Author Archives: admin

Aturan Main UCCN

UNESCO Creative Cities Network (UCCN), yang dibentuk pada tahun 2004, kini telah menghubungkan hingga sekitar 300 kota di 90 negara di dunia yang terkategori dalam 7 klaster: Desain, Film, Gastronomi, Kriya & Seni Rakyat, Literatur, Media Art, Musik. Selama 19 tahun perjalanannya, UCCN telah mengalami beberapa kali evaluasi, termasuk upaya perbaikan terhadap operasional dan pengukuran dampaknya, baik bagi kota anggota jejaring maupun bagi organisasi UCCN itu sendiri. Salah satunya adalah yang diselenggarakan pada November 2022 lalu, berupa pertemuan antara para koordinator klaster kota-kota anggota UCCN dengan Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO.

Ernesto Ottone R., Assistant Director-General for Culture, ketika menyampaikan pesan penutup pada event BEYOND URBAN, Road to G20 Indonesia 2022, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network

Pesan-pesan dari Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO

MONDIACULT 2022

  • Pengantar topik diskusi, mengenai beragam proses terkait Jejaring Kota Kreatif, terutama tentang pelaksanaan Pemantauan & Pelaporan Keanggotaan, juga proses evaluasi bagi penentuan kota-kota baru dan kemungkinan terbentuknya sebuah mekanisme pemberhentian bagi kota-kota yang tidak aktif, atas permintaan kota-kota anggota.
  • Konteks untuk usulan revisi Pemantauan & Laporan Keanggotaan (Membership Monitoring & Reporting) sebagai tindak lanjut dari penerapan Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan – MONDIACULT 2022 oleh 150 menteri, yang mengakui kebudayaan sebagai barang publik global, dan penyusunan peta jalan yang berwawasan ke depan bagi sektor kebudayaan, termasuk elaborasi dari Global Report on Cultural Policies yang akan diluncurkan tahun 2025, yang akan mendukung advokasi global untuk kebudayaan sebagai tujuan yang berdiri sendiri pasca agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
  • UNESCO akan berusaha untuk melakukan tinjauan komprehensif tentang kondisi sektor budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal, dengan tujuan memperkuat kebijakan budaya di masa mendatang, serta membangun berbagai mekanisme pelaporan berkala UNESCO di seluruh konvensi, rekomendasi, dan program-program budayanya. Hasil dari analisa ini, termasuk berbagai kemajuan dari negara-negara dan kota-kota anggota dalam mengimplementasikan Deklarasi MONDIACULT 2022, akan dipresentasikan pada Forum Dunia tentang Kebijakan Kebudayaan MONDIACULT oleh UNESCO di tahun 2025, yang selanjutnya akan diselenggarakan setiap empat tahun.
  • Ditekankan bahwa menjelang konferensi internasional ini, akan sangat penting untuk mempertahankan dialog berkala dengan para pembuat keputusanmitra dan praktisi, termasuk melalui Jejaring Kota Kreatif, untuk memberi masukan refleksi dan untuk menguatkan sinergi lintas program, demi memastikan efektivitas dan dampak yang lebih besar.

Revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan UCCN

  • UNESCO mengusulkan untuk merevisi pelaksanaan Laporan Pemantauan Keanggotaan, dengan dukungan dari anggota jejaring, untuk memastikan meningkatnya kesesuaian antara siklus dan mekanisme pelaporan berkala, serta untuk mempertajam formulir pelaporan untuk memastikan peningkatan sinergi dengan program lain, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada prioritas sektor budaya, dan mengenali lebih jauh relevansi tindakan lokal terhadap pembangunan berkelanjutan global, serta menghubungkan dimensi lokal dan global.
  • Mekanisme Pemantauan Keanggotaan akan tetap menjadi kewajiban.

Kontribusi dari Kelompok Koordinator

Penyelenggaraan UCCN

  • Interkonektivitas perlu diperkuat dalam Jejaring, terutama melalui kegiatan dan inisiatif yang dipimpin oleh UNESCO dan kota-kota anggotanya.

MONDIACULT 2022: Laporan Global UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan

  • Perlunya memastikan partisipasi dari Kota-kota Kreatif dalam persiapan Laporan Global, termasuk melalui Laporan Pemantauan Keanggotaan, sejalan dengan pentingnya memasukkan jejaring kota-kota sebagai pelaku yang berperan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan kota di proses MONDIACULT.

Revisi Mekanisme Pemantauan Keanggotaan

  • Adalah penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan pelaporan tetap menjadi kewajiban, termasuk maksud untuk memfasilitasi pelaporan kota ke Komisi Nasional.
  • Usulan revisi disambut baik oleh kota-kota anggota, mengingat adanya kebutuhan untuk menyelaraskan kegiatan dan pelaporan dengan program-program UNESCO yang lain, dan mendukung siklus 4 tahun meskipun dibutuhkan periode transisi. Pendekatan ini dinilai bijak, karena akan memungkinkan jejaring untuk bergabung dalam dialog global dalam agenda pasca-2030.
  • Pelaporan harus bersifat kualitatif dan kuantitatif untuk memperhitungkan skala dan keragaman sumber daya tiap kota. Contoh metodologi yang memungkinkan analisis komparatif yang lebih besar adalah Monitor Kota Kreatif Uni Eropa.
  • Diperlukan struktur yang lebih efektif dari Mekanisme Pemantauan Keanggotaan, untuk meningkatkan jumlah sasaran informasi yang dapat diintegrasikan. Diperlukan juga proses ko-kreasi antar kota dalam merevisi mekanisme tersebut; juga dukungan dari otoritas tingkat pusat (nasional) untuk memfasilitasi persiapan laporan yang berkualitas.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk Mekanisme Pemantauan Keanggotaan.

Mekanisme bagi Kota-kota yang Tidak Aktif

  • UNESCO – berkolaborasi dengan kelompok klaster UCCN – diminta untuk meningkatkan tindakan dalam mendorong partisipasi dari kota-kota yang tidak aktif dan, bila perlu, memberlakukan konsekuensi dari ketidak-aktifan ini.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk mengatasi kota-kota yang tidak aktif.

Proses Evaluasi

  • Terkait proses evaluasi untuk Kota Anggota baru, diangkat pentingnya evaluasi mitra sejawat, juga perlunya menyelaraskan kriteria evaluasi melalui matriks yang disepakati oleh seluruh koordinator dan UNESCO.

Langkah Berikutnya

  • UNESCO akan meluncurkan revisi dari mekanisme evaluasi untuk aplikasi UCCN, bekerja sama dengan kota-kota anggota.
  • Usulan untuk membentuk kelompok-kelompok kerja untuk mengatasi isu kota-kota yang tidak aktif dan revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan akan ditindak-lanjuti oleh Sekretariat UCCN bersama dengan Kelompok Koordinasi.

=====

Jadi apa artinya untuk kita?

Bagi kota-kota di Indonesia yang sudah bergabung dalam UCCN, Pekalongan, Bandung, Ambon, Jakarta, antara lain: harus memperhatikan penyusunan Laporan Pemantauan Keanggotaannya. Kota-kota ini sudah ‘terkena peraturan’ penyampaian laporan setiap 4 tahun, jadi tidak akan terkena ‘resiko’ menyerahkan laporannya dua kali berturut-turut dalam jangka waktu di bawah 4 tahun. Selain itu, akan terdapat penajaman konten laporan, yang harus lebih diselaraskan dengan hasil dari MONDIACULT, menitik-beratkan pada hal kebudayaan. Juga, tentang fasilitasi dari otoritas pusat (kementerian) untuk penyusunan laporan, serta penilaian laporan oleh rekan sejawat (meskipun selama ini memang sudah terlaksana demikian, tapi akan ditetapkan matriks yang memuat butir-butir penilaian).

Bagi kota-kota yang hendak bergabung dalam UCCN, antara lain: memperhatikan formulir aplikasi berikutnya, yang saat ini sedang dievaluasi, agar lebih mengarah kepada sektor kebudayaan sebagai implementasi dari Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan.

Masa untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dirancang untuk berakhir pada 2030 – rentang 7 tahun dari sekarang – sementara tidak ada satu pun dari 17 targetnya yang berhasil tercapai dengan tuntas. Dari 17 target tersebut, tidak ada yang secara eksplisit menyebut “Kebudayaan”, sehingga terjadi diskusi tak terhitung terkait the missing goal tersebut. Meskipun terdapat argumen bahwa “Kebudayaan” dianggap telah menyatu (embedded) dalam seluruh target, tapi pada kenyataannya sering ‘dilupakan’ dalam perancangan strategi dan aksi untuk memenuhi SDGs. Oleh karena itu UNESCO, sebagai badan dunia yang terfokus pada kebudayaan dan edukasi, khususnya UCCN yang kota-kota anggotanya berkomitmen untuk memanfaatkan kreativitas dalam strategi pembangunan, berniat untuk menyertakan faktor Kebudayaan secara lebih sistematis dan terukur, melalui evaluasi mekanisme seleksi dan pelaporan kinerjanya.

Sebagai relevansi, cek juga ulasan dari paparan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, yang membawa hasil dari MONDIACULT 2022 di event WCCE 2022: Culture and Creative Economy

Pesan Ernesto Ottone R. pada BEYOND URBAN dapat disimak selengkapnya pada tautan Hari ke-2 Beyond Urban, mulai menit ke 2:02:49.

Seluruh konten event BEYOND URBAN – Road to G20, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network pada tanggal 28-29 Juli 2022, dapat diakses melalui tautan ini: https://beyondurban.iccn.or.id

Tiap kota/kabupaten harus berani munculkan potensi unggulnya!

Beberapa waktu lalu di media-media sosial tersebar viral cuplikan video pidato Presiden Jokowi yang membesarkan hati para pegiat kota & kabupaten kreatif yang selama ini berupaya mengangkat keunggulan khas daerahnya. Terutama bagi mereka yang bergabung di Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang seluruh anggotanya memiliki komitmen untuk menerapkan 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia, di mana di dalamnya terdapat kata-kata kunci kearifan lokal, inovasi, kreativitas, sains & teknologi, dan pusaka. Terlebih lagi, terdapat panduan untuk mewujudkan 10 Prinsip tersebut, yaitu Catha Ekadasa, yang memuat 11 jurus yang dapat disesuaikan dengan kota/kabupaten yang memerlukan, antara lain Navigasi PembangunanMusrenbang Interaktif (Design Action), Pengelolaan City Branding, dan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat penentu kebijakan bagi pemerintah daerah. 10 Prinsip dan 11 Jurus ini menjadi panduan utama bagi seluruh kota/kabupaten anggota & jejaring ICCN dalam mengidentifikasi potensi kreatif unggulnya, memposisikannya dalam ekosistem ekonomi kreatif, serta mengembangkannya hingga berdampak bagi peningkatan kesejahteraan ko/kab, warga dan komunitasnya.

Dengan berlangsungnya segala upaya yang telah dilakukan secara bottom-up dan sporadis di berbagai kota/kabupaten, bahkan sebelum seluruhnya bersepakat untuk bergabung sebagai ICCN di tahun 2015, maka pernyataan presiden tersebut menjadi semacam validasi bahwa framework ICCN berada pada jalur yang tepat.

Dukungan dan harapan terhadap Kota Kreatif dan sektor Ekonomi Kreatif sebagai solusi di masa mendatang pun telah dipaparkan secara eksplisit di berbagai forum internasional belakangan ini. Salah satunya adalah milestone global terkait rekomendasi kebijakan dan peta jalan Ekonomi Kreatif, yaitu dokumen hasil dari event Connecti:City, Urban 20 Jawa Barat dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 berjudul “People and The Next Economy. — Recovering Together”, yang memuat 7 butir rekomendasi implementasi Sektor Ekonomi Kreatif pada skala kota. Selain itu, sebagai side event G20 200, World Conference on Creative Economy (WCCE) menghasilkan “Bali Creative Economy Roadmap 2022” yang memuat 16 aksi arah Sektor Ekonomi Kreatif di masa mendatang.

Pengarus-utamaan Ekonomi Kreatif makin terasa dengan diakuinya Ekonomi Kreatif dalam G20 Leaders’ Declaration 2022 pada butir 47 sebagai sektor yang “melibatkan ekonomi berbasis pengetahuan, kreativitas manusia, dan hak kekayaan intelektual, berkontribusi pada peningkatan ketangguhan komunitas pariwisata lokal dan UMKM melalui pembangunan modal sumber daya manusia, transformasi digital, inovasi, kemitraan pemerintah-swasta, pelestarian berkelanjutan terhadap pusaka alami dan budaya, dan pembiayaan inovatif yang juga mempertahankan nilai-nilai komersil dan budaya secara signifikan”.

“We further recognize that creative economy, which involve knowledge-based economy, human creativity, and intellectual property rights, contributes to improving the resiliency of tourism local communities and MSMEs through human capital development, digital transformation, innovation, public-private partnerships, sustainable preservation of natural and cultural heritage, and innovative financing while retaining their significant commercial and cultural values”

Saat berlangsungnya APEC 2022, Presiden Jokowi kembali menyatakan pentingnya Ekonomi Kreatif.

“Hal kedua sektor prioritas yang disampaikan Presiden Jokowi yaitu kerja sama industri kreatif sebagai sumber pertumbuhan baruEkonomi kreatif adalah sektor masa depan dan pilar pertumbuhan inklusif karena mendobrak batas geografis, gender, etnis, strata ekonomi dan mendorong pencapaian SDG”*sumber: https://setkab.go.id/dua-sektor-pemulihan-ekonomi-global-rantai-pasok-yang-resilien-dan-industri-kreatif-sebagai-pertumbuhan-baru/

Sampul Buku Putih Kota Kreatif ICCN (2021), yang memuat ulasan mengenai 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia dan Catha Ekadasa/ 11 Jurus untuk Mewujudkan Kota Kreatif Indonesia.

Selain forum-forum tersebut, Ekonomi Kreatif juga mendapatkan perhatian khusus dari ASEAN Creative Economy Business Forum (ACEBF) yang diselenggarakan di Bali tahun 2021, dan Asian Development Bank Institute (ADBI) yang menerbitkan “Creative Economy 2030 Policy Brief” yang didiseminasikan berbarengan dengan T20 2022.

Kembali pada konteks Kota Kreatif. UNESCO membentuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN) sejak 2004, dalam rangka mendorong kota-kota berpotensi kreatif di dunia untuk saling berkolaborasi; memanfaatkan potensinya untuk menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan. Kota-kota di Indonesia yang telah bergabung dalam UCCN adalah Pekalongan (City of Craft and Folk Arts, 2014), Bandung (City of Design, 2015), Ambon (City of Music, 2019), dan Jakarta (City of Literature, 2021). Dalam rangkaian Road to G20 Summit, bersama ICCN, UNESCO Cities Platform menyelenggarakan konferensi daring “Beyond Urban“, yang menghasilkan dokumen “Urban Solutions”, terfokus pada 3 tema prioritas G20 dengan penekanan pada isu Climate Change.

Seluruh rekomendasi tingkat dunia ini tentu akan kembali pada skala lokal, kota/kabupaten, untuk menentukan keberhasilan implementasinya. Pada dasarnya, kebijakan dan rencana strategis pembangunan daerahlah yang menjamin terwujudnya dorongan Presiden Jokowi tersebut, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat para pelaku. Peran pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator menjadi pembuka jalan utama bagi munculnya “keberanian” kota/kabupaten untuk mengakui dan bangga akan potensi khas masing-masing, sehingga eksplorasi terhadap peningkatan kapasitasnya sebagai sumber kesejahteraan pun dapat dikembangkan secara terstruktur dalam skala yang terjangkau dan terukur. Tanpa adanya sinergi dengan pemerintah, segala upaya yang dilaksanakan oleh warga, komunitas, dan pelaku ekonomi kreatif akan tetap berjalan, namun tidak akan memberikan feedback yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang kebijakan dan strategi pembangunan kota/kabupaten.

——————–

Tahun 2023, Indonesia kembali mengampu peran sebagai tuan rumah pertemuan tingkat tinggi, ASEAN. Merujuk pada forum-forum sebelumnya, kali ini seharusnya menjadi saat yang tepat bagi Ekonomi Kreatif untuk memenuhi berbagai rekomendasi kebijakan dan skenario yang telah ditetapkan. Terlebih bagi kota-kota kreatif di Asia Tenggara yang memiliki kemiripan demografi dan karakteristik. Melalui ICCN, Indonesia berinisiatif menampilkan karya-karya kreatif yang membawa nafas Asia Tenggara sebagai suatu wilayah. Kota-kota UCCN di wilayah ASEAN, terutama Kota-kota Desain di Asia Tenggara BandungSingapuraCebuHanoi dan Bangkok, pada pertemuan di Singapore Design Week September 2022, pernah bersepakat untuk melaksanakan semacam co-design project yang dapat menunjukkan kekuatan ekonomi kreatif negara-negara ASEAN. Pesan ini disampaikan kembali saat Bangkok Creative City Dialogue pada Februari 2023, dan rencananya akan dilanjutkan pada event Connecti:City di Bandung, Mei 2023. Upaya ini tidak akan terwujud tanpa kerja sama multi pihak, serta dukungan nyata dari tiap pelakunya. Mari manfaatkan peluang berharga ini untuk exercising cara-cara bekerja sama, mengeksplorasi berbagai skema project penciptaan bersama, menjawab tantangan terbesar kita selama ini sebagai jejaring pelaku dan komunitas (mempraktikkan “sinergi”, “integrasi”) dengan tujuan yang konkrit, yang hasilnya dapat menjadi kebanggaan bersama.

===

Links to related documents/references:

14-15 March 2022 | Policy Brief CONNECTI:CITY 2022 | U20 West Java, G20 Indonesia 2022 | People and The Next Economy – Recovering Together https://drive.google.com/file/d/1KdllzSKN0ZhmeD7jvM6NzRlfP4IDXHKW/view

28-29 July 2022 | UNESCO Cities Platform x Indonesia Creative Cities Network | Road to G20 Summit 2022 | BEYOND URBAN https://beyondurban.iccn.or.id

June 2022 | Asian Development Bank Institute (ADBI) | Creative Economy 2030: Imagining and Delivering a Robust, Creative, Inclusive, and Sustainable Recovery https://www.adb.org/publications/creative-economy-2030-imagining-and-delivering-a-robust-creative-inclusive-and-sustainable-recovery

15-16 Nov 2022 | G20 Leaders’ Declaration https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9TaWFyYW4lMjBQZXJzLzIwMjIvRzIwJTIwQmFsaSUyMExlYWRlcnMlMjclMjBEZWNsYXJhdGlvbiwlMjAxNS0xNiUyME5vdmVtYmVyJTIwMjAyMiwlMjBpbmNsJTIwQW5uZXgucGRm

2023 Projecting Indonesia’s Creative Economy Potential on the Global Stage (download file)

Kemlu-RIs-Book-Final

Bangkok Creative City Dialogue

Berbarengan dengan diselenggarakannya Bangkok Design WeekCreative Economy Agency (CEA) Thailand membuat sesi Creative City Dialogue pada tanggal 10 Februari 2023, dengan mengundang beberapa focal point UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Secara umum mereka mengangkat tema terkait arah pembangunan kota setelah pandemi. Bagaimana budaya dan kreativitas dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan kota, terutama dalam hal ekonomi, taraf hidup, dan ketangguhan (resilience). Salah satu yang juga dieksplorasi dalam sesi ini adalah peluang kolaborasi atau inisiasi peta jalan yang dapat tercapai dalam 4 tahun ke depan.

Pada sesi tersebut, Bandung mengawali paparannya dengan menampilkan linimasa nomenklatur Ekonomi Kreatif di Indonesia, dari sisi pemerintah dan forum/jejaring komunitas. Dari linimasa ini terlihat kesinambungan antara satu momentum dengan yang berikutnya, di mana Ekonomi Kreatif Indonesia terbangun oleh kedua sisi tersebut. Inisiatif pada tingkat komunitas, secara bottom-up menjadi pasokan bagi penentuan kebijakan, kegiatan dan program yang difasilitasi dan diregulasi oleh pemerintah secara top-down. Jadi semacam iterasi “double diamonds” yang dijalankan oleh stakeholders yang saling melengkapi. Pertemuan yang produktif antara bottom-up dengan top-down ini hanya mungkin terjadi jika terdapat ruang-ruang komunikasi yang kondusif bagi seluruh pihak, jika terdapat pihak intermediary yang memahami dan mengakomodasi kepentingan seluruh pihak secara proporsional, dan bila seluruh pihak dapat menyepakati fokus tujuan bersama yang lebih besar dari kepentingan sektoral.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid0bkFQMjBXTdx8RCS8BojNCn2JgsPMBpJ6eVuZcDv9CSamJwxqrDVrTvN4Vd1RzZoNl

Materi paparan dari 9 kota UCCN (Asahikawa, Bandung, Bangkok, Kuching, Nagoya, Perth, Phetchaburi, Seoul, Singapore) dapat diakses di sini: https://drive.google.com/drive/mobile/folders/1dA9SYgfi55wXhP-ITYgtDJ_BbxlKf6jA?usp=share_link

Sesi diskusi dibuka setelah makan siang. Setiap peserta mendapat pertanyaan yang sama secara umum, yaitu rencana 4 (empat) tahun ke depan dalam konteks strategi pembangunan kota kreatif. Bagi Bandung, kondisi dalam 4 tahun mendatang belum dapat diprediksi dengan tenang dengan adanya dinamika sepanjang masa pilkada dan pilpres, yang sangat mungkin akan berpengaruh pada program-program dan pengambilan keputusan secara top-down. Sehingga para pelaku ekonomi kreatif sebaiknya lebih mengandalkan rencana yang diampu oleh pihak-pihak seperti simpul komunitas atau kelompok masyarakat yang kredibel, dan lembaga akademik atau pusat riset, yang operasionalnya tidak tergantung secara langsung pada disrupsi politik pemerintahan. Kesimpulan ini berdasarkan pengalaman Kota Bandung, yang meskipun telah memiliki Perda Ekraf (01/2021), eksekusinya tidak berlangsung sesuai dengan rencana.

Berbagai momentum penting juga dapat kita manfaatkan dalam mempromosikan “kreativitas” dan “ekonomi kreatif” sebagai jawaban bagi beragam tantangan Pembangunan Berkelanjutan; yang terdekat adalah KTT ASEAN 2023 yang diketuai Indonesia. Kita bisa memunculkan diri sebagai “ASEAN” melalui karya-karya kreatif yang dapat berpartisipasi dalam event tersebut, menunjukkan kekuatan potensi ekonomi kreatif di wilayah ASEAN, sekaligus menyatakan bahwa “kreativitas”, melalui proses ko-kreasi, dapat menjadi bahasa bersama di wilayah Asia Tenggara yang sangat kaya keragaman budaya.  

Disampaikan juga, bahwa dalam skala yang lebih luas, Kota Bandung bersama Provinsi Jawa Barat akan terus menyempurnakan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat bantu bagi pemerintah kota/kabupaten untuk merancang kebijakan atau membuat keputusan berdasarkan data ekosistem ekonomi kreatif di wilayahnya masing-masing, sekaligus memetakan peluang kolaborasi dengan wilayah lain, melalui identifikasi keunggulan tiap wilayah dalam eksosistem ekraf.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi diskusi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid02DR1vG6mPQJhu7d6ZhYyQPRaC59GhjHdUkEhnHskXPvoGejMx6QhHaE6fZ8nKKizfl

Tautan untuk press release di situs Creative Economy Agency: https://www.cea.or.th/th/news/bangkok-creative-city-dialogue-eng https://www.cea.or.th/en/single-project/bangkok-creative-city-dialogue

Creative City Dialogue ini diharapkan untuk tidak hanya terjadi sekali ini saja, dan Bangkok menawarkan kota-kota lain untuk menyelenggarakan sesi dialog berikutnya. Nah – sebuah kesempatan yang harus disambut dengan baik. Bandung – dan kota-kota kreatif UNESCO lain di Indonesia: Pekalongan, Ambon, Jakarta – mari kita siapkan diri untuk menjadi tuan rumah di momentum terdekat kita! 

Culture and Creative Economy

I posted this on my Instagram on Oct 12, 2022 (the event itself was on Oct 7) and I thought some points might need to be referred to in the near future. Photos and the complete speech are posted here as well, for when the day comes.

20221006-WCCE-Speech

The Director General of Culture Hilmar Farid @hilmarfarid delivered his thoughts at the closing session of the World Conference on Creative Economy, titled “Towards a Sustainable Future”. It’s such a pleasure to have him here, since there has always been a dichotomy between “Culture” and “Creative Economy” within the contexts of formality: government regulations and structures. While, in fact, Creative Economy – especially in our region – can’t be separated from Cultural and Creative Industries and the infinite inspiration from (indigenous) culture, tradition, and resources.

Many points are worth highlighting, but here are some particular ones:

“On the policy side, we need to move away from our fixation on economic growth and begin to seriously take the emotional, spiritual, and cultural dimensions into account.”

“I think of the relationship between the cultural sector and the creative economy as complementary, not competitive.”

Direct stakeholders of those sectors commonly (and perhaps subconsciously) retain the mindset of “Cultural Activities” as cost exhaustive and project “Creative Economy” as an income generator. We just have to keep rediscovering a balance mechanism so the two may thrive sustainably in the future.

Thank you for the insights, Bang Fay, looking forward to having further interactions! 

The Director General of Culture Hilmar Farid @hilmarfarid delivered his thoughts at the closing session of the World Conference on Creative Economy, titled “Towards a Sustainable Future”. It’s such a pleasure to have him here, since there has always been a dichotomy between “Culture” and “Creative Economy” within the contexts of formality: government regulations and structures. While, in fact, Creative Economy – especially in our region – can’t be separated from Cultural and Creative Industries and the infinite inspiration from (indigenous) culture, tradition, and resources.

Many points are worth highlighting, but here are some particular ones:

“On the policy side, we need to move away from our fixation on economic growth and begin to seriously take the emotional, spiritual, and cultural dimensions into account.”

“I think of the relationship between the cultural sector and the creative economy as complementary, not competitive.”

Direct stakeholders of those sectors commonly (and perhaps subconsciously) retain the mindset of “Cultural Activities” as cost exhaustive and project “Creative Economy” as an income generator. We just have to keep rediscovering a balance mechanism so the two may thrive sustainably in the future.

Thank you for the insights, Bang Fay, looking forward to having further interactions! 

Re-imagining The City is A Team Sport

Connecti:City, an international conference on creative economy organised by KREASI Jawa Barat (West Java Creative Economy and Innovation Committee) and hosted by West Java Province, was first held in 2019. This conference was created to provide a platform for discussions, exchanges and showcases about creative hubs, creative cities and creative economy, not only for cities and regencies in West Java, but also throughout Indonesia and the world. 

Connecti:City took a pause in 2020 due to the pandemic, and resumed in 2021 in a hybrid form: online and onsite at the newly-built Cirebon Creative Hub. As intended, the conference contained updates and news from creative hubs, especially from the new creative centres that are being built in West Java cities/regencies. 

Opportunities for West Java, presented by The Secretary of West Java Province, Dr. Ir. Setiawan Wangsaatmaja, Dipl., S.E., M.Eng.

Digital Creative Economy Ecosystem, presented by the Deputy of Digital Economy and Creative Product, Ministry of Tourism and Creative Economy, M. Neil El Himam, M.Sc.

The momentum of Indonesia G20 Presidency in 2022 with the theme “Recover Together, Recover Stronger” provides an opportunity for Connecti:City to amplify its messages about post-pandemic resilience of cities that implement the creative economy sector in its development strategies, next to the aspects of inclusivity and sustainability. To cut the story short, our plans for Connecti:City 2022 escalated so fast when West Java was appointed to co-chair U20. The main Connecti:City event, scheduled for 14-15 March 2022, has suddenly become a side event for U20 that focuses on creative economy and creative city. All things considered, we held a Connecti:City Preparatory Meeting/Workshop prior to the conference, on 22 February 2022, online and onsite at the newly-launched Purwakarta Creative Center. And here’s a bit of a note from that event.

  1. This Connecti:City pre-event aims mainly to gather aspirations and insights from local governments and stakeholders about the development of creative economy in their respective regions, also examples or best practices of how creative economy has contributed to the local economy recovery, and elements that are required to enhance the impacts (policies, programs, etc.).
  2. West Java Province inaugurated the West Java Creative Economy & Innovation Committee (KREASI) in 2019, whose main task is to assist the West Java Government in creative economy development. There are seven priority programs for creative economy in West Java: (1) increasing access to digital literacy, (2) developing a creative industry platform, (3) developing database and research on creative economy, (4) increasing access to sales, (5) activating creative centres, (6) increasing access to payment methods, (7) activating creative economy institutions. 
  3. Since its establishment, KREASI has conducted several programs, among others are: (1) UDUNAN that aims to facilitate creative entrepreneurs with access to financing, both banking and non-banking resources, (2) Teras Indonesia, a space provided by IKEA in Kota Baru Parahyangan for local products/brands, collaborating with West Java Craft Council, (3) Borongdong, a closed-loop (exclusive for West Java government employees) digital e-commerce platform for creative industries with supports in marketing, logistics and distribution, (4) Capacity Building programs through online classes, and so on.
  4. West Java Province proposes a number of recommendations at the international, national, and regional levels. At the international level, the government wishes to establish Connecti:City as a continuous collaboration platform between West Java and the international creative economy communities; to strengthen cooperation among global south countries in accordance with the spirit of Asia Africa Conference; and to push forward the creative economy sector to answer to the SDG challenges in the post-pandemic era.
  5. At the national level, West Java Government proposes to expand cooperation among provinces; to encourage benchmarking and exchange best practices/experiences of creative economy; to promote creative economy as a driving force for post-pandemic recovery. 
  6. At the regional level, the provincial government urges all cities/regencies in West Java region to enact regulations on creative economy; to create a multi sector action plan that creates a synergy for creative economy development; to establish a city/regency-level creative economy institution/committee.
  7. The Indonesia Ministry of Tourism and Creative Economy brought up the issues around the digital creative economy ecosystem and development program.  
  8. Grisana Punpeng, Ph.D., from Chulalongkorn University, Thailand, did a research on several UNESCO Creative Cities in order to learn about the framework of a “cultural/creative city” as a reference for Buriram development as a liveable – rather than a tourist – city. Three points of recommendations that came out of this research are: (1) integrating creative economy and cultural-/creative industries policies to the development plan; (2) providing space to create, collaborate and grow; (3) creating a creative coalition (local government, private sectors, city inhabitants, educational institutions, CSOs).
  9. My material mainly covers the usual points: how community initiatives can lead to formulations of frameworks and models of impactful programs that can be implemented and improved for relevance. A solid network of communities would be able to achieve further: act as a pressure group to influence the passing of a bill on creative economy. The examples presented were from Bandung Creative City Forum (BCCF), then Indonesia Creative Cities Network (ICCN) whose city/regency members have been active for a similar fight in their respective areas.

Speakers also came from East Java and East Nusa Tenggara, two provinces that are collaborating with West Java within the Creative Economy sector. The workshop, that was held simultaneously online and on site, joined by an ample amount of participants composed of governments and other stakeholders from different cities/regencies, went quite lively. The three main questions that attempted to dig out the participants’ aspirations and ideas have, in a playful manner, shaped a number of recommendations that can be wrapped and submitted to the main event, Connecti:City, as a supplement for the Bandung Communique.  

This Preparatory Meeting/Workshop concluded with a keynote from Tom Fleming, whose TFCC recently completed a research on Cultural Cities Profile in Asia, among which were 14 Indonesian cities. Tom shared the learning points from the research, encouraging us to embrace our heritage, diversity, hubs, and connections. Closing the talk, he prompted us with questions/statements such as, “Can creativity build a better post-covid city?”, and, “Re-imagining the city is a team sport”. Appropriately intriguing, to pursue the next events!    

Komite Ekraf.bdg

Bandung ini gampang-gampang susah. Katanya, nggak usah ada pemerintah pun, “semuanya bisa jalan sendiri”, karena warganya terlalu mandiri. Juga soal ekonomi kreatif (ekraf), ingin rasanya beneran bisa autopilot. Tapi nyatanya reputasi ekraf Bandung ini pasang-surut, baik di tingkat nasional maupun internasional, tergantung pada periode pengampu kotanya. 

Memang, kegiatan dan event ekraf tetap saja berjalan meriah di kalangan profesional dan akademisi. Di masa ketika kata-kata “kreativitas” atau “kota kreatif” sama sekali tidak tercantum di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ini, aparat kota memang jadinya nggak punya alasan/ landasan legal untuk menggarap bidang ekraf, karena tidak ada dalam daftar tugas mereka — meskipun jabatan pengampu urusan ekraf ini ada dalam struktur pemerintahan. Tapi toh ekraf di Bandung tetap terselenggara dengan aktif dan seru, dalam bentuk berbagai lokakarya, festival, konferensi internasional, dan banyak lagi. Hanya saja memang sayang, kan, kalau potensi ekraf ini tidak dimanfaatkan sebagai strategi dalam membangun SDM dan ruang-ruang kotaNahmakanya disahkannya Perda Ekraf (No.01 Tahun 2021) pada Januari 2021 lalu menjadi semacam jaminan bahwa siapa pun pengelola kotanya, ekraf akan selalu masuk dalam rencana pembangunan [Ref: Dari Aktivisme ke Kebijakan].

Dari delapan urusan ekraf yang tercantum dalam Perda Ekraf itu, salah satunya adalah Komite Ekraf [Ref: Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana?]. Komite inilah yang seharusnya menjadi intermediary, jembatan, atau perantara antara kebijakan dengan aspirasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan ekraf dalam wilayah kota, selain juga merancang peta jalan dan program strategis. Lingkup tugasnya pun sudah dipaparkan di perda tersebut. Pengennya sih segera dibentuk, supaya segera bergerak dan berdampak, apalagi mengingat momentum dan peluang besar yang bertubi-tubi hadir di Kota Bandung. Tapi karena satu dan lain hal — selain karena pandemi dan refocusing anggaran, juga karena adanya perubahan personel pengampu — implementasi dari perda tersebut tidak bisa segera terjadi.

Meskipun hanya selang setahun sejak Perda Ekraf disahkan (Januari 2021) hingga hari ini (Februari 2022), perkembangan situasi terkait ekraf terjadi sangat pesat, dari fenomena lokal dan nasional, hingga skala dunia. Perda yang dimulai prosesnya di tahun 2018 ini pun harus segera mengadopsi kondisi terkini dalam implementasinya. Sebagai (mantan) tim Ekraf.bdg, yang kami inginkan utamanya hanyalah kesinambungan dan pemutakhiran program, agar tidak mulai dari “mentahan” lagi, demi dampak yang lebih nyata dan terukur. Juga, tetap menjaga kesesuaian dengan konsep “ekosistem ekonomi kreatif” yang telah disepakati dan juga tercantum dalam perda. Jadi, kami menyiapkan dokumen referensi, yang sebagian deck-nya bisa dilihat berikut ini.       

Slide 1. Daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung.

Slide 1 memuat daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung, yang juga berpengaruh pada konsep dan gerakan ekraf di tingkat nasional dan internasional. Proses dari Triple Helix hingga Hexa Helix; dari riset dan aktivasi oleh komunitas lokal hingga menjadi rekomendasi kebijakan skala dunia; dari inisiatif bottom-up hingga terbentuknya konsensus kerangka kerja sebuah “Kota Kreatif”. Sejarah yang menunjukkan leadership Bandung dalam sektor ekraf tentu tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Slide 2. Dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif”, dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015).

Slide 2 menampilkan dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif” dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015). Adanya semacam komite, badan, atau Chief Creative Officer, menjadi pelengkap sebuah “Kota Kreatif”, seperti yang pernah diungkapkan oleh Zuzanna Skalska [Ref: Kota yang Berpihak pada Manusia]:

Pada akhirnya, apakah tantangan sebenarnya bagi “kreatif” dalam konteks “kota”? Sebuah kota dengan konsep ‘baru’ memerlukan pendekatan yang juga baru. Sebuah “kota kreatif” memerlukan seorang creative chief — tanpa keberadaan seorang “creative chief”, atribut “kota kreatif” hanya menjadi hal artifisial

Slide 3. Landasan hukum.

Slide 3 merunut landasan hukum dibentuknya Komite Ekraf sebagai salah satu lingkup yang diatur dalam Perda Ekraf Nomor 01 Tahun 2021. Font yang abu-abu itu, karena sedang ada proses penyusunan Rindekraf nasional yang baru, untuk kemudian dirujuk oleh kota/kabupaten. 

Slide 4. Bagian perda tentang komite.

Slide 5. Bagian perda tentang komite.

Slide 4 dan 5 memaparkan bagian-bagian perda yang memuat bahasan mengenai Komite Ekraf.

Slide 6. Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders sebagai kerangka kerja ekraf.

Slide 6 memuat bagan nomenklatur Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders, yang telah berkembang sejak dirancangnya Perda Ekraf. Sebuah Kota Kreatif harus cekatan dalam memahami dan memanfaatkan alur sinergi seluruh elemen dalam framework ini.

Slide 7. Salah satu alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg.

Struktur komite sebaiknya ramping, namun terkoneksi erat dengan perwakilan bidang (sub-sektor industri kreatif), (hexa helix) stakeholders, dan segmen masyarakat lainnya. Slide 7 memuat bagan salah satu versi/ alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg yang telah disesuaikan dengan ekosistem dan framework terkini, juga dengan karakteristik dan kebutuhan Kota Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia dalam bidang Desain.

Slides pelengkap ini sifatnya menginformasikan evidence kinerja ekraf Bandung yang sudah turut membentuk pemahaman terhadap “ekonomi kreatif” yang tetap relevan bagi masa kini, pasca pandemi, hingga untuk pemulihan yang berkelanjutan dan membangun kembali tatanan kehidupan di masa mendatang.  

=====

Deck ini sudah dipresentasikan kepada para pengampu tertinggi Kota Bandung beserta jajarannya, di waktu yang berbeda-beda. Semoga keputusan resmi untuk Komite Ekraf.bdg nanti dapat tetap membawa semangat progresif, mampu mengembalikan leadership Kota Bandung dalam sektor ekraf di skala nasional dan dunia, serta berdampak nyata dan terukur bagi seluruh warganya secara inklusif (hal ini nih yang selalu diwanti-wanti oleh para anggota DPRD di setiap sesi pembahasan finalisasi perda). Semangat! 

World Conference on Creative Economy 2021

Masih dari WCCE Dubai. Berikut ini adalah catatan dari sesi pembukaan WCCE, 7 Desember 2021.

Audrey Asoulay, Director General UNESCO

  1. Paparan Audrey dimulai dengan kisah tapak-tapak tangan berusia ribuan tahun di Sulawesi, yang menandakan daya kreativitas manusia sebagai naluri alamiah.
  2. Berkembangnya daya kreativitas menjadi Culture & Creative Industry (CCI) terus menerus menghasilkan inovasi, yang berkontribusi pada rencana pemulihan pasca pandemi.
  3. Strategi Ekonomi Kreatif dapat memperkuat jalinan masyarakat, sekaligus menjawab tantangan masa depan yang berkelanjutan.
  4. Masyarakat yang tangguh dan damai kerap mempraktikkan ekonomi kreatif dalam skala kota, sehingga kolaborasi antar kota-kota yang berkesepahaman mengenai ekonomi kreatif dan potensi kreativitas ini pun dihimpun dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN). 
  5. G20 menjadi salah satu platform kolektif untuk bergerak bersama, dengan dampak pada ketersediaan lapangan kerja untuk pembangunan berkelanjutan.
  6. Terdapat 3 isu utama, yaitu: (1) Data yang lebih baik, terutama untuk memahami kontribusi sektor ekraf terhadap GDP dan dampak pandemi terhadap budaya, serta untuk menentukan kebijakan publik; (2) Perlindungan yang lebih baik terhadap kreator/seniman, terkait regułasi efektif bagi perlindungan status seniman, serta ruang-ruang penting bagi kegiatan berkesenian; (3) Akselerasi digital, terutama sebagai saluran bagi suara semua pihak, serta terkait distribusi dan model-model bisnis yang berkelanjutan.
  7. Perlu adanya sebuah Peta Jalan Internasional untuk Ekonomi Kreatif yang dapat disepakati bersama. G20 di Indonesia dan Mondial Mexico diharapkan dapat menjadi jalan menuju cita-cita ini.  

Noura Bint Mohammed Al Kaabi, Minister of Culture & Youth UAE

  1. Ekonomi Kreatif adalah sebuah sektor yang sering disalah-pahami. Sehingga UAE membuat strategi nasional pengembangan ekonomi kreatif untuk 10 tahun. Karena itu UAE sangat bergembira mendapatkan tongkat estafet kelanjutan WCCE dari Indonesia. 
  2. WCCE kali ini juga menjadi semacam penutup bagi Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan. Di masa mendatang, ekonomi kreatif akan menjadi ekonomi global.
  3. Ekonomi kreatif akan membawa kita untuk melompat lebih kuat melewati pandemi.
  4. Ekonomi kreatif di masa pasca pandemi sangat ditentukan oleh kreativitas manusia, termasuk perkembangannya yang ditunjukkan oleh munculnya beragam istilah seperti CCI, digitalised contents, NFT, dan sebagainya.

Angela Tanoesudibyo, Vice Minister of Tourism & Creative Economy Republic of Indonesia

  1. Tema WCCE 2018 Inclusively Creative, seiring dengan Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembanguan Berkelanjutan, berkembang menjadi Cultivating The Future di WCCE 2021. Di sini sudah ada bahasan mengenai teknologi dan disrupsi digital.
  2. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga akan makin menjadi perhatian. WIPO menekankan 3 hal utama, yaitu: (1) Ekonomi Kreatif sebagai solusi; (2) Kerja sama internasional terkait HKI; (3) Penerapan baru, yaitu HKI bagi komunitas, terutama untuk para pelaku ekonomi kreatif secara inklusif (perempuan, generasi muda, seniman, dsb.).  

Paolo Toschi, G20 Culture Italy 2021

  1. G20 Culture Italy menempatkan budaya sebagai pusat strategi pembangunan.
  2. Budaya mengangkat berbagai nilai, termasuk urban regeneration, dengan butir-butir utama: pemberdayaan usaha berbasis budaya dan kreativitas, pengaruh budaya pada lingkungan dalam konteks perubahan iklim dan perlindungan aset pusaka, serta penguatan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.    

5 konsep G20 yang berasal dari penerapan ekonomi kreatif:

  1. Pemberdayaan masyarakat melalui CCI, yang membuka peluang sinergi antar generasi dan meningkatkan ketangguhan
  2. Dunia digital/virtual dan dunia real akan saling mengisi, terutama untuk menghasilkan karya digital yang unik, yang bahkan dapat merepresentasikan sejarah sekaligus ekspresi kontemporer
  3. Inklusivitas, termasuk kesetaraan gender
  4. Pengembangan CCI lintas sektor, yang selalu menjadi pembelajaran, sekaligus menghibur, dan dapat bertumbuh di masa krisis
  5. Berbagai solusi terhadap perlindungan dan permasalahan lingkungan, sebagai hasil sinergi teknologi dan desain

UNCTAD

  1. Perlu adanya kolaborasi untuk masa depan kreatif ekonomi demi pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
  2. Budaya membuat teknologi digital menjadi manusiawi; juga dalam ranah pemberdayaan perempuan, ketika ia menjadi produk, jasa, dan media.
  3. Teknologi digital memungkinkan terjadinya dialog lintas budaya.

UNESCO CULTURE & WIPO

  1. Ekonomi Kreatif adalah salah satu sektor yang bertumbuh pesat, dan membuka banyak lapangan kerja bagi kaum muda.
  2. CCI di masa mendatang erat hubungannya dengan ekonomi digital.
  3. Simpul-simpul kreatif akan mendorong pengembangan ekonomi lokal.
  4. Budaya sebagai “common good”; berbagai isu kebijakan perlu diarahkan ke hal ini. Presidensi G20 Italia 2021 telah mengangkat aspek budaya. Tahun depan akan berlangsung Mondial 2022 yang akan mengangkat tema kebijakan publik dalam budaya. 
  5. Kenapa ekonomi kreatif penting bagi sebuah wilayah? Karena ia dapat memayungi aspek sosial dan ekonomi masyarakat wilayah tersebut.
  6. Ekonomi kreatif dan dampaknya adalah indikator dinamika sebuah kota.
  7. Kita perlu merumuskan indikator global terkait inovasi sebagai hasil dari sektor ekonomi kreatif.          
  8. “Budaya” tidak secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu dari 17 sasaran dalam SDG, namun sebenarnya telah terdapat dalam seluruh sasaran tersebut. Sehingga indikator pencapaian SDG hendaknya memuat juga aspek budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal.
  9. Untuk menyambut masa depan, “budaya” sebagai sebuah kerangka kerja perlu dilengkapi dengan model pendanaan dan kebijakan yang tepat. 
  10. Pendekatan copyright menghadapi tantangan: (1) dari sisi para pelaku ekraf, yang harus menyadari benar apa saja yang dimiliki, dan apa saja yang dapat dilakukan; (2) dari sisi para pembuat kebijakan dan pemerintah, yang harus menciptakan ekosistem untuk kreativitas. 
  11. Copyright harus lebih disederhanakan agar mudah dimengerti.  

====

WCCE yang berlangsung selama tiga hari di Dubai ini menghasilkan 21 butir UAE WCCE 2021 Agenda; dapat diunduh di wcce.ae

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

CCI Global Agenda: 11 Key Actions

World Conference on Creative Economy (WCCE) kedua diselenggarakan di Dubai, yang sekaligus menjadi tuan rumah World Expo 2020, 7-9 Desember 2021. Seluruh acara yang sedianya berlangsung tahun 2020, terpaksa seluruhnya diundur ke 2021. WCCE mengambil tempat di bangunan Dubai Expo, yang masih berada dalam lokasi World Expo.

Dalam rangkaian acara WCCE, salah satunya adalah sesi Peluncuran Agenda Global untuk Industri Budaya dan Kreatif (Cultural and Creative Industry/ CCI), yang memuat 11 Key Actions. 11 Key Actions ini disusun oleh International Advisory Council for Creative Industries Policy and Evidence Centre (IAC-PEC) UK yang bermitra dengan British Council

Sebelum masa pandemi, IAC-PEC sempat mengadakan pertemuan secara fisik di London dan Edinburgh; setelah itu pertemuan berlangsung beberapa kali secara virtual. Sekian banyak diskusi telah menghasilkan, antara lain, penelitian bersama, rekomendasi kebijakan, dan sebagainya. Dua tahun setelah terbentuk, IAC-PEC bersepakat untuk membuat sebuah dokumen yang bersifat legacy, yang mengkompilasi pemikiran bersama terkait arah optimalisasi potensi sektor ekraf sebagai solusi bagi berbagai tantangan kritis saat kini. Setelah melalui proses yang cukup alot, dengan sekian perubahan format, akhirnya dokumen tersebut terwujud sebagai CCI Global Agenda: 11 Key Actions.

11 Key Actions ini diluncurkan di hari pertama WCCE, 7 Desember 2021, dengan menghadirkan sebagian dari anggota IAC-PEC sebagai narasumber, yaitu Eliza Easton (UK), Avril Joffe (Afrika Selatan), Laura Callanan (USA), serta saya sendiri; dengan moderator John Newbigin (UK) yang mengetuai IAC-PEC. Sesi ini lebih berupa percakapan pendalaman dari 11 butir tersebut, antara lain mengenai pendanaan, perantara, kesetaraan gender, dan ekonomi informal.

Melalui 11 butir ini, yang langsung merepresentasikan butir-butir terkait dari 17 Tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG), IAC-PEC bermaksud memberikan masukan dan rekomendasi bagi pemerintah pusat maupun lokal, untuk mengarusutamakan sektor ekonomi kreatif sebagai salah satu strategi pembangunan.   

Berikut ini ringkasan 11 Key Actions tersebut dalam bahasa Indonesia, sementara selengkapnya (dalam bahasa Inggris, Perancis, Arab, Spanyol) dapat diunduh di tautan ini: https://www.pec.ac.uk/policy-briefings/a-global-agenda-for-the-cultural-and-creative-industries

1. Pendidikan dan Keterampilan Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8, 10): pengakuan terhadap peran seni dan budaya dalam mengembangkan kreativitas individu di semua tingkat pendidikan dan pelatihan, untuk menjamin kreativitas dan keterampilan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja masa depan untuk mengelola disrupsi dan peluang yang terdapat di area seperti virtual reality, desain berwawasan lingkungan dan kecerdasan buatan. Diperlukan integrasi seni dan budaya, di samping keterampilan dalam sains dan teknologi, dalam segala aspek pendidikan dan pelatihan.

2. Kewirausahaan dan Inovasi Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8): pengakuan terhadap nilai model bisnis inovatif yang muncul dari pemanfaatan teknologi digital dalam CCI; juga tantangan tertentu yang dihadapinya, termasuk kebutuhan terhadap pendanaan termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan dukungan bisnis bagi usaha kecil terkait revolusi digital. 

3. Karir Kreatif, Pekerja Lepas Waktu, dan Penghidupan Informal (SDG 1, 3, 5, 8, 10, 11): kebijakan yang mendukung kondisi kerja yang layak dan perlindungan sosial bagi para pelaku CCI; pengakuan terhadap lumrahnya pekerja wiraswasta, pekerja kontrak, dan pekerja informal dalam sektor CCI.

4. Penelitian dan Pengembangan CCI (SDG 4 ,8, 9): revisi penggunaan definisi “Frascati” dalam litbang yang digunakan oleh para pembuat kebijakan di seluruh dunia, sehingga kebijakan terkait investasi insentif pada inovasi dapat secara baik meliputi seluruh domain pengetahuan, termasuk Seni, Humaniora dan Ilmu Sosial, tidak hanya Sains dan Teknologi.   

5. CCI dan Ekonomi Digital (SDG 4, 5, 8, 9): melibatkan CCI dalam pembentukan kerangka kerja bagi peraturan baru dan infrastruktur yang bertujuan mengatasi isu-isu terkait data dan privacy, platform internet, dan penciptaan & perlindungan HKI. 

6. CCI dan Keberlanjutan Lingkungan (SDG 1, 3, 12, 13); pengakuan terhadap kontribusi CCI dalam menjalankan ekonomi sirkular dan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dampak yang relatif kecil terhadap sumber daya alam dan lingkungan secara fisik. 

7. Kota-kota Kreatif dan Klaster-Klaster Regional (SDG 11, 16, 17): investasi pada CCI tidak hanya di kota-kota besar tapi juga pertimbangkan berbagai peluang di klaster-klaster kecil dan lokal.

8. Pembiayaan Alternatif dalam CCI (SDG 1, 9, 12, 17): bekerja dengan kepercayaan dan fondasi untuk mengembangkan insentif dan jaminan, yang mendorong investasi dari sektor swasta untuk berinvestasi dalam infrastruktur terkait, keterampilan, pasar dan platform menuju pertumbuhan dan pemerataan, dan untuk memunculkan produksi budaya jenis baru oleh komunitas-komunitas kreatif.   

9. Kesetaraan Sosial, Keberagaman Budaya dan Inklusivitas dalam CCI (SDG 1, 3, 4, 5, 10, 12, 13, 16): mendukung segala upaya yang berlanjut dan bertumbuh oleh badan-badan internasional dan pembuat kebijakan nasional untuk melestarikan praktik-praktik budaya dan kreatif, bahasa, pengetahuan tradisional, seni dan artifak dan situs-situs serta naskah pusaka.

10. Standar Internasional untuk Mengumpulkan dan Berbagi Data (SDG 16, 17): mengembangkan standar global bagi klasifikasi CCI dan mata pencaharian kreatif untuk menggerakkan pertumbuhan sebuah berbasis-bukti yang dapat diperbandingkan di skala internasional. Termasuk di dalamnya, upaya yang terkoordinasi untuk memastikan revisi terhadap kode-kode internasional seperti Standard Industrial Classification (SIC) dan Standard Occupational Classification (SOC), mencerminkan sifat perubahan CCI.

11. Kerja Sama Internasional untuk Penyelenggaraan CCI (SDG 1, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 17): menentukan standar global untuk kerja sama internasional terkait perkembangan CCI di seluruh dunia. Hukum HKI, regulasi internet, perpajakan dan kebijakan terkait perlu direkalibrasi menjadi konsisten, inklusif, adil dan bermanfaat secara setara bagi industri dan pemerintah.

DI panggung bersama John Newbigin dan Eliza Easton; di layar hadir pula Laura Callanan dan Avril Joffe yang bergabung dari tempat masing-masing (Amerika dan Afrika Selatan).

Dalam sesi ini, sebagai moderator, John menggali berbagai hal dari para nara sumber PEC yang telah memberikan materi dan referensi bagi 11 Key Actions tersebut. Eliza menjelaskan mengenai PEC dan kegiatannya, terutama terkait berbagai penelitian yang dilakukan oleh Nesta terkait ekonomi kreatif dan kontribusinya terhadap kebijakan di UK. Laura membahas mengenai aspek “ekonomi” dalam “ekonomi kreatif”, terkait pendanaan (alternatif) dan keberlangsungan kegiatan ekonomi dalam berbagai sub-sektor industri kreatif dan perkembangannya. Avril mendiskusikan sektor informal sebagai pendukung industri kreatif, terutama di negara-negara belahan bumi selatan, yang sarat dengan fenomena ini. Saya menyampaikan peran intermediary atau perantara – seperti halnya Indonesia Creative Cities Network (ICCN) di tingkat nasional, atau komunitas skala kota seperti Bandung Creative City Forum (BCCF) – yang dapat mengajukan model dan masukan untuk para pembuat kebijakan terkait ekonomi kreatif dan kota kreatif. Harapannya, bila dapat diadopsi oleh negara-negara yang berpotensi kuat dalam sektor ekonomi kreatif, 11 Key Actions ini dapat menjadi panduan aktif dalam penentuan kebijakan/regulasi, untuk menjawab tantangan SDG.

QR code menuju tautan untuk mengunduh dokumen 11 Key Actions ditayangkan pada layar selama sesi berlangsung.

====

Penelitian mengenai Informal Economy yg dilakukan oleh IAC-PEC di 10 negara bisa diakses di tautan ini: The Relationship between the Informal Economy and the Cultural Economy in the Global South

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

“Kreativitas” Menurut Malcolm Gladwell

Salah satu acara puncak dalam rangkaian acara World Conference on Creative Economy (WCCE) adalah sesi Malcolm Gladwell, yang membahas tentang “kreativitas” di hari terakhir WCCE, 9 Desember 2021 di Dubai. Terdapat tiga hal utama yang menjadi bahasan pada sesi ini.

1 Apa yang dapat kita pelajari tentang “kreativitas”?

Untuk menyampaikan gagasannya, Gladwell mengangkat Paul Simon sebagai ilustrasi. Paul Simon, sebagai duo Simon & Garfunkel, sempat mencapai masa jayanya di tahun 70an. Di tahun 80an popularitasnya telah menurun; pada masa depresi ini seseorang mengirimkan Paul sebuah kaset berisi musik Afrika. Paul segera terbang ke Johannesburg, tinggal di sana selama 2 minggu, berkutat dalam studio, hingga menelurkan album Graceland, yang mencapai sukses besar. Saat itu, Paul berusia 45 tahun.

———

Biasanya, kita mengaitkan “kreativitas” dengan “usia muda”, di mana kreativitas seseorang dianggap mencapai puncaknya pada usia 20an. Namun dalam hal Paul ini, tidak demikian. Terdapat sebuah “creative break”, di mana sebelumnya ia berkarya dengan aktif, lalu masuk ke fase terendahnya. Namun kemudian, ia mendapatkan kaset musik Afrika yang menjadi stimulus untuk kembali aktif menciptakan karya, hingga sukses.

Sebagai ilustrasi selingan, Gladwell menghadirkan Picasso dan Cezanne. Terdapat dua jenis Jenius Artistik: (1) Inovator Konseptual, dan (2) Inovator Eksperimental. Pada usia 20an, Picasso menciptakan gaya kubisme dan menjadi sangat sukses karena hal tersebut. Ia masuk dalam kategori (1) yang terus menerus beriterasi hingga mencapai hasil terbaik. Sementara, Cezanne masuk dalam kategori (2), di mana ia terus menerus melakukan proses mencoba dan gagal, dalam upaya menemukan hasil terbaik. Ia baru mencapai “puncak kreatif”nya di usia 50an. [Proses iterasinya tersimpan baik di Museum D’Orsay, Paris]

Sutradara Alfred Hitchcock juga melakukan proses iteratif ini, dan baru mencapai puncak kreatifnya di usia yang tidak lagi muda. Dalam hal ini, Paul Simon memiliki kemiripan dengan Cezanne dan Hitchcock.

2 Ada apa dengan jenis eksperimentasi ini?     

Eksperimentasi dalam berkarya, atau iterasi dalam upaya mencapai hasil terbaik, sangat diperlukan. Ketika kita mulai melakukan eksperimentasi (dengan potensi kreativitas yang kita miliki), pada saat itu juga kita membuka beragam kemungkinan dan skenario yang dapat terwujud. Orang kreatif tidak hanya memikirkan, atau berandai-andai tentang hasil terbaiknya, tapi mereka benar-benar melakukan, berkerasi, dan berupaya, untuk mencapai hasil terbaik tersebut.

3 Mengapa keberagaman dan inklusivitas itu penting?

Ringkasnya: because it’s a just thing to do(!) Tapi juga karena keberagaman adalah kunci menuju kreativitas!

Untuk memberi gambaran bagi pernyataan ini, Gladwell menyajikan contoh teknologi telepon. Di masa awalnya, telepon merupakan sebuah kegagalan komersil. Sebab inventornya berkeras menyatakan bahwa produk teknologi telepon ini hanya dapat dimanfaatkan sebagai alat berbisnis; keperluan lain tidaklah relevan. 

Jelas mereka tidak melakukan pengujian usability yang melibatkan beragam jenis segmen masyarakat. Mereka menutup kemungkinan bahwa para pengguna telepon ini bisa dari kalangan petani, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Keterbatasan pengguna pun membuat pemasaran telepon ini jeblok.

Baru di tahun 1920an, atau 40 tahun setelah ditemukan, teknologi telepon ini mulai disosialisasikan dan dibuka untuk pengguna selain bisnis. Bayangkan, terdapat rentang waktu 40 tahun “kerugian”, yang seharusnya dapat membuat perkembangan tekonlogi telepon ini jauh lebih pesat, dengan adanya pengguna yang jauh lebih beragam. 

Sehubungan dengan ini, menurut Gladwell, orang kreatif adalah mereka yang berani menghadapi hasil yang tak terduga dari eksperimen yang mereka lakukan. Mereka adalah yang selalu siap melakukan proses yang tidak nyaman, karena menghadapi berbagai kontroversi dan kritikan deras. [Seperti yang dihadapi oleh Paul Simon ketika menggarap albumnya di Afrika Selatan]

Orang kreatif harus selalu ditantang dengan pertanyaan, “Apakah Anda bersedia untuk berada dalam kondisi yang tidak nyaman?” – karena kenyamanan adalah musuh dari keberagaman. Kata-kata seperti Kebaruan, Kreatif, dan Imajinatif hanya dapat dicapai oleh mereka yang berani berada dalam kondisi yang tidak nyaman. 

===

Demikian pendekatan Malcolm Gladwell terhadap Kreativitas. Ia memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menjawab beberapa pertanyaan dari yang hadir, yang “tercatat” dalam graphic note terlampir. 

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

Enam Puluh Persen Saja Dulu, Sanggup?

Kesempatan bersama Kak ET kali ini sangat singkat, namun sarat makna. Dalam rangkaian perjalanannya di Bandung, Sabtu 9 Oktober 2021, Simpul Space #4 di Jalan Braga 3 menjadi salah satu tempat yang disinggahi. Gedung Simpul ini, yang merupakan salah satu aset bangunan heritage kelas A milik Kimia Farma, sementara ini sedang dikelola dan ditempati oleh Indonesia Creative Cities Network (ICCN) dan Bandung Creative City Forum (BCCF). 

Kang Fiki Satari, Abah Kiki Adiwilaga, Kak ET, Tita, Kang Galih Sedayu, Kang Adi Panuntun, Kang Mi-ink Panji, dan Kang Yogi, di depan Simpul Space #4 Jalan Braga 3

Dalam konteks aktivitas komunitas dan karakter Bandung sebagai Kota Desain UNESCO, Sabtu sore itu kita menampilkan potensi creativepreneur, dengan beberapa jenama dalam wirausaha yang dibentuk dan dijalankan oleh para lulusan perguruan tinggi seni rupa dan desain. Para pengusaha dalam sektor industri kreatif ini dengan sendirinya membuka peluang lapangan kerja ketika membutuhkan tenaga penjahit, pembuat keramik, pengrajin bambu, tukang kayu, dan sebagainya, dalam proses produksi dan distribusinya. Penciptaan nilai diperoleh dari proses kreatif dan capaian hasil pemikiran, yang berpotensi didaftarkan sebagai hak cipta, dan bahkan paten, bila mengandung nilai inovasi teknologi dan temuan baru lainnya. Jenama yang hadir mencerminkan potensi desain Bandung, yang tahun ini akan ditampilkan kembali dalam acara Bandung Design Biennale (BDB) dengan tema Excavate. Ketua penyelenggara BDB 2021, Ardo, dan salah satu kurator BDB 2021, Panda, turut hadir untuk menyerahkan buku BDB 2019 dan materi BDB 2021 kepada Kak ET. 

Paparan singkat tentang BCCF, yang kemudian menjadi salah satu forum lintas komunitas skala kabupaten/kota menginisiasi pembentukan ICCN, juga mengenai berbagai gerakan serta aktivisme komunitas di ratusan kabupaten/kota se-Indonesia yang berujung pada formulasi model cara kerja dan metriks yang dapat diterapkan bersama, menyertakan juga slide yang memuat skema kolaborasi antara ICCN dengan Kementerian BUMN. Mengenai hal ini, Kak ET menyatakan akan meninjau ulang, agar benar-benar dapat terjadi komitmen yang berdampak nyata.

Selanjutnya, Kak ET menyampaikan bahwa aktivasi dan gerakan komunitas kreatif ini sebenarnya merupakan Ekonomi Komunitas dalam sebuah Ekosistem Kolaborasi. Sebagai pemerintah (“Yang kebetulan menterinya sekarang ya saya ini”, ucapnya), upaya mengakselerasi peningkatan ekonomi komunitas ini adalah dengan menyediakan kebijakan dan fasilitas seperti yang sedang berjalan saat ini, antara lain KUR Himbara yang menyediakan kredit yang sesuai dengan kondisi UMKM, dan PADI UMKM yang membuka peluang belanja negara ke UMKM lokal, sekaligus mendorong UMKM untuk melakukan digital onboarding. “Biasanya, kalau ganti pejabat, program-program yang sudah berjalan baik, bisa dihentikan. Hanya karena ingin terlihat lebih hebat dari pejabat sebelumnya. Padahal tidak perlu demikian; kalau terbukti memang berdampak positif bagi seluas mungkin masyarakat penerima manfaat, seharusnya dipertahankan.”

Kak ET juga menantang, “Coba cek, yang sedang kita kenakan sekarang: baju, celana, sepatu. Apakah paling tidak 60%-nya buatan lokal? Tidak perlu yang terlalu canggih seperti ponsel dan laptop; cukup barang-barang yang mendasar saja dulu. Upayakan agar beli dan pakai produksi lokal, untuk mengangkat kebanggaan terhadap produk Indonesia, agar jangan jadi slogan semu. Bangga Buatan Indonesia, dengan sesungguhnya.”

Tantangannya tidak berhenti sampai di sini. Kak ET langsung bertatap mata, sambil berucap, “Buat ya programnya, akhir tahun ini harus ada”. Nah, kan. Interaksi dengan Kak ET tidak pernah melompong. Selalu ada komitmen dan target yang harus dipenuhi, dan semuanya realistis, asal kita mau kerja. It takes one hard worker to know another. Siap, Kak, akan kami gencarkan!

Terima kasih atas kunjungannya, Kak ET. Juga atas tularan semangatnya, sebagai sosok yang mewakili pemerintah yang mau mendengarmendukung nyata, serta mengerti betul seluk beluk para pelaku industri kreatif, artists- & designer-makers, dan creativepreneurs — sehingga dapat menghasilkan kebijakan, regulasi, serta fasilitas yang benar-benar relevan. Semoga saat Kak ET kembali lagi ke Bandung, sudah dapat kami tampilkan bukti lebih dari 60%!

=====

Terima kasih juga bagi seluruh Tim Simpul yang keren, selalu siap sedia menyiapkan ruang bersama kita ini dengan pertimbangan standar keamanan dan kesehatan. Terima kasih tim penyelenggara Bandung Design Biennale 2021 dan juga untuk seluruh rekan jenama Bandung atas partisipasinya; sangat membanggakan!

Ame Raincoat @ameraincoat

Amygdala Bamboo @amygdala_bamboo

Eldine @eldine_

Goodbelly @goodbelly.bdg

KAR @karjewellery

Kayakayu @kayakayu_id

Package from Venus @packagefromvenus

Pala Nusantara @palanusantara

Tuskbag @tusk.id

*Photo credit: Kementerian BUMN