Monthly Archives: December 2019

Art, Design and Culture

Ini adalah hari-hari akhir semester, yang artinya? Ya, benar: waktunya mengejar tenggat waktu menilai kumpulan tugas-tugas dan hasil ujian akhir semester. Makanya, seharusnya semua tugas dan ujian itu bisa dibuat seru, supaya masa-masa penilaian seperti ini justru bikin semangat. Salah satunya adalah CCE60 Art, Design and Culture (ADC), mata kuliah di MBA CCE ITB, pesertanya adalah mahasiswa tingkat magister bisnis yang sekaligus juga pengusaha muda. Ini adalah kelas ADC kedua yang saya pegang, sebagai salah satu dosen dalam sistem team teaching; kali ini bersama Dina Dellyana dan Prananda Luffiansyah. 

Inti kelas ADC ini adalah memberikan wawasan tentang bagaimana kreativitas (seni, desain) dan budaya dapat berpengaruh bagi aktivitas bisnis, beserta praktiknya (karena ini kuliah 3 SKS). Materi-materi seperti design thinking, emotional design, manifestasi ragam budaya pada komoditi (barang dan jasa), craftsmanship, etnografi, dan sebagainya, disampaikan di dalam kelas, seperti biasa. Yang berbeda adalah: untuk Ujian Tengah Semester (UTS), kelas ini wajib menyelenggarakan sebuah acara diskusi terkait kontribusi kreativitas dan budaya terhadap bisnis dan mendokumentasikannya dalam bentuk laporan tertulis; untuk Ujian Akhir Semester (UAS), secara kolektif kelas ini wajib menyusun publikasi, juga dalam bentuk buku, mengenai studi etnografi yang dilakukan dalam kelompok, sekaligus memuat kesan & pesan mereka terhadap perkuliahan ini. 

Hasil UTS dan UAS ini terlalu heboh untuk hanya disimpan di perpustakaan (di bawah ada tautan ke buku UAS ADC versi PDF). Saya coba tuliskan sedikit di sini, berhubung nilainya sudah beres dimasukkan semua. (Hore!)

How Creative Mind Enhances Your Business

Talkshow ini digelar pada tanggal 9 Oktober 2019, pk.17:30-21:00 WIB di Auditorium SBM ITB. Mahasiswa dibebaskan untuk mengorganisasi sendiri seluruh keperluannya; tim dosen hanya harus memastikan bahwa penyelenggaraannya bertepatan dengan jadwal UTS, serta mengingatkan kelengkapan yang diperlukan untuk penilaian. Kebetulan pula, selama satu bulan penuh di Oktober 2019 itu sedang berlangsung Bandung Design Biennale (BDB), sehingga talkshow ini pun tercatat sebagai salah satu peserta BDB. Salah satu tantangan utamanya tentu saja adalah memperoleh narasumber yang dapat segera dikonfirmasi, salah satunya untuk keperluan publikasi. Pada Hari-H, semua berlangsung dengan lancar, dan yang penting dapat memberikan insights bagi para mahasiswa kelas ini mengenai pentingnya pemahaman terhadap budaya, terutama untuk menentukan segmen pengguna dan performance produk barang/jasa, serta pentingnya kreativitas untuk dapat berinovasi.

Para narasumber talkshow ini adalah Yusuf Zulkifli (Matoa), Bayu Rengga (POT Branding House), dan ‘Ayah’ PidiBaiq (The PanasDalam). Yusuf dan Bayu masing-masing memamparkan jalannya bisnis mereka. Matoa memberikan added value pada market melalui Creative Concept dan Creative Storytelling; namun tidak hanya terfokus pada nilai jual produknya saja, melainkan terus berupaya untuk menginspirasi pelaku industri kreatif lainnya. Kunci sukses penjualan produk Matoa, menurut Yusuf, adalah international quality dengan cara upgrading kerajinan tangan lokal. Ketika ditanya kenapa konten promosi produk Matoa se’ribet’ itu, jawabannya adalah: to raise the bar. Memang, jangan mau biasa-biasa saja; make extra deliveries to prove your worth untuk dapat bersaing dengan produk-produk sejenis. Sedangkan POT selama dua tahun belakangan ini terus mengulik “manusia” untuk memahami bagaimana sebuah brand dapat menjadi bagian dari diri mereka. Bayu menyampaikan 3 fase pertumbuhan dalam pengembangan brand: functional (responsif, solutif), emotional (konteks emosi & selera), dan behavioural (kesepakatan value). PidiBaiq, yang caranya berkarya termasuk sangat impulsif, telah menghasilkan berbagai produk, dari komik dan musik, hingga yang populer belakangan ini, novel dan film layar lebar (Dilan). Di acara ini, Pidi menyampaikan konsepnya tentang kreativitas. Bahwa, di dunia eksakta, bila jawabanmu umum atau sama dengan yang lain, berarti kamu benar; sementara di dunia kreatif, bila jawabanmu umum, berarti kamu nyontek, atau tidak berinovasi. “Kreatif” berarti terus menerus bereksperimen, bebas berkarya, tidak dibatasi, dan fokus pada upaya untuk terus menerus memperbaiki karya dan diri sendiri.   

Tanggapan dari audience rata-rata menginginkan agar acara ini diselenggarakan siang hari agar lebih banyak yang bisa hadir; tapi sepertinya panitianya di siang hari sibuk menggarap UTS lain, sehingga talkshow terpaksa digelar malam. Secara keseluruhan, yang hadir – termasuk mahasiswa peserta kelas ini – menikmati dan memberi tanggapan positif terhadap acara ini, yang memberikan pengalaman dan insights yang tidak dapat diperoleh bila pembelajaran hanya terjadi rutin di ruang kelas.

Etnografi dalam Eksplorasi Solusi Kreatif untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Untuk melengkapi inti mata kuliah ini, disampaikan materi etnografi yang langsung dipraktikkan di lapangan. Mahasiswa, dalam kelompok, memilih obyek UMKM di sekitar kampus untuk diintervensi dengan menggunakan panduan dan lembar kerja yang disediakan. Jenis usaha yang dipilih untuk studi sebagian besar adalah warung/ tempat makan: Taman Sari Food Festival, Rajo Dendeng, Sate Kobar, Ruko Nonstop (Kaya Kopi), Warung Timbel Hasanudin, Simpang Tigo; selain juga Komunitas Baca Badak Singa dan Laundry Tubagus Ismail. 

Dengan terjun ke lapangan dan langsung berinteraksi, baik dengan pemilik/ pengelola tempat usaha maupun konsumennya, para mahasiswa melakukan penggalian data, termasuk dalam hal emosi, perilaku, dan sebagainya terkait budaya dan kebiasaan sehari-hari. Selanjutnya, dilakukan proses analisa, diskusi, dan co-designing dengan para pengambil keputusan di tempat-tempat usaha tersebut, untuk solusi yang paling feasible dengan dampak nyata dan terukur. Untuk hal yang terakhir ini, jelas dibutuhkan waktu lebih lama lagi untuk membuktikan perubahannya; namun setidaknya interaksi ini telah berkontribusi positif, baik bagi pihak tempat usaha maupun bagi mahasiswa yang mendapatkan hands-on experience dalam upaya meningkatkan aktivitas bisnis UMKM. Metodologinya dapat lanjut dibawa ke unit usaha yang dijalankan oleh tiap mahasiswa, dan di-exercise terus hingga mencapai cara yang paling jitu, dan siapa tahu, dapat juga dibawa untuk menciptakan dampak yang lebih besar bagi pengembangan UMKM di Indonesia.           

Mata Kuliah Art, Design and Culture ini masih  diselenggarakan bagi kelas-kelas selanjutnya di MBA CCE ITB, tapi mungkin akan berlangsung dengan cara yang berbeda, karena dosen-dosen pengampunya berganti. Bagaimana pun itu, pasti tetap dapat memberikan bekal dan wawasan dari perspektif seni, desain, budaya, dan kreativitas pada umumnya, yang relevan dan dapat berkontribusi bagi pengembangan bisnis. 

Dear students, it’s been a real pleasure working with you in the past months. We‘ve read all your words and observed all your deeds; sincerely proud of your hard work and commitments. Hope our paths come across again, in the same (or more) challenging and fun ambience. Have a great life!

Book Design – ADC – Final

 

Potret Ilmuwan Muda Indonesia

Humbled to be able to represent researchers in the field of Design, and Creativity in general; a relatively young discipline that never stands alone, that is heavily loaded with multi-dimensional contexts in order to create real impacts and make a difference, that is often considered inferior compared to other fields of knowledge — especially here in Indonesia.

Respect and gratitudes to those who are involved in this work.


Semoga semangat dan sikap “ilmuwan” makin tumbuh di segala kalangan di Indonesia. Bukan hanya soal berprofesi sebagai peneliti di institusi formal, tapi juga di keseharian, ketika sudah tumbuh kesadaran untuk selalu cek ulang fakta, bersikap obyektif dan sportif dalam berargumen, serta bermurah hati untuk berbagi hal-hal yang nyata-nyata bermanfaat bagi sesama.

Selamat menjelang 2020!

Katalog Pameran Potret Ilmuwan Muda Indonesia

DxCC [1/2]

DxCC1Mungkin pernah dengar, ya, ungkapan ini, “Kalau kita menjadi orang yang paling cerdas di sebuah ruangan, berarti kita berada di ruangan yang salah”. Nah, pertemuan di Bangkok yang baru lalu ini membuat lega, karena saya pasti berada di ruangan yang benar. Kesibukan selama ini dalam membangun organisasi, metodologi dan konsep, serta program-program selama ini dalam konteks ekonomi kreatif, design thinking, pengembangan komunitas, dan sebagainya, meskipun nampaknya bergerak ke arah yang benar, akan selalu membutuhkan kritik (termasuk self criticism), masukan, dan referensi. Sehingga undangan untuk berpartisipasi dalam seminar DxCC dan workshop Design for Collaborative Cities ini pun dirasa tepat waktu, di tengah-tengah laju aktivitas yang sepertinya ‘seru sendiri’. Tiba saatnya jeda sebentar untuk belajar. Mari, simak sejenak, apa yang dipikirkan dan sudah dilakukan oleh orang-orang, komunitas, dengan pengetahuan, keahlian, dan semangat serupa.     

Kita, warga dunia ini, sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang seluruhnya membutuhkan penanganan mendesak. Bagi Asia Tenggara, kawasan yang umumnya beriklim tropis dengan kepadatan penduduk yang terus bertambah, juga sebagai lahan lumbung keanekaragaman bahan makanan dan rempah dunia, adalah wajar bila hal-hal utama yang diangkat terkait soal ketahanan pangan dan kesehatan. Dampak Perubahan Iklim telah sangat terasa, ketika panen tidak lagi stabil, pasokan air bersih makin langka, udara makin panas dan kotor, serta menciptakan kondisi yang subur bagi berbiaknya berbagai penyakit. Sebagai yang menekuni bidang desain dan kreativitas pada umumnya, solusi apa yang bisa kita tawarkan dalam menghadapi tantangan ini? 

DxCC2Ezio Manzini, pendiri DESIS (Design for Social Innovation and Sustainability) Network, menginisiasi sebuah program bernama DxCCDesign for Collaborative Cities: cultivating communities in sustainable and healthy city making, yang telah dilaksanakan di Shanghai, Bogota, dan Beijing, dan kini di Bangkok, bekerja sama dengan Universitas Chulalongkorn. 

  1. Salah satu pertanyaan yang mengemuka adalah, “Bagaimana makanan menjadi bagian dari desain sebuah kota?”, karena rantai pasokan pangan yang lengkap, di mana bahan makanan ditanam/ diternakkan kemudian dipanen, diolah menjadi bahan baku, didistribusikan, hingga dimasak dan mencapai konsumen, pada akhirnya menjadi pertimbangan penataan sebuah ruang kota. 
  2. Makanan juga telah menjadi penggerak yang baik dalam sebuah komunitas; kegiatan keseharian di kota padat penduduk tentunya tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan akses yang cepat dan terjangkau ke makanan, yang seringkali muncul di kota-kota Asia Tenggara dalam bentuk kaki lima. Tentu saja kegiatan ini berimbasnya terhadap pengelolaan limbah dan persoalan higienis lainnya.            
  3. Ezio Manzini menegaskan bahwa DxCC bukan hanya untuk arsitek dan perancang kota, tapi juga desainer, dan berbagai lapisan pihak yang terlibat dalam perputaran produk dan jasa. Program ini bermaksud menemukan komunitas bentuk baru, yang menentukan “how a city could be” dalam korteks antara Kota dan Sistem Pangan.  
  4. Apakah Inovasi Sosial dapat berkontribusi dalam fokus kepada Kota (City) dan Pereka-Kota (City-Making)? Terutama dalam menemukan hubungan baru antara manusia dengan alamnya, dan, dalam skala yang lebih luas: antara perkotaan dengan lahan tumbuh makanannya. Hal ini tidak terlepas dari upaya menghubungkan kembali antara perkotaan dengan pedesaan. 
  5. Darurat Iklim bukan hanya menyangkut kepedulian terhadap lingkungan, tapi juga pada perilaku dan keterhubungan antara manusia dalam perannya yang beragam. 
  6. Tentu saja kita tidak bisa kembali ke masa lalu, di mana kota yang multifungsi dan agrikultur yang juga multifungsi masih berfungsi dengan baik dan efektif. Kini kita harus membangun “komunitas pangan yang baru”. Berbagai upaya telah dilakukan terkait hal ini di kota-kota dunia dalam skala yang berbeda-beda, seperti peri-urban farms, urban farms, neighbourhood farms, rooftop farms, balcony vegetable gardens, dll. yang pada akhirnya membentuk sebuah sistem rural-urban baru, dan menciptakan social gardeners.      
  7. Bagaimana sistem rural-urban baru ini dapat terus berlanjut? Karena warga dan komunitas terus menerus melakukannya, untuk membentuk “komunitas pangan yang baru” tersebut. Komunitas inilah yang menghasilkan koperasi pangan, dan kemitraan antara petani dan warga (kota). 
  8. Dari segi Inovasi Sosial, telah diketahui bahwa bila sebuah “komunitas masa lalu”, yang mempraktikkan perilaku, aktivitas, dan cara-cara kerja konvensional, mengalami bentrokan dengan “komunitas kontemporer”, yang mempraktikkan perilaku, aktivitas dan cara-cara kerja termutakhir, termasuk dengan pemanfaatan media dan teknologi canggih, biasanya “komunitas masa lalu” ini akan lenyap.  
  9. Kita memerlukan light, place-related communities, yang memiliki kekuatan, pengetahuan, dan juga pengetahuan desain. We should grow a new sense of care.
  10. Kita harus menciptakan enabling ecosystems, yang relevan dengan tempat, keahlian, peralatan dan dukungan, dilengkapi dengan visi bersama, kemampuan co-design, dan rancangan yang terarah.     

 

*Di bagian kedua nanti, paparan tentang penelitian di kota-kota Asia Tenggara, dan  workshop yang menggunakan 3 Horizons Framework

 

DxCC3

DxCC4