Category Archives: student project

projects conducted by students with themes relevant to sustainability

SENDAL: Upgraded

“SENDAL”, begitu julukan mahasiswa pesertanya di awal mata kuliah ini diperkenalkan. Nama sebenarnya adalah Seni, Desain, Lingkungan dan menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB tingkat akhir. Ketika saya kuliah dulu, kami mahasiswa FSRD memang mendapatkan kuliah wajib mengenai lingkungan, dengan nama MK Pengetahuan Lingkungan (lalu disingkat “Pengling”), dengan dosen dari Jurusan Biologi. Yang dipelajari adalah seputar ekosistem lingkungan hidup, secara umum. Ya, seperti pelajaran Biologi di SMA sebelumya. Kemudian terjadi perubahan, sekitar tahun 2012(?) ketika ITB mempersilakan tiap fakultas untuk menyelenggarakan perkuliahan tentang lingkungan, yang langsung terkait dengan bidangnya masing-masing. Saat itu, saya sudah mengajar MK Desain Berkelanjutan sejak sepulang dari S3 di Belanda (dalam bidang design & sustainability) di Program Studi Desain Produk dan Magister Desain, sejak sekitar tahun 2008. Dengan adanya MK SENDAL untuk FSRD ini, saya ditugaskan menjadi koordinatornya, dengan peserta kuliah 1 angkatan mahasiswa FSRD, yang jumlah totalnya mencapai sekitar 250(!).

Pada awalnya, MK SENDAL adalah kuliah yang menginduk ke fakultas, sehingga perangkat pendukungnya pun (petugas daftar hadir, administrasi, peralatan, dll.) dikoordinasikan oleh fakultas. Dosennya berasal dari masing-masing program studi (prodi) yang ada di FSRD: Seni Rupa, Kriya, Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual; yang masuk kelas secara bergiliran di tiap pertemuan. Sehingga tiap prodi mendapat 2x giliran masuk kelas, sebelum dan setelah Ujian Tengah Semester. Sisa waktu pertemuan biasanya dimanfaatkan untuk menampilkan dosen tamu yang dapat memberi pengayaan wawasan bagi peserta MK SENDAL. Oh iya, bobot MK ini 3 SKS, jadi mahasiswa tidak sekedar duduk mendengarkan ceramah dosen, tapi ada deliverables dengan kualitas tertentu.

Pada awalnya, sebagai koordinator saya selalu hadir di kelas, meskipun prodi lain yang sedang mendapatkan giliran mengajar. Ini bukan belaka mengenai tugas, tapi karena memang materinya selalu menarik. Misalkan, Seni Rupa menyampaikan tentang karya-karya yang mengkritisi kondisi lingkungan, Kriya membahas pewarna dan serat alam, Desain Interior mengenai universal design atau inklusivitas dalam merancang ruang, Desain Komunikasi Visual memberi contoh berbagai media komunikasi untuk persuasi gaya hidup yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan, Desain Produk tentang intervensi “keberlanjutan” dari hulu hingga hilir proses penciptaan produk. Dosen tamu? Ini juga seru. Saya pernah mengundang Bu Katrin, dosen Teknik Industri Universitas Parahyangan, untuk membahas Product Service System; Kang Emil, yang saat itu masih aktif mengajar di Arsitektur ITB, untuk diskusi tentang Sustainable Urbanism; hingga Pak Apep penanggung jawab TPA (tempat pembuangan akhir) sampah ITB yang kala itu sudah bertugas selama 30 tahun (“Sampah ITB selesai di ITB, tidak membebani pemkot”, katanya, “Paling susah itu mengolah sampah dari kegiatan Pasar Seni”). Dan banyak lagi.

Selanjutnya, sistem perkuliahan SENDAL sedikit mengalami perubahan. Saya mulai mengaitkannya dengan permasalahan nyata di Kota Bandung. Bagaimana bidang seni rupa, kriya, desain, dan kreativitas pada umumnya dapat menjadi solusi masalah perkotaan? Bagaimana bidang kreatif ini bisa berkontribusi? Setidaknya di tahun atau semester terakhir ini, mahasiswa SENDAL berkesempatan terjun langsung ke masyarakat, dan mendedikasikan ilmu & keterampilan mereka; tentu saja dengan seluruh pertimbangan mengenai “keberlanjutan” yang sudah diperoleh di kelas. Lagi pula – ini catatan khusus saya pribadi – kelas SENDAL ini bisa jadi merupakan satu-satunya kesempatan mahasiswa FSRD untuk bekerja sama lintas prodi sebelum mereka lulus, karena (ini yang bikin agak sedih) bisa jadi mereka tidak tersentuh yang namanya Pasar Seni. Kok bisa? Iya, karena selama berkehidupan di kampus ada angkatan yang belum sempat mengurus perhelatan legendaris ini. Sayang, ya.

Sehingga, kelas SENDAL di tahun-tahun belakangan ini berbentuk tugas kelompok yang dilaksanakan selama satu semester penuh, paralel dengan berjalannya pertemuan di kelas. Kelompoknya boleh lintas prodi, selalu ada tema, selalu harus ber-partner dengan komunitas/warga lokal, dengan Ujian Akhir Semester berbentuk pameran yang menampilkan kegiatan tiap kelompok selama satu semester itu.  Lengkap dengan display artefak hasil kegiatan, video dokumenter durasi 3 menit, infografis, katalog, dsb. Rekanan yang sempat terlibat selama ini antara lain Komunitas Riset Indie, Karang Taruna Kota Bandung, dan sebagainya. Harapannya, selain langsung menerapkan konten kuliah pada permasalahan nyata, mahasiswa SENDAL juga dapat belajar mengatur diri, berorganisasi menyelenggarakan pameran bersama (meskipun kadar heboh dan dramanya jauh di bawah Pasar Seni). Hasilnya? Beberapa akan lanjut kita bahas di sini ya, di beberapa posting berikut.

Karangan Bunga Imitasi: Terlihat Indah Namun Berdampak Buruk pada Bumi

Rahmat Zulfikar (27116049)

Sekilas karangan bunga terlihat sangat menarik, namun dibalik keindahannya terdapat masalah yang sangat meresahkan. Masalah tersebut timbul dari penggunaan bahan yang tidak lagi 100% berbahan organik. Pada mulanya para pedagang karangan bunga menggunakan bunga asli sebagai bahan utama dalam merangkai karangan bunga pesanannya. Namun para pedagang kini sudah menggantinya dengan bunga imitasi yang dibuat dari bahan styrofoam. Berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup kota Yogyakarta tahun 2008 menyebutkan bahwa, komposisi limbah styrofoam berada pada kategori lain-lain sebesar 25, 83% dari 350 ton jumlah sampah harian. Berarti ada sekitar 90 ton sampah styrofoam dalam sehari. Jumlah tersebut belum mencakup keseluruhan sampah styrofoam yang ada di Indonesia. Angka tersebut sudah pasti sangat mencengangkan bila harus dihubungkan pada niat kebaikan empati terhadap saudara atau teman. Pernahkah kita berpikir bahwa karangan bunga yang kita berikan kepada sanak saudara atau teman itu, sangat merepotkan mereka setelah acara selesai. Mungkin saudara dan teman kita justru tidak bahagia karena harus direpotkan dengan hal-hal yang membuatnya ribet. Mereka harus membereskan tumpukan karangan bunga yang umurnya sangat sebentar. Karangan bunga hanya dipajang pada saat acara berlangsung. Mungkin hanya beberapa orang dari sekian banyak tamu acara yang benar-benar memperhatikan karangan bunga tersebut. Umurnya yang sebentar dan pengaruhnya terhadap acara tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan yang harus ditanggung bumi setelah acara tersebut selesai. Bila dalam satu hari ada banyak acara serupa yang para tamunya juga memberikan karangan bunga serupa sudah bisa dibayangkan betapa banyak sampah styrofoam yang akan ditanggung bumi. Membereskan karangan bunga yang terbuat dari styrofoam itu tidak mudah. Tidak mungkin meraka akan menumpuk lalu membakarnya begitu saja. Karena pasti akan berat hati bila asap yang ditimbulkan mengganggu tetangga mereka. Sampah styrofoam tidak dapat diuraikan oleh tanah, sifatnya yang abadi tidak cukup hanya dengan dikubur di dalam tanah.

Pada tanggal 1 November 2016, bandung melarang adanya penggunaan styrofoam. Pertanyaanya apakah peraturan ini hanya berlaku untuk kemasan makanan atau berlaku pada semua sektor kehidupan dikota bandung. Apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, sudah semestinya masyarakat mulai mengurangi jumlah penggunaan styrofoam. Harusnya pemerintah juga melaranga penggunaan styrofoam pada sektor lain. Mulai sejak dini penggunaan styrofoam pada karangan bunga harus mulai dibatasi. Masyarakat harus bisa aware terhadap kebutuhannya sendiri. Alangkah baiknya perbuatan baik selalu dimulai dengan yang baik. Menyampaikan rasa empati bukanlah hal yang buruk. Namun tanpa disadari masyarakat kurang memeperhatikan secara detail kebutuhan bersosialnya. Sehingga kebaikan sosial yang dilakukan berdampak pada pencemaran lingkungan yang ujungnya akan meresahkan masyarakat itu sendiri. Sudah semestinya masyrakat mencari alternatif lain dalam menyampaikan empatinya terhadap lingkaran sosialnya. Masyrakat harus sudah mulai memilah sendiri material yang akan digunakanya dalam beraktifitas. Bila masyarakat tidak memulainya sudah bisa dipastikan bumi akan menanggung banyak sampah styrofoam yang tidak bisa diurai. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat harus benar-benar berhenti menggunakan styrofoam bila tidak ingin menyaksikan bumi tenggelam dengan tumpukan styrofoam. 

Fun with your closet: Reuse, Reduce, Repair and Reconditioning, Recycling of cloth

 

Sari Yuningsih (27116044)

Pakaian tidak dapat terlepas dari kebutuhan setiap individu, namun pernahkah mengalami kebingungan dimana akan menyimpan pakaian yang baru saja dibeli. Apakah anda pernah berhitung berapa jumlah pakaian yang anda miliki? jika ya, berapa dari pakaian tersebut yang sering anda pakai? Menurut anda apakah perlu menambah lemari baru di dalam rumah/ kamar? atau mengurungkan membeli pakaian yang sangat diidamkan, dengan model terbaru dan telah ditunggu lama? Pilihannya ada di tangan anda. Namun sebelum anda putuskan, alangkah lebih baik jika anda menyimak beberapa hal berikut agar lebih bijak dalam memutuskannya.

Konsep 3R (Reuse, Reduce dan Recyling) sudah sangat sering kita dengar, dan identik penerapannya pada benda pakai seperti botol minuman, kantung plastik, limbah kayu, botol kaca dan lainya. Penerapan konsep tersebut sebenarnya cakupannya luas, tidak terbatas pada benda-benda seperti yang telah disebutkan tadi. Fletcher dalam bukunya Sustainable fashion & textiles : Design Journey dapat mengispirasi anda dengan konsep 3R yang dibahas, bahwa “to reuse – not bought new; to reduce–by choosing products made with environmentally friendly production practices; to recycle –making garments from a previously existing item”. Lebih jelasnya mari kita bahas bersama.

  1. Reuse 

Reuse merupakan pemakaian kembali pakaian dari koleksi yang anda miliki dan layak pakai. Dengan menggunakan pakaian dari koleksi yang anda miliki, tentunya akan sangat mengurangi kebutuhan pakaian baru sehingga volume lemari anda akan tetap. Berkaitan dengan reuse ini, akan sangat membantu jika anda memiliki koleksi pakaian yang paling sering anda gunakan seperti pada pakaian kerja atau pakaian sehari-hari lainnya dengan menerapkan mix and match dari koleksi yang ada.

  1. Reduce 

Sistem reduce pada pakaian yaitu dengan mengurangi jumlah pakaian yang anda miliki. Ada baiknya anda melakukan pengecekan secara berkala pada pakaian-pakaian yang sudah tidak ingin anda gunakan lagi. Pakaian tersebut dapat anda berikan pada saudara, adik, atau orang lain yang membutuhkan.  Selain cara tadi dapat juga menerapkan sebuah aturan jika anda menginginkan pakaian baru anda harus mengeluarkan beberapa pakaian lama yang anda miliki, sehingga jumlah pakaian masih dapat terkontrol.

  1. Recycling 

Proses pembaharuan dalam pakaian merupakan proses yang paling sulit, karena membutuhkan biaya yang besar baik dari segi material serta energy. Proses ini tidak dapat dilakukan sendiri memerlukan teknologi dan keterampilan lebih untuk mengubah pakaian menjadi bahan baku kembali. Pada umumnya perusahaan pun lebih memilih untuk membuat bahan baku baru daripada membuatnya dari hasil proses pembaharuan mengingat besarnya materi yang harus dikeluarkan.

  1. Repair dan Reconditioning

Perbaikan dan rekondisi pada pakaian dapat memberikan nilai tambah pada pakaian yang anda miliki. Contohnya anda dapat mempraktekan metode-metode DIY yang sekarang dapat dengan mudah diakses seperti kemeja lama anda yang semula polos tanpa hiasan, anda berikan renda atau contoh lain adalah pakaian yang hangus akibat penyetrikaan jika biasanya anda buang, kali ini cobalah berkreasi dengan memberikan kain lain sebagai aplikasi.

Pemaparan di atas merupakan salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mengelola pakaian. Seperti yang telah dibahas penguraian pakaian menjadi bahan baku memerlukan materi yang banyak, belum lagi terhitung dampaknya terhadap lingkungan dan siklus ekologi. Apapun yang menjadi pilihan anda konsep 3R di atas mengajak kita untuk bijak dalam memilih serta meluangkan ide, imajinasi serta kreatifitas dalam berbusana masa kini. Apakah anda tertarik untuk mencobanya?

SERAGAM OLAHRAGA RECYCLED POLYESTER UNTUK DAN KAITANNYA DALAM MENGURANGI CARBON FOOTPRINT

Juan Vito (27116035)

 

 

Carbon Footprint merupakan jumlah total karbon yang diproduksi untuk mendukung kegiatan manusia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Setiap kegiatan manusia memproduksi karbon yang banyak dapat meningkatkan suhu di bumi, yang dapat mengakibatkan perubahan cuaca. Nilai Carbon Footprint tiap orang berbeda-beda, berdasarkan gaya hidup sehari-harinya. Terdapat aplikasi online untuk menghitung Carbon Footprint, sehingga kita dapat mengetahui kadar karbon yang dihasilkan dihitung dari kegiatan rutin yang kita lakukan. Kalkulasi Carbon Footprint diperlukan sebagai patokan, apakah sudah melebihi batas normal atau tidak.  National Geographic pernah memuat tentang 14 cara sederhana untuk mengurangi carbon footprint, yaitu dengan merubah gaya hidup sehari-hari, mulai dari mengefisiensi pemakaian lampu di rumah, mengurangi perjalanan dengan menggunakan pesawat bila memungkinkan, mengganti peralatan elektronik lama seperti kulkas dan setrika dengan model baru yang lebih ‘pintar’, melakukan daur ulang, menghemat bahan bakar dengan menggunakan bahan bakar elektrik ataupun memakai kendaraan berteknologi hibrida, mengurangi berkendara apalagi masih bisa berjalan kaki atau bersepeda, mengurangi makanan daging terutama daging impor karena mendatangkan daging impor memproduksi karbon yang besar, dan mengurangi minuman berbotol plastik dan minuman berkemasan lainnya.

pastedGraphic.png

Mengurangi makan daging sapi dapat mengurangi Carbon Footprint

Sampah plastik merupakan salah satu yang paling merusak lingkungan karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terurai. Kesadaran manusia akan hal tersebut membuat banyak inovasi dilakukan terkait sampah plastik, mulai dari membuat kemasan dari kertas, memakai tas kain sebagai pengganti plastik ketika berbelanja, menciptakan plastik yang lebih mudah terurai, dll. Untuk menciptakan 1 kg polyethylene, bahan dasar plastik, menggunakan energi dengan membakar setara 2 kg minyak. Sementara membakar 1 kg minyak menciptakan sebanyak 3 kg karbon dioksida. Dengan kata lain, dalam pembuatan 1 kg plastik, tercipta sebanyak 6 kg karbon dioksida.

Salah satu inovasi yang dilakukan oleh perusahaan peralatan olahraga Nike sejak 2010 hingga saat ini adalah pembuatan seragam olahraga dengan menggunakan recycled polyester. Dengan etos Nike Better World, perusahaan ini memproduksi seragam olahraga ramah lingkungan dengan menggunakan limbah botol plastik yang dipotong-potong dan dilelehkan, yang kemudian dijadikan bahan dasar kain untuk membuat seragam. Sekitar 96% dari bahan baku untuk membuat pakaian olahraga menggunakan limbah botol plastik. Dibutuhkan setara 8 botol plastik untuk membuat satu buah T-shirt, dan 5 botol plastik untuk membuat celana olahraga. Dalam pengerjaannya, menggunakan recycled polyester menghemat 30% penggunaaan energi dibandingkan dengan membuat polyester baru. Pembuatan seragam dengan teknik recycled polyester dalam setahun mengkonsumsi setidaknya 13 juta botol plastik, yang jika dihitung seluas 28 lapangan sepakbola, cukup signifikan mengurangi jumlah sampah plastik dari lingkungan.

pastedGraphic_1.png

Seragam tim nasional Brazil dengan menggunakan recycled polyester

pastedGraphic_2.png

Seragam cabang olahraga basket, renang dan sepakbola dengan recycled polyester

Pada Piala Dunia 2010, Euro 2012, semua tim nasional yang menggunakan produk Nike memakai seragam dengan recycled polyester. Bahan yang sama juga dikembangkan Nike untuk cabang olahraga lain. Pada Olimpiade London 2012 dan Olimpiade Rio 2016, seragam basket dan pakaian renang dari Negara yang menggunakan produk Nike menggunakan bahan recycled polyester. Teknologi daur ulang plastik juga digunakan produk perlengkapan olahraga Adidas dan produsen alat olahraga Asia dalam membuat sepatu olahraga dan sneakers. Hal ini memperlihatkan kesadaran manusia untuk menciptakan produk yang tidak hanya untuk mencari keuntungan namun memperhatikan kondisi lingkungan.

 

BIOMATERIAL TEKSTIL

Tetes Annisa Lestari (27116028)

Industri tekstil adalah salah satu penyumbang karbon terbesar di dunia. Produksi bahan pakaian membutuhkan banyak energi. Dalam global industri tekstil memproduksi sekitar 60 juta kilogram bahan pakaian dan bertanggung jawab atas besarnya emisi karbon yang dihasilkan dari beberapa proses seperti proses pewarnaan, bleaching, dan finishing. Bahan pakaian ini kebanyakan diproduksi dari bahan sintetik seperti nilon, polyester dan rayon. Bahan tersebut tidak hanya membutuhkan energi yang cukup besar saat diproduksi, namun juga bahan kimia yang digunakan pada saat proses produksi selalu berakhir sebagai limbah beracun yang mencemari udara, tanah dan air. Yang lebih mengejutkan adalah bahan pakaian dari serat alam seperti katun yang diproses dengan cara konvensional itu menggunakan pestisida, pupuk kimia dan penggunaan air yang banyak. Masalah lain adalah limbah kain yang dihasilkan dari sebelum dan sesudah diproduksi menjadi pakaian siap pakai. Limbah kain merupakan salah satu jenis limbah yang sulit diolah, karena merupakan limbah anorganik yang tidak mudah terurai sehingga tidak dapat dikompos. Industri tekstil adalah salah satu industri yang sangat besar, begitu pula polusi dan limbah yang dihasilkan setiap harinya.

Dengan latar belakang industri tekstil yang kurang ramah terhadap lingkungan karena penggunaan bahan kimia pada proses manufaktur dan proses-proses setelahnya sehingga menghasilkan karbon yang tidak terkontrol, maka kebutuhan pencarian beberapa biomaterial tekstil sebagai material alternatif dan bersifat biodegradable dalam dunia tekstil yang diharapkan ideal untuk segala aspek khususnya ramah terhadap lingkungan.

National Geography memuat artikel tentang material tekstil biodegradable. Young-A Lee seorang profesor dari Universitas Iowa, menciptakan rompi, sepatu dan tas dari limbah produksi teh fermentasi: kombucha. Material ini diciptakan dari campuran simbiotik dari ragi dan bakteri. Proses fermentasi dari kedua bahan itu akhirnya menumbuhkan selulosa bakteri dan dapat diproses menjadi pakaian siap pakai atau aksesori fashion. Ketika material ini kering sempurna, tekstur dan kelenturannya mirip dengan karakter kulit binatang. Tetapi kelebihan dari material ini adalah seratnya mudah terurai dengan cepat, tidak seperti katun organik atau serat alam lainnya. Setelah materialnya sudah tidak layak dipakai sebagai pakaian atau aksesori fashion, maka material tersebut dapat digunakan sebagai kompos.

pastedGraphic.png

(sumber: http://www.nationalgeographic.com/people-and-culture/food/the-plate/2016/05/turning-food-waste-into-a-fashion-statement/ diakses pada tanggal 12 Maret 2017)

Berikut beberapa contoh biomaterial lain yang telah dikembangkan untuk menjadi material alternatif yang lebih ramah lingkungan:

Istilah Muskin diambil dari ‘mushroom-skin’, 100% biodegradable kulit yang terbuat dari nabati diekstrak dari jamur dan proses pewarnaan menggunakan bahan bebas kimia, lembut, lentur, anti-air secara natural, dan tidak berbahaya ketika bersentuhan dengan kulit manusia, mudah untuk dibentuk (contohnya untuk diproduksi sebagai tas, sepatu dll), dan tes laboratorium menyatakan bahwa material ini higienis karena dapat membantu menghentikan perkembangan bakteri.

pastedGraphic_1.png

(sumber: http://www.ecouterre.com/muskin-a-vegan-leather-made-entirely-from-mushrooms/muskin-mushroom-leather-5/ diakses pada tanggal 12 Maret 2017)

XXLab dari Yogyakarta menciptakan biomaterial tekstil terbuat dari limbah produksi tahu. Proses pembuatannya dengan cara direbus dengan cuka, gula, diberi penyubur, ditambahkan bakteri, diendapkan selama 10 hari sampai membentuk selulosa mikrobia dan ditunggu sampai kering. Material dari limbah produksi tahu ini adalah biomaterial dengan biaya murah dengan zero waste.

pastedGraphic_2.png

(sumber: http://xxlab.honfablab.org, diakses pada tanggal 12 Maret 2017)

Semoga material-material biodegradable seperti telah dijabarkan diatas dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengurangi emisi karbon dan limbah dari industri tekstil.

 

Ruang Hunian Vertikal dan Green Design

Ciptakan Rumah Susun Yang Lebih Liveable Untuk Hunian Masyarakat Kalangan Bawah di Perkotaan

Rosiana Izzul Azmi (27116021)

 

Di Indonesia warga pinggiran perkotaan yang dianggap bermasalah direlokasi ke rumah susun, sepertinya sudah menjadi pola umum solusi atas permasalahan perumahan perkotaan di Indonesia saat ini. Sedangkan di sisi lain masalah-masalah psikologis selalu muncul ketika masyarakat secara tiba-tiba dipindah dari lingkungan hunian lama (rumah konvensional) ke hunian baru (bangunan vertikal/rumah susun). Kondisi keterasingan ini oleh Aston Bachelard (1958) dalam The Poetics of Space di bahas sebagai fenomena manusia urban yang kehilangan “rumahnya”. Sejumlah rumah susun yang dibangun di kota-kota besar seringkali dilakukan tanpa pertimbangan kondisi iklim setempat yang tropis-lembab, serta tuntutan kenyamanan fisik yang dikesampingkan. Selain itu, menurunnya kualitas lingkungan tempat tinggal warga saat ini membuat pemerintah mengeluarkan peraturan Gubernur DKI yang mewajibkan bangunan yang akan dibangun harus memenuhi persyaratan dasar sebuah bangunan hijau dan ramah lingkungan, peraturan ini secara tidak langsung akan mendukung upaya dalam mengaplikasikan konsep-konsep green design pada bangunan vertikal di kota-kota besar, khususnya di ruang hunian vertikal (rumah susun). Dikatakan oleh David Harvey (2008) hak atas kota adalah sejatinya bukan hanya hak warga atas sumber daya kota (transportasi, kesehatan, pendidikan dll) akan tetapi hak bagaimana dan seperti apa mereka tinggal, hak bagi kaum miskin untuk memiliki tempat tinggal yang tidak hanya sekedar layak huni, tetapi juga tempat tinggal yang memenuhi kenyamanan fisik dan psikis penghuni.

Foto perspektif keadaaan rumah susun di Batam, sebagai rumah susun terbaik menurut menteri pemukiman rakyat pada tahun 2010.

Kehidupan warga pemukiman kumuh di Bantaran Waduk Pluit ini merupakan sekelumit potret kemiskinan di Indonesia, Jakarta, (10/9/14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam hitungan tahun terjadi pergeseran dan perubahan pola dan tatanan kehidupan secara mencolok di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia modern. Kehidupan tradisional yang selaras dengan alam yang terbukti telah mampu menjaga kelestarian alam hingga berabad-abad lamanya kini telah bergeser (Frick dan Mulyani, 2006). Dalam kehidupan tradisional, manusia membangun rumah, perkampungan dan jalur pergerakan selaras dengan alam. Rumah tinggal di dalam suatu komunitas ditata sesuai dengan tata laku anggota komunitas tersebut. Dalam perkembangannya, pergeseran tatanan kehidupan dari tatanan tradisional kepada cara hidup yang modern. Seiring dengan perubahan tatanan dalam masyarakat modern, tuntutan pengadaan rumah di kota-kota besar semakin tinggi namun tidak diiringi dengan ketersediaan lahan. Akibatnya rumah susun/ vertikal house dianggap solusi yang paling tepat untuk masalah pemukiman di perkotaan saat ini.

Permasalahan yang ditimbulkan sektor pemukiman terhadap penurunan kualitas lingkungan di Indonesia semakin menghawatirkan, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap pemukiman yang layak semakin diabaikan. Para pelaku pengembang baik dari pihak swasta maupun pemerintah melakukan pembangunan tanpa memikirkan kepentingan kenyamanan fisik dan menyampingkan pertimbangan kondisi iklim alam setempat yang tropis lembab (banyaknya unit rumah susun yang mangkrak dan tidak dihuni). Padahal sejatinya rumah tinggal bukan hanya sekedar bangunan struktural, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat.

Sudah saatnya hunian vertikal/rumah susun di perkotaan dibangun dengan gagasan desain yang dapat meminimalkan dampak negative rancangan bangunan terhadap alam, memunculkan desain hunian yang layak dan ramah terhadap kenyamanan penghuni, baik dari segi kesehatan, lingkungan, suhu, serta penggunaan energy dan dampak spikologis yang timbul ketika berada di ruang hunian vertikal.

  • Desain berkelanjutan dalam bentuk partisipasi warga.

Proyek pelibatan warga dalam rancangan membangun perumahan dan lingkungan akan menghasilkan rancangan yang berkelanjutan (sustainable), bukan hanya secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosial terpenuhi. Aspek keruangan yang diinginkan akan muncul dalam rancangan pembaruan perumahan yang akan mereka huni sehingga menumbuhkan rasa bangga dan antusiasme untuk merawat lingkungan hunian mereka kedepannya. Seperti halnya yang dialami warga di kampung Akuarium Jakarta Utara yang mengalami penggusuran, awal tahun ini warga bersama arsitek dari Rujak Center for Urban Studies, Andesha Hermintomo merancang lingkungan yang telah digusur dengan konsep yang baru, desain kampung dibuat lebih padat secara vertikal, agar lebih banyak ruang terbuka hijau dan ruang terbuka komunitas. Konsep rancangan desain dibuat selama 2 bulan terakhir untuk menghadirkan lingkungan yang lebih layak huni dengan melibatkan warga setempat.

Desain rancangan Andesha H untuk warga di perkampungan Aquarium Jakarta Utara

  • Green design sebagai salah satu solusi terhadap menurunnya kualitas lingkungan

Rancangan yang mengacu pada konsep green design seperti banyaknya bukaan alami pada elemen dinding, memperbanyak akses sirkulasi angin sebagai penghawaan alami, penempatan kaca sebagai pencahayaan alami dapat mengurangi penggunaan energy di siang hari, meminimalisir penggunaan energy, memperlambat dampak negative pada alam,  lingkungan, dan manusia, tanpa harus mengorbankan tuntutan kualitas hidup manusia yang sehat, aman, dan nyaman. Serta banyaknya pengaplikasian tanaman hijau pada area dalam dan luar hunian dapat memperbaiki kualitas hidup penghuni. Menampilkan keharmonisan antara bangunan buatan manusia dengan alam sekitarnya, konsep yang berkelanjutan dan ramah lingkungan ini di gagas juga oleh John Hardy (2007) pada project mengembangan Green School di Bali.

Ilustrasi, Thinkstockphotos

Untuk itu fenomena sosial budaya ini perlu disikapi dengan pembaruan ide-ide dari para desainer dan pengembang kota. Salah satunya dengan melalui pendekatan desain partisipatif (desain berkelanjutan) dan penerapan konsep green design yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan masyarakat pada ruang hunian vertikal.

SUMBER

http://kependudukan.lipi.go.id/en/population-study/human-ecology/363-jakarta-kampung-dan-penggusuran, diakses 4 maret 2017

https://indoprogress.com/2016/07/keterasingan-warga-di-dalam-ruang-kota/ , diakses 15 november 2016

https://malikalkarim.wordpress.com/2011/12/05/kota-berkelanjutan/, diakses 10 november 2017

http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/10/tidak-mudah-menemukan-solusi-dalam-masalah-lingkungan-hidup, diakses 5 november 2017

http://properti.kompas.com/read/2017/01/10/210000821/konsep.rumah.tinggal.pemerintah.dianggap.tidak.sesuai.kebutuhan.warga, diakses 5 november 2017

Karyono, Tri Harsono (2010), Green Arsitekture : Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau Di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers

Roaf, Sue., Fuentes, M., Thomas, S., (2001), Ecohouse 2 : a Design Guide, Italy, Architectural Press.

ECOLOGICAL FOOTPRINT

Riono Aulia Abdullah (27116017)

Ecological footprint yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah jejak ekologi. Definisikan jejak ekologi adalah dampak aktifitas manusia yang diukur dari area biologis baik daratan atau lautan yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang yang dikonsumsi dan untuk mengasimilasi limbah yang dihasilkan, untuk lebih sederhananya ialah jumlah dari lingkungan yang diperlukan untuk memproduksi barang dan jasa yang diperlukan untuk mendukung gaya hidup tertentu.

Pendekatan popular jejak ekologi merupakan alat ukur yang mengkaji tingkat komsumsi manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Konsep “Jejak Ekologis” (Ecological Footprint) diperkenalkan pada tahun 1990-an oleh William Rees dan Mathjis Wackernagel (Wackernagel and Rees, 1996).

Salah satu contoh ialah seperti sewaktu kita memakan telor ayam yang ternyata bila ditelusuri dari awal telor itu dikirim dari peternak hingga pengepul menggunakan kendaraan tentu saja mengeluarkan emisi karbon dioksida yang berasal dari kendaraa, lalu sesampainya di pengepul telor, pengepul akan membungkus telor tersebut menggunakan tray yang berbahan karton yang berasal dari kayu, setelah dari pengepul telor didistribusikan ke toko-toko yang pengirimannya menggunakan kendaraan yang lebih besar seperti truk yang mengeluarkan emisi karbon dioksia yang bisa merusak lapisan ozon. Pembelian telor di toko-toko akan dikemas menggunakan kantong plastik, yang kita ketahui bahwa kantong plastik akan terurai sangat lama, untuk memasak telor baik digoreng maupun direbus tentunya kita membutuhkan api yang berasal dari gas, gas tersebut merupakan hasil dari fosil-fosil yang sudah terkubur lama.

Memang mengejutkan bila kita telusuri dampak dari aktifitas yang kita lakukan, akan tetapi kita bisa menguranginya dengan merubah gaya hidup kita yang lebih efektif, salah satunya adalah mengurangi sampah yang kita produksi.

Menurut National Geographic berikut beberapa contoh yang bisa dilakukan:

  • Reduce, reuse, recycle | Reduce atau mengurangi yang dibuang, reuse atau memakai kembali yang telah dipakai dan recycle atau mendaur ulang sebanyak mungkin.
  • Membeli barang sedikit | Belilah barang yang hanya dibutuhkan.
  • Lebih berhati-hati pada kemasan | Melihat kemasan apakah bisa di daur ulang atau tidak.
  • Membeli barang daur ulang | Memilih barang terbuat dari bahan daur ulang, seperti kertas daur ulang.
  • Membeli barang yang bisa di daur ulang | Dan tentu saja coba untuk didaur ulang.
  • Donasikan barang-barang yang telah dipakai | Mengurangi jumlah sampah yang kita buang dan bisa bermanfaat untuk orang lain.

Ada juga yang dinamakan dengan Carbon Footprint yaitu seberapa besar gas karbon yang dikeluarkan secara langsung atau tidak langsung mendukung aktivitas manuasia, biasanya dinyatakan dalam ton setara karbon dioksida (CO2). Semakin banyak karbon dioksida yang dikeluarkan akan semakin merusak lapisa ozon, seperti contoh untuk 1 liter diesel sama dengan 2,7 kg CO2. Selain dari kendaraan karbon dioksida bisa berasal dari listrik yang dikonsumsi, produksi kantong plastik, produksi botol plastik, hingga produksi cheese burger bisa mengeluarkan karbon dioksida.

Ada beberapa hal untuk menurangi carbon footprint, seperti:

  • Mengurangi energi dari rumah | Rumah bisa membuat dua kali lebih besar dari efek rumah kaca, menggunakan barang hemat energi dan mengatur efisiensi energi akan memperkecil energi yang dipakai.
  • Kurangi berkendara | Menggunakan kendaraan umum akan lebih efisien disbanding dengan menggunakan kendaraan pribadi karena bila seseorang menggunakan kendaraan pribadi karbon yang dihasilkan akan lebih besar. Lebih baik menggunakan kendaraan yang tidak menggunakan bahan bakar seperti bersepeda atau bisa berjalan kaki.
  • Membeli bahan bakar yang lebih tinggi | Mobil berkontribusi 20% dari efek rumah kaca, semakin tinggi membeli bahan bakar ber- oktan tinggi maka lebih kecil emisi yang dikeluarkan.
  • Membeli peralatan hemat daya | Dengan mengganti peralatan hemat daya akan mengurangi setidaknya 10% hingga 50% energi yang dikeluarkan.
  • Daur ulang | Membuat produk dari material daur ulang bisa menghemat hingga 98% energi dibandingkan dengan material baru.
  • Membeli makanan lokal | Makanan yang berasal dari luar daerah dikirim dengan kendaraan yang mengeluarkan emisi, dengan membeli makanan lokal secara tidak langsung kita mengurangi emisi yang dikeluarkan.
  • Mengurangi  daging merah | Memproduksi daging sapi memerlukan energi dan sumber daya yang tinggi. Mengganti dengan daging ikan, ayam dan telor akan mengurangi jejak karbon 29%, bahkan bila vegetarian akan mengurangi 50%.

Daftar Pustaka

http://wwf.panda.org/about_our_earth/teacher_resources/webfieldtrips/ecological_balance/eco_footprint/ (diakses 11 Maret 2017)

http://channel.nationalgeographic.com/channel/human-footprint/trash-talk.html (diakses 11 Maret 2017)

http://timeforchange.org/what-is-a-carbon-footprint-definition (diakses 11 Maret 2017)

Dominasi Fast Fashion sebagai Pemicu Peningkatan Karbon

Amelinda Alysia Anette (27116016)

Banyak dari kita menyadari runtuhnya Rana Plaza pada tahun 2013 di Bangladesh menewaskan hampir 1134 nyawa. Keruntuhan kondisi kerja pabrik dan industri ‘fast fashion’ memicu perhatian dan menjadi sorotan media secara global. Upah dan kondisi kerja bagi buruh yang membuat pakaian masyarakat luas adalah salah satu dari factor motivasi terbesar dalam berbelanja secara lebih etis. Namun, masalah etika yang penting untuk diperhatikan adalah pertimbangan terhadap carbon footprint yang berdampak besar pada lingkungan.

Persebaran kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang diimplementasikan secara global saat ini telah memlahirkan sebuah fenomena yang memicu melesatnya peningkatan carbon footprint dunia. Kapitalisme mengkonstruksikan paradigma dunia terhadap budaya konsumerisme sebagai suatu hal yang lumrah. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk membeli barang-barang yang mereka tidak butuhkan, terutama dalam sektor pakaian yang terus mengalami pergantian tren dan gaya.

Akan tetapi, budaya konsumerisme terhadap aspek pakaian di masa kini banyak dikritisi oleh para aktivis buruh sebagai suatu fenomena “fast fashion”, di mana tren pakaian yang terus berganti memicu masyarakat untuk lebih konsumtif dan terus membeli pakaian, meski di saat mereka tidak membutuhkannya sekalipun. Mayoritas pola konsumerisme para pecinta gaya pakaian pun hanya mementingkan tren dan harga pakaian yang semurah mungkin.

Apa yang kita kenakan menampakkan salah satu faktor dampak terbesar pada lingkungan dan industri global dan dapat dinyatakan bahwa fashion merupakan salah satu pencemar terbesar di dunia. Keberadaan beragam rantai pasokan bahan baku, produksi, manufaktur, pengiriman, dan ritel yang ikut berkontribusi dalam pembentukan pakaian. Besarnya rantai yang saling terkait ini melaksanakan persebaran terhadap banyak garmen, hampir mustahil untuk menghitung ulang carbon footprint yang tepat dalam kasus ini. Namun dampak dari industri fashion terhadap lingkungan yang sebegitu besar, hal ini sulit untuk diabaikan.

Dalam produksi pakaian, bahkan katun organik yang sering dipandang sebagai salah satu pilihan yang paling etis dapat memerlukan lebih dari 5000 galon air dalam pengolahan kapas sehingga cukup untuk memproduksi sepasang t-shirt dan celana. Walaupun serat sintetis dapat intensif untuk menanggulangi permasalahan konsumsi air secara berlebihan, namun material ini serta proses pencelupan warna secara kimiawi menyebabkan polusi selama proses manufaktur.

Globalisasi juga menyimpulkan bahwa pakaian cenderung melakukan perjalanan di seluruh dunia pada kapal yang didukung oleh bahan bakar fosil, juga adanya dampak pada lingkungan dari proses pencucian yang berujung disposal dari pakaian-pakaian tersebut. Dengan kecepatan yang berlebih pada produksi pakaian sekali pakai, fast fashion menyediakan tren runway dalam harga yang rendah diikuti dengan meningkatnya demand pasar juga tentunya mempercepat emisi karbon. Hal ini memicu perekonomian yang tidak seimbang dan peningkatan pemanasan global karena tingkat produksi yang dihasilkan.

Akhir kata, meskipun industri fashion tidak dapat diperbaiki secara instan, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam memperbaiki dan mengurangi perputaran siklus carbon footprint yang sedang mendominasi di dunia masa kini. Hanya dengan memperpanjang umur pakaian selama 3 bulan aktif dapat membantu mengurangi limbah, pemanfaatan air, dan carbon footprint hingga paling banyaknya 10% dari apa yang sedang terjadi. Salah satu hal sederhana yang juga bisa kita lakukan untuk mencegah ketidakadilan pada buruh industri pakaian ini terjadi adalah dengan mengasah kepekaan kita terhadap latar belakang perusahaan dari pakaian bermerek yang akan kita beli.

Banyak merek slow fashion yang membuat pakaian etis yang lebih terjangkau yang juga menjaga kesejahteraan para buruh pekerja. Lebih dari sekedar mengikuti tren, pakaian yang digunakan harus dipandang sebagai perwujudan prinsip setiap individu. Sebagai konsumen, masyarakat mampu membangun kesadaran yang lebih baik terhadap masalah ini dengan menyesuaikan pilihan konsumsi dengan pengetahuan mengenai realitas kesejahteraan buruh industri dan peningkatan karbon di seluruh dunia. Dengan harapan masyarakat dapat lebih peka dalam menciptakan dampak postif kepada dunia.

Jam Tangan Ramah Lingkungan dari Limbah Kayu

Reny Maryani (27115046)

Indonesia merupakan negara dengan memiliki berbagai macam kekayaan sumber daya alam, salah satunya kayu. Kayu merupakan salah satu sumber daya alam yang di manfaatkan oleh manusia selama berjuta-juta tahun lamanya. Pemanfaatannya berawal dari kayu bakar, kemudian berkembang menjadi bermacam-macam kegunaan seperti tempat tinggal, kendaraan, alat musik, rumah lampu, furniture, peralatan rumah tangga, alas kaki, mainan hingga aksesoris. Dalam proses pengolahannya tidak jarang menghasilkan limbah kayu dengan jumlah yang tidak sedikit, ditambah apabila produk yang dihasilkan dibuat secara mass production maka semakin banyak pula limbah kayu yang dihasilkan. Kayu adalah salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan kembali meskipun sudah menjadi limbah. Di Indonesia, limbah kayu sudah dimanfaatkan menjadi produk dengan fungsi yang sama atau baru. Mulai dari yang bernilai ekonomi rendah seperti arang sampai yang bernilai ekonomi tinggi seperti peralatan rumah tangga hingga aksesoris. Selain kenaikan nilai ekonomi dari limbah kayu yang diolah yaitu kita dapat memaksimalkan dan memperpanjang usia kayu tersebut karena seperti yang kita ketahui kayu (contohnya kayu jati) baru dapat dipanen setelah usia pohon minimal 5 – 10 tahun. 

Melimpahnya limbah kayu dari workshop interior-furniture yang tidak termanfaatkan dengan baik menjadikan ide bagi para industri kreatif untuk menggunakan limbah kayu sebagai bahan baku dalam pembuatan produk baru. Peluang pengolahan limbah kayu ini sudah banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kreatif dari seluruh dunia. Salah satunya adalah Matoa, brand jam tangan pertama yang menggunakan limbah kayu sebagai bahan baku utamanya dan merupakan hasil karya anak bangsa dengan mengambil konsep urban, simplicity and nature menjadikan produk ini terasa eksklusif karena dibuat oleh para pengrajin dengan keahlian tinggi yang detail oriented dan tentu saja di desain dengan cukup apik oleh para desainernya. Ditambah dengan menggunakan limbah kayu berkualitas baik yaitu Maple dan Ebony Makasar menjadikan kualitas jam tangannya sangat baik.

Secara tidak langsung Matoa mengajak para konsumen menjadi bagian dari orang-orang yang peduli tentang penggunaan limbah kayu dengan memakai produk yang ramah lingkungan dan bahan baku yang berkelanjutan. Dan menegaskan bahwa pengolahan limbah kayu yang dilakukan secara professional dalam arti secara konsep desain dan proses pengerjaannya matang serta di dukung dengan packaging yang menarik dapat menghasilkan suatu karya atau produk yang bernilai ekonomi tinggi.

Tren sustainability design yang sedang digembar-gemborkan oleh para komunitas, pelaku industri, desainer dan pelaku yang lainnya juga bisa menjadikan pengolahan limbah kayu menjadi salah satu fokus utama dalam pengembangan desain yang berkelanjutan. Potensi pengolahan limbah kayu menjadi produk dengan nilai ekonomi masih terbuka lebar bagi para pelaku industri kreatif, karena masih banyak peluang produk-produk lain yang belum di ciptakan atau diciptakan kembali dengan menggunakan bahan baku utama dari limbah kayu. Selain itu dengan memanfaatkan atau menggunakan produk dari limbah kayu juga membuat kita turut berpartisipasi atas keberlanjutan usia produktif kayu. Karena tidak dapat dipungkiri, dengan meningkatnya permintaan pasar akan kebutuhan kayu sebagai bahan baku utama untuk di olah menjadi berbagai macam produk menjadikan pasokan kayu semakin berlimpah di pasaran, ini berakibat semakin banyak pula limbah kayu yang dihasilkan. Setidaknya dengan memanfaatkan limbah kayu yang ada menjadi salah satu solusi untuk mengurangi limbah kayu, namun lebih baik lagi apabila kita dapat memanfaatkan limbah kayu menjadi zero waste.

SUMBER :

http://www.trubus-online.co.id/panen-jati-lima-tahun/ di akses 10 Maret 2017

https://www.matoa-indonesia.com/ di akses 10 Maret 2017

 

Arsitektur Hijau Bandara Blimbingsari

Teguh Vicky Andrew

 

Citra kekinian Banyuwangi tak lagi identik dengan sebutan “kota santet”. Pasalnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, bekas ibu kota kerajaan terakhir di Nusantara ―Blambangan― ini telah bersalinrupa menjadi “kota hijau” yang berkesan ramah bagi setiap orang. Tentu saja, pencapaian ini tidak dapat dilepaskan dari kiprah dan kebijakan Bupati Abdullah Azwar Anas.

Ketika banyak daerah berlomba-lomba menjadi kota pintar (smart city), Azwar malah mengembangkan gagasan kampung cerdas. Seturut konsep itu, selain memberikan pelayanan publik berbasis teknologi informasi, bupati berusia 41 tahun ini juga bertumpu pada budaya dan ekonomi lokal, serta menerapkan pembangunan fisik berbasis lingkungan (green architecture).

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015 : 74)

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015 : 74)

Secara personal, bupati kelahiran Banyuwangi ini memang memiliki kepekaan khusus terhadap seni bangunan. Namun ia juga tak dapat menampik fakta bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di seluruh dunia menghasilkan 40% emisi karbondioksida yang menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global (Yudelson, 2007:3). Oleh karena itu, minat sang bupati tak terbatas pada estetika dan tren arsitektur kontemporer, tetapi juga bangunan-bangunan yang ramah lingkungan.

Untuk itu, selama 5 tahun terakhir, Bupati Azwar melibatkan para arsitektur kondang dalam merenovasi, memperluas, dan mendirikan lebih dari 15 bangunan secara simultan. Salah satu konstruksi yang kental menerapkan prinsip arsitektur hijau adalah Bandara Blimbingsari. Lapangan terbang seluas 240 meter persegi dengan panjang lintasan 1.400 meter―kemudian diperpanjang 1.800 meter― ini mulai dibangun pada 2004 dan mulai beroperasi pada akhir 2010.

“Melipat Jarak”

Kehadiran bandara Blimbingsari sangat penting dan strategis. Berjarak 300 kilometer dari Surabaya, ibu kota kabupaten ini ditempuh sekitar delapan jam perjalanan dengan menggunakan mobil. Namun, durasi perjalanan ini dapat dipangkas hingga 50 menit bila menggunakan pesawat (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015:76). Dengan begitu, kehadiran lapangan terbang ini akan mempermudah akses wisatawan dan investor yang memicu pertumbuhan ekonomi lokal.

Bandara Blimbingsari, Banyuwangi (Asdhiana, 2014)

Bandara Blimbingsari, Banyuwangi (Asdhiana, 2014)

Pada kenyataannya, jumlah tamu di Bandara Blimbingsari memang terus meningkat. Bila pada 2011 jumlah penumpang hanya 3.000 orang, maka pada 2012 telah meningkat menjadi 24.000 orang dan 44.000 orang pada 2013 (Rachmawati, 2013). Walhasil, kursi penumpang pesawat ATR72-500 milik Wings Air dan Garuda Indonesia yang melayani rute Surabaya-Banyuwangi berkapasitas 80 orang hampir selalu penuh. Pencapaian ini pun membuat bandar udara ini naik dari kelas V ke kelas III―yang biasanya 25-30 tahun― dalam tempo tiga tahun.

Belakangan, lapangan terbang ini diusulkan untuk naik ke kelas II. Otoritas lokal pun bergerak cepat. Sejak akhir 2013 proyek perluasan bandara mulai dirancang. Rencananya, lapangan terbang Blimbingsari akan diperluas hingga 5.000 meter persegi. Kapasitas bandara ini akan ditingkatkan hingga 250.000 penumpang yang akan dilayani oleh 10 bilik check in dan lima maskapai penerbangan. Lintasan pacu pesawat pun akan diperpanjang hingga 2.250 meter sehingga dapat menampung pesawat jenis Bombardier CRJ 1000 dan Boeing 737-500.

Tak hanya itu, pemerintah Kabupaten Banyuwangi kemudian menunjuk arsitek Andra Martin―perancang Le Bo ye Graphic dan Gedung Dua8 di Jakarta, serta Conrad Chapel di Bali. Namun berbeda dengan karya-karya sebelumnya, Bupati Anas menantang Andra untuk merancang terminal bandara Blimbingsari seturut langgam vernakular yang dipadukan dengan konsep arsitektur hijau.

Desain Bandara Hijau

Rancangan bangunan terminal Bandara Blimbingsari memenuhi enam kriteria bangunan ramah lingkungan, yaitu penggunaan lahan tepat guna, efisiensi energi, konservasi air, kenyamanan udara, siklus material, dan manajemen lingkungan (Bachitar, 2015). Arsitektur  bandara ini juga menerapkan konsep desain pasif yang lebih mengandalkan penataan ruang daripada penggunaan alat-alat canggih untuk mengurangi konsumsi energi.

Perangkat pendingin udara (air conditioner) dan material kaca , misalnya, hampir tidak digunakan di bandara ini. Sebagai gantinya, desain interior gedung terminal dirancang minim sekat dengan dinding berupa kisi-kisi yang membuat sirkulasi udara berjalan lancar dan sinar matahari dapat leluasa masuk sehingga mengurangi penggunaan lampu. Kehadiran empat kolam ikan di lantai dasar juga berpengaruh besar terhadap suhu ruang karena mampu menurunkan tekanan udara.

Sementara bagian atap bangunan terminal Bandara Blimbingsari mengadaptasi bentuk penutup kepala pria suku Osing, udeng. Kehadirannya tak hanya menjadi representasi budaya lokal, tetapi juga membuat cahaya matahari dapat masuk melalui wuwungan sehingga ruang utama tetap terang walaupun tanpa lampu pada siang hari (Tim Tokoh Arsitektur 2014, 2015 : 76). Untuk meredam radiasi sinar mentari, bagian luar atap dilapisi rumput gajah mini yang selaras dengan taman yang menghampar di sekitar bandara.

Purwarupa Bandara Blimbingsari (Bachtiar, 2015)

Purwarupa Bandara Blimbingsari (Bachtiar, 2015)

Bahan utama bangunan terminal Bandara Blimbingsari ini pun berasal dari kayu ulin bekas kapal dan dermaga yang tahan rayap. Penggunaan material ini jelas terlihat jelas pada bagian tiang dan dinding gedung. Bahan lain yang digunakan adalah batu lempeng asli Banyuwangi untuk melapisi dinding dari kayu ulin tadi. Sementara, kisi-kisi dan ornamen bangunan terbuat dari kayu jati yang menampilkan hiasan lokal Banyuwangi, Gajah Oling (Bachtiar, 2015).

Di luar itu, lapangan terbang ini juga tak sekadar berfungsi sebagai tempat turun-naik penumpang pesawat. Seperti hal berbagai bandar udara internasional lainnya, bandar udara ini juga mengakomodasi berbagai kegiatan seturut konsep fungsi ruang pada bangunan hijau. Kelak, lapangan terbang ini akan dilengkapi dengan ruang pertemuan, tempat istirahat, gerai seni, pusat oleh-oleh dan kafe (Ibid., 2015).

Akhirnya, kehadiran Bandara Blimbingsari memberikan warna berbeda dalam tren bandar udara baru di Indonesia. Dengan mengusung konsep arsitektur hijau, proses renovasi besar-besaran bandara ini dapat dilakukan dengan cepat (Juni 2014 – September 2015). Biaya yang dikeluarkan pun relatif murah, 45 milyar rupiah. Namun di luar itu, yang jauh lebih penting, bandar udara ini juga memiliki identitas kuat karena tidak saja mengusung budaya lokal, tetapi juga memiliki kontribusi terhadap kelestarian lingkungan.

 

Daftar Sumber

Asdhiana, I Made.2015.Penerbangan ke Banyuwangi Tambah, Penumpang Naik. Diakses dari http://travel.kompas.com/read/2014/05/06/1755537/Penerbangan.ke.Banyuwangi.Tambah.Penumpang.Naik (3 Maret 2015, Pukul 15.03).

Bachtiar, Rifki. 2015.Terapkan Green Building, Terminal Bandara Blimbingsari Ditarget Selesai 2015. Diakses dari http://beritajatim.com/politik_pemerintahan /229865/terapkan_green_ building,_terminal_bandara_blimbingsari_ditarget_selesai_2015.html#.VO8OmCymSO0 (3 Maret 2015, Pukul 14.03).

Rachmawati, Ira. 2013.Bandara Banyuwangi Dikembangkan dengan Konsep Hijau. Diakses dari http://regional.kompas.com/read/2013/12/24/1333490/Bandara.Banyuwangi.Dikembangkan.dengan.Konsep.Hijau (3 Maret 2015, Pukul 13.27).

Suprapto, Hadi dan Tudji Martudji.2014.Indonesia Akan Punya Bandara Ramah Lingkungan. Diakses dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/507477-indonesia-akan-punya-bandara-ramah-lingkungan ( 3 Maret 2015, Pukul 14.15).

Tim Tokoh Arsitektur 2014. 2015.Angin Segar dari Ujung Timur Jawa. Majalah Tempo Edisi 5-11 Januari 2015.

Yudelson, Jerry. 2007. Green Building A to Z : Understanding the Languange of Green Building. Gabriola Island : New Society Publisher.