Category Archives: Creativity

Aturan Main UCCN

UNESCO Creative Cities Network (UCCN), yang dibentuk pada tahun 2004, kini telah menghubungkan hingga sekitar 300 kota di 90 negara di dunia yang terkategori dalam 7 klaster: Desain, Film, Gastronomi, Kriya & Seni Rakyat, Literatur, Media Art, Musik. Selama 19 tahun perjalanannya, UCCN telah mengalami beberapa kali evaluasi, termasuk upaya perbaikan terhadap operasional dan pengukuran dampaknya, baik bagi kota anggota jejaring maupun bagi organisasi UCCN itu sendiri. Salah satunya adalah yang diselenggarakan pada November 2022 lalu, berupa pertemuan antara para koordinator klaster kota-kota anggota UCCN dengan Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO.

Ernesto Ottone R., Assistant Director-General for Culture, ketika menyampaikan pesan penutup pada event BEYOND URBAN, Road to G20 Indonesia 2022, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network

Pesan-pesan dari Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO

MONDIACULT 2022

  • Pengantar topik diskusi, mengenai beragam proses terkait Jejaring Kota Kreatif, terutama tentang pelaksanaan Pemantauan & Pelaporan Keanggotaan, juga proses evaluasi bagi penentuan kota-kota baru dan kemungkinan terbentuknya sebuah mekanisme pemberhentian bagi kota-kota yang tidak aktif, atas permintaan kota-kota anggota.
  • Konteks untuk usulan revisi Pemantauan & Laporan Keanggotaan (Membership Monitoring & Reporting) sebagai tindak lanjut dari penerapan Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan – MONDIACULT 2022 oleh 150 menteri, yang mengakui kebudayaan sebagai barang publik global, dan penyusunan peta jalan yang berwawasan ke depan bagi sektor kebudayaan, termasuk elaborasi dari Global Report on Cultural Policies yang akan diluncurkan tahun 2025, yang akan mendukung advokasi global untuk kebudayaan sebagai tujuan yang berdiri sendiri pasca agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
  • UNESCO akan berusaha untuk melakukan tinjauan komprehensif tentang kondisi sektor budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal, dengan tujuan memperkuat kebijakan budaya di masa mendatang, serta membangun berbagai mekanisme pelaporan berkala UNESCO di seluruh konvensi, rekomendasi, dan program-program budayanya. Hasil dari analisa ini, termasuk berbagai kemajuan dari negara-negara dan kota-kota anggota dalam mengimplementasikan Deklarasi MONDIACULT 2022, akan dipresentasikan pada Forum Dunia tentang Kebijakan Kebudayaan MONDIACULT oleh UNESCO di tahun 2025, yang selanjutnya akan diselenggarakan setiap empat tahun.
  • Ditekankan bahwa menjelang konferensi internasional ini, akan sangat penting untuk mempertahankan dialog berkala dengan para pembuat keputusan, mitra dan praktisi, termasuk melalui Jejaring Kota Kreatif, untuk memberi masukan refleksi dan untuk menguatkan sinergi lintas program, demi memastikan efektivitas dan dampak yang lebih besar.

Revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan UCCN

  • UNESCO mengusulkan untuk merevisi pelaksanaan Laporan Pemantauan Keanggotaan, dengan dukungan dari anggota jejaring, untuk memastikan meningkatnya kesesuaian antara siklus dan mekanisme pelaporan berkala, serta untuk mempertajam formulir pelaporan untuk memastikan peningkatan sinergi dengan program lain, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada prioritas sektor budaya, dan mengenali lebih jauh relevansi tindakan lokal terhadap pembangunan berkelanjutan global, serta menghubungkan dimensi lokal dan global.
  • Mekanisme Pemantauan Keanggotaan akan tetap menjadi kewajiban.

Kontribusi dari Kelompok Koordinator

Penyelenggaraan UCCN

  • Interkonektivitas perlu diperkuat dalam Jejaring, terutama melalui kegiatan dan inisiatif yang dipimpin oleh UNESCO dan kota-kota anggotanya.

MONDIACULT 2022: Laporan Global UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan

  • Perlunya memastikan partisipasi dari Kota-kota Kreatif dalam persiapan Laporan Global, termasuk melalui Laporan Pemantauan Keanggotaan, sejalan dengan pentingnya memasukkan jejaring kota-kota sebagai pelaku yang berperan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan kota di proses MONDIACULT.

Revisi Mekanisme Pemantauan Keanggotaan

  • Adalah penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan pelaporan tetap menjadi kewajiban, termasuk maksud untuk memfasilitasi pelaporan kota ke Komisi Nasional.
  • Usulan revisi disambut baik oleh kota-kota anggota, mengingat adanya kebutuhan untuk menyelaraskan kegiatan dan pelaporan dengan program-program UNESCO yang lain, dan mendukung siklus 4 tahun meskipun dibutuhkan periode transisi. Pendekatan ini dinilai bijak, karena akan memungkinkan jejaring untuk bergabung dalam dialog global dalam agenda pasca-2030.
  • Pelaporan harus bersifat kualitatif dan kuantitatif untuk memperhitungkan skala dan keragaman sumber daya tiap kota. Contoh metodologi yang memungkinkan analisis komparatif yang lebih besar adalah Monitor Kota Kreatif Uni Eropa.
  • Diperlukan struktur yang lebih efektif dari Mekanisme Pemantauan Keanggotaan, untuk meningkatkan jumlah sasaran informasi yang dapat diintegrasikan. Diperlukan juga proses ko-kreasi antar kota dalam merevisi mekanisme tersebut; juga dukungan dari otoritas tingkat pusat (nasional) untuk memfasilitasi persiapan laporan yang berkualitas.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk Mekanisme Pemantauan Keanggotaan.

Mekanisme bagi Kota-kota yang Tidak Aktif

  • UNESCO – berkolaborasi dengan kelompok klaster UCCN – diminta untuk meningkatkan tindakan dalam mendorong partisipasi dari kota-kota yang tidak aktif dan, bila perlu, memberlakukan konsekuensi dari ketidak-aktifan ini.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk mengatasi kota-kota yang tidak aktif.

Proses Evaluasi

  • Terkait proses evaluasi untuk Kota Anggota baru, diangkat pentingnya evaluasi mitra sejawat, juga perlunya menyelaraskan kriteria evaluasi melalui matriks yang disepakati oleh seluruh koordinator dan UNESCO.

Langkah Berikutnya

  • UNESCO akan meluncurkan revisi dari mekanisme evaluasi untuk aplikasi UCCN, bekerja sama dengan kota-kota anggota.
  • Usulan untuk membentuk kelompok-kelompok kerja untuk mengatasi isu kota-kota yang tidak aktif dan revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan akan ditindak-lanjuti oleh Sekretariat UCCN bersama dengan Kelompok Koordinasi.

=====

Jadi apa artinya untuk kita?

Bagi kota-kota di Indonesia yang sudah bergabung dalam UCCN, Pekalongan, Bandung, Ambon, Jakarta, antara lain: harus memperhatikan penyusunan Laporan Pemantauan Keanggotaannya. Kota-kota ini sudah ‘terkena peraturan’ penyampaian laporan setiap 4 tahun, jadi tidak akan terkena ‘resiko’ menyerahkan laporannya dua kali berturut-turut dalam jangka waktu di bawah 4 tahun. Selain itu, akan terdapat penajaman konten laporan, yang harus lebih diselaraskan dengan hasil dari MONDIACULT, menitik-beratkan pada hal kebudayaan. Juga, tentang fasilitasi dari otoritas pusat (kementerian) untuk penyusunan laporan, serta penilaian laporan oleh rekan sejawat (meskipun selama ini memang sudah terlaksana demikian, tapi akan ditetapkan matriks yang memuat butir-butir penilaian).

Bagi kota-kota yang hendak bergabung dalam UCCN, antara lain: memperhatikan formulir aplikasi berikutnya, yang saat ini sedang dievaluasi, agar lebih mengarah kepada sektor kebudayaan sebagai implementasi dari Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan.

Masa untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dirancang untuk berakhir pada 2030 – rentang 7 tahun dari sekarang – sementara tidak ada satu pun dari 17 targetnya yang berhasil tercapai dengan tuntas. Dari 17 target tersebut, tidak ada yang secara eksplisit menyebut “Kebudayaan”, sehingga terjadi diskusi tak terhitung terkait the missing goal tersebut. Meskipun terdapat argumen bahwa “Kebudayaan” dianggap telah menyatu (embedded) dalam seluruh target, tapi pada kenyataannya sering ‘dilupakan’ dalam perancangan strategi dan aksi untuk memenuhi SDGs. Oleh karena itu UNESCO, sebagai badan dunia yang terfokus pada kebudayaan dan edukasi, khususnya UCCN yang kota-kota anggotanya berkomitmen untuk memanfaatkan kreativitas dalam strategi pembangunan, berniat untuk menyertakan faktor Kebudayaan secara lebih sistematis dan terukur, melalui evaluasi mekanisme seleksi dan pelaporan kinerjanya.

Sebagai relevansi, cek juga ulasan dari paparan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, yang membawa hasil dari MONDIACULT 2022 di event WCCE 2022: Culture and Creative Economy

Pesan Ernesto Ottone R. pada BEYOND URBAN dapat disimak selengkapnya pada tautan Hari ke-2 Beyond Urban, mulai menit ke 2:02:49.

Seluruh konten event BEYOND URBAN – Road to G20, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network pada tanggal 28-29 Juli 2022, dapat diakses melalui tautan ini: https://beyondurban.iccn.or.id

Tiap kota/kabupaten harus berani munculkan potensi unggulnya!

Beberapa waktu lalu di media-media sosial tersebar viral cuplikan video pidato Presiden Jokowi yang membesarkan hati para pegiat kota & kabupaten kreatif yang selama ini berupaya mengangkat keunggulan khas daerahnya. Terutama bagi mereka yang bergabung di Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang seluruh anggotanya memiliki komitmen untuk menerapkan 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia, di mana di dalamnya terdapat kata-kata kunci kearifan lokal, inovasi, kreativitas, sains & teknologi, dan pusaka. Terlebih lagi, terdapat panduan untuk mewujudkan 10 Prinsip tersebut, yaitu Catha Ekadasa, yang memuat 11 jurus yang dapat disesuaikan dengan kota/kabupaten yang memerlukan, antara lain Navigasi Pembangunan, Musrenbang Interaktif (Design Action), Pengelolaan City Branding, dan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat penentu kebijakan bagi pemerintah daerah. 10 Prinsip dan 11 Jurus ini menjadi panduan utama bagi seluruh kota/kabupaten anggota & jejaring ICCN dalam mengidentifikasi potensi kreatif unggulnya, memposisikannya dalam ekosistem ekonomi kreatif, serta mengembangkannya hingga berdampak bagi peningkatan kesejahteraan ko/kab, warga dan komunitasnya.

Sampul Buku Putih Kota Kreatif ICCN (2021), yang memuat ulasan mengenai 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia dan Catha Ekadasa/ 11 Jurus untuk Mewujudkan Kota Kreatif Indonesia.

Dengan berlangsungnya segala upaya yang telah dilakukan secara bottom-up dan sporadis di berbagai kota/kabupaten, bahkan sebelum seluruhnya bersepakat untuk bergabung sebagai ICCN di tahun 2015, maka pernyataan presiden tersebut menjadi semacam validasi bahwa framework ICCN berada pada jalur yang tepat.

Dukungan dan harapan terhadap Kota Kreatif dan sektor Ekonomi Kreatif sebagai solusi di masa mendatang pun telah dipaparkan secara eksplisit di berbagai forum internasional belakangan ini. Salah satunya adalah milestone global terkait rekomendasi kebijakan dan peta jalan Ekonomi Kreatif, yaitu dokumen hasil dari event Connecti:City, Urban 20 Jawa Barat dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 berjudul “People and The Next Economy. — Recovering Together”, yang memuat 7 butir rekomendasi implementasi Sektor Ekonomi Kreatif pada skala kota. Selain itu, sebagai side event G20 200, World Conference on Creative Economy (WCCE) menghasilkan “Bali Creative Economy Roadmap 2022” yang memuat 16 aksi arah Sektor Ekonomi Kreatif di masa mendatang.

Pengarus-utamaan Ekonomi Kreatif makin terasa dengan diakuinya Ekonomi Kreatif dalam G20 Leaders’ Declaration 2022 pada butir 47 sebagai sektor yang “melibatkan ekonomi berbasis pengetahuan, kreativitas manusia, dan hak kekayaan intelektual, berkontribusi pada peningkatan ketangguhan komunitas pariwisata lokal dan UMKM melalui pembangunan modal sumber daya manusia, transformasi digital, inovasi, kemitraan pemerintah-swasta, pelestarian berkelanjutan terhadap pusaka alami dan budaya, dan pembiayaan inovatif yang juga mempertahankan nilai-nilai komersil dan budaya secara signifikan”.

“We further recognize that creative economy, which involve knowledge-based economy, human creativity, and intellectual property rights, contributes to improving the resiliency of tourism local communities and MSMEs through human capital development, digital transformation, innovation, public-private partnerships, sustainable preservation of natural and cultural heritage, and innovative financing while retaining their significant commercial and cultural values”

Saat berlangsungnya APEC 2022, Presiden Jokowi kembali menyatakan pentingnya Ekonomi Kreatif.

“Hal kedua sektor prioritas yang disampaikan Presiden Jokowi yaitu kerja sama industri kreatif sebagai sumber pertumbuhan baru. Ekonomi kreatif adalah sektor masa depan dan pilar pertumbuhan inklusif karena mendobrak batas geografis, gender, etnis, strata ekonomi dan mendorong pencapaian SDG”

*sumber: https://setkab.go.id/dua-sektor-pemulihan-ekonomi-global-rantai-pasok-yang-resilien-dan-industri-kreatif-sebagai-pertumbuhan-baru/

Selain forum-forum tersebut, Ekonomi Kreatif juga mendapatkan perhatian khusus dari ASEAN Creative Economy Business Forum (ACEBF) yang diselenggarakan di Bali tahun 2021, dan Asian Development Bank Institute (ADBI) yang menerbitkan “Creative Economy 2030 Policy Brief” yang didiseminasikan berbarengan dengan T20 2022.

Kembali pada konteks Kota Kreatif. UNESCO membentuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN) sejak 2004, dalam rangka mendorong kota-kota berpotensi kreatif di dunia untuk saling berkolaborasi; memanfaatkan potensinya untuk menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan. Kota-kota di Indonesia yang telah bergabung dalam UCCN adalah Pekalongan (City of Craft and Folk Arts, 2014), Bandung (City of Design, 2015), Ambon (City of Music, 2019), dan Jakarta (City of Literature, 2021). Dalam rangkaian Road to G20 Summit, bersama ICCN, UNESCO Cities Platform menyelenggarakan konferensi daring “Beyond Urban“, yang menghasilkan dokumen “Urban Solutions”, terfokus pada 3 tema prioritas G20 dengan penekanan pada isu Climate Change.

Seluruh rekomendasi tingkat dunia ini tentu akan kembali pada skala lokal, kota/kabupaten, untuk menentukan keberhasilan implementasinya. Pada dasarnya, kebijakan dan rencana strategis pembangunan daerahlah yang menjamin terwujudnya dorongan Presiden Jokowi tersebut, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat para pelaku. Peran pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator menjadi pembuka jalan utama bagi munculnya “keberanian” kota/kabupaten untuk mengakui dan bangga akan potensi khas masing-masing, sehingga eksplorasi terhadap peningkatan kapasitasnya sebagai sumber kesejahteraan pun dapat dikembangkan secara terstruktur dalam skala yang terjangkau dan terukur. Tanpa adanya sinergi dengan pemerintah, segala upaya yang dilaksanakan oleh warga, komunitas, dan pelaku ekonomi kreatif akan tetap berjalan, namun tidak akan memberikan feedback yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang kebijakan dan strategi pembangunan kota/kabupaten.

——————–

Tahun 2023, Indonesia kembali mengampu peran sebagai tuan rumah pertemuan tingkat tinggi, ASEAN. Merujuk pada forum-forum sebelumnya, kali ini seharusnya menjadi saat yang tepat bagi Ekonomi Kreatif untuk memenuhi berbagai rekomendasi kebijakan dan skenario yang telah ditetapkan. Terlebih bagi kota-kota kreatif di Asia Tenggara yang memiliki kemiripan demografi dan karakteristik. Melalui ICCN, Indonesia berinisiatif menampilkan karya-karya kreatif yang membawa nafas Asia Tenggara sebagai suatu wilayah. Kota-kota UCCN di wilayah ASEAN, terutama Kota-kota Desain di Asia Tenggara Bandung, Singapura, Cebu, Hanoi dan Bangkok, pada pertemuan di Singapore Design Week September 2022, pernah bersepakat untuk melaksanakan semacam co-design project yang dapat menunjukkan kekuatan ekonomi kreatif negara-negara ASEAN. Pesan ini disampaikan kembali saat Bangkok Creative City Dialogue pada Februari 2023, dan rencananya akan dilanjutkan pada event Connecti:City di Bandung, Mei 2023. Upaya ini tidak akan terwujud tanpa kerja sama multi pihak, serta dukungan nyata dari tiap pelakunya. Mari manfaatkan peluang berharga ini untuk exercising cara-cara bekerja sama, mengeksplorasi berbagai skema project penciptaan bersama, menjawab tantangan terbesar kita selama ini sebagai jejaring pelaku dan komunitas (mempraktikkan “sinergi”, “integrasi”) dengan tujuan yang konkrit, yang hasilnya dapat menjadi kebanggaan bersama.

===

Links to related documents/references:

14-15 March 2022 | Policy Brief CONNECTI:CITY 2022 | U20 West Java, G20 Indonesia 2022 | People and The Next Economy – Recovering Together https://drive.google.com/file/d/1KdllzSKN0ZhmeD7jvM6NzRlfP4IDXHKW/view

28-29 July 2022 | UNESCO Cities Platform x Indonesia Creative Cities Network | Road to G20 Summit 2022 | BEYOND URBAN https://beyondurban.iccn.or.id

June 2022 | Asian Development Bank Institute (ADBI) | Creative Economy 2030: Imagining and Delivering a Robust, Creative, Inclusive, and Sustainable Recovery https://www.adb.org/publications/creative-economy-2030-imagining-and-delivering-a-robust-creative-inclusive-and-sustainable-recovery

15-16 Nov 2022 | G20 Leaders’ Declaration https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9TaWFyYW4lMjBQZXJzLzIwMjIvRzIwJTIwQmFsaSUyMExlYWRlcnMlMjclMjBEZWNsYXJhdGlvbiwlMjAxNS0xNiUyME5vdmVtYmVyJTIwMjAyMiwlMjBpbmNsJTIwQW5uZXgucGRm

2023 Projecting Indonesia’s Creative Economy Potential on the Global Stage (download file)

Bangkok Creative City Dialogue

Berbarengan dengan diselenggarakannya Bangkok Design Week, Creative Economy Agency (CEA) Thailand membuat sesi Creative City Dialogue pada tanggal 10 Februari 2023, dengan mengundang beberapa focal point UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Secara umum mereka mengangkat tema terkait arah pembangunan kota setelah pandemi. Bagaimana budaya dan kreativitas dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan kota, terutama dalam hal ekonomi, taraf hidup, dan ketangguhan (resilience). Salah satu yang juga dieksplorasi dalam sesi ini adalah peluang kolaborasi atau inisiasi peta jalan yang dapat tercapai dalam 4 tahun ke depan.

Pada sesi tersebut, Bandung mengawali paparannya dengan menampilkan linimasa nomenklatur Ekonomi Kreatif di Indonesia, dari sisi pemerintah dan forum/jejaring komunitas. Dari linimasa ini terlihat kesinambungan antara satu momentum dengan yang berikutnya, di mana Ekonomi Kreatif Indonesia terbangun oleh kedua sisi tersebut. Inisiatif pada tingkat komunitas, secara bottom-up menjadi pasokan bagi penentuan kebijakan, kegiatan dan program yang difasilitasi dan diregulasi oleh pemerintah secara top-down. Jadi semacam iterasi “double diamonds” yang dijalankan oleh stakeholders yang saling melengkapi. Pertemuan yang produktif antara bottom-up dengan top-down ini hanya mungkin terjadi jika terdapat ruang-ruang komunikasi yang kondusif bagi seluruh pihak, jika terdapat pihak intermediary yang memahami dan mengakomodasi kepentingan seluruh pihak secara proporsional, dan bila seluruh pihak dapat menyepakati fokus tujuan bersama yang lebih besar dari kepentingan sektoral.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid0bkFQMjBXTdx8RCS8BojNCn2JgsPMBpJ6eVuZcDv9CSamJwxqrDVrTvN4Vd1RzZoNl

Materi paparan dari 9 kota UCCN (Asahikawa, Bandung, Bangkok, Kuching, Nagoya, Perth, Phetchaburi, Seoul, Singapore) dapat diakses di sini: https://drive.google.com/drive/mobile/folders/1dA9SYgfi55wXhP-ITYgtDJ_BbxlKf6jA?usp=share_link

Sesi diskusi dibuka setelah makan siang. Setiap peserta mendapat pertanyaan yang sama secara umum, yaitu rencana 4 (empat) tahun ke depan dalam konteks strategi pembangunan kota kreatif. Bagi Bandung, kondisi dalam 4 tahun mendatang belum dapat diprediksi dengan tenang dengan adanya dinamika sepanjang masa pilkada dan pilpres, yang sangat mungkin akan berpengaruh pada program-program dan pengambilan keputusan secara top-down. Sehingga para pelaku ekonomi kreatif sebaiknya lebih mengandalkan rencana yang diampu oleh pihak-pihak seperti simpul komunitas atau kelompok masyarakat yang kredibel, dan lembaga akademik atau pusat riset, yang operasionalnya tidak tergantung secara langsung pada disrupsi politik pemerintahan. Kesimpulan ini berdasarkan pengalaman Kota Bandung, yang meskipun telah memiliki Perda Ekraf (01/2021), eksekusinya tidak berlangsung sesuai dengan rencana.

Berbagai momentum penting juga dapat kita manfaatkan dalam mempromosikan “kreativitas” dan “ekonomi kreatif” sebagai jawaban bagi beragam tantangan Pembangunan Berkelanjutan; yang terdekat adalah KTT ASEAN 2023 yang diketuai Indonesia. Kita bisa memunculkan diri sebagai “ASEAN” melalui karya-karya kreatif yang dapat berpartisipasi dalam event tersebut, menunjukkan kekuatan potensi ekonomi kreatif di wilayah ASEAN, sekaligus menyatakan bahwa “kreativitas”, melalui proses ko-kreasi, dapat menjadi bahasa bersama di wilayah Asia Tenggara yang sangat kaya keragaman budaya.  

Disampaikan juga, bahwa dalam skala yang lebih luas, Kota Bandung bersama Provinsi Jawa Barat akan terus menyempurnakan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat bantu bagi pemerintah kota/kabupaten untuk merancang kebijakan atau membuat keputusan berdasarkan data ekosistem ekonomi kreatif di wilayahnya masing-masing, sekaligus memetakan peluang kolaborasi dengan wilayah lain, melalui identifikasi keunggulan tiap wilayah dalam eksosistem ekraf.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi diskusi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid02DR1vG6mPQJhu7d6ZhYyQPRaC59GhjHdUkEhnHskXPvoGejMx6QhHaE6fZ8nKKizfl

Tautan untuk press release di situs Creative Economy Agency: https://www.cea.or.th/th/news/bangkok-creative-city-dialogue-eng https://www.cea.or.th/en/single-project/bangkok-creative-city-dialogue

Creative City Dialogue ini diharapkan untuk tidak hanya terjadi sekali ini saja, dan Bangkok menawarkan kota-kota lain untuk menyelenggarakan sesi dialog berikutnya. Nah – sebuah kesempatan yang harus disambut dengan baik. Bandung – dan kota-kota kreatif UNESCO lain di Indonesia: Pekalongan, Ambon, Jakarta – mari kita siapkan diri untuk menjadi tuan rumah di momentum terdekat kita! 🙂  

Culture and Creative Economy

I posted this on my Instagram on Oct 12, 2022 (the event itself was on Oct 7) and I thought some points might need to be referred to in the near future. Photos and the complete speech are posted here as well, for when the day comes.

🇮🇩🇮🇩🇮🇩

The Director General of Culture Hilmar Farid @hilmarfarid delivered his thoughts at the closing session of the World Conference on Creative Economy, titled “Towards a Sustainable Future”. It’s such a pleasure to have him here, since there has always been a dichotomy between “Culture” and “Creative Economy” within the contexts of formality: government regulations and structures. While, in fact, Creative Economy – especially in our region – can’t be separated from Cultural and Creative Industries and the infinite inspiration from (indigenous) culture, tradition, and resources.

Many points are worth highlighting, but here are some particular ones:

“On the policy side, we need to move away from our fixation on economic growth and begin to seriously take the emotional, spiritual, and cultural dimensions into account.”

“I think of the relationship between the cultural sector and the creative economy as complementary, not competitive.”

Direct stakeholders of those sectors commonly (and perhaps subconsciously) retain the mindset of “Cultural Activities” as cost exhaustive and project “Creative Economy” as an income generator. We just have to keep rediscovering a balance mechanism so the two may thrive sustainably in the future.

Thank you for the insights, Bang Fay, looking forward to having further interactions! ✨

#worldconferenceoncreativeeconomy #worldconferenceoncreativeeconomy2022 #wcceid #culture #creativeeconomy #g20sideevent #g20sideeventbali

Re-imagining The City is A Team Sport

Connecti:City, an international conference on creative economy organised by KREASI Jawa Barat (West Java Creative Economy and Innovation Committee) and hosted by West Java Province, was first held in 2019. This conference was created to provide a platform for discussions, exchanges and showcases about creative hubs, creative cities and creative economy, not only for cities and regencies in West Java, but also throughout Indonesia and the world. 

Connecti:City took a pause in 2020 due to the pandemic, and resumed in 2021 in a hybrid form: online and onsite at the newly-built Cirebon Creative Hub. As intended, the conference contained updates and news from creative hubs, especially from the new creative centres that are being built in West Java cities/regencies. 

Opportunities for West Java, presented by The Secretary of West Java Province, Dr. Ir. Setiawan Wangsaatmaja, Dipl., S.E., M.Eng.
Digital Creative Economy Ecosystem, presented by the Deputy of Digital Economy and Creative Product, Ministry of Tourism and Creative Economy, M. Neil El Himam, M.Sc.

The momentum of Indonesia G20 Presidency in 2022 with the theme “Recover Together, Recover Stronger” provides an opportunity for Connecti:City to amplify its messages about post-pandemic resilience of cities that implement the creative economy sector in its development strategies, next to the aspects of inclusivity and sustainability. To cut the story short, our plans for Connecti:City 2022 escalated so fast when West Java was appointed to co-chair U20. The main Connecti:City event, scheduled for 14-15 March 2022, has suddenly become a side event for U20 that focuses on creative economy and creative city. All things considered, we held a Connecti:City Preparatory Meeting/Workshop prior to the conference, on 22 February 2022, online and onsite at the newly-launched Purwakarta Creative Center. And here’s a bit of a note from that event.

  1. This Connecti:City pre-event aims mainly to gather aspirations and insights from local governments and stakeholders about the development of creative economy in their respective regions, also examples or best practices of how creative economy has contributed to the local economy recovery, and elements that are required to enhance the impacts (policies, programs, etc.).
  2. West Java Province inaugurated the West Java Creative Economy & Innovation Committee (KREASI) in 2019, whose main task is to assist the West Java Government in creative economy development. There are seven priority programs for creative economy in West Java: (1) increasing access to digital literacy, (2) developing a creative industry platform, (3) developing database and research on creative economy, (4) increasing access to sales, (5) activating creative centres, (6) increasing access to payment methods, (7) activating creative economy institutions. 
  3. Since its establishment, KREASI has conducted several programs, among others are: (1) UDUNAN that aims to facilitate creative entrepreneurs with access to financing, both banking and non-banking resources, (2) Teras Indonesia, a space provided by IKEA in Kota Baru Parahyangan for local products/brands, collaborating with West Java Craft Council, (3) Borongdong, a closed-loop (exclusive for West Java government employees) digital e-commerce platform for creative industries with supports in marketing, logistics and distribution, (4) Capacity Building programs through online classes, and so on.
  4. West Java Province proposes a number of recommendations at the international, national, and regional levels. At the international level, the government wishes to establish Connecti:City as a continuous collaboration platform between West Java and the international creative economy communities; to strengthen cooperation among global south countries in accordance with the spirit of Asia Africa Conference; and to push forward the creative economy sector to answer to the SDG challenges in the post-pandemic era.
  5. At the national level, West Java Government proposes to expand cooperation among provinces; to encourage benchmarking and exchange best practices/experiences of creative economy; to promote creative economy as a driving force for post-pandemic recovery. 
  6. At the regional level, the provincial government urges all cities/regencies in West Java region to enact regulations on creative economy; to create a multi sector action plan that creates a synergy for creative economy development; to establish a city/regency-level creative economy institution/committee.
  7. The Indonesia Ministry of Tourism and Creative Economy brought up the issues around the digital creative economy ecosystem and development program.  
  8. Grisana Punpeng, Ph.D., from Chulalongkorn University, Thailand, did a research on several UNESCO Creative Cities in order to learn about the framework of a “cultural/creative city” as a reference for Buriram development as a liveable – rather than a tourist – city. Three points of recommendations that came out of this research are: (1) integrating creative economy and cultural-/creative industries policies to the development plan; (2) providing space to create, collaborate and grow; (3) creating a creative coalition (local government, private sectors, city inhabitants, educational institutions, CSOs).
  9. My material mainly covers the usual points: how community initiatives can lead to formulations of frameworks and models of impactful programs that can be implemented and improved for relevance. A solid network of communities would be able to achieve further: act as a pressure group to influence the passing of a bill on creative economy. The examples presented were from Bandung Creative City Forum (BCCF), then Indonesia Creative Cities Network (ICCN) whose city/regency members have been active for a similar fight in their respective areas.

Speakers also came from East Java and East Nusa Tenggara, two provinces that are collaborating with West Java within the Creative Economy sector. The workshop, that was held simultaneously online and on site, joined by an ample amount of participants composed of governments and other stakeholders from different cities/regencies, went quite lively. The three main questions that attempted to dig out the participants’ aspirations and ideas have, in a playful manner, shaped a number of recommendations that can be wrapped and submitted to the main event, Connecti:City, as a supplement for the Bandung Communique.         

This Preparatory Meeting/Workshop concluded with a keynote from Tom Fleming, whose TFCC recently completed a research on Cultural Cities Profile in Asia, among which were 14 Indonesian cities. Tom shared the learning points from the research, encouraging us to embrace our heritage, diversity, hubs, and connections. Closing the talk, he prompted us with questions/statements such as, “Can creativity build a better post-covid city?”, and, “Re-imagining the city is a team sport”. Appropriately intriguing, to pursue the next events!     

World Conference on Creative Economy 2021

Masih dari WCCE Dubai. Berikut ini adalah catatan dari sesi pembukaan WCCE, 7 Desember 2021.

Audrey Asoulay, Director General UNESCO

  1. Paparan Audrey dimulai dengan kisah tapak-tapak tangan berusia ribuan tahun di Sulawesi, yang menandakan daya kreativitas manusia sebagai naluri alamiah.
  2. Berkembangnya daya kreativitas menjadi Culture & Creative Industry (CCI) terus menerus menghasilkan inovasi, yang berkontribusi pada rencana pemulihan pasca pandemi.
  3. Strategi Ekonomi Kreatif dapat memperkuat jalinan masyarakat, sekaligus menjawab tantangan masa depan yang berkelanjutan.
  4. Masyarakat yang tangguh dan damai kerap mempraktikkan ekonomi kreatif dalam skala kota, sehingga kolaborasi antar kota-kota yang berkesepahaman mengenai ekonomi kreatif dan potensi kreativitas ini pun dihimpun dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN). 
  5. G20 menjadi salah satu platform kolektif untuk bergerak bersama, dengan dampak pada ketersediaan lapangan kerja untuk pembangunan berkelanjutan.
  6. Terdapat 3 isu utama, yaitu: (1) Data yang lebih baik, terutama untuk memahami kontribusi sektor ekraf terhadap GDP dan dampak pandemi terhadap budaya, serta untuk menentukan kebijakan publik; (2) Perlindungan yang lebih baik terhadap kreator/seniman, terkait regułasi efektif bagi perlindungan status seniman, serta ruang-ruang penting bagi kegiatan berkesenian; (3) Akselerasi digital, terutama sebagai saluran bagi suara semua pihak, serta terkait distribusi dan model-model bisnis yang berkelanjutan.
  7. Perlu adanya sebuah Peta Jalan Internasional untuk Ekonomi Kreatif yang dapat disepakati bersama. G20 di Indonesia dan Mondial Mexico diharapkan dapat menjadi jalan menuju cita-cita ini.  

Noura Bint Mohammed Al Kaabi, Minister of Culture & Youth UAE

  1. Ekonomi Kreatif adalah sebuah sektor yang sering disalah-pahami. Sehingga UAE membuat strategi nasional pengembangan ekonomi kreatif untuk 10 tahun. Karena itu UAE sangat bergembira mendapatkan tongkat estafet kelanjutan WCCE dari Indonesia. 
  2. WCCE kali ini juga menjadi semacam penutup bagi Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan. Di masa mendatang, ekonomi kreatif akan menjadi ekonomi global.
  3. Ekonomi kreatif akan membawa kita untuk melompat lebih kuat melewati pandemi.
  4. Ekonomi kreatif di masa pasca pandemi sangat ditentukan oleh kreativitas manusia, termasuk perkembangannya yang ditunjukkan oleh munculnya beragam istilah seperti CCI, digitalised contents, NFT, dan sebagainya.

Angela Tanoesudibyo, Vice Minister of Tourism & Creative Economy Republic of Indonesia

  1. Tema WCCE 2018 Inclusively Creative, seiring dengan Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembanguan Berkelanjutan, berkembang menjadi Cultivating The Future di WCCE 2021. Di sini sudah ada bahasan mengenai teknologi dan disrupsi digital.
  2. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga akan makin menjadi perhatian. WIPO menekankan 3 hal utama, yaitu: (1) Ekonomi Kreatif sebagai solusi; (2) Kerja sama internasional terkait HKI; (3) Penerapan baru, yaitu HKI bagi komunitas, terutama untuk para pelaku ekonomi kreatif secara inklusif (perempuan, generasi muda, seniman, dsb.).  

Paolo Toschi, G20 Culture Italy 2021

  1. G20 Culture Italy menempatkan budaya sebagai pusat strategi pembangunan.
  2. Budaya mengangkat berbagai nilai, termasuk urban regeneration, dengan butir-butir utama: pemberdayaan usaha berbasis budaya dan kreativitas, pengaruh budaya pada lingkungan dalam konteks perubahan iklim dan perlindungan aset pusaka, serta penguatan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.    

5 konsep G20 yang berasal dari penerapan ekonomi kreatif:

  1. Pemberdayaan masyarakat melalui CCI, yang membuka peluang sinergi antar generasi dan meningkatkan ketangguhan
  2. Dunia digital/virtual dan dunia real akan saling mengisi, terutama untuk menghasilkan karya digital yang unik, yang bahkan dapat merepresentasikan sejarah sekaligus ekspresi kontemporer
  3. Inklusivitas, termasuk kesetaraan gender
  4. Pengembangan CCI lintas sektor, yang selalu menjadi pembelajaran, sekaligus menghibur, dan dapat bertumbuh di masa krisis
  5. Berbagai solusi terhadap perlindungan dan permasalahan lingkungan, sebagai hasil sinergi teknologi dan desain

UNCTAD

  1. Perlu adanya kolaborasi untuk masa depan kreatif ekonomi demi pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
  2. Budaya membuat teknologi digital menjadi manusiawi; juga dalam ranah pemberdayaan perempuan, ketika ia menjadi produk, jasa, dan media.
  3. Teknologi digital memungkinkan terjadinya dialog lintas budaya.

UNESCO CULTURE & WIPO

  1. Ekonomi Kreatif adalah salah satu sektor yang bertumbuh pesat, dan membuka banyak lapangan kerja bagi kaum muda.
  2. CCI di masa mendatang erat hubungannya dengan ekonomi digital.
  3. Simpul-simpul kreatif akan mendorong pengembangan ekonomi lokal.
  4. Budaya sebagai “common good”; berbagai isu kebijakan perlu diarahkan ke hal ini. Presidensi G20 Italia 2021 telah mengangkat aspek budaya. Tahun depan akan berlangsung Mondial 2022 yang akan mengangkat tema kebijakan publik dalam budaya. 
  5. Kenapa ekonomi kreatif penting bagi sebuah wilayah? Karena ia dapat memayungi aspek sosial dan ekonomi masyarakat wilayah tersebut.
  6. Ekonomi kreatif dan dampaknya adalah indikator dinamika sebuah kota.
  7. Kita perlu merumuskan indikator global terkait inovasi sebagai hasil dari sektor ekonomi kreatif.          
  8. “Budaya” tidak secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu dari 17 sasaran dalam SDG, namun sebenarnya telah terdapat dalam seluruh sasaran tersebut. Sehingga indikator pencapaian SDG hendaknya memuat juga aspek budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal.
  9. Untuk menyambut masa depan, “budaya” sebagai sebuah kerangka kerja perlu dilengkapi dengan model pendanaan dan kebijakan yang tepat. 
  10. Pendekatan copyright menghadapi tantangan: (1) dari sisi para pelaku ekraf, yang harus menyadari benar apa saja yang dimiliki, dan apa saja yang dapat dilakukan; (2) dari sisi para pembuat kebijakan dan pemerintah, yang harus menciptakan ekosistem untuk kreativitas. 
  11. Copyright harus lebih disederhanakan agar mudah dimengerti.  

====

WCCE yang berlangsung selama tiga hari di Dubai ini menghasilkan 21 butir UAE WCCE 2021 Agenda; dapat diunduh di wcce.ae

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

“Kreativitas” Menurut Malcolm Gladwell

Salah satu acara puncak dalam rangkaian acara World Conference on Creative Economy (WCCE) adalah sesi Malcolm Gladwell, yang membahas tentang “kreativitas” di hari terakhir WCCE, 9 Desember 2021 di Dubai. Terdapat tiga hal utama yang menjadi bahasan pada sesi ini.

1 Apa yang dapat kita pelajari tentang “kreativitas”?

Untuk menyampaikan gagasannya, Gladwell mengangkat Paul Simon sebagai ilustrasi. Paul Simon, sebagai duo Simon & Garfunkel, sempat mencapai masa jayanya di tahun 70an. Di tahun 80an popularitasnya telah menurun; pada masa depresi ini seseorang mengirimkan Paul sebuah kaset berisi musik Afrika. Paul segera terbang ke Johannesburg, tinggal di sana selama 2 minggu, berkutat dalam studio, hingga menelurkan album Graceland, yang mencapai sukses besar. Saat itu, Paul berusia 45 tahun.

———

Biasanya, kita mengaitkan “kreativitas” dengan “usia muda”, di mana kreativitas seseorang dianggap mencapai puncaknya pada usia 20an. Namun dalam hal Paul ini, tidak demikian. Terdapat sebuah “creative break”, di mana sebelumnya ia berkarya dengan aktif, lalu masuk ke fase terendahnya. Namun kemudian, ia mendapatkan kaset musik Afrika yang menjadi stimulus untuk kembali aktif menciptakan karya, hingga sukses.

Sebagai ilustrasi selingan, Gladwell menghadirkan Picasso dan Cezanne. Terdapat dua jenis Jenius Artistik: (1) Inovator Konseptual, dan (2) Inovator Eksperimental. Pada usia 20an, Picasso menciptakan gaya kubisme dan menjadi sangat sukses karena hal tersebut. Ia masuk dalam kategori (1) yang terus menerus beriterasi hingga mencapai hasil terbaik. Sementara, Cezanne masuk dalam kategori (2), di mana ia terus menerus melakukan proses mencoba dan gagal, dalam upaya menemukan hasil terbaik. Ia baru mencapai “puncak kreatif”nya di usia 50an. [Proses iterasinya tersimpan baik di Museum D’Orsay, Paris]

Sutradara Alfred Hitchcock juga melakukan proses iteratif ini, dan baru mencapai puncak kreatifnya di usia yang tidak lagi muda. Dalam hal ini, Paul Simon memiliki kemiripan dengan Cezanne dan Hitchcock.

2 Ada apa dengan jenis eksperimentasi ini?     

Eksperimentasi dalam berkarya, atau iterasi dalam upaya mencapai hasil terbaik, sangat diperlukan. Ketika kita mulai melakukan eksperimentasi (dengan potensi kreativitas yang kita miliki), pada saat itu juga kita membuka beragam kemungkinan dan skenario yang dapat terwujud. Orang kreatif tidak hanya memikirkan, atau berandai-andai tentang hasil terbaiknya, tapi mereka benar-benar melakukan, berkerasi, dan berupaya, untuk mencapai hasil terbaik tersebut.

3 Mengapa keberagaman dan inklusivitas itu penting?

Ringkasnya: because it’s a just thing to do(!) Tapi juga karena keberagaman adalah kunci menuju kreativitas!

Untuk memberi gambaran bagi pernyataan ini, Gladwell menyajikan contoh teknologi telepon. Di masa awalnya, telepon merupakan sebuah kegagalan komersil. Sebab inventornya berkeras menyatakan bahwa produk teknologi telepon ini hanya dapat dimanfaatkan sebagai alat berbisnis; keperluan lain tidaklah relevan. 

Jelas mereka tidak melakukan pengujian usability yang melibatkan beragam jenis segmen masyarakat. Mereka menutup kemungkinan bahwa para pengguna telepon ini bisa dari kalangan petani, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Keterbatasan pengguna pun membuat pemasaran telepon ini jeblok.

Baru di tahun 1920an, atau 40 tahun setelah ditemukan, teknologi telepon ini mulai disosialisasikan dan dibuka untuk pengguna selain bisnis. Bayangkan, terdapat rentang waktu 40 tahun “kerugian”, yang seharusnya dapat membuat perkembangan tekonlogi telepon ini jauh lebih pesat, dengan adanya pengguna yang jauh lebih beragam. 

Sehubungan dengan ini, menurut Gladwell, orang kreatif adalah mereka yang berani menghadapi hasil yang tak terduga dari eksperimen yang mereka lakukan. Mereka adalah yang selalu siap melakukan proses yang tidak nyaman, karena menghadapi berbagai kontroversi dan kritikan deras. [Seperti yang dihadapi oleh Paul Simon ketika menggarap albumnya di Afrika Selatan]

Orang kreatif harus selalu ditantang dengan pertanyaan, “Apakah Anda bersedia untuk berada dalam kondisi yang tidak nyaman?” – karena kenyamanan adalah musuh dari keberagaman. Kata-kata seperti Kebaruan, Kreatif, dan Imajinatif hanya dapat dicapai oleh mereka yang berani berada dalam kondisi yang tidak nyaman. 

===

Demikian pendekatan Malcolm Gladwell terhadap Kreativitas. Ia memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menjawab beberapa pertanyaan dari yang hadir, yang “tercatat” dalam graphic note terlampir. 

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

Inclusive and Resilient Creative Economy

The complete theme for the Side Event of the High-Level Political Forum on Sustainable Development was Inclusive and Resilient Creative Economy for Sustainable Development, held online on 8 July, 2021. It was a great honour to act as the discussant of this session. Due to the limited duration, there was no time to really go deep into each speaker’s points, nor to have an extensive discussion afterward, but written here are some points worth noting during the session that was hosted by Mr. Royhan Wahab, Deputy-Director for Trade in Services and Trade Facilitation, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia.

H.E. Mr. Dr. Sandiaga S. Uno, Minister of Tourism and Creative Economy of the Republic of Indonesia, in his keynote speech mentioned that we should reconfigure Creative Economy to be a recovery tool. There are two keys of approaches: (1) At Home, (2) Hygiene. At home, we are reconfiguring the way we consume (food, goods), where people prefer more and more personalised experience and convenience. The growing sector, e-commerce and digital technology that provide platforms for contents, should be explored for wider opportunities for the creative economy. Hygiene, related to health issues, would lead us to live safely amidst the virus around us. Business models around this approach should still be developed.   

H.E. Ms. Angelica Mayolo, Minister of Culture, Republic of Colombia, in her keynote speech mentioned culture as an economy pillar, of which ecosystem should be strengthened. The dominating demography of youth is a potential resource for creative industry and along the issues of heritage; it is necessary to have a bill to develop measures in the creative sector. Referring to the Orange Economy, we should work on modernising the cultural sector; create, innovate, inspire.

H.E. Mr. Dr. Agung Firman Sampurna, Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia, made a special remark concerning sustainability and resilience. We should see the current pandemic era as “The Great Reset” that gives us a chance to rebuild and rework our policy for recovery, inducing in tourism and creative economy sectors as among the priorities. He also mentioned the importance of audit and transparency in answering the Sustainable Development Goals challenges.

H.E. Ms. Amalia A. Widyasanti, Ph.D., Deputy for Economic Affairs, Ministry of the Indonesian National Development Planning Agency, during the panel session brought up the subject of economy transformation. The previous ministry-level institution for creative economy (BEKRAF) set three main objectives of the sector: increase of GDP, job creation, and export value. Consequently, the following support should be provided: (1) Focusing policy-making to human resource. Considering the “demographic bonus” and the widening gap of access due to the pandemic, we have to find a swift strategy to open more opportunities for youth and creative economy-related occupations; (2) Bills on the Creative Economy sector that should include the scopes of research, space/hub, incentives, and IP rights. The BBI (Bangga Buatan Indonesia) campaign should be able to become a pull factor; (3) Availability of broadband network and inclusive access to this facility; (4) Access to finance and market. She also mentioned about the leadership of Indonesia in the Creative Economy sector through the first World Conference of Creative Economy (WCCE) in 2018 and the establishment of Friends of Creative Economy (FCE). FCE and BEKRAF proposed the International Year of Creative Economy, that became the UN General Assembly resolution, aiming to mainstream creative economy as a strategy to answer the challenges of SDGs. Again, consequently, these efforts should be supported by international collaboration particularly on digital economy and legal framework

H.E. Mr. Jagdish D. Koonjul GCSK., GOSK., Ambassador of the Republic of Mauritius to the UN, discussed how creative economy sector can be a vehicle to eradicate poverty. The keywords of this discussion include economy transformation, innovation, and thriving performing art, supported by technology. There is also a notion to conduct the tourism business with insights around sustainability and Public-Private Partnership, along with the promotion of creative industries.                       

H.E. Ms. Mgs. Maria Cristina Solis Gallo, Undersecretary of Territorial Competitiveness, MPCEIP of the Republic of Ecuador, mentioned that the Creative Economy is a rapidly growing sector in Ecuador, until the pandemic hit. Responding to this condition, they have been conducting: (1) Recovery Strategy, and (2) National Competitiveness Strategy; all within the context of Creative Industry that involves the main stakeholders: academia, government (ministries), and so on. 

Ms. Natalia Stapran, Director of the Department for Multilateral Economic Cooperation and Special Projects, Ministry of Economic Development of the Russian Federation, discussed about inclusive creative economy in Russia, by integrating creative economy in planning and territorial development.    

Mr. Ernesto O. Ramirez, Assistant Director-General for Culture UNESCO, considered the impacted cultural workers and expressed the importance to integrate culture into development schemes. This is one bold step to strengthen the dignity of cultural professionals, while also recognising the digital transformation of creative industries. He also mentioned about Indonesia leadership in promoting creative economy that lead to the declaration of 2021 as the International Year of Creative Economy for Sustainable Development. He also mentioned the MONDIACULT event in Mexico, 2022, as part of the Creative Mexico Forum in October. This 2022 congress will take place 40 years after the original MONDIACULT, a major milestone in shaping the debate on global cultural policies

==========

Responding to the speakers, and considering the theme of this session, “Inclusive and Resilient Creative Economy”, it is worth paying attention to the recent publication by Global Solutions Network, titled INTERSECTING. This publication collected ideas and best practices related to the efforts of recovery from the pandemic, from many corners of the world, and in many levels. Among them is seen in this page, the Solidarity Act (Aksi Bersama Bantu Sesama) from Indonesia Creative Cities Network (ICCN), a hub organisation that has connected community initiatives in more than 210 cities in Indonesia. This part shows the substantial role of community initiatives in coping with the emergency situations at the beginning of the pandemic, when the government had yet to gather adequate data in order to be able to distribute aids proportionally.

Within the context of creative economy, all ICCN programs are practiced with a framework that has become the consensus and commitment of all its members. This framework includes the 10 Principles of Creative City and Catha Ekadasa, or the 11 Ways to implement the 10 Principles; involving the Hexa Helix Stakeholders of a creative city that follow the 3 path of Connect-Collaborate-Create/Celebrate; and comply with the Creative Economy Ecosystem that comprises four main elements: human resource/creators, products (goods, services, systems), market/users, and R&D. 

Most of the speakers have also mentioned important milestones regarding the Creative Economy Sector at the global level, particularly regarding the leadership of Indonesia within this subject. The timeline shows that the efforts to mainstream creative economy have been built since the first World Conference on Creative Economy (WCCE), followed by the establishment of Friends of Creative Economy (FCE) that drafted the resolution for the International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCEforSD). 2021 as the IYCEforSD was declared in 2019; however, the pandemic that started in 2020 has forced changes of plans. In the mean time, ICCN became the knowledge partner of U20 in publishing a policy recommendation, titled “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” in 2020, then joined T20 in 2021 to formulate another one in the line of “Creative Economy as an Accelerator of Sustainable Recovery”. All these are an effort to promote Creative Economy as among the sectors to be discussed during the G20 Summit in Indonesia, 2022. The pandemic has given the opportunity for creative economy to prove that it is among the most relevant sectors for recovery and to create inclusive resilience. Therefore, it is also worth noting that the Asian Development Bank Institute (ADBI) will hold a conference in Tokyo in November 2021, with the theme “Imagining and Delivering a Robust, Inclusive, and Sustainable Recovery”; that will present cases and practices from around the world regarding similar subject of this event. We are all creating scenarios and keep experimenting on how we could move forward together; what have we learned, what would we bring with us, and what we should leave behind for a sustainable future.  

Lastly, keywords such as culture and heritage have also been widely discussed at the global level. The G20 Culture Webinar, for instance, has brought up the theme of creativity for social change, and changing perspectives for cultural heritage. The human-centred development model that became a part of the U20 white paper (2020) put out an argument about how creative economy would provide inclusive occupations in the future, by the means of access to technology, the involvement of all stakeholders, and the iteration of people working in the sectors whose main characteristics fit the required skills and mindset.

===== #IYoCE2021 @IndonesiaUNNY =====

Kerja Konkret (1/2)

Belakangan ini hidup tidak terlalu mudah untuk siapa pun; terutama bagi yang kehilangan keluarga dan teman, kesulitan ekonomi, berusaha bertahan. Dalam segala keterbatasan, pada akhirnya semua memang harus saling membantu sebisanya. Tulisan kali ini hendak mencatat dua hal yang terjadi baru-baru ini, mengenai upaya saling membantu tersebut. Pertama, diluncurkannya Gerakan Bantu Isoman (10 Juli), program dari Forum Bandung BerAKHLAK dan Relawan BerAKHLAK; kedua, sesi diskusi ICCN: Jatim Obah Bareng (17 Juli). Kesamaan kedua acara ini adalah hadirnya Chief Erick Thohir, Menteri BUMN, sekaligus Ketua Harian Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).

Bersama Uncle Teebob dan Mang Andri Gunawan, Ketua Karang Taruna Kota Bandung

Gerakan Bantu Isoman

Outbreak kali ini memberlakukan kembali PPKM, yang terasa jauh lebih berat, bukan hanya karena kita belum pulih betul sejak outbreak pertama di awal 2020, tapi juga dengan adanya varian Delta. Mayoritas warga yang penghasilannya bergantung dari interaksi langsung, keramaian dan mobilitas tinggi, yang terpapar dan terpaksa isoman, sering tidak punya sumber penghidupan lain. Atas inisiasi Kang Fiki Satari, dengan Karang Taruna Kota Bandung (Karta.bdg) dan Sahabat Uncle Teebob, dilaksanakanlah Gerakan Bantu Isoman. Bersama dengan Bandung Creative City Forum (BCCF), Persib Stones Lovers, XTC Jawa Barat, PT Angkasa Pura II KC BDO, Kimia Farma, Biofarma, Telkomsel dan Lanud Husein Sastranegara, diluncurkanlah Forum Bandung BerAKHLAK di Bandara Husein, 10 Juli 2021. Menteri BUMN Erick Thohir menyempatkan duduk berbincang dengan kami dalam kunjungan kilatnya ke Bandung pada hari itu. Sebelum ini, saya pernah bertemu langsung dengan Chief ET satu kali, hanya untuk foto bareng, waktu saya tunjukkan halaman-halaman graphic diary yang memuat sesi pertemuan waktu itu.

Kami duduk berdiskusi di pelataran parkir Lanud Husein Sastranegara; siang itu hujan baru saja reda, langit masih agak mendung. Chief ET mendengarkan bersungguh-sungguh, menunduk dan sesekali menggeleng pelan, ketika Uncle Teebob (Tubagus Zainal Arifin) memaparkan kondisi terkini. Bagaimana tidak. Yang butuh uluran tangan bukan hanya mereka yang terpaksa isoman tanpa alternatif penghasilan, tapi juga para penggali kubur, misalkan. Kerja siang-malam tak henti tanpa alat yang memadai, bahkan sampai harus menggali tanah dengan tangan (hanya ada lima cangkul, APD pun dikenakan bergantian). Pun ketika Mang Andri Gunawan, Ketua Karta.bdg, menyampaikan tentang warga Karang Taruna sebagai garda terdepan relawan sosial di kewilayahan. Yang dengan sukarela mengurus dan mengantar jenazah ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) ke rumah sakit hingga ke pemakaman. Juga tentang penggalangan dana secara swadaya, perlahan-lahan terkumpul untuk segera dibelanjakan makanan bergizi, vitamin dan obat bagi yang sedang isoman. Mang Andri menyampaikan kekagumannya terhadap Chief ET sebagai pemimpin yang berani terjun langsung ke zona kritis, serta menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya, karena dengan demikian teman-teman dapat merasakan kepedulian negara yang sesungguhnya. “Kami sampai harus melakukan penyemprotan desinfektan di permukiman, meskipun kami tahu bahwa tidak akan terlalu berpengaruh. Tapi suasana asap, penampakan petugas ber-APD, dan sebagainya itu, membangun sense of crisis di tengah masyarakat. Ada rasa urgensi untuk selalu waspada”.

Pertemuan berlangsung di area parkir Lanud Husein Sastranegara.

Setiap kali Chief ET mengangkat wajah, terlihat kilatan matanya, berkaca-kaca. Kata-kata yang pertama diucapkan ketika tiba gilirannya menanggapi, “Saya malu”. Lanjutnya, “Saya berkomitmen, dalam kapasitas dan posisi saya sekarang ini, gerakan ini akan saya dukung penuh, baik melalui jalur pemerintah, maupun teman-teman pengusaha, bahkan dari pribadi saya sendiri”. Kemudian, “(Gerakan ini) jangan hanya beberapa hari saja; lanjutkan setidaknya hingga 3 bulan. Tolong hitungkan berapa kebutuhannya, akan saya upayakan.” Kesungguhannya untuk menindak-lanjuti dengan nyata tampak jelas dari gesturnya ketika berbicara, menatap kami satu persatu, berkontak mata. Siapa pun yang mengalami sendiri saat itu, pasti mengerti: ini bukanlah seorang pejabat yang sedang pidato ke hadirin. Ini adalah penegasan komitmen dari satu orang ke orang-orang lain, yang sedang bersama-sama berjuang untuk tujuan yang sama, dalam posisi dan kapasitas masing-masing. Ini adalah ungkapan empati, sekaligus bukti dari kepemimpinan yang dapat menangani kondisi mendesak dengan tetap tenang, namun taktis. Salut, chief. Teman-teman jelas terlihat terangkat semangatnya, makin gembira dalam berjuang, dan makin teryakinkan bahwa semua upaya ini tidak dilakukan sendirian.

Sebelum mengakhiri sesi diskusi, Mang Andri berpesan, “Pak ET, tolong sampaikan pada yang di Jakarta. Kami ini, teman-teman yang juga hadir di sini, setiap hari mengurus jenazah, mengangkut, menguburkan. Tolonglah, yang di Jakarta jangan membuat gaduh. Sampai minta diistimewakan. Ini benar-benar membuat sakit hati, Pak”. Lanjutnya, “Satu lagi titipan kami, Pak. Mohon dengan sangat, menyampaikan pada para kepala daerah: wali kota, bupati, gubernur. Sekarang ini kondisi sedang darurat, bagai sedang perang. Tolong bilang ke mereka, jangan tutup balai kota. Balai kota seharusnya menjadi markas besar, pusat komando, tapi justru ditutup. Tidak ada arahan. Kami benar-benar dibiarkan mengurus diri sendiri”. Sebelumnya, Chief ET sempat menyampaikan, “Dalam melakukan semua ini, mari kita fokus saja pada tujuan menolong sesama, dengan segala upaya yang kita miliki”. Fokus pada energi positif, pada pihak yang mendukung, pada mereka yang mau bergerak bersama. Memang, akan terlalu melelahkan, bila juga harus menghiraukan hal-hal yang hanya akan menguras energi.

Pertemuan tersebut berlangsung sekejap, tapi mendalam. Meninggalkan kesan dan harapan, bahwa semua seharusnya bisa tertangani dengan baik, bila ada kekompakan. Bila energi diarahkan ke tindakan positif, dan tidak disia-siakan untuk menyalahkan pihak mana pun, atau untuk merasa menjadi yang paling benar. Sejak pertemuan tersebut berlangsung, setidaknya 1,200 paket/hari diantar gratis ke lokasi warga yang harus melaksanakan isoman; bahkan belakangan, jumlahnya mencapai 2,500 paket per hari di wilayah Bandung Raya. Semoga semua senantiasa diberi kekuatan dan ketangguhan untuk menuntaskan marathon pemulihan ini dengan selamat.

*Nama Relawan BerAKHLAK dan Forum Bandung BerAKHLAK terinspirasi dari core value Kementerian BUMN: Amanah, Kompeten, Harmonis, Lokal, Adaptif, Kolaboratif (= AKHLAK)

Airborne.bdg | Human City Design Award 2020

Airborne.bdg, salah satu program BCCF di tahun 2017, menjadi salah satu dari 10 finalis Human City Design Award (HCDA) 2020, di mana hanya akan dipilih satu pemenang, yang sedianya akan diumumkan di akhir tahun 2020 lalu, tapi terpaksa ditunda hingga 8 Maret 2021.  

10 finalis HCDA 2020 bisa dilihat di sini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020

Tentang Airborne.bdg di HCDA 2020 ada di laman ini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020/airborne-bdg

Mengutip dari situsnya (dalam interpretasi bebas), HCDA ini bermula dari dideklarasikannya Kota Seoul sebagai Human City Design Seoul pada tahun 2018, sebagai respons terhadap kebutuhan dunia di masa kini, di mana masyarakat percaya bahwa kita harus mengatasi dampak buruk dari permasalahan berjaraknya manusia, materialisme, dan lingkungan; bahwa kita harus merancang lingkungan perkotaan yang berkelanjutan, sehingga manusia dapat menikmati kehidupan berkreativitas. 

Dengan deklarasi tersebut, Pemerintah Metropolitan Seoul dan Seoul Design Foundation berharap agar dapat menjadi jalur komunikasi dalam membangun ekosistem perkotaan, di mana manusia dan alam dapat hidup berdampingan, juga sekaligus menjadi platform bagi kesejahteraan bersama, yang terus mengupayakan keberlanjutan dan kesejahteraan bagi komunitas yang terus berkembang.  

Harapan ini menjadi dasar ditujukannya HCDA pada para desainer atau pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam meningkatkan hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antar sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan sekelilingnya, dan manusia dengan alam, melalui penanganan berbagai isu lingkungan perkotaan dengan visi yang baru, melalui desain.       

HCDA mengajak kota-kota di seluruh dunia untuk mengajukan karya terbaiknya, terkait dengan tema yang ditentukan. Di tahun 2020 ini, HCDA bertema Desain untuk Kota Berkelanjutan untuk hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan, dengan tujuan:

  • Untuk mewujudkan ekosistem kota yang berkelanjutan bagi hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan melalui desain
  • Untuk mendiskusikan desain sebagai solusi kreatif bagi berbagai permasalahan sosial yang kompleks di kota, dan untuk memperluas efek “khasiat penyembuhan” dari desain di seluruh dunia
  • Untuk mendorong agar sektor desain berkontribusi pada perkembangan umat manusia

Di HCDA 2020 ini, Airborne.bdg lolos seleksi menjadi finalis, berbarengan dengan 9 projects lain dari Brazil, Italia, Jepang, Kolombia, Korea Selatan, Perancis, Singapura, dan Thailand. Airborne.bdg, yang selesai pada tahun 2017 lalu, merupakan puncak dari serangkaian kegiatan yang dilakukan BCCF sejak tahun 2013 di area Kampung Linggawastu, Kecamatan Bandung Wetan, yaitu mural yang digarap di permukaan atap rumah, membentuk citra .bdg berukuran raksasa, yang hanya dapat dilihat secara utuh dari ketinggian 40 meter dari permukaan tanah. 

Cita-cita untuk mewujudkan adanya landmark ini muncul setelah Bandung bergabung dalam Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) sebagai Kota Desain pada 11 Desember 2015. Untuk membuat penanda kota dengan dimensi dan struktur fisik berukuran masif, tentu diperlukan lahan, tenaga, dan biaya yang sangat besar, sehingga harus dicari cara lain untuk mewujudkan cita-cita tersebut. BCCF yang kala itu sedang terlibat dengan berbagai kegiatan, terutama dalam kolaborasi dengan beberapa kampung, menggagas mural atap ini, yang diawali dengan proses panjang. Mulai dari memetakan pihak-pihak yang terlibat, mengupayakan sponsor, koordinasi dengan Komite Ekonomi Kreatif Kota Bandung, Pemerintah Kota Bandung yang juga menjadi pengampu kegiatan ini beserta perangkat setempat (camat, lurah, RW dan RT), komunikasi dengan warga, dan seterusnya. Dimulai dari kegiatan pengembangan produk (sekaligus kemasan, branding, dan narasinya) bersama Desain Produk FSRD ITB dan Bank Sampah Sabilulungan tahun 2013 yang kemudian didukung oleh Dekranasda Kota Bandung, juga program workshop untuk anak di Taman Pulosari dengan tema-tema arts & crafts, science, dan adventure asuhan EcoEthno dan kakak-kakak mahasiswa Magister Desain FSRD ITB, program Riverplay public furniture di bantaran salah satu ruas Cikapundung dengan Karang Taruna dan Desain Produk FSRD ITB, hingga berbagai aktivitas dengan warga (antara lain workshop fotografi Matawarga dengan AirFoto Network) menuju urban game Sasab.bdg tahun 2015 sebagai bagian dari Helarfest 2015, dan banyak lagi; kawasan Kampung Linggawastu ini menjadi cerminan makna “desain” dan “kreativitas” yang menjadi argumen Bandung sehingga berhasil bergabung dalam UCCN.

Sehingga mural atap di Linggawastu menjadi semacam “stempel”, cap yang menandai sebuah “kota kreatif” dengan kekhasannya sendiri, di mana warganya terus menerus bereksperimen dan menciptakan purwarupa solusi bagi permasalahan sekitarnya. Di mana inisiatif komunitas dapat bertemu dengan kebijakan dan regulasi pemerintah melalui praktik design thinking, dan di mana sinergi antar pemangku kepentingan selalu dilatih dan dievaluasi.

Mengakhiri catatan ini, berikut kutipan dari materi presentasi saya (prerecorded) untuk keperluan Awarding Event tanggal 8 Maret 2021 nanti. Berhasil atau tidak memenangkan penghargaan ini, setidaknya hal ini menjadi pengingat akan semangat perjuangan dan kerja keras komunitas dalam berkarya dan berdampak nyata.

The paint on the rooftops may not last, but we managed to capture a momentum to deliver a statement about what “design” and “creativity” mean for Bandung as a UNESCO creative city. It gives us an opportunity to think of another artefact, which can prove how agile thinking and action could actually build a resilient urban community. In a way, its ephemeral existence conveys a message for us to keep being relevant in our creative endeavours”

[Cat pada permukaan atap mungkin tidak akan awet, tapi kita berhasil merengkuh sebuah momentum untuk menyampaikan pernyatan tentang makna “desain” dan “kreativitas” bagi Bandung sebagai kota kreatif UNESCO. [Airborne.bdg] membuka peluang bagi kita untuk memikirkan artefak lain, yang dapat membuktikan bagaimana pemikiran dan perbuatan yang tangkas sebenarnya dapat membangun komunitas perkotaan yang tangguh. Dengan cara tertentu, keberadaannya yang sementara justru membawa pesan bagi kita untuk terus menjadi relevan dalam segala upaya kreativitas kita.]         

=====

Berikut ini beberapa tautan ke media/ liputan mengenai Airborne.bdg

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Keren, logo ‘.bdg’ ini dilukis di atas permukaan genteng 132 rumah warga – 15 Desember 2017 

https://m.merdeka.com/bandung/halo-bandung/keren-logo-bdg-ini-dilukis-di-atas-permukaan-genteng-132-rumah-warga-171215l.html

Airborne.bdg Bakal Jadi Landmark Baru di Bandung – 15 Desember 2017

https://ayobandung.com/read/2017/12/15/26520/airbornebdg-bakal-jadi-landmark-baru-di-bandung

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Bakal Ada Landmark Baru di Bandung – 16 Desember 2017

Ikon Baru Kota Bandung “.bdg” – 18 Desember 2017

https://ptbestprofitfuturesbandung.mystrikingly.com/blog/ikon-baru-kota-bandung-bdg

Lewat Pasupati, Jangan Lupa Tengok Lukisan .bdg di Atap Warga – 19 Desember 2017

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3775965/lewat-pasupati-jangan-lupa-tengok-lukisan-bdg-di-atap-warga

Facebook Fiki Satari

https://www.facebook.com/fikisataricom/posts/representasi-skenario-bandung-kota-kreatif-dunia-yg-dinarasikan-dlm-proposal-dos/1792642597424899/

Twitter @infobdg