro.
  9. Kota-kota kreatif memiliki metodologi dan sumer daya produksi baru, berupa peran dan keterlibatan komunitas, di mana para pelakunya mengkapitalisasi pengetahuan dan daya ciptanya.     

Selain panel-panel diskusi, terdapat juga sesi aspirasi bagi kota-kota calon anggota UCCN, dan forum yang membahas kelanjutan dari APCCC. Seluruh perwakilan kota yang hadir bersepakat bahwa dibandingkan dengan pertemuan besar seluruh anggota UCCN yang diselenggarakan tiap tahun, forum ini memberikan lebih banyak peluang untuk berdiskusi dengan lebih mendalam, terutama dengan kota-kota yang memiliki kondisi serupa karena berada di area yang berdekatan. Rencana besarnya adalah menyelenggarakan pertemuan wilayah Asia Pasifik selanjutnya, namun masih dalam pembahasan lebih lanjut mengenai kota yang bersedia dan sanggup menjadi tuan rumah. 

APCCC sets sights on the future – press release Oct 25 2019

apccc-conference-atmosphere-2000x480

Sesi Panel 6 mengenai Entrepreneurship and the Movement of Ideas, Creators and Innovation; di mana says berkesempatan juga mempresentasikan Buku Putih Kota Kreatif ICCN sebagai upaya forum komunitas di Indonesia untuk memastikan masuknya budaya dan potensi kreativitas sebagai salah satu faktor dalam strategi pembangunan daerah.