Monthly Archives: December 2020

2021, Jangan Sampai Lepas!

Dalam Sesi ke-74 General Assembly tanggal 29 November 2019, PBB mendeklarasikan 2021 sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan/ The International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCE), yang diajukan oleh Indonesia dan didukung oleh puluhan negara dari berbagai belahan dunia. Ajuan ini “mengakui perlunya mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, mendorong inovasi dan menyediakan peluang, manfaat dan pemberdayaan bagi semua, dan menghargai hak azasi manusia dan upaya yang sedang berlangsung untuk mendukung negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami masa transisi ekonomi dalam membuat keragaman produksi dan ekspor, termasuk dalam wilayah pertumbuhan berkelanjutan yang baru, termasuk industri kreatif”.

Tentu saja, saat pencanangan 2021 IYCE tersebut, tidak ada yang menyangka adanya pandemi yang mendominasi tahun 2020, yang menyita seluruh energi dan mengubah total kondisi dunia. Masa genting untuk bertahan hidup, menetapkan relevansi langkah berikutnya dalam segala keterbatasan ruang gerak dan interaksi, sambil terus bereksperimen dengan gaya hidup baru. Masa adaptasi ini tidak mudah bagi siapa pun, tapi kehidupan berjalan terus.

Bagaimana kabar sektor ekonomi kreatif selama krisis berlangsung, dan bagaimana posisi sektor ekraf di masa mendatang, terutama dalam menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan?

Inisiatif Komunitas = Modal Dasar Kemandirian

Di awal masa pandemi, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) menjalankan program Aksi Bersama Bantu Sesama (ABBS) dengan 5 satgasnya yang masing-masing cepat tanggap menangani berbagai urgensi. Terutama saat pendataan dan tindakan langsung dari pemerintah (pusat) belum terkoordinasi penuh. Sejalan dengan waktu dan perkembangan yang terjadi, ABBS menyesuaikan kegiatannya dan berkolaborasi dengan berbagai pihak. ABBS berlanjut sebagai program yang berupaya menggerakkan aktivitas ekonomi komunitas dan warga, berbasis potensi kreativitas dan kekayaan budaya. Nilai-nilai solidaritas, empati, inklusivitas, gotong royong, dan semua yang dibutuhkan dalam masa krisis ini, telah tertuang dalam 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN yang telah menjadi komitmen para anggotanya, sehingga konteks “komunitas kreatif”, “ekonomi kreatif” dan “kota/kabupaten kreatif” pun telah menjadi modal dasar kemandirian – dan tengah diuji ketangguhannya – dalam menghadapi (krisis) masa mendatang.

Inclusive Creative Economy and The Future of Work

ICCN menjadi knowledge partner bagi U20 (Urban 20/ kelompok wali kota di negara-negara G20) dalam menyusun white paper dan policy recommendations berjudul Inclusive Creative Economy and The Future of Work. Argumen utama white paper ini adalah bahwa ekonomi kreatif merupakan sektor yang paling membuka peluang bagi penyediaan lapangan kerja secara inklusif di masa mendatang, bagi perempuan, generasi muda, kaum difabel, dan sebagainya, dengan memanfaatkan TI. Hal ini didukung dengan 3 karakteristik utama para pelaku ekraf, yaitu: selalu ingin mencari keunggulan melalui inovasi, cepat menyerap teknologi untuk memperlancar proses dan sistem yang telah berjalan, serta – khususnya bagi yang berkomunitas – cenderung melihat perannya untuk sebuah tujuan/purpose, bukan sekedar mengandalkan jabatannya. 

Andaikan rekomendasi kebijakan ini diterima oleh negara-negara G20, Indonesia termasuk yang harus paling siap dalam membuktikan kontribusi sektor ekraf bagi strategi pembangunan berkelanjutan. Lebih mendetail tentang white paper ini bisa dibaca di tulisan sebelumnya: https://titalarasati.com/inclusive-creative-economy-and-the-future-of-work/

Satu hal lagi. Berhubung Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 Summit di Labuan Bajo tahun 2022, sektor ekonomi kreatif tidak boleh tertinggal untuk menjadi salah satu agenda yang dibahas. Terutama karena terminologi seperti circular economy dan informal economy yang selama ini menjadi bagian dominan dari ekosistem ekraf. akan makin menguat di masa mendatang, atau pasca pandemi, terutama bagi negara-negara global south

Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) 

Ekraf bukan hanya mencakup komersialisasi dan transaksi barang/jasa kreatif; lebih dari itu, ekraf mencakup keseluruhan ekosistem, yang dapat terpetakan dalam lingkup perkotaan. Wilayah kota menjadi perhatian, karena dianggap sebagai entitas yang paling tangkas dan lentur dalam menghadapi permasalahan mendatang, seperti perubahan iklim dan perpindahan manusia dalam jumlah masif. Demikian pula ekosistem ekraf, pemetaannya dalam skala kota akan dapat menunjukkan potensi tiap elemen ekosistem ekraf. 

ICCN masih mengembangkan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) dalam bentuk dashboard digital, yang dapat menjadi alat kerja bagi pemerintah lokal untuk dapat membuat keputusan dan menyusun kebijakan berdasarkan potensi ekraf di wilayahnya dengan dampak yang terukur dan berkelanjutan. Upaya ini juga akan membantu pemerintah daerah dalam mengidentifikasi mitra ko/kab lain dalam memajukan wilayahnya berdasarkan potensi ekraf mereka. Catha Ekadasa, atau 11 Jurus Mewujudkan Ko/Kab Kreatif yang bermuara pada 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN, menjadi salah satu parameter dalam IKK, sehingga para pelaku ekraf, komunitas, dan warga dapat berpartisipasi langsung dalam pemutakhiran dashboard tersebut secara berkala.          

World Conference on Creative Economy (WCCE)

Indonesia akan kembali menyelenggarakan WCCE di Bali, Mei 2021, untuk yang kedua kalinya. Acara ini tentu saja akan menjadi parameter perkembangan ekraf di Indonesia, yang bukan hanya berupa showcase kekayaan budaya dan karya-karya dari sub-sektor industri kreatif Indonesia, tapi juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan betapa sektor ekraf dapat menjawab tantangan masa krisis dan berpeluang menjadi solusi bagi kondisi di masa depan, our near future. Sebagai negara pencetus IYCE, Indonesia tentu akan menjadi perhatian bagi negara-negara lain yang juga telah dan mulai menggairahkan sektor ekraf dalam kondisi penuh keterbatasan. It is crucial to demonstrate the answers and evidences to the “So what?!” question of the creative economy sector.     

Indonesia harus dapat memposisikan diri dengan lebih strategis melalui sektor ekraf ini, baik dalam skala global, maupun pada dampak nyatanya secara internal. Sinergi antar stakeholders perlu segera dicek ulang dan diperkuat di mana perlu, agar dapat benar-benar menunjukkan keunggulan kita dalam sektor ini. Sementara, para pelaku di tengah masyarakat pun, dari akademisi hingga profesional dalam sektor ekonomi kreatif, pun terus bergerak secara dinamis.  Tidak ada momentum yang lebih sempurna lagi dari tahun 2021 untuk membuktikan kekuatan ekraf Indonesia. Ayo tangkap, jangan sampai lepas!

Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana? (2)

*sambungan dari bagian sebelumnya

Maka, begitu perda ini disahkan, harus segera diturunkan menjadi perwal yang akan mendetailkan secara teknis hal-hal tersebut. Misalkan, persyaratan menjadi personel Komite Ekraf, tata kelola Pusat Kreasi, dan sebagainya. Dalam kesempatan workshop ini, para peserta pun menyampaikan aspirasinya, dalam rangka mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi dengan adanya perda tersebut. Berikut ini beberapa hal yang menarik untuk dicatat dari rangkuman hasil workshop:

  1. Pelaku Ekonomi KreatifHarapannya, pelaku ekraf dapat lebih sadar terhadap peraturan yang ada demi peningkatan peran/kontribusinya bagi kota; terjadi multi-perspektif lintas bidang usaha dan keahlian terkait (financemarketing, desain, dll.); akademisi hendaknya membantu litbang pelaku ekraf. Tantangannya, masih terasanya hirarki (senior/junior) di antara pelaku ekraf; pertemuan antara karakter ekraf sebagai ekosistem yang cair dengan birokrasi yang rendering rigid/kaku; anggapan “sebelah mata” terhadap profesi ekraf; lambatnya proses legalisasi dan akses teknologi; pelaku ekraf yang rentan sebagai pekerja, umumnya karena tidak memiliki sertifikat/hukum yang melindungi agar tidak bersifat eksplotatif. Solusinya, hendaknya terdapat forum atau platform komunikasi intensif; perkuat sinergi antara pemerintah dengan asosiasi profesi dan akademisi; penentuan standar remunerasi para pekerja ekraf; komite ekraf diisi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh asosiasi masing-masing bidang; tersedianya support system yang mengefisiensi operational cost di awal usaha (mis. konsultasi akunting, pemasaran, SDM, dsb., di luar produk & proses kreatif), agar ekraf bisa mengarahkan energi dan fokusnya ke ide-ide baru.  
  2. Penataan Ekonomi KreatifHarapannya, memudahkan akses terhadap urusan legal dan administrasi seperti perizinan; meningkatnya pemahaman mengenai HKI; elemen & pekerjaan di pemerintahan agar dipercayakan pada pelaku ekraf di bidangnya (mis. pembuatan buku oleh desainer grafis); tersedianya sistem daring yang baik. Tantangannya, proses perlindungan HKI bagi pelaku ekraf; pendanaan dari APBD untuk boosting pengusaha ekraf perintis; gentrification sebagai resiko “kawasan ekraf”; perlu prosedur sinkronisasi data antara pelaku (asosiasi/komunitas) dengan pemerintah; sistem online pemerintah yang sering berubah dan kurang user friendlySolusinya, adanya galeri Bandung Kota Desain yang dikelola oleh komunitas; upgrade kanal online; kelonggaran impor untuk mempercepat akses ke teknologi baru; adanya layanan chat 24/7 yang suportif dan jam buka yang fleksibel (hingga di luar hari/jam kerja).
  3. Pengembangan Ekonomi KreatifHarapannya, adanya edukasi HKI yang mendasar sejak pendidikan dini melalui apresiasi karya, sebelum masuk ke teknis; keterlibatan pelaku ekraf dalam pengembangan sektor dan disiplin ilmu selain ekraf untuk dapat saling bersinergi; adanya pusat riset bidang ekraf terbesar di Indonesia; peningkatan kepekaan terhadap perubahan sosial budaya melalui ruang diskusi antar stakeholders; adanya ekosistem yang mendukung serendipity co-creation dan co-learningTantangannya, keterbatasan akses untuk pengembangan kreativitas di masa pandemi; keterbatasan pendidikan & pengembangan pemrograman di platform tertentu yang sulit diakses; belum adanya hub/simpul yang merepresentasikan 16 sub-sektor; masih banyak sektor yang belum paham peran pelaku ekraf dalam pengembangan sektornya; regenerasi talent sebagai komoditi ekraf; eksekusi program yang belum selalu berkelanjutan; komunikasi lintas sub-sektor. Solusinya, kurikulum terkait HKI sejak SD, SMP, SMA hingga kuliah; harus ada pihak penengah (intermediary) yang menjaga ekosistem dan sebagai penghubung antar stakeholders; adanya FGD lintas (sub)sektor untuk saling update perkembangan masing-masing, juga untuk membuka mindset dan memicu kolaborasi; adanya wadah untuk pembelajiran pemrograman (Stackoverflow Bahasa Indonesia); adanya indikator yang jelas dalam mendata dan mengukur kinerja kontribusi ekraf terhadap ekonomi.
  4. Pusat Kreasi dan Kota KreatifHarapannya, akses yang terbuka namun disertai konsep yang jelas dan terukur; adanya pusat layanan HKI yang melakukan pendekatan “jemput bola” ke pelaku ekraf; BCH yang berfungsi penuh dan terbuka/akomodatif bagi seluruh sub-sektor. Tantangannya, BCH yang belum nyaman sebagai ruang kreasi; pembangunan infrastruktur yg belum tepat guna; sulitnya akses sumber informasi market/trend; perawatan (pra)sarana oleh para pelakunya sendiri. Solusinya, FGD lintas sub-sektor untuk mendefinisikan tujuan dan “why factor” sebuah pusat kreasi sekaligus mengevaluasi sistem dan bentuk akomodasi BCH; inkubasi ekraf dan kewirausahaan bagi seluruh warga secara inklusif.
  5. Komite Penataan dan Pengembangan Ekonomi KreatifHarapannya, melibatkan asosiasi profesi; dikelola secara profesional 7 hari/minggu; komite berkelas dunia; terbukanya kolaborasi dengan seluruh sub-sektor untuk memperluas peluang; kolaborasi penta helix yang inklusif dan berkapasitas mendorong co-creation, bukan memaksakan agenda masing-masing; program berbasis permasalahan nyata, bottom-upTantangannya, berjejaring lintas bidang; komite harus mampu menemukan ribuan “ekraf hidden gems” di Bandung; regenerasi; ego; legalisasi yang lebih lambat dari perkembangan & penerapan teknologi baru. Solusinya, perlu simpul interdisiplin; filter kandidat dan regenerasi “rising star” setiap tahun; adanya lembaga/komite ekraf yang lebih cair untuk akses pendanaan; adanya kebebasan akses jaringan rekomendasi bagi para akademisi untuk pengembangan ekraf; berjejaring dengan institusi internasional; tim penta helix yang difasilitasi oleh kemampuan co-create service design profesional. 
  6. PendanaanHarapannya, adanya bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana untuk regenerasi dan inkubasi pendukung ekosistem ekraf; adanya informasi mengenai pendanaan yang dapat diakses dengan mudah; penyaluran pendanaan yang lebih terarah; kerja sama dengan BUMN/swasta terkait peluang pendanaan dan peluang kerja sama yang transparan. Tantangannya, informasi terkait akses penggunaan APBD dan sumber pendanaan lain untuk ekraf. Solusinya, pemanfaatan aset negara (BUMN, pemda, swasta) yang idle, yang dapat dioptimalkan sebagai sarana pendukung ekraf; adanya lembaga yang mengelola dana khusus ekraf; mekanisme transparansi pengelolaan dana; pembentukan konsortium dana CSR khusus untuk ekraf; kolaborasi dengan KBRI dan berbagai institusi budaya asing, yang dapat menjadi sumber informasi terkait peluang pendanaan (grantfunding, dsb.) dari luar negeri.
  7. Sistem Informasi Ekonomi KreatifHarapannya, adanya sosialisasi yang lebih friendly sejak awal/ sekelum menetapkan rencana tahunan, dengan mengajak perwakilan pelaku ekraf, sehingga dapat diverifikasi di akhir tahun; adanya sosialisasi mengenai sistem informasi secara lebih menyeluruh, dengan interface yang lebih terfokus pada pengenalan platform Patrakomala dan manfaatnya; data dibuat lebih transparan dan accessible, baik bagi asosiasi maupun non asosiasi. Tantangannya, belum seluruh stakeholders mengetahui informasi ini; informasi dari pemda yang cenderung kaku/bersifat satu arah; website yang operasionalnya belum ramah pengguna. Solusinya, sosialisasi sekaligus user testing berhadiah bagi target users melalui undangan personal; website-nya harus keren; ada tips & tricks dari KOL/ content creator pelaku yang reliable, sesuai bidangnya. 
  8. Pengawasan dan PengendalianHarapannya, pemerataan fasilitasi/bantuan ke seluruh sub-sektor, dan adanya akses database yang mudah dan responsif. Tantangannya, kecenderungan penyaluran fasilitasi/bantuan karena adanya kedekatan; kurangnya transparansi performa ekraf di Kota Bandung. Solusinya, pengawasan oleh tim gabungan lintas sub-sektor; adanya portal informasi yang memuat dinamika ekraf di Bandung dan tersedianya database yang terukur.  

Tentu saja masukan yang diperoleh dari 2x workshop lebih dari yang tertulis di sini, tapi semoga dapat memberikan gambaran mengenai tanggapan para pelaku terhadap adanya perda ekraf. Awareness awal di kalangan masyarakat pelaku terhadap adanya perda ini diperlukan, bahkan harus terus menerus disosialisasikan, agar Perda Ekraf tidak hanya disahkan, tapi menjadi alat yang ‘hidup’ dan benar-benar dapat dimanfaatkan oleh para pelaku ekraf, terutama di Kota Bandung.

Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana? (1)

Sejak disusunnya Naskah Akademik (NA) sebagai landasan drafting Ranperda Ekraf, berulang kali berbagai skenario diujikan pada pasal-pasal yang dirancang, satu demi satu, untuk mengantisipasi implikasinya bagi seluruh pemangku kepentingan yang menjadi obyek utama perda tersebut. Setelah terdapat draft versi final pun, sesi “pengujian” terakhir diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Helarfest 2020, yaitu pre-event DesignAction.bdg (DA.bdg) dan saat berlangsungnya DA.bdg, dengan tema CureYourCity. 

Saat itu, mumpung ranperda ini sedang dalam masa menunggu proses sinkronisasi dengan pemprov, BCCF membuat upaya sosialisasinya. Pertama, tentu saja agar para pelaku – dan siapa pun yang akan terkena konsekuensi penerapan pasal-pasal dalam perda tersebut – mengetahui adanya peraturan daerah bagi kepentingan mereka. Kedua, agar para pelaku mengetahui hal-hal apa saja yang akan diatur dalam perda ini, serta cara menyikapinya. Sehingga (pre)event DA.bdg pun menampung harapan, potensi masalah, dan juga solusi yang ditawarkan. 

Nah, sebelum membahas risalah hasil workshop, sebaiknya kita runut dulu beberapa pointers dalam ranperda tersebut.  

Pertama, judul rancangan perda ini mengandung kata “Penataan” (“Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif”), dengan pengertian bahwa sumber daya dan potensi ekraf di Kota Bandung sudah cukup melimpah, namun masih memerlukan penataan agar secara kolektif dapat dikelola secara berkelanjutan, dengan dampak yang terukur.

Kedua, terdapat 8 hal utama yang diatur dalam Perda Ekraf ini, yaitu: 

  1. Pelaku Ekonomi Kreatif. Perda ini mengatur pelaku kreasi (SDM kreatif) dan pengelola kekayaan intelektual dari karya kreatif. Tercantum juga hak pelaku untuk, antara lain, memperoleh kesempatan yang sama, dan mendapatkan perlindungan hukum. Pengelola wajib memberikan laporan berkala, melakukan bantuan pembinaan, dan mengalokasikan dana CSR untuk kegiatan ekraf. Juga, disebutkan bahwa wali kota berperan menjamin hak & kewajiban, serta memberikan fasilitas sesuai Peraturan Perundang-undangan (PUU). 
  2. Penataan Ekonomi Kreatif. Terbagi menjadi Perencanaan (1, 5, dan 10 tahun) dan pelibatan Komite Ekraf, serta Pelaksanaan di mana termasuk di dalamnya penataan wilayah dengan tema tertentu dan pembentukan kawasan “Creative Belt”.    
  3. Pengembangan Ekonomi Kreatif. Pengembangan 17 sub-sektor ekraf dan dapat ditambahkan sesuai PUU, serta pengembangan ekraf dari aspek ekosistemnya (penelitian, pendanaan, infrastruktur, dsb.). 
  4. Pusat Kreasi dan Kota Kreatif. Mengatur tentang keberadaan dan manfaat pusat kreasi di berbagai tingkat kewilayahan, pemenuhan indeks kota kreatif, serta dukungan pada para pelaku di setiap sub-sektor. 
  5. Komite Penataan & Pengembangan Ekonomi Kreatif. Mengatur komite yang akan terdiri dari Penta Helix stakeholders, menetapkan fungsi komite (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan evaluasi), dsb.  
  6. Pendanaan. Pendanaan sektor ekraf dapat berasal dari APBD Kota maupun sumber lain yang sah, dan Penganggarannya pun termasuk dalam APBD, namun dapat juga terjadi perluasan sumber pendanaan.  
  7. Sistem Informasi Ekonomi Kreatif. Mengatur adanya sistem informasi yang terintegrasi, keharusan pelaku ekraf untuk menyampaikan informasi, serta pemberian insentif bagi pelaku yang aktif berpartisipasi. 
  8. Pengawasan dan Pengendalian. Mengatur hal-hal seputar pengawasan pelaksanaan program, perlindungan dari tindakan diskriminasi, penyalahgunaan dokumen, dll. 

*bersambung ke bagian berikutnya

Dari Aktivisme ke Kebijakan

Mana pernah menyangka, dulu ketika beramai-ramai sibuk mengintervensi ruang-ruang kota, bahwa suatu hari kegiatan itu akan menjadi berbagai konsep yang harus dapat dijelaskan secara sistematis, agar dapat direplikasi atau dijadikan acuan untuk tujuan serupa. Yang dulu dilakukan sebagai eskperimen secara berulang dan diadaptasi sesuai konteks, kini diformalisasi dalam beragam istilah yang kerap dirujuk di berbagai forum. Dulu, purwarupa ruang publik dan sistem Kota Bandung kita reka ulang, murni dengan maksud memberi pengalaman berbeda bagi warga dan memperlihatkan ke para pembuat kebijakan, bahwa kota ini dapat menjadi lebih produktif dan menyenangkan buat semua, hanya dengan memberi sedikit sentuhan yang tepat. Tidak perlu berbiaya besar, tidak perlu berbirokrasi rumit, tidak perlu infrastruktur yang masif. Cukup “tusuk jarum kota”, atau urban acupuncture.

Itu awalnya dulu. Semacam aktivisme, berskala kota.

Berangsur, pergerakan di kota-kota lain, dan dalam skala yang lebih besar, pun mulai tersambung, dan berpengaruh. Konotasi “aktivisme” skala kota sebagai daya ungkit kegiatan ekonomi berbasis kreativitas, daya cipta dan kekayaan budaya pun makin terkukuhkan. Salah satu puncaknya adalah keberhasilan Bandung bergabung sebagai Kota Desain dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN) pada tahun 2015, yang merupakan pengakuan dari sebuah lembaga tertinggi dunia terhadap “kreativitas” dari perspektif sebuah kota padat penduduk yang terus berkembang di kawasan Asia Tenggara, yang berbeda dari kota-kota yang telah terlebih dahulu bergabung dalam UCCN. Yang tadinya bergerak dan bertumbuh secara organik, alami sebagai upaya untuk berlanjut hidup dalam ragam profesi “kreatif”, kini menjadi model-model yang, pada akhirnya, perlu dituangkan sebagai regulasi yang mampu menjaga sinergi seluruh pihak yang berkepentingan.    

Istilah seputar industri kreatif, ekonomi kreatif, kota kreatif, kampung kreatif, placemaking, dan sejenisnya, mulai menjadi akrab, baik bagi pelakunya maupun di kalangan birokrat. Khususnya di Bandung, semua ini tentu tidak asing lagi. Bahkan sebelum terjadinya formalisasi “ekonomi kreatif”, karakter aktivitas ekonomi di Bandung pun telah dan selalu mengandalkan semangat dan upaya tersebut. Kesadaran terhadap potensi SDM kreatif ini menjadi makin nyata ketika “ekonomi kreatif” dan “kota kreatif” sempat dibunyikan secara eksplisit dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang mendorong Perangkat Daerah (PD) untuk merencanakan dan mengalokasikan sumber daya & pendanaan untuk kegiatan dalam lingkup ekonomi kreatif. Ini adalah periode ketika kreativitas dan aktivitas ekonomi berbasis budaya menjadi strategi pembangunan kota. Namun di periode pemerintahan berikutnya, “ekonomi kreatif”, apalagi “kota kreatif”, sama sekali tidak tersebut dalam RPJMD. Tanpa arahan tersebut, PD tidak punya alasan untuk menyelenggarakan “ekonomi kreatif” dalam rencana pembangunan, meskipun dalam strukturnya terdapat Bidang Ekonomi Kreatif sebagai bagian dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 

Memang, kegiatan ekonomi kreatif akan selalu berjalan, dengan atau tanpa campur tangan pemerintah. Semangat dan upaya mencapai “kota kreatif” pun masih akan terus diperjuangkan oleh para pelakunya, dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Tapi kita juga sudah melihat bukti, bahwa justru dengan keterlibatan aktif pemerintah dan perangkatnya, perkembangan potensi ekraf dan dampaknya sebagai peningkat kesejahteraan dapat terakselerasi dengan lebih stabil dan terukur. Justru dengan merujuk pada kemajuan sektor ekraf di kota/negara lain, makin terbukti bahwa intervensi top-down berupa kebijakan jelas diperlukan. 

Hal ini menjadi salah satu alasan utama diperlukannya Peraturan Daerah terkait Ekonomi Kreatif (Perda Ekraf), sehingga siapa pun yang menjabat sebagai Wali Kota Bandung, akan berkewajiban menyelenggarakan dan mendukung sektor ekonomi kreatif. Agar yang sudah terkomunikasikan dan terbangun selama ini, terutama antara pemerintah dan stakeholders lain, dapat dilanjutkkan dan dikembangkan dengan konsisten.

Pembahasan di Bagian Hukum Pemkot Bandung

Dengan alasan inilah, terbentuk tim penyusun Naskah Akademik (NA) untuk Rancangan Perda (Ranperda) Ekraf tahun 2018 lalu, yang terdiri dari ahli dan pelaku ekraf, ahli bidang hukum, dan ahli bidang administrasi pemerintahan. Seluruh referensi dan bukti potensi ekraf Bandung dikumpulkan dan disusun sebagai argumentasi diperlukannya perda ekraf. Bekerja sama dengan Bappeda (kini Bappelitbang), juga dengan dukungan Bidang Ekraf Disbudpar, Ranperda Ekraf melalui proses sesuai prosedur yang berlaku dalam perjalanannya menuju pengesahan. FGD dengan seluruh stakeholders termasuk lintas PD, perombakan, penajaman, asistensi, lalu pending selama sekian waktu, sebelum berlanjut lagi di awal 2020. Masuk ke pembahasan di DPRD, yang mencermati per pasal: sinkronisasinya terhadap (ran)perda lain dan peraturan dengan hirarki yang lebih tinggi, implikasinya terhadap obyek/sasaran perda, konsekuensinya terhadap seluruh pelaku dan stakeholders, dan seterusnya.

Proses ini juga menguji kekhasan Perda Ekraf Bandung ini, yang hendaknya memiliki karakteristik tersendiri (sehingga dapat menjawab pertanyaan, “Kenapa Bandung harus punya perda sendiri, sementara sudah ada Perda Ekraf Jabar dan UU Ekraf?”), sekaligus juga menyesuaikan dengan nomenklatur ekonomi kreatif yang sangat dinamis, baik dari segi struktur pemerintahan hingga implementasinya di lapangan.  

Setelah perjalanan panjangnya, akhirnya Ranperda Ekraf Kota Bandung masuk dalam agenda Sidang Paripurna DPRD Kota Bandung untuk disahkan menjadi Perda Ekraf Kota Bandung pada tanggal 28 Desember 2020

Disahkannya Perda Ekraf ini menjadi salah satu milestone bagi ekraf Kota Bandung, sekaligus sebagai penanda tahun ke-5 keanggotaan Bandung sebagai Kota Kreatif UNESCO. Sebuah pencapaian yang diinisiasi dari komunitas secara bottom-up, melalui komunikasi intensif dengan pemangku kebijakan, hingga dapat diajukan menjadi peraturan daerah, demi menjaga sinergi untuk perkembangan ekonomi kreatif dan para pelakunya. Terima kasih atas semua pihak yang terlibat, bekerja keras dalam menyumbangkan keahlian, pengetahuan dan pemikirannya. Semoga dampak dari Perda Ekraf ini dapat segera dirasakan nyata manfaatnya bagi seluruh warga masyarakat.      

*Perda Ekraf ini masih akan diturunkan menjadi beberapa perwal yang akan memuat hal-hal teknis sesuai pasal-pasal dalam perda, misalkan tentang Komite Ekraf, Simpul Kreasi, pendanaan, dll. Mohon dukungannya agar semua bisa lancar dan segera berfungsi.

NEXT: Bagaimana bila Perda Ekraf ini nanti diterapkan? Bagaimana implikasinya ke para pelaku ekraf di Kota Bandung? Bagaimana cara memanfaatkannya? Sebelum disahkannya perda ini, BCCF menyelenggarakan dua workshop dengan para pelaku ekraf untuk mensimulasikan implementasi perda tersebut. Hasilnya? Mari kita bahas di tulisan berikutnya. 

Peran ICCN dalam Ekraf Global

[Ini catatan yang unggahannya sedikit tertunda, dari Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) di Rumah Sanur, disarikan dari sesi tanggal 26 November 2020, pk.14.30-15.00 WITA]

Dari rangkaian acara Indonesia Creative Cities Festival (ICCF), terdapat satu sesi diskusi dengan narasumber internasional, untuk membahas isu seputar ekonomi kreatif dalam skala global, terutama dalam kaitannya dengan organisasi simpul komunitas seperti ICCN; dan juga membahas peran ICCN ke depannya, terutama dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Narasumber pertama adalah Nicolas Buchoud, yang juga hadir dan berbicara di ICCF 2019 di Ternate sebagai penasehat sekaligus anggota kehormatan ICCN. Nicolas sempat berkunjung ke Rumah Sanur dan berbincang dengan alm. Kang Ayip pada akhir 2018 lalu, seusai acara World Conference on Creative Economy (WCCE) yang pertama, bertempat di Nusa Dua. Kini Nicolas juga menjabat sebagai co-chair dari Gugus Tugas Infrastruktur dari T20 (Think Tank 20/ kelompok think tank bagi G20), penasehat U20 (Urban 20/ kelompok wali kota dari negara-negara G20), dan fellow dari Global Solutions Network. Narasumber kedua, John Newbigin, adalah pendiri dan ketua Creative England (2011-2018), penasehat khusus bagi Menteri Budaya Inggris, duta industri kreatif bagi Wali Kota London, dan juga ketua Dewan Penasehat Internasional untuk Creative Industries Policy & Evidence Centre (PEC).

Berikut ini rangkuman dari sesi diskusi tersebut.

  1. Saat ICCF 2019 di Ternate, Nicolas mengajukan 4 hal untuk meningkatkan kepemimpinan global ICCN melalui beberapa inisiatif. Sejauh ini, yang telah tercapai adalah: (1) Menjadi representatif Indonesia di World Urban Forum (WUF) 10 di Abu Dhabi, Februari 2020, dan (2) Berkontribusi pada U20 dalam menyusun rekomendasi kebijakan, bertajuk “Creative Economy and The Future of Work”. Yang tidak/belum terlaksana adalah (1) Partisipasi ICCN dalam Expo 2020, terutama untuk WCCE di Dubai, karena tertunda hingga Dessember 2021; dan (2) bergabung dengan inisatif think tank UNOSSC/ United Nations Office for South-South Cooperation.  
  2. Ketika pandemi, kondisi kesehatan dan ekonomi memburuk secara global. Dalam kondisi ini, bagaimana aktivitas Ekonomi Kreatif dapat terus didorong? Dalam kondisi ini pula terlihat bahwa modal Sumber Daya Manusia, yang juga menjadi modal utama sektor Ekonomi Kreatif, adalah sumber daya kunci, berbarengan dengan modal finansial.
  3. Kota adalah episentrum bagi segala bentuk krisis, sehingga peran kota menjadi sangat kuat. Baik kegagalan maupun kesuksesan sebuah kota dalam menghadapi krisis tercermin dalam ketangguhan atau resiliensi kota itu sendiri. Oleh karena itu, komunitas independen setingkat kota/kabupaten pun memegang peranan penting dalam menentukan arah serta capaian pembangunan. 
  4. 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN sangat berbeda dari “indikator kota kreatif” yang lain. Kalau indikator lain biasanya langsung mengangkat aspek dan dampak ekonomi, 10 Prinsip ICCN ini justru mendahulukan aspek-aspek welas asih, inklusivitas, solidaritas, dan hak asasi manusia. John telah mencoba menerapkan 10 Prinsip ICCN di berbagai komunitas di Amerika Latin, yang ternyata dapat dengan mudah menerima dan menerapkan prinsip-prinsip ini.   
  5. Pembahasan mengenai kehidupan pasca pandemi mengarah pada betapa modal sosial, seperti halnya berkomunitas, telah terbukti menjadi solusi untuk dapat bertahan, terutama pada skala lokal, di mana sektor budaya dan ekonomi kreatif memiliki irisan sangat besar dengan informal economy.
  6. Informal economy mendominasi unit usaha secara global; di India bahkan 80% unit usaha merupakan sektor informal. Sektor ini memiliki kelincahan dan ketangkasan dalam menyesuaikan bisnisnya, sehingga kerap menjadi penyelamat bagi aktivitas ekonomi lokal. 
  7. Berbagai sumber mata pencaharian yang masuk ke dalam kategori informal economy banyak beririsan dengan sektor creative economy, sehingga tantangannya pun serupa, yaitu perlu adanya alat ukur untuk dapat mengetahui perkembangannya secara konkrit. 
  8. Indonesia, tepatnya di Labuan Bajo, akan menjadi tuan rumah G20 Summit di tahun 2022, bukan 2023 seperti yang direncanakan sebelumnya. Ini akan menjadi the next historical responsibility bagi ICCN, yang harus mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan tersebut dalam 24 bulan. Tapi justru ini yang menjadi peluang pembuktian bahwa ekonomi kreatif merupakan pendekatan pembangunan berbasis manusia, dan tidak bergantung pada “kelas/kaum kreatif”. 
  9. Sustainable Development Goals (SDG) telah menjadi konsensus global, namun tidak ada satu pun dari 17 sasaran tersebut yang menyebutkan “budaya” (culture) secara eksplisit. Budaya, yang selalu bersifat partisipatif, seharusnya tertanam dalam seluruh sasaran SDG.
  10. Ekonomi kreatif umumnya dianggap sebagai sektor yang secara tipikal berada di wilayah perkotaan, melalui penambahan nilai pada suatu produk barang/jasa. Namun konektivitas desa-kota dan pengembangan ekonomi kreatif di pedesaan juga harus menjadi perhatian dan diangkat sebagai potensi yang menjadi kekuatan bangsa dengan sumber daya budaya yang tak terhingga. 
  11. Momentum International Year of Creative Economy (IYCE) for Sustainable Development 2021 dan G20 Summit 2022 di Indonesia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena tidak akan kembali lagi bahkan dalam satu abad mendatang; dalam momentum ini Indonesia berperan untuk menunjukkan bentuk pemulihan dengan fokus pada pengembangan kapasitas SDM.

Di akhir sesi, mereka diminta menyampaikan pertanyaan atau pesan bagi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif seputar hal-hal yang tengah dibahas, berikut ini: SDG kini bertitik berat pada pembentukan pemulihan yang terfokus pada kapasitas dan sumber daya manusia, sehingga pemerintah harus berinvestasi pada kebijakan yang mendorong keterlibatan komunitas, serta menghasilkan dampak yang seusai dengan konteks di mana kebijakan tersebut diterapkan.