Saya baru membaca salinan sambutan Presiden RI pada pembukaan INACRAFT 2015, tertanggal 8 April 2015. Lalu terpukau pada bagian ini:
“Tadi saya bisiki Menteri Perdagangan, Menteri Koperasi, desain. Kalau kita mau masuk pasar Eropa, cari desainer dari sana. Pemerintah cari desainer-desainer yang baik dari Eropa. Yang baik dari mana? Dari Perancis? Cari dari Perancis. Yang baik dari mana? Dari Italia? Cari dari Italia. Memang harus berani seperti itu. Kalau tidak, desain kita akan tidak selalu bergerak ke pasar-pasar internasional.”
Nah, karena konteksnya INACRAFT, “desain” yang saya bahas di sini lebih mengarah ke desain produk yang erat kaitannya dengan kapasitas pengrajin dan industri rumahan, budaya, dan SDA yang umum digunakan sebagai bahan mentah dan bahan produksi. Kalau yang jadi tujuan adalah “masuk ke pasar internasional”, percayalah, sekedar menghadirkan desainer asing untuk mengolah sumber daya kita bukanlah jaminan untuk “produk yang lebih laku”. Jadi apa solusinya? Bukan mengimpor desainer, tapi membenahi ekosistem dari hulu ke hilir, dengan segala dinamikanya.
Yang pertama, dari hulu, pastikan apakah ketersediaan bahan mentah dan bahan baku bisa konsisten sepanjang tahun? Pengrajin bambu andalan kami pernah gagal deliver produk pesanan kami, karena “petaninya nggak mau jual bambu”. Kenapa? “Karena di bulan yang biasanya bisa panen, jadi banyak hujan, sehingga banyak anakan yang tumbuh. Kalau induknya ditebang, bisa-bisa anaknya mati. Dan nggak bisa tebang di musim banyak hujan begini.” Ini baru masalah Perubahan Iklim. Ada lagi masalah sosial, seperti, tidak memenuhi pesanan sesuai janji karena, “Musim panen, semua orang ke ladang, nggak ada yang ‘nganyam,” atau “Ada upacara sunatan, sekampung nggak ada yang kerja.” Aktivitas adat dan sosial yang tidak bisa disanggah, sehingga target produksi pun seharusnya dapat menyesuaikan dengan ritme alami ini. Apakah desainer asing bisa memahami hal-hal seperti ini?
Hal lain, kita sudah punya desainer-desainer unggul, yang termasuk juga hasil didikan perguruan tinggi desain yang sudah berdiri di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Karya-karya mereka juga sudah masuk ke pasar internasional yang bergengsi, exposure karya mereka juga sudah mendunia melalui website dan media sosial. Di era seperti ini, akses dan wawasan mengenai trend global, proses produksi yang canggih, dan faktor-faktor pendukung lainnya terbuka lebar. Teman-teman, juga para mantan mahasiswa, secara bertahap telah berhasil membangun reputasi dan domain mereka dalam bidang desain yang diakui dunia internasional. Rahasianya apa? Para desainer Indonesia yang unggul ini dengan cermat dan cerdas berhasil memaknai akar budaya Indonesia yang beragam dalam karya-karyanya. Mereka unik karena dapat mengangkat nilai kearifan budaya, bukan hanya “menempelkan” ornamen tradisional pada karyanya. Apakah desainer asing bisa menjiwai hal ini?
Banyak hal lain yang “menggemaskan” seputar subyek tentang “desainer impor” ini; satu Blog tidak akan cukup untuk membahas mengenai pembenahan ekosistem desain produk dalam konteks ini. Namun, bila ingin mencoba menjawab cepat, solusi atau cara untuk pengembangan produk Indonesia adalah pada endorsement bagi para desainer profesional, terutama desainer pemula dan yang hendak naik kelas (start-up dan step-up), berupa berbagai fasilitas untuk mengeksplorasi kapasitas diri, kemudahan kesempatan untuk tampil dalam berbagai event desain dunia, dan kemudahan akses ke informasi terkini dalam bidang desain dan segala hal yang berkaitan dengannya (teknologi, fenomena sosial, dsb.) Potensinya sudah banyak, dan tersebar; sehingga tinggal diperlukan sebuah sistem manajemen yang strategis, kalau mau unjuk gigi secara masif.
Itu tadi mengenai “masuk ke pasar internasional”. Sementara, saya yakin, pasar dalam negri kita ini cukup kuat. Masih penting bagi sesama bangsa ini untuk menghargai karya saudaranya sendiri; “Aku cinta buatan Indonesia” harus terus digencarkan dan dibuktikan. Jiwa konsumtif bangsa kita ini tinggal diarahkan ke berbagai produk dan jasa yang aman bagi kelestarian lingkungan, dan yang dapat mendukung dan membangkitkan industri kita sendiri.
Saya juga yakin nih, teman-teman desainer, para peneliti dan akademisi, pengusaha desain, dan pengrajin, termasuk para designer-maker yang sedang marak, pasti punya pendapat masing-masing dan solusi nyata untuk isu ini. Ada yang dengan cara bertukar pikiran dengan budaya lain, atau berkolaborasi baik dengan sesama desainer maupun dengan ahli dalam bidang lain, dan sebagainya – tapi pasti mentah-mentah mengimpor desainer, bukan jadi salah satu solusi. Ayo, kita bergerak! ^_^
saya suka.
Barangkali pak Presiden yang terhormat perlu dibukakan wawasannya bahwa ada karya desain anak bangsa yang sudah dipajang di museum dan butik desain mancanegara, solusi nya sudah ada di tanah-air sendiri, bukan dengan (lagi-lagi) bergantung pada import (desainer). http://www.ayipbali.com/2011/06/19/radio-magno-beyond-design/#more-1392
Terkadang pemerintah menginginkan hasil yang cepat dengan proses seringkas mungkin tanpa mengetahui dan mempelajari dinamika dari suatu persoalan secara mendalam. Lagi-lagi ini terkait dengan singkatnya periode mereka mampu membuktikan kepada para pemilihnya akan kontribusi yang dapat dilakukannya selama masa jabatan berlangsung. Mindset seperti inilah yang terkadang menghambat bangsa ini untuk maju