Monthly Archives: January 2024

Menuju Kota Kreatif versi 2.0

Pertengahan Januari 2024 lalu, National Art Council (NAC) Singapura kembali menyelenggarakan Art Thought Leadership Forum, berbarengan dengan berlangsungnya Singapore Art Week (SAW). Forum dengan tema “Creative Regions, Creative Economies” ini mengundang Prof. Andy Pratt [UNESCO Chair of Global Creative Economy, Director of the Centre of Culture and the Creative Industries, and Professor of Cultural Economy, City, University of London] sebagai pembicara kunci. Berikut ini ringkasan dari paparan Prof. Pratt.

=====

Prof. Pratt membahas mengenai Kota Kreatif versi 1.0 yang sedang bergeser menuju versi 2.0. Penjelasannya dimulai dengan membahas Kota Kreatif versi 1.0 di mana kota-kota menjenamakan diri untuk keperluan promosi (place marketing/branding), dalam konteks globalisasi, serta mengaktivasinya dengan beragam kegiatan budaya. Sementara, Kota Kreatif versi 2.0 adalah di mana kota-kota ini mulai menjembatani perbedaan-perbedaan, melalui sistem yang saling terhubung (misalkan, identifikasi sub-sektor unggul di tiap kota), serta berkolaborasi antar “kota-kota kreatif dunia”.

Beliau melanjutkan dengan paparan mengenai pergeseran konsep Ekonomi Kreatif 1.0, yang mempengaruhi perkembangan kota-kota kreatif. Ketimpangan menjadi salah satu penyebab pergeseran tersebut, antara lain dalam hal terpisahnya pelaku seni/kreator dari produksi dan masyarakat; terlalu terfokusnya konsep romantika (barat) terhadap pelaku seni/kreator; dan pembagian secara hirarkis terhadap nilai budaya (barat). Sementara, terjadi pula konsep-konsep keterhubungan pada proses budaya/kreatif, aliran-aliran lintas-lokalitas sebagai komponen utama ruang dan budaya, serta ekosistem budaya yang  bersiklus, heuristis, dan rekursif.

Dalam sebuah bagan “Lingkaran Konsentris” sebagai permodelan Industri Budaya dan Kreatif, beliau menunjukkan lingkaran terdalam sebagai Inti Ekspresi Budaya (literatur, musik, seni pertunjukan, seni rupa), yang dilapisi oleh Inti Industri Kreatif Lainnya (film, fotografi, museum, galeri, perpustakaan), kemudian terdapat lapisan Industri Budaya yang Lebih Luas (jasa heritage, penerbitan dan media cetak, televisi dan radio, reman suara, video dan game komputer), dan lapisan terakhir Industri Terkait (periklanan, arsitektur, desain).

Dalam perkembangannya, perluasan bidang-bidang Industri Budaya dan Kreatif tersebut membentuk Ekonomi Kreatif 2.0, yang meliputi hal-hal berikut: obyek dan jasa budaya; jejaring yang terjalin antara penciptaan makna dan nilai; justifikasi, terhubung dan tersematnya nilai-nilai; serta ekonomi sirkular. Di bagian ini beliau menyebutkan rantai nilai ekonomi kreatif [Ide/gagasan -> produksi -> distribusi -> pertukaran -> pengarsipan -> (kembali ke ide/gagasan)], serta bagaimana kota-kota kreatif memiliki kapasitas yang berbeda dalam menangani elemen-elemen tersebut. Prof. Pratt melanjutkan, Ekonomi Kreatif berjalan secara bauran (hybrid), bukan secara rangkap (dualism). Hal ini dapat dilihat dari kecepatan pergantian ide/ produk/ fashion; beberapa platform/ perusahaan besar; pentingnya reputasi (integrasi horisontal); perbedaan antar industri (kreatif); serta perlintasan (antar pelaku, subsektor, dsb.).

Dinamika Ekonomi Kreatif ini berujung pada konsekuensi di mana solusinya bukanlah sekedar berupa perusahaan skala menengah, namun lebih kepada keberadaan “perantara” (intermediation). Perantara ini berperan mengkoordinasi hal-hal berikut: desain, ide pasar, atau proses produksi, teknologi, kecakapan teknis; dan komunitas pelaku. Ia juga berperan mengkoordinasi pengetahuan dan gagasan, mencakup ‘kaum berpengetahuan’ ‘dalam lingkaran’; kritik dan diferensiasi perbedaan mikro; memutuskan pengetahuan mana yang ‘baik’; serta menandai pengetahuan dengan berkolaborasi atau bekerja secara paralel.

Ning (FOFA), Prof. Andy Pratt, me, Edwin Tong (Singapore Minister of Community, Culture and Youth), Reem Fadda, Daehyung Lee

Sehingga, dalam pra-penjelasan tentang Ekonomi Kreatif, yang terlihat adalah pertumbuhan perdagangan dari jaringan produksi budaya yang bersifat lintas-lokalitas. Hal ini tertanam dalam reproduksi ‘keterampilan’ dan ‘nilai’ secara sosial dan ekonomi; dimensi dari fasilitasi lingkungan yang unik; (batas) ‘distribusibudaya bersama (cultural commons); serta pembelajaran/ pemahaman non-verbal (tacit) dan nilai-nilai yang kompleks.

Untuk menanggapi tantangan terhadap ‘kenyataan baru’ dengan pendekatan-pendekatan baru terhadap tata kelola Ekonomi Kreatif, Prof. Pratt menawarkan hal-hal berikut: memperhatikan bentuk organisasi, penyematan dan artikulasi lintas-lokalitas; melihat harga dan nilai kesatuan (pasar atau sosial) sebagai hasil, bukan penyebab; mempertahankan dan memelihara lembaga dan jejaring.

Paparan ini ditutup dengan tema menuju kelembagaan baru untuk tata kelola Ekonomi Kreatif; yang meliputi pasar (baik yang bercabang maupun monopolistik) dan struktur organisasi, seperti halnya sistem berbasis proyek.

  • Membutuhkan respons organisasi dan tata kelola alternatif yang cerdas
  • Memerlukan peran perantara dan dukungan bagi produsen budaya
  • Memerlukan dukungan arahan strategis, dan analisis data
  • Meningkatkan kapasitas dalam keterampilan dan pelatihan untuk menawarkan dukungan strategis
  • Membangun praktik-praktik kerja lintas (bidang, pihak, dsb.)
  • Mempertimbangkan juga hal-hal selain pelaku seni/ kreator
  • Mempertimbangkan bentuk-bentuk kelembagaan bagi pertukaran pengetahuan (lintas-lokalitas)

Dari atas panggung, dalam sesi panel bersama Reem Fadda dan Daehyung Lee, dimoderatori oleh Ning Chong

=====

Refleksi singkat terhadap materi ini: pergeseran Kota Kreatif versi 1.0 ke versi 2.0 sangat relevan dengan kegiatan Indonesia Creative Cities Network (ICCN) di periode ini. Versi 1.0 yang mencakup penjenamaan kota, atau city branding, sebagai upaya mempromosikan tempat/destinasi melalui narasi, slogan, logo dan berbagai strategi pengelolaannya, memang telah dan akan selalu dilakukan. Versi 1.0 mencakup juga identifikasi potensi unggul/ dominan di tiap kota dalam kategori sub-sektor industri kreatif, dengan hasil predikat yang melekat pada kota tersebut. “Pengelolaan penjenamaan kota” ini telah menjadi bagian dari Catha Ekadasa, sebagai jurus ke-9.

Bersama Prof. Andy Pratt dan dua narsum lainnya, Reem Fadda dan Daehyung Lee, dan host kita dari FOFA (Family Office For Art)

Versi 2.0 ternyatakan dalam peta jalan ICCN 2022-2025, di tahun pertama, “KOTABORASI/ UNICITIES”, di mana kota-kota anggota/ jejaring didorong untuk melakukan kolaborasi, dan untuk mengidentifikasi di mana mereka dapat saling melengkapi dalam konteks ekonomi kreatif.

Selebihnya, pesan pembicara kunci tersebut berhubungan erat dengan tata kelola sektor ekonomi kreatif dalam skala lokal (kabupaten/kota), yang mendorong kerja sama “lintas-lokalitas” (“gerakan kalcer”!), yang juga diekspresikan di ruang-ruang kota (“cipta ruang”!), di mana perhatian tidak hanya dipusatkan pada pelaku seni/kreator, namun juga pada pihak-pihak lain (“hexa helix”!) dalam ekosistem ekonomi kreatif. Termasuk juga kegiatan pendataan dan peningkatan kapasitas, yang juga secara umum telah tercantum dalam haluan Catha Ekadasa dan peta jalan ICCN di tahun kedua, “KOMUNITANGGUH/ COMMUNITYPOWER“.

Memperhatikan keselarasan konten ini, teman-teman, rasanya makin yakin bahwa kita sedang berada di jalur yang tepat. Mari lanjutkan dengan tetap bersemangat dan bergembira! Padamu negeri, kami berkolaborasi; bagimu negeri, kreativitas kami!

BEYOND Conference 2023 London

BEYOND adalah sebuah konferensi terkemuka mengenai penelitian dan pengembangan untuk industri kreatif, dan telah tiba pada tahun ke-6 penyelenggaraannya. Kali ini, BEYOND yang berlangsung pada 21-22 November di The Royal Institution, London, bermitra strategis dengan British Council, berkolaborasi dalam menentukan tema Global Creative Economies. Konferensi ini mempertemukan audience dari beragam latar belakang (pimpinan bisnis, kreatif, peneliti, pembuat kebijakan, jurnalis dan penyandang dana), dan juga sekitar 30 delegasi internasional (Turki, Ukraina, Uzbekistan, Filipina, Mesir, Maroko dan Jepang). Informasi lebih lengkap mengenai BEYOND dapat diakses di sini: https://beyondconference.org/

Pada BEYOND, terdapat sesi dengan format TEDTalk, dan sesi panel. Saya ditempatkan dalam sesi panel dengan tema “Emerging Trends in The Creative Economy: Perspectives from The Global South”, bersama Daniar Amanaliev (Co-founder and Band Master, ololo Group) dan John Newbigin (Chair, PEC International Council), dan Samira Ahmed (Broadcaster and Journalist, BBC) sebagai pemandu diskusi. Dalam durasi yang terbatas, tidak disarankan menggunakan materi tayangan, tapi Daniar dan saya punya beberapa slide untuk memberi gambaran konteks “The Global South” dengan lebih jelas bagi audience yang mayoritas berasal dari belahan bumi utara. Dan tampaknya memang perlu, melihat dari tanggapan positif terhadap berjalannya sesi tersebut dan konten-konten yang disampaikan.

Inti dari paparan saya adalah tren ekonomi kreatif di pasca pandemi, ketika orang telah menentukan prioritas baru. Di Indonesia, dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya, terdapat hal-hal yang menjadi karakteristik dan potensi umum, sehingga Ekonomi Kreatif pun mengarah ke sana, untuk memenuhi kebutuhan dengan lebih relevan, dengan sensitivitas terhadap isu-isu global. Hal-hal tersebut meliputi: keberagaman sumber daya alam dan budaya, dominasi usia muda/produktif, teknologi tepat guna, padat karya, usaha mikro & kecil, dan scale & balance (dalam konteks lingkup usaha, proporsi konsumsi sumber daya, dsb.). Diikuti dengan contoh-contoh kecenderungan karya produk kreatif (yang membawa kata-kata kunci upcycling, food security, responsible fashion, digital for equality, dan material culture technology), Laboratorium UKM Masa Depan, indeks kota kreatif, serta tema-tema utama dari rekomendasi kebijakan yang selama ini diajukan oleh Indonesia di forum-forum global (SDG, informal workers, intermediary, inclusivity, digital transformation, measurement/index, culture-based innovative experiments & future discoveries).

Video dari sesi tersebut dapat diakses di sini:

Video dari sesi-sesi lain dari BEYOND 2023 dapat diakses di sini: https://beyondconference.org/b23/ondemand/

Dari acara itu, yang membuat agak deg-degan bukan berbicara di dalam ruangan yang dipadati audience dari kalangan terpilih, tapi karena ruang auditorium/teater The Royal Institution (Ri) yang didirikan tahun 1799 itu adalah di mana para ilmuwan terkemuka menyampaikan gagasan-gagasannya dan mendemonstrasikan temuan-temuannya, seperti Jane Goodall dan David Attenborough (yang kabarnya juga berkantor di situ). Di ruang masuk utama, terdapat patung Michael Faraday, yang pernah menjadi Direktur Laboratorium Ri pada tahun 1852. Gedung ini dipenuhi koleksi buku, berbagai sampel dan alat peraga, dan foto-foto para tokoh ilmuwan pendahulunya; ruangan-ruangannya ditata dengan setting seminar atau diskusi, langsung mengundang rasa hormat, curious dan eksploratif terhadap siapa pun yang masuk. Rasa keingintahuan yang tinggi, namun dengan kerendahan hati; a humbling scientific attitude. Sangat sesuai dengan tagline The Royal Institution: Science Lives Here. Respect.

World Design Cities Conference Shanghai

Shanghai, Kota Desain UNESCO sejak 2010, melalui Shanghai UNESCO Creative City Promotion Office, kembali menggelar World Design Cities Conference (WDCC) secara luring, setelah sebelumnya dilaksanakan secara bauran di 2022. Dalam rangkaian acara WDCC ini terdapat UNESCO Creative Cities Summit, kali ini dengan tema Design Our Future Cities, yang diadakan pada tanggal 26 September 2023.

Pembicara kunci dalam summit tersebut adalah Denise Bax, Chief of Communication, Cities and Events Unit; UNESCO, Secretary of the UNESCO Creative Cities Network; dilanjutkan dengan tayangan video sambutan dari beberapa wakil/wali Kota Kreatif UCCN: Bilbao, Bangkok, Asahikawa, Braga, Graz, Turin. Setelah itu, masuk ke sesi Expertise Sharing, di mana saya membawa topik “Connectivity Matters: scenarios for future creative cities”. Inti dari paparan ini, kurang lebih adalah, kalau sudah jadi “kota kreatif”, lalu selanjutnya bagaimana? Didahului dengan argumen berupa frameworks “kota kreatif” dan “indeks kota kreatif” versi ICCN, serta implementasi indeks pada 27 kabupaten/kota di Jawa Barat oleh KREASI Jabar sejak 2020, sebagai penutup paparan ini mengajukan tiga preposition terkait skenario kota kreatif di masa mendatang.

Creative City is about connectivity of all relevant resources and stakeholders; an implementation of Creative Economy at the city level. // Kota Kreatif adalah tentang konektivitas dari seluruh sumber daya dan pemangku kepentingan terkait; merupakan implementasi dari Ekonomi Kreatif pada tingkat kota.

Measurable variables are designated to constitute a “creative city”; their values determine the position and roles of the city within the Creative Economy Ecosystem. // Variabel-variabel yang dapat diukur ditujukan untuk mendefinisikan “kota kreatif”; nilai-nilainya menentukan posisi dan peran sebuah kota dalam Ekosistem Ekonomi Kreatif.

Formulating scenarios for Future Creative Cities requires visions of human-centered cities and a comprehension of the Creative City Index. // Merumuskan skenario untuk Kota Kreatif Masa Depan memerlukan visi dari kota yang berpihak pada manusia dan pemahaman terhadap Indeks Kota Kreatif.

Di luar acara summit, kami, delegasi anggota UCCN, berkesempatan untuk mengunjungi venue pameran, yang hampir seluruhnya menampilkan desain produk bermuatan teknologi (digital dan kecerdasan buatan) termutakhir, namun dengan fungsi yang dekat dengan keseharian manusia, sambil masih mengangkat SDA lokal dan budaya. Peserta pameran terdiri dari perusahaan besar maupun kecil, hingga perguruan tinggi dengan karya-karya mahasiswanya.

Dari kunjungan singkat ini, terlihat bahwa sepertinya sekarang Cina bisa berjalan dan berkembang sukses, tanpa tergantung pada negara lain. Seluruh lini kebutuhan hidup tersedia dengan layak. Selama di sana, WhatsApp, GoogleMap, dan apa pun produk piranti lunak yang biasanya kita pakai di sini, tidak bisa berfungsi lancar. Mereka tidak perlu impor teknologi, karena tercukupkan dengan karya bangsanya sendiri. Ini salah satu bukti terbaik tentang kedaulatan negara.

Sejak acara pembukaan resmi, summit, pameran, hingga kunjungan ke simpul-simpul kreatif & revitalized heritage spaces, Shanghai menunjukkan kesadaran dan keseriusan pemerintah, lembaga pendidikan dan industri/swasta dalam mendukung proses litbang demi tercapainya inovasi, industrialisasi untuk bersaing, dan apresiasi terhadap “desain” dalam arti solusi, penambahan nilai melalui teknologi dan Kekayaan Intelektual, dan kebanggaan sebagai bangsa pencipta/produsen yang mengejar kemandirian. Kepingin desain Indonesia maju seperti ini? Banget! Syaratnya? Sinergi antar pihak yang diperkuat regulasi, dan benar-benar harus dijalankan dengan komitmen tinggi, tanpa korupsi.

=====

UNITAR CIFAL Jeju Workshop

Juli 2023 lalu, saya kembali menginjakkan kaki di Jeju, sejak pertama kalinya mengunjungi pulau itu di tahun 2014 sebagai salah satu pembicara di pertemuan PAN Asia Network. Selang sekian tahun, terlihat banyak perubahan di Jeju; dulu sepertinya fasilitas akomodasi dan transportasi terbatas, tidak seperti sekarang, banyak pilihan hotel dan tempat-tempat makan, museum, dan destinasi lainnya. Meskipun merupakan bagian dari negara Korea Selatan, Jeju tidak mensyaratkan visa bagi WNI. Proses persiapan perjalanan pun menjadi jauh lebih mudah.

Tujuan ke Jeju kali ini adalah untuk memenuhi undangan sebagai dosen tamu di rangkaian workshop dengan tema “Culture as Powerful Fuel for Building a Sustainable City”, terjadwal pada tanggal 1 Agustus 2023. Workshop ini diselenggarakan oleh the United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) CIFAL Jeju/Jeju International Training Center (JITC), disponsori oleh Jeju Special Self-Governing Province, berkolaborasi dengan the United Cities and Local Governments (UCLG) Asia Pacific. Berikut kutipan dari undangan mengenai UNITAR CIFAL Jeju:

UNITAR CIFAL Jeju is a part of CIFAL Global Network (International Training Center for Local Authorities/Actors) of UNITAR, a training arm of the UN system. The Center was established in 2010 under the agreement of UNITAR, Jeju Special Self-Governing Province and the International Peace Foundation based in Korea. The center provides local actors including government officials and civil society leaders in the Asia-Pacific region with various capacity-building training programs to exchange strategies, best practices and lessons learned in support of the UN Sustainable Development Goals.

Topik materi yang disampaikan adalah: Power of culture in urban settings: place, identity, and a sense of belonging. Pesertanya, sekitar 30 orang, berasal dari bidang budaya dan pembangunan perkotaan di wilayah Asia Pasifik. Tujuan workshop ini adalah untuk mengeksplorasi sinergi yang mempertemukan kedua bidang tersebut, sambil mengumpulkan peran budaya dalam membangun kota yang inklusif dan berpusat pada manusia, dalam memperkuat kualitas lingkungan binaan dan alami dalam perkotaan. Yang pada akhirnya mengintegrasikan budaya dalam pembuatan kebijakan perkotaan, untuk mempromosikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.   

Dengan topik ini, paparan saya memuat sekilas tentang konsep Bandung sebagai Kota Kreatif UNESCO, bahwa semuanya berlangsung karena inisiatif komunitas dan warga secara bottom-up, dengan frameworks Design Thinking, Urban Acupuncture dan People-Place-Ideas, merujuk pada SDG dan New Urban Agenda, serta referensi Culture Urban Future dari UNESCO. Fashion Village Lab, Airborne.bdg dan Urban Games ditampilkan sebagai control konkrit untuk memudahkan penyampaian pesan, juga dalam konteks Cipta Ruang/Placemaking sebagai konsekuensi dari berbagai program tersebut. Kasus-kasus empirik dari kekuatan budaya dalam ranah perkotaan ini dirangkum dan dirumuskan menjadi berbagai rekomendasi kebijakan yang telah disampaikan di beberapa forum dunia terkait ekonomi kreatif.     

 Dalam workshop ini, ada 5 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tersebar berbaur dalam kelompok-kelompok yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Di sesi terakhir hari itu, tiap kelompok mempresentasikan kasus/pilot dari tempat asal masing-masing sesuai tema workshop, yang kemudian berkembang menjadi diskusi yang menarik, terutama karena bisa saling berefleksi, belajar dan bertukar pikiran. Senang mendapat peluang ini. Terima kasih untuk UCLG yang telah merekomendasikan, dan tim UNITAR CIFAL yang sangat resourceful!

Menitipkan Ekonomi Kreatif

Ekonomi Kreatif ini makhluk yang gampang-gampang susah, apalagi karena statusnya yang masih termasuk bungsu di antara sektor-sektor lain yang sudah lebih mapan. Meskipun sebenarnya kegiatan “ekonomi kreatif”, atau monetisasi daya cipta & daya pikir manusia ini sudah berlangsung sejak berabad lalu, namun begitu ditetapkan dalam struktur resmi pemerintahan, tentu saja diperlukan definisi, parameter dan standar-standar yang harus disepakati bersama. Dan, yang tidak kalah penting, bagaimana menjalankan sektor ini sehingga berdampak dalam konteks kepentingan Indonesia.

Nomenklatur Ekonomi Kreatif di Indonesia

Dalam perjalanannya sebagai sebuah urusan di level kementerian, ekonomi kreatif di Indonesia mengalami dinamika yang cukup seru. Lumayan, sejak memiliki nomenklatur pertama “Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif” di 2011, Indonesia telah berhasil membawa ekonomi kreatif ke skala global; mulai dari perannya sebagai pencetus World Conference on Creative Economy (WCCE) di 2018, hingga sebagai pemrakarsa Resolusi PBB tentang Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan di 2023.

Dengan rekam jejak tersebut, juga dengan makin bergairahnya pergerakan ekraf di tingkat kabupaten/kota dan desa/kampung, sebenarnya perlu dicermati tantangan dalam pelaksanaan sektor ini. Karena, sedahsyat apa pun pamornya, nyatanya dampak ekonomi kreatif kita masih belum sehebat Korea Selatan, Inggris, Singapura, Thailand, dan negara-negara lain yang mengandalkan ekonomi kreatif dalam strategi pembangunan, meskipun sektor ekraf mereka bukan pada level kementerian. Lalu, gimana caranya mengejar proporsi dampak ekraf secara signifikan, seperti di negara-negara itu?

Nah, kini kita sedang berada di persimpangan jalan menuju periode pemerintahan berikutnya. Posisi ekonomi kreatif masih akan ditentukan, dan sifatnya masih sangat dinamis, mengingat besarnya irisan ekraf dengan beberapa sektor lain. Perlu rasanya menitipkan ekonomi kreatif pada para pemimpin negri ini di masa mendatang, agar rekam jejak ekraf kita tetap progresif, relevan dengan kebutuhan dan tantangan masa depan, serta konsisten dalam merespons peta jalan dan berbagai strategi/rekomendasi kebijakan yang pernah kita ajukan di berbagai forum global. Berkut ini beberapa butir titipan ekraf, from my own perspectives.    

=====

KELEMBAGAAN | Perlu ditinjau lagi penggabungan antara ekraf dengan pariwisata, karena hasil dari ekraf tidak selalu untuk kepentingan sektor pariwisata. Bisa nggak ya, misalkan, ada badan ekraf tersendiri di bawah koordinasi kemenko, yang personelnya berasal dari K/L yang berurusan langsung dengan ekraf? Lalu, ada sinkronisasi garis koordinasi dari pusat ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga dalam struktur pemda menjadi semacam Bidang Ekraf dalam Bagian Perekonomian, misalkan, atau Bappelitbang, yang berwenang untuk melakukan koordinasi lintas dinas.

KEBIJAKAN | Di tingkat nasional, kita sudah punya UU Ekraf; beberaoa provinsi dan kabupaten/kota juga sudah punya Perda Ekraf, yang kemudian diturunkan menjadi Pergub atau Perbup/Perwal, meskipun belum semua, atau banyak yang masih berproses. Setidaknya, jelas bahwa ada landasan legal yang mendukung berjalannya sektor ekraf. Yang sering menjadi masalah adalah penerapannya di lapangan, di mana adanya segala kebijakan, peraturan, dan fasilitasi ini menjadi percuma. Misalkan, produsen film sudah melengkapi seluruh perizinan resmi untuk syuting di lokasi ruang publik, tapi masih kena pungli dari oknum lokal. Bandingkan dengan negara-negara yang bahkan sudah menawarkan paket syuting di lokasi mereka, yang sangat memudahkan proses produksi dan segala logistiknya.

Beberapa rekomendasi kebijakan yang diajukan Indonesia (antara lain melalui ICCN) di berbagai forum dunia

KOMITE | Sejauh ini peran Komite Ekraf skala provinsi dan kabupaten/kota, dalam beberapa kasus terbukti berhasil sebagai pendamping pemerintah dalam menyelenggarakan sektor ekraf. Kuncinya adalah pada kejelasan kewenangan, kapasitas personel, dan transparansi komunikasi, baik antara komite dengan pemerintah/dinas pengampu ekraf, maupun antara komite dengan tim internalnya & komunitas/pelaku yang menitipkan aspirasinya. Tentang kapasitas personel, tentu harus dipilih yang tepat, karena tanpa pemahaman tentang ekraf, dan tanpa leadership yang baik, “komite” hanya jadi sekedar SK di atas kertas. Komite Ekraf.bdg ini tulisan lawas yang memuat usulan struktur komite berdasarkan Perda Ekraf Kota Bandung No.01 Tahun 2021, tapi tidak terwujud (dan komite yang baru dibentuk, sorry to say, belum terlihat manfaatnya).

Kerangka Kerja Indonesia Creative Cities Network (ICCN); Catha Ekadasa memuat Komite Ekraf sebagai jurus kedua untuk mewujudkan “kota kreatif”

(sumber: KREASI Jabar, PROSPEK 2020)

KABUPATEN/KOTA KREATIF | Penting, memang, untuk dapat mengidentifikasi keunggulan suatu wilayah dalam ekosistem ekonomi kreatif — untuk dapat memetakan peran utamanya dalam rantai nilai aktivitas ekonomi kreatif, dan sub-sub sektor industri kreatif yang menjadi kekuatannya. Identifikasi dan pemetaan ini sebaiknya bukan sekedar memberi label pada kota, tapi juga menindak-lanjutinya dengan program-program sinergis dengan kota-kota lain dalam rantai nilai sub-sektor unggulannya, untuk meningkatkan produktivitas dan dampak berkelanjutan. ICCN telah berupaya merumuskan hal ini dalam bentuk Indeks Kota Kreatif (IKK) sejak 2017; Komite Ekonomi Kreatif & Inovasi (KREASI) Jawa Barat melakukan indexing pada 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat secara berkala sejak 2020, sambil terus mengembangkan/mempertajam variabel pengukurannya setiap tahun. IKK Jawa Barat dimuat dalam PROSPEK 2020 s.d. 2023, dapat diunduh gratis dari website KREASI Jabar. Pola demikian seharusnya dapat diliat sebagai pilot cara mengukur kemajuan sektor ekraf skala kabupaten/kota, sehingga para pemimpin daerahnya dapat menentukan strategi pembangunan berdasarkan data potensi ekraf yang selalu terbarukan. Tulisan Kota Kreatif, untuk Apa? ini mengkritisi predikat “Kota Kreatif” versi Kemenparekraf 2018.

Bali Creative Economy Roadmap, hasil dari WCCE 2022

PETA JALAN | Diperlukan adanya peta jalan ekraf nasional, agar program-program ekraf dapat terencana dan teranggarkan dengan baik, dengan capaian-capaian yang terukur — termasuk rencana strategi, rencana aksi, dan seluruh dokumen pelengkapnya. Dan dikomunikasikan secara meluas, dengan akses informasi yang terbuka, agar seluruh stakeholders, terutama para pelaku ekraf dan masyarakat umum, dapat turut berperan serta dalam mengisi target-target dalam peta jalan tersebut. Hal ini sekaligus membuka peluang untuk mengkaji ulang berbagai rekomendasi kebijakan ekraf yang pernah diajukan Indonesia di forum-forum dunia.

Future SME Lab di SMESCO

LITBANG & INOVASI | Inovasi mutlak diperlukan dalam pengembangan ekraf, tapi diperlukan komitmen serius dari para pihak kunci. Karena, sebenarnya tidak terhitung munculnya solusi berbasis ekraf untuk berbagai jenis perikehidupan di Indonesia yang dihasilkan di kampus-kampus atau pusat-pusat penelitian, namun umumnya hanya dalam skala purwarupa/prototype, atau pilot project dalam lingkup kecil. Diperlukan dukungan dan sumber daya yang signifikan agar berbagai solusi tersebut dapat membawa dampak nyata yang lebih luas, atau dapat direplikasi sesuai konteks wilayah. Diharapkan pula keberpihakan dukungan pada karya inovatif yang didominasi sumber daya lokal, terbarukan, dan sedapat mungkin mengatasi kesenjangan. Panduan tema riset yang “Indonesia banget” salah satunya disusun oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Sains45, yang mendorong eksplorasi kekayaan Indonesia sebagai negara maritim. KemenkopUKM dengan Future SME Lab-nya di SMESCO juga memberikan dukungan nyata terhadap proses litbang, yang umumnya tidak terjangkau oleh UMKM di Indonesia.           

Konteks utama Indonesia yang dapat menjadi pertimbangan arah pengembangan sektor ekonomi kreatif

=====

Sebenarnya masih banyak hal lain, tapi mungkin dicukupkan sekian dulu, di hari pertama tahun 2024 ini. Semoga berkenan. Mari, sangat terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut, terutama bila ada yang perlu dikoreksi atau dilengkapi. Selamat memulai 2024!