Tag Archives: bandung

Komite Ekraf.bdg

Bandung ini gampang-gampang susah. Katanya, nggak usah ada pemerintah pun, “semuanya bisa jalan sendiri”, karena warganya terlalu mandiri. Juga soal ekonomi kreatif (ekraf), ingin rasanya beneran bisa autopilot. Tapi nyatanya reputasi ekraf Bandung ini pasang-surut, baik di tingkat nasional maupun internasional, tergantung pada periode pengampu kotanya. 

Memang, kegiatan dan event ekraf tetap saja berjalan meriah di kalangan profesional dan akademisi. Di masa ketika kata-kata “kreativitas” atau “kota kreatif” sama sekali tidak tercantum di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ini, aparat kota memang jadinya nggak punya alasan/ landasan legal untuk menggarap bidang ekraf, karena tidak ada dalam daftar tugas mereka — meskipun jabatan pengampu urusan ekraf ini ada dalam struktur pemerintahan. Tapi toh ekraf di Bandung tetap terselenggara dengan aktif dan seru, dalam bentuk berbagai lokakarya, festival, konferensi internasional, dan banyak lagi. Hanya saja memang sayang, kan, kalau potensi ekraf ini tidak dimanfaatkan sebagai strategi dalam membangun SDM dan ruang-ruang kotaNahmakanya disahkannya Perda Ekraf (No.01 Tahun 2021) pada Januari 2021 lalu menjadi semacam jaminan bahwa siapa pun pengelola kotanya, ekraf akan selalu masuk dalam rencana pembangunan [Ref: Dari Aktivisme ke Kebijakan].

Dari delapan urusan ekraf yang tercantum dalam Perda Ekraf itu, salah satunya adalah Komite Ekraf [Ref: Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana?]. Komite inilah yang seharusnya menjadi intermediary, jembatan, atau perantara antara kebijakan dengan aspirasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan ekraf dalam wilayah kota, selain juga merancang peta jalan dan program strategis. Lingkup tugasnya pun sudah dipaparkan di perda tersebut. Pengennya sih segera dibentuk, supaya segera bergerak dan berdampak, apalagi mengingat momentum dan peluang besar yang bertubi-tubi hadir di Kota Bandung. Tapi karena satu dan lain hal — selain karena pandemi dan refocusing anggaran, juga karena adanya perubahan personel pengampu — implementasi dari perda tersebut tidak bisa segera terjadi.

Meskipun hanya selang setahun sejak Perda Ekraf disahkan (Januari 2021) hingga hari ini (Februari 2022), perkembangan situasi terkait ekraf terjadi sangat pesat, dari fenomena lokal dan nasional, hingga skala dunia. Perda yang dimulai prosesnya di tahun 2018 ini pun harus segera mengadopsi kondisi terkini dalam implementasinya. Sebagai (mantan) tim Ekraf.bdg, yang kami inginkan utamanya hanyalah kesinambungan dan pemutakhiran program, agar tidak mulai dari “mentahan” lagi, demi dampak yang lebih nyata dan terukur. Juga, tetap menjaga kesesuaian dengan konsep “ekosistem ekonomi kreatif” yang telah disepakati dan juga tercantum dalam perda. Jadi, kami menyiapkan dokumen referensi, yang sebagian deck-nya bisa dilihat berikut ini.       

Slide 1. Daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung.

Slide 1 memuat daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung, yang juga berpengaruh pada konsep dan gerakan ekraf di tingkat nasional dan internasional. Proses dari Triple Helix hingga Hexa Helix; dari riset dan aktivasi oleh komunitas lokal hingga menjadi rekomendasi kebijakan skala dunia; dari inisiatif bottom-up hingga terbentuknya konsensus kerangka kerja sebuah “Kota Kreatif”. Sejarah yang menunjukkan leadership Bandung dalam sektor ekraf tentu tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Slide 2. Dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif”, dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015).

Slide 2 menampilkan dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif” dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015). Adanya semacam komite, badan, atau Chief Creative Officer, menjadi pelengkap sebuah “Kota Kreatif”, seperti yang pernah diungkapkan oleh Zuzanna Skalska [Ref: Kota yang Berpihak pada Manusia]:

Pada akhirnya, apakah tantangan sebenarnya bagi “kreatif” dalam konteks “kota”? Sebuah kota dengan konsep ‘baru’ memerlukan pendekatan yang juga baru. Sebuah “kota kreatif” memerlukan seorang creative chief — tanpa keberadaan seorang “creative chief”, atribut “kota kreatif” hanya menjadi hal artifisial

Slide 3. Landasan hukum.

Slide 3 merunut landasan hukum dibentuknya Komite Ekraf sebagai salah satu lingkup yang diatur dalam Perda Ekraf Nomor 01 Tahun 2021. Font yang abu-abu itu, karena sedang ada proses penyusunan Rindekraf nasional yang baru, untuk kemudian dirujuk oleh kota/kabupaten. 

Slide 4. Bagian perda tentang komite.

Slide 5. Bagian perda tentang komite.

Slide 4 dan 5 memaparkan bagian-bagian perda yang memuat bahasan mengenai Komite Ekraf.

Slide 6. Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders sebagai kerangka kerja ekraf.

Slide 6 memuat bagan nomenklatur Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders, yang telah berkembang sejak dirancangnya Perda Ekraf. Sebuah Kota Kreatif harus cekatan dalam memahami dan memanfaatkan alur sinergi seluruh elemen dalam framework ini.

Slide 7. Salah satu alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg.

Struktur komite sebaiknya ramping, namun terkoneksi erat dengan perwakilan bidang (sub-sektor industri kreatif), (hexa helix) stakeholders, dan segmen masyarakat lainnya. Slide 7 memuat bagan salah satu versi/ alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg yang telah disesuaikan dengan ekosistem dan framework terkini, juga dengan karakteristik dan kebutuhan Kota Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia dalam bidang Desain.

Slides pelengkap ini sifatnya menginformasikan evidence kinerja ekraf Bandung yang sudah turut membentuk pemahaman terhadap “ekonomi kreatif” yang tetap relevan bagi masa kini, pasca pandemi, hingga untuk pemulihan yang berkelanjutan dan membangun kembali tatanan kehidupan di masa mendatang.  

=====

Deck ini sudah dipresentasikan kepada para pengampu tertinggi Kota Bandung beserta jajarannya, di waktu yang berbeda-beda. Semoga keputusan resmi untuk Komite Ekraf.bdg nanti dapat tetap membawa semangat progresif, mampu mengembalikan leadership Kota Bandung dalam sektor ekraf di skala nasional dan dunia, serta berdampak nyata dan terukur bagi seluruh warganya secara inklusif (hal ini nih yang selalu diwanti-wanti oleh para anggota DPRD di setiap sesi pembahasan finalisasi perda). Semangat! 

Airborne.bdg | Human City Design Award 2020

Airborne.bdg, salah satu program BCCF di tahun 2017, menjadi salah satu dari 10 finalis Human City Design Award (HCDA) 2020, di mana hanya akan dipilih satu pemenang, yang sedianya akan diumumkan di akhir tahun 2020 lalu, tapi terpaksa ditunda hingga 8 Maret 2021.  

10 finalis HCDA 2020 bisa dilihat di sini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020

Tentang Airborne.bdg di HCDA 2020 ada di laman ini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020/airborne-bdg

Mengutip dari situsnya (dalam interpretasi bebas), HCDA ini bermula dari dideklarasikannya Kota Seoul sebagai Human City Design Seoul pada tahun 2018, sebagai respons terhadap kebutuhan dunia di masa kini, di mana masyarakat percaya bahwa kita harus mengatasi dampak buruk dari permasalahan berjaraknya manusia, materialisme, dan lingkungan; bahwa kita harus merancang lingkungan perkotaan yang berkelanjutan, sehingga manusia dapat menikmati kehidupan berkreativitas. 

Dengan deklarasi tersebut, Pemerintah Metropolitan Seoul dan Seoul Design Foundation berharap agar dapat menjadi jalur komunikasi dalam membangun ekosistem perkotaan, di mana manusia dan alam dapat hidup berdampingan, juga sekaligus menjadi platform bagi kesejahteraan bersama, yang terus mengupayakan keberlanjutan dan kesejahteraan bagi komunitas yang terus berkembang.  

Harapan ini menjadi dasar ditujukannya HCDA pada para desainer atau pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam meningkatkan hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antar sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan sekelilingnya, dan manusia dengan alam, melalui penanganan berbagai isu lingkungan perkotaan dengan visi yang baru, melalui desain.       

HCDA mengajak kota-kota di seluruh dunia untuk mengajukan karya terbaiknya, terkait dengan tema yang ditentukan. Di tahun 2020 ini, HCDA bertema Desain untuk Kota Berkelanjutan untuk hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan, dengan tujuan:

  • Untuk mewujudkan ekosistem kota yang berkelanjutan bagi hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan melalui desain
  • Untuk mendiskusikan desain sebagai solusi kreatif bagi berbagai permasalahan sosial yang kompleks di kota, dan untuk memperluas efek “khasiat penyembuhan” dari desain di seluruh dunia
  • Untuk mendorong agar sektor desain berkontribusi pada perkembangan umat manusia

Di HCDA 2020 ini, Airborne.bdg lolos seleksi menjadi finalis, berbarengan dengan 9 projects lain dari Brazil, Italia, Jepang, Kolombia, Korea Selatan, Perancis, Singapura, dan Thailand. Airborne.bdg, yang selesai pada tahun 2017 lalu, merupakan puncak dari serangkaian kegiatan yang dilakukan BCCF sejak tahun 2013 di area Kampung Linggawastu, Kecamatan Bandung Wetan, yaitu mural yang digarap di permukaan atap rumah, membentuk citra .bdg berukuran raksasa, yang hanya dapat dilihat secara utuh dari ketinggian 40 meter dari permukaan tanah. 

Cita-cita untuk mewujudkan adanya landmark ini muncul setelah Bandung bergabung dalam Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) sebagai Kota Desain pada 11 Desember 2015. Untuk membuat penanda kota dengan dimensi dan struktur fisik berukuran masif, tentu diperlukan lahan, tenaga, dan biaya yang sangat besar, sehingga harus dicari cara lain untuk mewujudkan cita-cita tersebut. BCCF yang kala itu sedang terlibat dengan berbagai kegiatan, terutama dalam kolaborasi dengan beberapa kampung, menggagas mural atap ini, yang diawali dengan proses panjang. Mulai dari memetakan pihak-pihak yang terlibat, mengupayakan sponsor, koordinasi dengan Komite Ekonomi Kreatif Kota BandungPemerintah Kota Bandung yang juga menjadi pengampu kegiatan ini beserta perangkat setempat (camat, lurah, RW dan RT), komunikasi dengan warga, dan seterusnya. Dimulai dari kegiatan pengembangan produk (sekaligus kemasan, branding, dan narasinya) bersama Desain Produk FSRD ITB dan Bank Sampah Sabilulungan tahun 2013 yang kemudian didukung oleh Dekranasda Kota Bandung, juga program workshop untuk anak di Taman Pulosari dengan tema-tema arts & craftsscience, dan adventure asuhan EcoEthno dan kakak-kakak mahasiswa Magister Desain FSRD ITB, program Riverplay public furniture di bantaran salah satu ruas Cikapundung dengan Karang Taruna dan Desain Produk FSRD ITB, hingga berbagai aktivitas dengan warga (antara lain workshop fotografi Matawarga dengan AirFoto Network) menuju urban game Sasab.bdg tahun 2015 sebagai bagian dari Helarfest 2015, dan banyak lagi; kawasan Kampung Linggawastu ini menjadi cerminan makna “desain” dan “kreativitas” yang menjadi argumen Bandung sehingga berhasil bergabung dalam UCCN.

https://youtube.com/watch?v=vUOsuvgXCYY%3Ffeature%3Doembed

Sehingga mural atap di Linggawastu menjadi semacam “stempel”, cap yang menandai sebuah “kota kreatif” dengan kekhasannya sendiri, di mana warganya terus menerus bereksperimen dan menciptakan purwarupa solusi bagi permasalahan sekitarnya. Di mana inisiatif komunitas dapat bertemu dengan kebijakan dan regulasi pemerintah melalui praktik design thinking, dan di mana sinergi antar pemangku kepentingan selalu dilatih dan dievaluasi.

Mengakhiri catatan ini, berikut kutipan dari materi presentasi saya (prerecorded) untuk keperluan Awarding Event tanggal 8 Maret 2021 nanti. Berhasil atau tidak memenangkan penghargaan ini, setidaknya hal ini menjadi pengingat akan semangat perjuangan dan kerja keras komunitas dalam berkarya dan berdampak nyata.

The paint on the rooftops may not last, but we managed to capture a momentum to deliver a statement about what “design” and “creativity” mean for Bandung as a UNESCO creative city. It gives us an opportunity to think of another artefact, which can prove how agile thinking and action could actually build a resilient urban community. In a way, its ephemeral existence conveys a message for us to keep being relevant in our creative endeavours”

[Cat pada permukaan atap mungkin tidak akan awet, tapi kita berhasil merengkuh sebuah momentum untuk menyampaikan pernyatan tentang makna “desain” dan “kreativitas” bagi Bandung sebagai kota kreatif UNESCO. [Airborne.bdg] membuka peluang bagi kita untuk memikirkan artefak lain, yang dapat membuktikan bagaimana pemikiran dan perbuatan yang tangkas sebenarnya dapat membangun komunitas perkotaan yang tangguh. Dengan cara tertentu, keberadaannya yang sementara justru membawa pesan bagi kita untuk terus menjadi relevan dalam segala upaya kreativitas kita.]         

=====

Berikut ini beberapa tautan ke media/ liputan mengenai Airborne.bdg

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

https://kwriu.kemdikbud.go.id/berita/airborne-bdg-landmark-terbaru-bandung-kota-desain-unesco/embed/#?secret=UTyxdSUwb1

Keren, logo ‘.bdg’ ini dilukis di atas permukaan genteng 132 rumah warga – 15 Desember 2017 

https://m.merdeka.com/bandung/halo-bandung/keren-logo-bdg-ini-dilukis-di-atas-permukaan-genteng-132-rumah-warga-171215l.html

Airborne.bdg Bakal Jadi Landmark Baru di Bandung – 15 Desember 2017

https://ayobandung.com/read/2017/12/15/26520/airbornebdg-bakal-jadi-landmark-baru-di-bandung

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO

https://www.destinasibandung.co.id/airborne-bdg-landmark-baru-di-bandung-kota-desain-unesco.html/embed#?secret=X1BC8v7GeH

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO

https://sorotindonesia.com/airborne-bdg-landmark-terbaru-bandung-kota-desain-unesco/embed/#?secret=f84QmUu74W

Bakal Ada Landmark Baru di Bandung – 16 Desember 2017

https://jabarekspres.com/berita/2017/12/16/bakal-ada-landmark-baru-di-bandung/embed/#?secret=swwMi9sdFf

Ikon Baru Kota Bandung “.bdg” – 18 Desember 2017

https://ptbestprofitfuturesbandung.mystrikingly.com/blog/ikon-baru-kota-bandung-bdg

Lewat Pasupati, Jangan Lupa Tengok Lukisan .bdg di Atap Warga – 19 Desember 2017

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3775965/lewat-pasupati-jangan-lupa-tengok-lukisan-bdg-di-atap-warga

Facebook Fiki Satari

https://www.facebook.com/fikisataricom/posts/representasi-skenario-bandung-kota-kreatif-dunia-yg-dinarasikan-dlm-proposal-dos/1792642597424899/

Twitter @infobdg

Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana? (2)

*sambungan dari bagian sebelumnya

Maka, begitu perda ini disahkan, harus segera diturunkan menjadi perwal yang akan mendetailkan secara teknis hal-hal tersebut. Misalkan, persyaratan menjadi personel Komite Ekraf, tata kelola Pusat Kreasi, dan sebagainya. Dalam kesempatan workshop ini, para peserta pun menyampaikan aspirasinya, dalam rangka mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi dengan adanya perda tersebut. Berikut ini beberapa hal yang menarik untuk dicatat dari rangkuman hasil workshop:

  1. Pelaku Ekonomi KreatifHarapannya, pelaku ekraf dapat lebih sadar terhadap peraturan yang ada demi peningkatan peran/kontribusinya bagi kota; terjadi multi-perspektif lintas bidang usaha dan keahlian terkait (financemarketing, desain, dll.); akademisi hendaknya membantu litbang pelaku ekraf. Tantangannya, masih terasanya hirarki (senior/junior) di antara pelaku ekraf; pertemuan antara karakter ekraf sebagai ekosistem yang cair dengan birokrasi yang rendering rigid/kaku; anggapan “sebelah mata” terhadap profesi ekraf; lambatnya proses legalisasi dan akses teknologi; pelaku ekraf yang rentan sebagai pekerja, umumnya karena tidak memiliki sertifikat/hukum yang melindungi agar tidak bersifat eksplotatif. Solusinya, hendaknya terdapat forum atau platform komunikasi intensif; perkuat sinergi antara pemerintah dengan asosiasi profesi dan akademisi; penentuan standar remunerasi para pekerja ekraf; komite ekraf diisi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh asosiasi masing-masing bidang; tersedianya support system yang mengefisiensi operational cost di awal usaha (mis. konsultasi akunting, pemasaran, SDM, dsb., di luar produk & proses kreatif), agar ekraf bisa mengarahkan energi dan fokusnya ke ide-ide baru.  
  2. Penataan Ekonomi KreatifHarapannya, memudahkan akses terhadap urusan legal dan administrasi seperti perizinan; meningkatnya pemahaman mengenai HKI; elemen & pekerjaan di pemerintahan agar dipercayakan pada pelaku ekraf di bidangnya (mis. pembuatan buku oleh desainer grafis); tersedianya sistem daring yang baik. Tantangannya, proses perlindungan HKI bagi pelaku ekraf; pendanaan dari APBD untuk boosting pengusaha ekraf perintis; gentrification sebagai resiko “kawasan ekraf”; perlu prosedur sinkronisasi data antara pelaku (asosiasi/komunitas) dengan pemerintah; sistem online pemerintah yang sering berubah dan kurang user friendlySolusinya, adanya galeri Bandung Kota Desain yang dikelola oleh komunitas; upgrade kanal online; kelonggaran impor untuk mempercepat akses ke teknologi baru; adanya layanan chat 24/7 yang suportif dan jam buka yang fleksibel (hingga di luar hari/jam kerja).
  3. Pengembangan Ekonomi KreatifHarapannya, adanya edukasi HKI yang mendasar sejak pendidikan dini melalui apresiasi karya, sebelum masuk ke teknis; keterlibatan pelaku ekraf dalam pengembangan sektor dan disiplin ilmu selain ekraf untuk dapat saling bersinergi; adanya pusat riset bidang ekraf terbesar di Indonesia; peningkatan kepekaan terhadap perubahan sosial budaya melalui ruang diskusi antar stakeholders; adanya ekosistem yang mendukung serendipity co-creation dan co-learningTantangannya, keterbatasan akses untuk pengembangan kreativitas di masa pandemi; keterbatasan pendidikan & pengembangan pemrograman di platform tertentu yang sulit diakses; belum adanya hub/simpul yang merepresentasikan 16 sub-sektor; masih banyak sektor yang belum paham peran pelaku ekraf dalam pengembangan sektornya; regenerasi talent sebagai komoditi ekraf; eksekusi program yang belum selalu berkelanjutan; komunikasi lintas sub-sektor. Solusinya, kurikulum terkait HKI sejak SD, SMP, SMA hingga kuliah; harus ada pihak penengah (intermediary) yang menjaga ekosistem dan sebagai penghubung antar stakeholders; adanya FGD lintas (sub)sektor untuk saling update perkembangan masing-masing, juga untuk membuka mindset dan memicu kolaborasi; adanya wadah untuk pembelajiran pemrograman (Stackoverflow Bahasa Indonesia); adanya indikator yang jelas dalam mendata dan mengukur kinerja kontribusi ekraf terhadap ekonomi.
  4. Pusat Kreasi dan Kota KreatifHarapannya, akses yang terbuka namun disertai konsep yang jelas dan terukur; adanya pusat layanan HKI yang melakukan pendekatan “jemput bola” ke pelaku ekraf; BCH yang berfungsi penuh dan terbuka/akomodatif bagi seluruh sub-sektor. Tantangannya, BCH yang belum nyaman sebagai ruang kreasi; pembangunan infrastruktur yg belum tepat guna; sulitnya akses sumber informasi market/trend; perawatan (pra)sarana oleh para pelakunya sendiri. Solusinya, FGD lintas sub-sektor untuk mendefinisikan tujuan dan “why factor” sebuah pusat kreasi sekaligus mengevaluasi sistem dan bentuk akomodasi BCH; inkubasi ekraf dan kewirausahaan bagi seluruh warga secara inklusif.
  5. Komite Penataan dan Pengembangan Ekonomi KreatifHarapannya, melibatkan asosiasi profesi; dikelola secara profesional 7 hari/minggu; komite berkelas dunia; terbukanya kolaborasi dengan seluruh sub-sektor untuk memperluas peluang; kolaborasi penta helix yang inklusif dan berkapasitas mendorong co-creation, bukan memaksakan agenda masing-masing; program berbasis permasalahan nyata, bottom-upTantangannya, berjejaring lintas bidang; komite harus mampu menemukan ribuan “ekraf hidden gems” di Bandung; regenerasi; ego; legalisasi yang lebih lambat dari perkembangan & penerapan teknologi baru. Solusinya, perlu simpul interdisiplin; filter kandidat dan regenerasi “rising star” setiap tahun; adanya lembaga/komite ekraf yang lebih cair untuk akses pendanaan; adanya kebebasan akses jaringan rekomendasi bagi para akademisi untuk pengembangan ekraf; berjejaring dengan institusi internasional; tim penta helix yang difasilitasi oleh kemampuan co-create service design profesional. 
  6. PendanaanHarapannya, adanya bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana untuk regenerasi dan inkubasi pendukung ekosistem ekraf; adanya informasi mengenai pendanaan yang dapat diakses dengan mudah; penyaluran pendanaan yang lebih terarah; kerja sama dengan BUMN/swasta terkait peluang pendanaan dan peluang kerja sama yang transparan. Tantangannya, informasi terkait akses penggunaan APBD dan sumber pendanaan lain untuk ekraf. Solusinya, pemanfaatan aset negara (BUMN, pemda, swasta) yang idle, yang dapat dioptimalkan sebagai sarana pendukung ekraf; adanya lembaga yang mengelola dana khusus ekraf; mekanisme transparansi pengelolaan dana; pembentukan konsortium dana CSR khusus untuk ekraf; kolaborasi dengan KBRI dan berbagai institusi budaya asing, yang dapat menjadi sumber informasi terkait peluang pendanaan (grantfunding, dsb.) dari luar negeri.
  7. Sistem Informasi Ekonomi KreatifHarapannya, adanya sosialisasi yang lebih friendly sejak awal/ sekelum menetapkan rencana tahunan, dengan mengajak perwakilan pelaku ekraf, sehingga dapat diverifikasi di akhir tahun; adanya sosialisasi mengenai sistem informasi secara lebih menyeluruh, dengan interface yang lebih terfokus pada pengenalan platform Patrakomala dan manfaatnya; data dibuat lebih transparan dan accessible, baik bagi asosiasi maupun non asosiasi. Tantangannya, belum seluruh stakeholders mengetahui informasi ini; informasi dari pemda yang cenderung kaku/bersifat satu arah; website yang operasionalnya belum ramah pengguna. Solusinya, sosialisasi sekaligus user testing berhadiah bagi target users melalui undangan personal; website-nya harus keren; ada tips & tricks dari KOL/ content creator pelaku yang reliable, sesuai bidangnya. 
  8. Pengawasan dan PengendalianHarapannya, pemerataan fasilitasi/bantuan ke seluruh sub-sektor, dan adanya akses database yang mudah dan responsif. Tantangannya, kecenderungan penyaluran fasilitasi/bantuan karena adanya kedekatan; kurangnya transparansi performa ekraf di Kota Bandung. Solusinya, pengawasan oleh tim gabungan lintas sub-sektor; adanya portal informasi yang memuat dinamika ekraf di Bandung dan tersedianya database yang terukur.  

Tentu saja masukan yang diperoleh dari 2x workshop lebih dari yang tertulis di sini, tapi semoga dapat memberikan gambaran mengenai tanggapan para pelaku terhadap adanya perda ekraf. Awareness awal di kalangan masyarakat pelaku terhadap adanya perda ini diperlukan, bahkan harus terus menerus disosialisasikan, agar Perda Ekraf tidak hanya disahkan, tapi menjadi alat yang ‘hidup’ dan benar-benar dapat dimanfaatkan oleh para pelaku ekraf, terutama di Kota Bandung.

Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana? (1)

Sejak disusunnya Naskah Akademik (NA) sebagai landasan drafting Ranperda Ekraf, berulang kali berbagai skenario diujikan pada pasal-pasal yang dirancang, satu demi satu, untuk mengantisipasi implikasinya bagi seluruh pemangku kepentingan yang menjadi obyek utama perda tersebut. Setelah terdapat draft versi final pun, sesi “pengujian” terakhir diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Helarfest 2020, yaitu pre-event DesignAction.bdg (DA.bdg) dan saat berlangsungnya DA.bdg, dengan tema CureYourCity. 

Saat itu, mumpung ranperda ini sedang dalam masa menunggu proses sinkronisasi dengan pemprov, BCCF membuat upaya sosialisasinya. Pertama, tentu saja agar para pelaku – dan siapa pun yang akan terkena konsekuensi penerapan pasal-pasal dalam perda tersebut – mengetahui adanya peraturan daerah bagi kepentingan mereka. Kedua, agar para pelaku mengetahui hal-hal apa saja yang akan diatur dalam perda ini, serta cara menyikapinya. Sehingga (pre)event DA.bdg pun menampung harapan, potensi masalah, dan juga solusi yang ditawarkan. 

Nah, sebelum membahas risalah hasil workshop, sebaiknya kita runut dulu beberapa pointers dalam ranperda tersebut.  

Pertama, judul rancangan perda ini mengandung kata “Penataan” (“Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif”), dengan pengertian bahwa sumber daya dan potensi ekraf di Kota Bandung sudah cukup melimpah, namun masih memerlukan penataan agar secara kolektif dapat dikelola secara berkelanjutan, dengan dampak yang terukur.

Kedua, terdapat 8 hal utama yang diatur dalam Perda Ekraf ini, yaitu: 

  1. Pelaku Ekonomi Kreatif. Perda ini mengatur pelaku kreasi (SDM kreatif) dan pengelola kekayaan intelektual dari karya kreatif. Tercantum juga hak pelaku untuk, antara lain, memperoleh kesempatan yang sama, dan mendapatkan perlindungan hukum. Pengelola wajib memberikan laporan berkala, melakukan bantuan pembinaan, dan mengalokasikan dana CSR untuk kegiatan ekraf. Juga, disebutkan bahwa wali kota berperan menjamin hak & kewajiban, serta memberikan fasilitas sesuai Peraturan Perundang-undangan (PUU). 
  2. Penataan Ekonomi Kreatif. Terbagi menjadi Perencanaan (1, 5, dan 10 tahun) dan pelibatan Komite Ekraf, serta Pelaksanaan di mana termasuk di dalamnya penataan wilayah dengan tema tertentu dan pembentukan kawasan “Creative Belt”.    
  3. Pengembangan Ekonomi Kreatif. Pengembangan 17 sub-sektor ekraf dan dapat ditambahkan sesuai PUU, serta pengembangan ekraf dari aspek ekosistemnya (penelitian, pendanaan, infrastruktur, dsb.). 
  4. Pusat Kreasi dan Kota Kreatif. Mengatur tentang keberadaan dan manfaat pusat kreasi di berbagai tingkat kewilayahan, pemenuhan indeks kota kreatif, serta dukungan pada para pelaku di setiap sub-sektor. 
  5. Komite Penataan & Pengembangan Ekonomi Kreatif. Mengatur komite yang akan terdiri dari Penta Helix stakeholders, menetapkan fungsi komite (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan evaluasi), dsb.  
  6. Pendanaan. Pendanaan sektor ekraf dapat berasal dari APBD Kota maupun sumber lain yang sah, dan Penganggarannya pun termasuk dalam APBD, namun dapat juga terjadi perluasan sumber pendanaan.  
  7. Sistem Informasi Ekonomi Kreatif. Mengatur adanya sistem informasi yang terintegrasi, keharusan pelaku ekraf untuk menyampaikan informasi, serta pemberian insentif bagi pelaku yang aktif berpartisipasi. 
  8. Pengawasan dan Pengendalian. Mengatur hal-hal seputar pengawasan pelaksanaan program, perlindungan dari tindakan diskriminasi, penyalahgunaan dokumen, dll. 

*bersambung ke bagian berikutnya

Dari Aktivisme ke Kebijakan

Mana pernah menyangka, dulu ketika beramai-ramai sibuk mengintervensi ruang-ruang kota, bahwa suatu hari kegiatan itu akan menjadi berbagai konsep yang harus dapat dijelaskan secara sistematis, agar dapat direplikasi atau dijadikan acuan untuk tujuan serupa. Yang dulu dilakukan sebagai eskperimen secara berulang dan diadaptasi sesuai konteks, kini diformalisasi dalam beragam istilah yang kerap dirujuk di berbagai forum. Dulu, purwarupa ruang publik dan sistem Kota Bandung kita reka ulang, murni dengan maksud memberi pengalaman berbeda bagi warga dan memperlihatkan ke para pembuat kebijakan, bahwa kota ini dapat menjadi lebih produktif dan menyenangkan buat semua, hanya dengan memberi sedikit sentuhan yang tepat. Tidak perlu berbiaya besar, tidak perlu berbirokrasi rumit, tidak perlu infrastruktur yang masif. Cukup “tusuk jarum kota”, atau urban acupuncture.

Itu awalnya dulu. Semacam aktivisme, berskala kota.

Berangsur, pergerakan di kota-kota lain, dan dalam skala yang lebih besar, pun mulai tersambung, dan berpengaruh. Konotasi “aktivisme” skala kota sebagai daya ungkit kegiatan ekonomi berbasis kreativitas, daya cipta dan kekayaan budaya pun makin terkukuhkan. Salah satu puncaknya adalah keberhasilan Bandung bergabung sebagai Kota Desain dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN) pada tahun 2015, yang merupakan pengakuan dari sebuah lembaga tertinggi dunia terhadap “kreativitas” dari perspektif sebuah kota padat penduduk yang terus berkembang di kawasan Asia Tenggara, yang berbeda dari kota-kota yang telah terlebih dahulu bergabung dalam UCCN. Yang tadinya bergerak dan bertumbuh secara organik, alami sebagai upaya untuk berlanjut hidup dalam ragam profesi “kreatif”, kini menjadi model-model yang, pada akhirnya, perlu dituangkan sebagai regulasi yang mampu menjaga sinergi seluruh pihak yang berkepentingan.    

Istilah seputar industri kreatif, ekonomi kreatif, kota kreatif, kampung kreatif, placemaking, dan sejenisnya, mulai menjadi akrab, baik bagi pelakunya maupun di kalangan birokrat. Khususnya di Bandung, semua ini tentu tidak asing lagi. Bahkan sebelum terjadinya formalisasi “ekonomi kreatif”, karakter aktivitas ekonomi di Bandung pun telah dan selalu mengandalkan semangat dan upaya tersebut. Kesadaran terhadap potensi SDM kreatif ini menjadi makin nyata ketika “ekonomi kreatif” dan “kota kreatif” sempat dibunyikan secara eksplisit dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang mendorong Perangkat Daerah (PD) untuk merencanakan dan mengalokasikan sumber daya & pendanaan untuk kegiatan dalam lingkup ekonomi kreatif. Ini adalah periode ketika kreativitas dan aktivitas ekonomi berbasis budaya menjadi strategi pembangunan kota. Namun di periode pemerintahan berikutnya, “ekonomi kreatif”, apalagi “kota kreatif”, sama sekali tidak tersebut dalam RPJMD. Tanpa arahan tersebut, PD tidak punya alasan untuk menyelenggarakan “ekonomi kreatif” dalam rencana pembangunan, meskipun dalam strukturnya terdapat Bidang Ekonomi Kreatif sebagai bagian dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 

Memang, kegiatan ekonomi kreatif akan selalu berjalan, dengan atau tanpa campur tangan pemerintah. Semangat dan upaya mencapai “kota kreatif” pun masih akan terus diperjuangkan oleh para pelakunya, dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Tapi kita juga sudah melihat bukti, bahwa justru dengan keterlibatan aktif pemerintah dan perangkatnya, perkembangan potensi ekraf dan dampaknya sebagai peningkat kesejahteraan dapat terakselerasi dengan lebih stabil dan terukur. Justru dengan merujuk pada kemajuan sektor ekraf di kota/negara lain, makin terbukti bahwa intervensi top-down berupa kebijakan jelas diperlukan. 

Hal ini menjadi salah satu alasan utama diperlukannya Peraturan Daerah terkait Ekonomi Kreatif (Perda Ekraf), sehingga siapa pun yang menjabat sebagai Wali Kota Bandung, akan berkewajiban menyelenggarakan dan mendukung sektor ekonomi kreatif. Agar yang sudah terkomunikasikan dan terbangun selama ini, terutama antara pemerintah dan stakeholders lain, dapat dilanjutkkan dan dikembangkan dengan konsisten.

Pembahasan di Bagian Hukum Pemkot Bandung

Dengan alasan inilah, terbentuk tim penyusun Naskah Akademik (NA) untuk Rancangan Perda (Ranperda) Ekraf tahun 2018 lalu, yang terdiri dari ahli dan pelaku ekraf, ahli bidang hukum, dan ahli bidang administrasi pemerintahan. Seluruh referensi dan bukti potensi ekraf Bandung dikumpulkan dan disusun sebagai argumentasi diperlukannya perda ekraf. Bekerja sama dengan Bappeda (kini Bappelitbang), juga dengan dukungan Bidang Ekraf Disbudpar, Ranperda Ekraf melalui proses sesuai prosedur yang berlaku dalam perjalanannya menuju pengesahan. FGD dengan seluruh stakeholders termasuk lintas PD, perombakan, penajaman, asistensi, lalu pending selama sekian waktu, sebelum berlanjut lagi di awal 2020. Masuk ke pembahasan di DPRD, yang mencermati per pasal: sinkronisasinya terhadap (ran)perda lain dan peraturan dengan hirarki yang lebih tinggi, implikasinya terhadap obyek/sasaran perda, konsekuensinya terhadap seluruh pelaku dan stakeholders, dan seterusnya.

Proses ini juga menguji kekhasan Perda Ekraf Bandung ini, yang hendaknya memiliki karakteristik tersendiri (sehingga dapat menjawab pertanyaan, “Kenapa Bandung harus punya perda sendiri, sementara sudah ada Perda Ekraf Jabar dan UU Ekraf?”), sekaligus juga menyesuaikan dengan nomenklatur ekonomi kreatif yang sangat dinamis, baik dari segi struktur pemerintahan hingga implementasinya di lapangan.  

Setelah perjalanan panjangnya, akhirnya Ranperda Ekraf Kota Bandung masuk dalam agenda Sidang Paripurna DPRD Kota Bandung untuk disahkan menjadi Perda Ekraf Kota Bandung pada tanggal 28 Desember 2020

Disahkannya Perda Ekraf ini menjadi salah satu milestone bagi ekraf Kota Bandung, sekaligus sebagai penanda tahun ke-5 keanggotaan Bandung sebagai Kota Kreatif UNESCO. Sebuah pencapaian yang diinisiasi dari komunitas secara bottom-up, melalui komunikasi intensif dengan pemangku kebijakan, hingga dapat diajukan menjadi peraturan daerah, demi menjaga sinergi untuk perkembangan ekonomi kreatif dan para pelakunya. Terima kasih atas semua pihak yang terlibat, bekerja keras dalam menyumbangkan keahlian, pengetahuan dan pemikirannya. Semoga dampak dari Perda Ekraf ini dapat segera dirasakan nyata manfaatnya bagi seluruh warga masyarakat.      

*Perda Ekraf ini masih akan diturunkan menjadi beberapa perwal yang akan memuat hal-hal teknis sesuai pasal-pasal dalam perda, misalkan tentang Komite Ekraf, Simpul Kreasi, pendanaan, dll. Mohon dukungannya agar semua bisa lancar dan segera berfungsi.

NEXT: Bagaimana bila Perda Ekraf ini nanti diterapkan? Bagaimana implikasinya ke para pelaku ekraf di Kota Bandung? Bagaimana cara memanfaatkannya? Sebelum disahkannya perda ini, BCCF menyelenggarakan dua workshop dengan para pelaku ekraf untuk mensimulasikan implementasi perda tersebut. Hasilnya? Mari kita bahas di tulisan berikutnya. 

Kota Kreatif, Untuk Apa? [3]

Bandung UCCN.004.jpgIni adalah tulisan bagian ketiga, dan terakhir, melanjutkan dua tulisan sebelumnya: KOTA KREATIF, UNTUK APA? tentang pemberian predikat “Kota Kreatif”, penentuan sub-sektor unggulan dan indikatornya, dan KOTA KREATIF, UNTUK APA? [2] tentang kasus penentuan sub-sektor unggulan Bandung yang baru saja berlalu. Bagian terakhir ini membahas hasil diagnosa untuk Bandung, yang baru disepakati oleh yang berwenang dengan penanda-tanganan Berita Acara Hasil Uji Petik pada Hari Rabu, 23 Mei 2018.

Berita Acara versi pertama memuat keputusan bahwa sub-sektor Fashion merupakan unggulan Kota Bandung, dengan juga menyebutkan sub-sektor Musik, Film, dan Kuliner, tanpa sama sekali menyebutkan sub-sektor Desain. Berita Acara versi kedua (terlampir), adalah yang telah direvisi, dengan juga menyebutkan sub-sektor Desain. Berita Acara versi kedua ini pun masih direvisi lagi, karena mengandung kesalahan dalam pencantuman detail data/ angka-angka, sehingga yang ditanda-tangani mungkin adalah versi ketiga atau kesekian.

Berita Acara Kota Bandung 22052018 – edit

Secara umum, penentuan sub-sektor Fashion sebagai unggulan Kota Bandung merupakan hal yang mudah terprediksi, dengan adanya data yang selama ini telah dikompilasi oleh berbagai lembaga dan institusi (Bagian Ekonomi Pemkot Bandung, Bandung Creative City Forum, Komite Ekonomi Kreatif Kota Bandung, dll.). Bandung yang telah lama dikenal sebagai pusat produsen garmen dan apparel, tempat bertumbuhnya factory outlet, dan terkenal sebagai trend-setter fashion, tentu mudah diindikasi sebagai Kota Fashion. Dalam dossier Bandung sebagai Kota Desain dalam UNESCO Creative Cities Network, sub-sektor Fashion termasuk dalam kategori Desain, seperti halnya Arsitektur, Arsitektur Lansekap, Kriya Baru, dll., selain Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual. Dalam kelengkapan dossier Bandung, disajikan pula data kontribusi industri fashion, penyerapan tenaga kerja, hingga seluruh stakeholders yang terlibat dalam ekosistem industri fashion.

Namun dalam Uji Petik/ Tinjauan Lapangan ini hanya satu pelaku yang terlibat (yang terpilih berdasarkan preferensi pribadi yang berwenang, bukan berdasarkan data/ konsensus para pelaku bidang fashion), sehingga mungkin belum dapat mewakili seluruh dimensi industri fashion di Bandung. Adanya Fashion dalam Program Studi Kriya di FSRD ITB yang telah membentuk kerja sama multitahun bersama KOFICE melalui Young Creator Indonesia Fashion Institute (YCIFI), dan juga telah menghasilkan banyak temuan inovatif dalam bidang fashion dan tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, berbagai brand lokal untuk fashion & apparel, fenomena “distro” yang kental dengan eksistensi sub-kultur di Bandung, pabrik-pabrik manufaktur garmen yang secara signifikan memproduksi sekian brand multinasional namun belum menjamin kelayakan kondisi kesejahteraan buruhnya dan bahkan menjadi sumber polusi utama bagi tanah dan sungai-sungai di Jawa Barat, hingga berbagai upaya masyarakat grassroots dalam berwirausaha dalam bidang fashion; merupakan hal-hal yang seharusnya tidak diabaikan dalam kegiatan Uji Petik/ Tinjauan Lapangan ini. Karena industri fashion bukan hanya berarti gebyar lenggokan di catwalk, tapi juga seluruh ekosistem dan hulu-hilir industri dan para stakeholders-nya. Mudah-mudahan, apa pun implikasi dari Berita Acara ini nanti, seluruh dimensi industri fashion di Bandung benar-benar dapat terlibat dan menghasilkan dampak nyata bagi seluas mungkin masyarakat.

==========

catatan samping:

  1. Hasil dalam Berita Acara PMK3I menjadi penentuan prioritas bagi penyaluran bantuan fasilitas/ dukungan dari pemerintah pusat kepada kota/kabupaten. Sehingga seharusnya kegiatan PMK3I tidak diproses secara terburu-buru, dan tidak bisa diputuskan hanya dalam selang waktu 2-3 hari saja, sementara implikasinya berlaku selama 2 (dua) tahun ke depan bagi kota/kabupaten terkait.
  2. Kabupaten Bandung termasuk yang memperoleh diagnosa dadakan. Penentuannya sebagai Kota Game & Apps kemungkinan besar berdasarkan adanya sebuah universitas berorientasi teknologi yang berlokasi di wilayah ini, sementara belum terdeteksi adanya komunitas/ pelaku dalam bidang Game & Apps yang telah berkiprah atau berkepentingan di kabupaten tersebut.
  3. Penentuan Kabupaten Bandung juga sebagai Kota Seni Rupa adalah sebagai justifikasi disalurkannya fasilitas kepada sebuah galeri seni rupa ternama, yang secara wilayah administratif juga terletak di Kabupaten Bandung. Bukan berdasakan potensi seni rupa di keseluruhan wilayah kabupaten.
  4. Pihak stakeholders yang menanda-tangani Berita Acara tidak semuanya diberi tahu terlebih dahulu mengenai konteks dan dokumen yang ditanda-tangani; sehingga ada yang terpaksa menanda-tangani Berita Acara karena sudah hadir, meskipun namanya salah (bukan nama sebenarnya) dalam dokumen negara tersebut.

Kota Kreatif, Untuk Apa? [2]

DCIM100MEDIADJI_0130.JPG

Melanjutkan tulisan sebelumnya, Kota Kreatif, Untuk Apa? kini kita fokus pada proses yang terjadi di Bandung.

Saat program Penilaian Mandiri Kota/Kabupaten Kreatif Indonesia (PMK3I) dimulai, Bandung sudah menjadi anggota UCCN sebagai Kota Desain. Namun untuk dapat memperoleh fasilitasi/bantuan dari pemerintah pusat, seperti halnya kota/kabupaten lain, Bandung harus mengikuti mekanisme penyaluran bantuan yang berlaku melalui Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (D3 Bekraf). Tim Bandung yang terdiri dari personil pemerintah kota, komunitas, dan Komite Ekonomi Kreatif berpartisipasi di workshop pengisian borang PMK3I (sebelum tersedia format online form di situs kotakreatif.id). Meskipun sudah menjadi Kota Desain UCCN, Bandung diharuskan memilih 1 (satu) dari 16 (enam belas) sub-sektor industri kreatif menurut nomenklatur Bekraf; jadi harus memilih antara Desain Produk, Desain Komunikasi Visual, atau Desain Interior. Setelah melewati sekian diskusi dan kompromi, dipilihlah Desain Produk untuk melengkapi borang PMK3I secara manual di tahun 2016.

Selang beberapa bulan kemudian, sekitar September 2017, tiba-tiba Pemkot Bandung mendapatkan surat pemberitahuan bahwa proses Uji Petik akan dilakukan oleh Tim Asesor Bekraf berdasarkan permintaan dari salah satu pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan. Catatan:

  1. Menurut prosedur, permintaan Uji Petik dilakukan ketika borang (online) telah terisi. Siapa yang mengisi borang tersebut atas nama Bandung di sub-sektor Seni Pertunjukan?
  2. Pemkot Bandung diminta oleh Tim Asesor Bekraf untuk menghadirkan pula, dalam pertemuan Uji Petik tersebut, para pelaku dari sub-sektor Kriya dan Desain Produk, selain Seni Pertunjukan; juga pelaku dari luar Kota Bandung, seperti dari Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan sekitarnya. Permintaan ini disampaikan sehari sebelum pertemuan, namun tetap disanggupi oleh Pemkot Bandung. Kenapa turut mengundang pelaku dari luar Kota Bandung? Bukankah identifikasi sub-sektor berlaku untuk Kota Bandung saja?

Di awal pertemuan, dipaparkan mengenai PMK3I. Ternyata permintaan Uji Petik datang dari salah satu dari tiga pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya yang akan memperoleh bantuan dari Bekraf saat itu. Tinjauan lapangan kemudian dilakukan ke ketiga tempat pelaku yang akan memperoleh bantuan Bekraf, lalu tim kembali berkumpul pada sore harinya, untuk membahas Berita Acara sebagai hasil kegiatan Uji Petik. Berita Acara ini memuat kesepakatan sub-sektor unggulan kota/kabupaten yang akan ditanda-tangani (disetujui) oleh kepala daerah. Catatan:

  1. Permintaan Uji Petik oleh pelaku tidak meminta rekomendasi dari Pemkot Bandung. Pemkot Bandung tidak terinformasikan mengenai hal ini sebelumnya.
  2. Adanya pernyataan di sesi awal, “Bandung akan kita tetapkan sebagai Kota Seni Pertunjukan. Sebab, akan aneh bila Bandung ditetapkan sebagai Kota Desain atau yang lain, sedangkan bantuan ini akan disalurkan ke sub-sektor Seni Pertunjukan. Kalau beda, nanti akan ‘jadi temuan’, kan?” << Jadi, proses “Uji Petik” ini hanya akan menjadi pembenaran penyaluran bantuan ke ketiga pelaku tersebut, dan bukan menjadi bagian dari prosedur yang semestinya.
  3. Adanya tawaran, “Di tingkat internasional, Bandung sudah menjadi Kota Desain UCCN. Bagaimana kalau di tingkat nasional, Bandung menjadi Kota Seni Pertunjukan?” << Hal ini menunjukkan perbedaan pemahaman mengenai karakter/ unggulan sub-sektor industri kreatif sebuah kota/kabupaten, yang seharusnya ditetapkan berdasarkan data nyata terkait kontribusi, daya ungkit, dsb.
  4. Berita Acara yang diterima oleh Bandung masih dalam bentuk draft kasar, di mana masih terdapat kesalahan nama kota, nomor surat, dll., serta memuat pernyataan-pernyataan yang seharusnya masih dapat didiskusikan bersama. Berita Acara juga masih menyisakan beberapa bagian kosong, untuk diisi oleh pemkot.

Berita Acara dijadwalkan untuk ditanda-tangani oleh kepala daerah dalam waktu kurang dari 1 (satu) minggu setelah draft kasar tersebut disampaikan, yaitu sekitar akhir September 2017. Bandung tidak dapat memenuhi undangan penanda-tanganan Berita Acara tersebut di Jakarta, karena — selain undangan yang mendadak — pihak Pemkot Bandung juga belum menerima draft final dari Berita Acara tersebut.

==========

Waktu berlalu; bantuan Bekraf telah lama disalurkan kepada ketiga pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya, dan tidak lagi terdengar update mengenai hasil PMK3I untuk Bandung. Hingga minggu ini, pertengahan Mei 2018. Tiba-tiba ada pemberitahuan ke Pemkot Bandung bahwa akan dilakukan (lagi) Uji Petik untuk Bandung beserta kota/kabupaten di sekitarnya (Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi), ditutup dengan penanda-tanganan Berita Acara yang direncanakan untuk berlangsung di Bandung pada Hari Rabu, 23 Mei 2018. Bagaimana dengan Berita Acara tahun 2017 dulu? Kenapa tiba-tiba dilakukan Uji Petik tanpa pengisian borang terlebih dahulu? Bagaimana kesiapan daerah-daerah lain tersebut?

Untuk persiapannya, Pemkot Bandung meminta agar draft kasar Berita Acara 2017 difinalisasi dan dikirimkan kembali ke Pemkot Bandung untuk dicermati isinya. Jumat, 18 Mei 2018, Pemkot dan Komite Ekraf.bdg merevisi Berita Acara “versi final” tersebut, namun muncul juga pertanyaan-pertanyaan.

  • Apakah penanda-tanganan Berita Acara 2017 ini ‘dihitung mundur’, yang berarti harus ditanda-tangani oleh Wali Kota Bandung saat itu (bukan oleh pejabat pengganti)?
  • Atau, apakah Berita Acara ini dianggap dibuat tahun 2018, tapi berarti Uji Petik tidak perlu lagi dilakukan (untuk sub-sektor Seni Pertunjukan dan Desain Produk), karena sudah terjadi, dan bantuan Bekraf sudah disalurkan?
  • Atau, apakah akan dibuat Berita Acara yang sama sekali baru, versi Mei 2018, dengan penentuan sub-sektor yang sama sekali berbeda — tapi bagaimana justifikasi bantuan Bekraf yang sudah disalurkan tahun lalu ke para pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya?
  • Apakah berarti penentuan sub-sektor tidak lagi berpengaruh pada arah/ prioritas mengalirnya bantuan dari pemerintah pusat?

Terlampir, “draft final” dari Tim Asesor PMK3I untuk Bandung yang disampaikan pada Hari Kamis 17 Mei 2018, dan versi revisi yang diselesaikan oleh Bidang Ekraf Disbudpar Kota Bandung dan Komite Ekraf.bdg pada Hari Jumat 18 Mei 2018. Ternyata kedua dokumen ini sama sekali tidak terpakai. (padahal sudah berapa dana negara yang dikeluarkan untuk proses tersebut tahun lalu?)

Berita Acara Uji Petik 2017 – Kota Bandung

Berita Acara Uji Petik 2017 Kota Bandung3 revEkrafBdg

==========

Senin pagi, 22 Mei 2018, pertemuan berlangsung di Kantor Disbudpar Kota Bandung; dihadiri oleh personel pemkot, Tim Asesor PMK3I, para pelaku dari sub-sektor Musik, Kuliner, Fashion, Film, Desain — yang dihadirkan bukan berdasarkan pengisian borang sebelumnya, atau data, melainkan berdasarkan preferensi pribadi dari yang berwenang. Catatan:

  1. Disampaikan bahwa “Uji Petik kali ini memang berbeda”. Mekanisme/ prosedur yang ditetapkan sendiri oleh Bekraf, yang seharusnya dipenuhi oleh kota/kabupaten, kali ini tidak berlaku, tanpa alasan yang terlalu jelas. << Kenapa harus dilakukan penentuan sub-sektor sekarang? Kenapa harus berbeda?
  2. Terdapat pernyataan dari Tim Asesor PMK3I bahwa, “Bandung sebagai Kota Desain ditentukan oleh UNESCO, padahal Bandung jelas kaya dengan potensi sub-sektor lain”. << Tanggapan: UNESCO tidak menentukan sub-sektor untuk Bandung. Pilihan “Desain” diperoleh dari konsensus stakeholders Kota Bandung yang mengajukan sub-sektor tersebut setelah melalui beberapa FGD dan sesi diskusi di tahun 2012, yang waktu itu dihadapkan pada pilihan Gastronomi, Musik, dan Desain. Pada akhirnya diraih kesepakatan Desain, mengingat sub-sektor ini adalah yang paling siap dalam segi infrastruktur, ekosistem, pengembangan SDM, dan seterusnya (argumen ada pada dossier Bandung untuk UCCN).
  3. Terdapat pernyataan dari Tim Asesor PMK3I bahwa, “Penentuan sub-sektor unggulan kota/kabupaten ini serius, bukan mainan anak kecil”. << Tanggapan: Setuju; oleh karena itu, penentuan dengan standar internasional (seperti yang dilakukan oleh UCCN) tentunya juga telah dipersiapkan secara matang, tidak main-main, karena harus dapat berlaku di seluruh belahan dunia.
  4. Terdapat pernyataan dari Pemkot Bdg bahwa “Bidang Ekraf baru bergabung di Disbudpar beberapa bulan yang lalu. Masih sangat bayi”. Kesannya, harus ‘tunduk’ pada bidang-bidang lain dalam kedinasan. << Tanggapan: Benar, faktanya memang begitu. Sebelumnya, bidang ekraf bergabung di Bagian Ekonomi Setda. Komite Ekraf Bandung dibentuk berdasarkan SK Perwal 2014, namun personilnya telah menjadi Tenaga Ahli untuk Pengembangan Ekraf di 10 Provinsi (Kementerian Perdagangan, 2010), menjadi Koordinator Pokja Ekraf Rumah Transisi (2014) yang bertugas menyerahkan lembar kerja bidang ekraf pada Pemerintahan RI 2014-2019, dan juga telah menjadi rekanan UNESCO dalam mengembangkan ekonomi kreatif di kota-kota dunia. Komite Ekraf Bandung pun terdiri dari para pelaku ekraf yang berpengalaman, dan telah banyak berkontribusi dalam kegiatan ekraf baik dalam skala nasional (sertifikasi profesi, narsum penentuan kebijakan, dll.) maupun internasional (delegasi Indonesia di workshop & konferensi dunia, penyelenggara event ekraf di luar negeri, dsb.). Benar, secara struktural Bidang Ekraf di Disbudpar memang masih seusia bayi, tapi di baliknya ada kapasitas, kompetensi, dan pengalaman sebagai pelaku ekraf yang jauh melebihi sumber daya yang ada di Disbudpar Kota Bandung.
  5. Setiap perwakilan sub-sektor yang hadir diminta berpendapat, secara bergiliran. << Pengamatan: tidak adanya Term of Reference untuk pertemuan ini berimbas pada konten yang disampaikan, yang sebagian besar pada akhirnya lebih merupakan “curhat” mengenai kondisi sub-sektor masing-masing (kurangnya dukungan, tidak ada peran pemerintah, tidak ada ruang-ruang khusus untuk berekspresi, kurangnya sumber daya yang handal, dsb.). Padahal, sesi Tinjauan Lapangan Uji Petik ini menjadi peluang yang baik untuk menyampaikan upaya perbaikan berbagai kondisi tersebut secara swadaya dalam konteks perkembangan ekraf, dan hal-hal yang diperlukan dari pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan untuk dapat mengakselerasi upaya-upaya tersebut.
  6. Kegiatan hari itu termasuk Tinjauan Lapangan untuk sub-sektor Musik, Fashion, Film, dan Kuliner, namun ternyata belum ada tempat-tempat sasaran; baru hendak dicek kemungkinan peluang kunjungan saat itu juga. “Musik tidak bisa dikunjungi seperti proses produksi manufaktur”; “Di Ujung Berung mungkin bisa?”; “Tidak ada yang produksi makanan di minggu pertama puasa begini”; “Lihat ke outlet-nya saja”; “Sedang tidak ada kegiatan”; “Atau ke BCH saja yuk, baru di-setting”, dst. << Tanggapan: lho, katanya tadi, penentuan sub-sektor ini “bukan mainan anak kecil” dan pendekatannya “tidak bisa main-main”? Kalau serba dadakan, tanpa data/ persiapan, dan pakai “sistem hitung kancing” seperti ini, apakah hasilnya akan valid dan sesuai dengan yang diharapkan? Kan tindak-lanjutnya nanti berupa penyaluran fasilitas/ bantuan pemerintah pusat terhadap sub-sektor sasaran/ unggulan; apakah akan efektif, berdasarkan justifikasi hasil Uji Petik yang dapat dipertanggung-jawabkan?
  7. Disampaikan oleh pemkot beberapa upaya mengembangkan ekonomi kreatif di Kota Bandung, seperti melalui aktivasi warga kampung/ tingkat grassroots, pengembangan desain produk dan kemasan produk lokal, “upaya melibatkan ketertarikan generasi muda melalui berbagai kompetisi bidang ekraf”, dll. << Tanggapan: seluruh upaya pengembangan ekraf yang diungkapkan oleh pihak berwenang ini sebenarnya telah diajukan dalam Strategi Pengembangan Ekraf, sesuai dengan Peta Jalan Ekraf yang dirancang hingga tahun 2020 oleh Komite Ekraf.bdg bersama Bidang Ekraf. Berbagai program dan kegiatan pun telah dirunut dalam strategi tersebut, dalam lintas sub-sektor industri kreatif (Desain dan Kuliner, Desain dan Musik, Desain dan Seni Pertunjukan, dsb.), bahkan disinergikan juga dengan bidang-bidang lain yang ada dalam kedinasan (seni tradisi, promosi, dsb.). Kerja sama dengan perguruan tinggi pun telah dilakukan; FSRD ITB menyelenggarakan pameran hasil purwarupa/ prototype-nya di Pendopo dalam 3 tahun belakangan ini (kecuali semester ini yang digelar di kampus): setiap kalinya ditampilkan sekitar 50 solusi desain bagi permasalahan kewilayahan, bekerja sama langsung dengan warga dan organisasi lokal seperti Karang Taruna, panti asuhan, PAUD, dll. Pemerintah sebenarnya tinggal memetik hasil/ solusi yang sesuai (dengan mata anggaran, rencana pembangunan, dsb.), dan merealisasikannya secara top-down, agar dampaknya dapat meluas.

 

Siang hari ini, Selasa 22 Mei 2018, Berita Acara (BA) PMK3I sebagai hasil Uji Petik dan Tinjauan Lapangan akan disusun, untuk ditanda-tangani besok, Rabu 23 Mei 2018. Akan sejauh apa BA PMK3I ini berpengaruh pada pengembangan ekonomi kreatif Kota Bandung? Atau apakah ini hanya akan menjadi formalitas saja, karena tidak ada efeknya bagi aliran fasilitasi/ bantuan dari pemerintah pusat untuk “sub-sektor unggulan” kota/kabupaten? Yang artinya, kecil kemungkinannya bahwa APBN disalurkan tepat sasaran. Atau mungkin, pada akhirnya, tidak akan berdampak apa-apa bagi berbagai upaya bottom-up yang selama ini sudah berjalan secara organik dan swadaya oleh komunitas dan pelaku sektor ekonomi kreatif di Kota Bandung.

Baiklah, kita tunggu saja hasil Berita Acara ini, sub-sektor industri kreatif apa yang ditentukan sebagai “unggulan” Bandung kali ini, sebagai hasil dari proses yang berlangsung seperti ini.

 

*foto landmark .bdg oleh @dudisugandi 2017

Kota Kreatif, Untuk Apa?

2018 rakornasICCN tita.007.jpg

Gelar untuk Kota

Tulisan ini tentu saja berniat membahas Bandung, kota yang makin hari makin dilekati beragam predikat. Sebut saja, mungkin ada, di antara yang berikut ini: Kota Pelajar, Kota Cerdas, Kota Ramah Anak, Kota Ramah Manula, Kota Berkelanjutan, Kota Bebas Korupsi, dan yang kita angkat sekarang, Kota Kreatif. Label-label itu bukan hal baru, dan tidak untuk dipertentangkan. Tapi mungkin akan berbeda, bila ternyata ada “label” yang bukan diterakan begitu saja sebagai julukan, tanda apresiasi, atau penghargaan; yang (se)sekali diberikan, dibanggakan, masuk arsip, lalu selesai. Tidak ada konsekuensi apa-apa setelahnya, selain publikasi yang baik dan benar. Namun ada juga “label” yang tidak bisa ditunggu dengan berpangku tangan. Untuk memperolehnya, harus melalui proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan ketika berhasil, “label” ini pun bukan menjadi “hadiah di akhir”, melainkan sebuah “komitmen di awal” yang harus ditindak-lanjuti sesuai dengan kesepakatan yang berlaku.

Gelar sebagai “Kota Kreatif” bagi Bandung ini salah satu contohnya. Seperti halnya julukan untuk kota-kota lain, gelar ini pun muncul berdasarkan reputasi dan sejarah perkembangan Kota Bandung. Namun sejak “kreativitas” menjadi buzzword, terutama di era akselerasi peran ekonomi kreatif seperti saat ini, Bandung sebagai “Kota Kreatif”, apalagi sebagai “Kota Desain” dalam Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) pun menjadi hal yang seharusnya dicermati dan ditindak-lanjuti dengan lebih serius.

 

Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO 

Nah, sebelum membahas jauh tentang gelar Kota Desain untuk Bandung, kita ulas dulu sedikit, kenapa UNESCO, sebuah badan dunia yang biasanya fokus pada perkara budaya, pusaka, dan pendidikan, jadi sibuk dengan “kota kreatif”? Secara umum, kota memang menjadi sorotan dunia, sebab:

  • PBB memperkirakan bahwa pada tahun 2050 sekitar 70% warga dunia akan hidup di perkotaan
  • Menurut PBB, kota merupakan sebuah entitas tingkat pemerintahan yang paling fleksibel, yang paling mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan masa kini seperti Perubahan Iklim, Perpindahan Massal Populasi, dsb.
  • Seluruh kota di dunia, di mana pun ia berada dan bagaimana pun bentuknya, telah bersepakat untuk menjawab 17 Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, dan menjalankan New Urban Agenda

Berdasarkan hal-hal tersebut, ditambah dengan kecenderungan kota-kota kini untuk bertahan dan berkembang dengan mengandalkan sumber daya cipta dan potensi kreativitas warganya (beralih dari sumber daya alam dan mineral yang telah menyusut drastis), sejak 2004 UNESCO mencanangkan Jejaring Kota-kota Kreatif (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) untuk mempromosikan kerja sama antara kota-kota yang telah mengidentifikasi kreativitas sebagai faktor strategis untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Saat ini terdapat 180 kota anggota UCCN dari 72 negara, dalam 7 (tujuh) bidang kreatif: Crafts & Folk Art, Desain, Film, Gastronomi, Literatur, Musik, dan Media Arts. Kota-kota ini adalah yang telah memiliki komitmen untuk saling bekerja sama untuk sebuah tujuan bersama: menempatkan kreativitas dan industri berbasis budaya di inti perencanaan pembangunan di tingkat lokal, serta secara aktif bekerja sama di tingkat internasional.

Bandung, yang telah tergabung sebagai Kota Desain UCCN sejak 11 Desember 2015 (setelah berproses selama 3 tahun, sejak 2012), dengan sendirinya juga telah berkomitmen untuk mencapai tujuan bersama tersebut — terutama melalui berbagai program dan kegiatan yang melibatkan seluruh segmen pemangku kepentingan kota: pemerintah, komunitas, sektor swasta, dll.

Informasi lebih lanjut mengenai UCCN dapat diakses di https://en.unesco.org/creative-cities/home.

Menjadi “Kota Kreatif”

Karena sudah pernah dibahas di tulisan-tulisan terdahulu (termasuk beberapa artikel di Harian Pikiran Rakyat) mengenai proses pengajuan Bandung untuk bergabung dalam UCCN, tidak akan kita ulang di sini secara mendetail.

Yang lebih menarik sekarang adalah, kota/kabupaten lain di Indonesia pun sebenarnya sedang menggeliat bangun dan mulai bergerak untuk mengarahkan andalan pembangunannya pada potensi SDM kreatif. Pertanyaannya, apakah pergeseran ini mudah dilakukan? Siapa saja yang harus berperan dalam keputusan ini? Mulai kapan kota/kabupaten memutuskan hal ini?

Hal menarik lain, yang juga tidak boleh luput, adalah gejala bahwa gerakan ini sebagian besar dimotori oleh komunitas, secara bottom-up, dengan skala dukungan yang sangat bervariasi dari pemerintah masing-masing. Tantangannya, bagaimana komunitas dapat meyakinkan pemerintah (sebagai salah satu stakeholder utama kota) bahwa potensi kreativitas dapat menjadi strategi pembangunan kota? Dukungan macam apa yang diperlukan oleh komunitas agar gerakannya berdampak signifikan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan pasti masih jauh lebih banyak lagi, akan menjadi dasar penentuan strategi pembangunan kota/kabupaten, dan akan menampakkan hasil nyata bila terdapat kerja sama yang optimal dan proporsional antara seluruh segmen stakeholders kota.

Di saat tercapainya konsensus mengenai pemanfaatan potensi kreatif sebagai strategi pembangunan ini lah, sebuah kota/kabupaten siap untuk mengeksplorasi lebih lanjut predikatnya sebagai “kota/kabupaten kreatif”. Jangan sampai hanya menjadi sebuah status “kosong” yang kurang sesuai dengan karakter dan kebutuhan kota/kabupaten, namun terpaksa “ada” untuk dapat memenuhi syarat memperoleh fasilitas dari pemerintah pusat.

==========

Berikut ini beberapa point yang menjadi catatan bagi Kota Bandung, yang mungkin juga dapat bermanfaat bagi kota/kabupaten kreatif lain, atau kota/kabupaten yang sedang dalam proses menuju predikat “kreatif”:

1. Kenali diri sendiri

Hal terbaik adalah bila kita dapat mengenali diri sendiri. Di tahun 2008 Bandung memulai dengan identifikasi 2V2P (Values, Vision, Personality, Positioning), yang kemudian menjadi dasar city branding Bandung sebagai kota kreatif, beserta visualisasinya [.bdg] yang kita kenal hingga kini. Hal ini akan memudahkan kita untuk menyatakan keunikan dan keunggulan yang kita miliki, dibandingkan dengan kota/kabupaten lain (bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia dan bahkan dunia) dengan kondisi atau potensi sejenis. Proses ini menyenangkan, biarkan berjalan secara organik, dan akan mencapai hasil yang cukup tajam bila melibatkan orang-orang dengan wawasan luas, visioner, resourceful, dan handal dalam bidang profesinya masing-masing; serta — dan ini yang terpenting — sedapat mungkin kita identifikasi karakter dan potensi kita sendiri, tanpa perlu menunggu diputuskan oleh orang lain. “We have to create our own narration,” mengutip Hammad Albalawi, Outreach Manager of the General Entertainment Authority (GEA) of Saudi Arabia, salah satu narasumber yang saya moderatori dalam World Conference on Creative Economy (WCCE) Preparatory Meeting yang diselenggarakan oleh BEKRAF dan Kemenlu di Jakarta bulan lalu.

2. Data, data, data

Langkah berikutnya tentu saja adalah meyakinkan seluruh pihak pemangku kepentingan kota, bahwa potensi kreatif (unggulan) kota dapat menjadi andalan bagi strategi pembangunan berkelanjutan kota. Yang paling ampuh untuk melakukan hal ini adalah ketersediaan data, disertai analisa yang jitu. Bandung memulai argumennya dalam dossier-nya untuk UCCN dilengkapi dengan berbagai penelitian, lalu dilanjutkan sebagai riset-riset mandiri, antara lain:

  • hasil Studi Input/Output industri kreatif di Bandung atas inisiatif komunitas (data: sub-sektor industri kreatif yang paling berkontribusi pada pendapatan daerah),
  • hasil analisa beragam Indikator Kota Kreatif, termasuk 10 Prinsip Kota Kreatif dari Indonesia Creative Cities Network/ICCN (data: sub-sektor yang paling dominan, kelengkapan elemen ekosistem ekonomi kreatif, dsb.),
  • hasil pemetaan pelaku 16 sub-sektor industri kreatif di 30 kecamatan Kota Bandung dari Bagian Ekonomi Pemkot Bandung (data: sebaran pelaku, rantai nilai, dsb.),
  • hasil identifikasi dan pendalaman pelaku sub-sektor industri kreatif unggulan tingkat kecamatan dari program penelitian di perguruan tinggi (data: overview SWOT sub-sektor, hulu-hilir sub-sektor industri kreatif, dsb.),
  • hasil rumusan Strategi Pengembangan Ekonomi Kreatif oleh Komite Ekraf.bdg (data: peta jalan, program kerja, dsb.),
  • hasil FGD & workshop Bandung Kota Desain 2045 dalam event Bandung Design Biennale (data: rekomendasi dari tiap segmen stakeholder, dsb.),
  • dan lain-lain.

Sejak dimulainya pada sekitar tahun 2012, keseluruhan riset yang saling terkait ini digarap dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun — hingga akhirnya terdapat keputusan dan terjadi pengukuhan terhadap sub-sektor pilihan Kota Bandung, yaitu Desain. Keputusan dan hasil diagnosa ini tidak mungkin diperoleh dalam waktu 2-3 hari saja; tidak bisa secara instan, apalagi jika hasilnya mempengaruhi hajat hidup sebagian besar pelaku industri kreatif dan stakeholders sektor ekonomi kreatif di kota/kabupaten tersebut.

3. Komitmen

UCCN memang bukan satu-satunya pihak yang memiliki indikator kota kreatif; namun indikator UCCN seharusnya telah tervalidasi secara global. Nah, bagaimana Bandung dapat “menonjol” dalam aplikasinya? Karena mengejar kualitas “Desain” seperti yang telah dimiliki oleh Kota-kota Desain yang telah lebih dulu bergabung dalam UCCN adalah mustahil. Bandung kemudian menawarkan sebuah sudut pandang lain mengenai “Kota Desain”, yang lebih sesuai dengan karakter Bandung (selain dengan 2V2P, juga dengan formula People-Place-Ideas), yang ternyata diterima oleh UNESCO, sehingga Bandung dapat bergabung dalam UCCN sebagai satu-satunya kota dari Asia Tenggara (selain Singapura) yang berhasil menjadi Kota Desain UNESCO.

Meskipun bergabung dalam UCCN sebagai Kota Desain, kegiatan dan kolaborasi yang telah dilakukan Bandung tidak hanya dalam bidang desain, namun juga dalam bidang-bidang lain, sesuai dengan UCCN Mission Statement. Bandung telah bekerja sama dengan Santos (Kota Film di Brasil) dalam menyelenggarkaan Santos-Bandung Film Festival; juga dengan Bologna (Kota Musik di Italia) dalam mengampu UNESCO Training Event di World Urban Forum ke-9. Kini, Bandung diminta Kota Casablanca (Maroko) untuk mendampingi mereka dalam proses pengajuan untuk bergabung dalam UCCN.

Hal-hal tersebut terjadi dan berjalan hampir dengan sendirinya, ketika Bandung terus berupaya secara konsisten memenuhi komitmennya untuk berkolaborasi demi mencapai tujuan SDGs 2030 (pertanyaan utamanya adalah: bagaimana kreativitas, khususnya dalam bidang Desain, dapat menjawab 17 isu SDGs?).

Intinya, dengan berpegang teguh pada komitmen bersama dan menjalankannya dengan kesungguhan, peluang akan terus hadir, sehingga kita harus selalu bersiap untuk menyambut dan mengambil manfaat dari semuanya.

 

==========

[catatan samping]

  1. Identifikasi sub-sektor industri kreatif unggulan bagi suatu kota/kabupaten tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan memerlukan penelitian yang menyeluruh, berdasarkan parameter yang jelas dan relevan bagi kota/kabupaten terkait. Penentuannya pun harus melibatkan stakeholders lokal, hingga memperoleh konsensus dan kesepakatan bersama.
  2. Adalah wajar bila dalam menyalurkan fasilitas/ bantuan bagi sebuah kota/kabupaten, pemerintah mensyaratkan adanya identifikasi sub-sektor unggulan terlebih dahulu, agar dapat lebih tepat sasaran dan berdampak efektif. Sehingga memang perlu ada sebuah mekanisme penyaluran fasilitas, dengan prosedur yang benar, teruji dan terukur, dan dapat berlaku bagi berbagai kondisi kota/kabupaten di Indonesia.
  3. Mekanisme tersebut harus memberlakukan proses kajian dalam durasi waktu yang realistis, dengan juga mempersiapkan dukungan selama proses berlangsung, bila diperlukan oleh kota/kabupaten terkait. Mekanisme yang ada sekarang secara umum adalah: (1) pengisian borang (proposal/ formulir data) oleh kota/kabupaten – (2) permohonan uji petik – (3) pelaksanaan uji petik dan assessment – (4) penyusunan berita acara yang memuat hasil diagnosa sub-sektor unggulan untuk kota/kabupaten terkait – (5) kesepakatan berita acara oleh pemda dan stakeholders kota/kabupaten – (6) penyaluran fasilitas/ bantuan sesuai dengan sub-sektor terpilih (sebagai prioritas) dan syarat-syarat lain yang telah dipenuhi.
  4. Adalah tidak wajar apabila yang terjadi berupa: penyaluran fasilitas/ bantuan (6) terlebih dahulu, baru diikuti oleh assessment (3) dan berita acara (4) yang hasil analisanya sengaja dibuat sesuai dengan sub-sektor yang mendapatkan bantuan; apalagi bila identifikasi sub-sektor tersebut ditentukan tanpa konsensus, dan tanpa melalui proses riset/ kajian yang menyeluruh.

SENDAL: Upgraded

“SENDAL”, begitu julukan mahasiswa pesertanya di awal mata kuliah ini diperkenalkan. Nama sebenarnya adalah Seni, Desain, Lingkungan dan menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB tingkat akhir. Ketika saya kuliah dulu, kami mahasiswa FSRD memang mendapatkan kuliah wajib mengenai lingkungan, dengan nama MK Pengetahuan Lingkungan (lalu disingkat “Pengling”), dengan dosen dari Jurusan Biologi. Yang dipelajari adalah seputar ekosistem lingkungan hidup, secara umum. Ya, seperti pelajaran Biologi di SMA sebelumya. Kemudian terjadi perubahan, sekitar tahun 2012(?) ketika ITB mempersilakan tiap fakultas untuk menyelenggarakan perkuliahan tentang lingkungan, yang langsung terkait dengan bidangnya masing-masing. Saat itu, saya sudah mengajar MK Desain Berkelanjutan sejak sepulang dari S3 di Belanda (dalam bidang design & sustainability) di Program Studi Desain Produk dan Magister Desain, sejak sekitar tahun 2008. Dengan adanya MK SENDAL untuk FSRD ini, saya ditugaskan menjadi koordinatornya, dengan peserta kuliah 1 angkatan mahasiswa FSRD, yang jumlah totalnya mencapai sekitar 250(!).

Pada awalnya, MK SENDAL adalah kuliah yang menginduk ke fakultas, sehingga perangkat pendukungnya pun (petugas daftar hadir, administrasi, peralatan, dll.) dikoordinasikan oleh fakultas. Dosennya berasal dari masing-masing program studi (prodi) yang ada di FSRD: Seni Rupa, Kriya, Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual; yang masuk kelas secara bergiliran di tiap pertemuan. Sehingga tiap prodi mendapat 2x giliran masuk kelas, sebelum dan setelah Ujian Tengah Semester. Sisa waktu pertemuan biasanya dimanfaatkan untuk menampilkan dosen tamu yang dapat memberi pengayaan wawasan bagi peserta MK SENDAL. Oh iya, bobot MK ini 3 SKS, jadi mahasiswa tidak sekedar duduk mendengarkan ceramah dosen, tapi ada deliverables dengan kualitas tertentu.

Pada awalnya, sebagai koordinator saya selalu hadir di kelas, meskipun prodi lain yang sedang mendapatkan giliran mengajar. Ini bukan belaka mengenai tugas, tapi karena memang materinya selalu menarik. Misalkan, Seni Rupa menyampaikan tentang karya-karya yang mengkritisi kondisi lingkungan, Kriya membahas pewarna dan serat alam, Desain Interior mengenai universal design atau inklusivitas dalam merancang ruang, Desain Komunikasi Visual memberi contoh berbagai media komunikasi untuk persuasi gaya hidup yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan, Desain Produk tentang intervensi “keberlanjutan” dari hulu hingga hilir proses penciptaan produk. Dosen tamu? Ini juga seru. Saya pernah mengundang Bu Katrin, dosen Teknik Industri Universitas Parahyangan, untuk membahas Product Service System; Kang Emil, yang saat itu masih aktif mengajar di Arsitektur ITB, untuk diskusi tentang Sustainable Urbanism; hingga Pak Apep penanggung jawab TPA (tempat pembuangan akhir) sampah ITB yang kala itu sudah bertugas selama 30 tahun (“Sampah ITB selesai di ITB, tidak membebani pemkot”, katanya, “Paling susah itu mengolah sampah dari kegiatan Pasar Seni”). Dan banyak lagi.

Selanjutnya, sistem perkuliahan SENDAL sedikit mengalami perubahan. Saya mulai mengaitkannya dengan permasalahan nyata di Kota Bandung. Bagaimana bidang seni rupa, kriya, desain, dan kreativitas pada umumnya dapat menjadi solusi masalah perkotaan? Bagaimana bidang kreatif ini bisa berkontribusi? Setidaknya di tahun atau semester terakhir ini, mahasiswa SENDAL berkesempatan terjun langsung ke masyarakat, dan mendedikasikan ilmu & keterampilan mereka; tentu saja dengan seluruh pertimbangan mengenai “keberlanjutan” yang sudah diperoleh di kelas. Lagi pula – ini catatan khusus saya pribadi – kelas SENDAL ini bisa jadi merupakan satu-satunya kesempatan mahasiswa FSRD untuk bekerja sama lintas prodi sebelum mereka lulus, karena (ini yang bikin agak sedih) bisa jadi mereka tidak tersentuh yang namanya Pasar Seni. Kok bisa? Iya, karena selama berkehidupan di kampus ada angkatan yang belum sempat mengurus perhelatan legendaris ini. Sayang, ya.

Sehingga, kelas SENDAL di tahun-tahun belakangan ini berbentuk tugas kelompok yang dilaksanakan selama satu semester penuh, paralel dengan berjalannya pertemuan di kelas. Kelompoknya boleh lintas prodi, selalu ada tema, selalu harus ber-partner dengan komunitas/warga lokal, dengan Ujian Akhir Semester berbentuk pameran yang menampilkan kegiatan tiap kelompok selama satu semester itu.  Lengkap dengan display artefak hasil kegiatan, video dokumenter durasi 3 menit, infografis, katalog, dsb. Rekanan yang sempat terlibat selama ini antara lain Komunitas Riset Indie, Karang Taruna Kota Bandung, dan sebagainya. Harapannya, selain langsung menerapkan konten kuliah pada permasalahan nyata, mahasiswa SENDAL juga dapat belajar mengatur diri, berorganisasi menyelenggarakan pameran bersama (meskipun kadar heboh dan dramanya jauh di bawah Pasar Seni). Hasilnya? Beberapa akan lanjut kita bahas di sini ya, di beberapa posting berikut.

Bandung, Contoh SDG Dunia

 

ekrafbdg NEW.002

Menjelang Pertemuan Tahunan Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) yang ke-11 Juli lalu di Enghien-les-Bains, Kota Media Art di Perancis, Bandung dihubungi oleh UNESCO, diminta untuk mempresentasikan salah satu kegiatan rutinnya dalam sesi khusus mengenai Sustainable Development Goal (SDG) dalam rangkaian pertemuan tersebut.

Bagi Bandung, yang bergabung dalam UCCN sebagai Kota Desain pada tanggal 11 Desember 2015, Pertemuan Tahunan yang ke-11 ini merupakan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya diselenggarakan di Östersund, Kota Gastronomi di Swedia. Dalam pertemuan UCCN ke-10 tahun 2016 itu, dalam sesi konferensi Valuing and Evaluating Creativity for Sustainable Regional Development, Bandung mengutarakan prinsip dasarnya sebagai “Kota Desain”, di mana “Desain” bagi Bandung tidaklah terbatas pada kualitas fisik dan estetik suatu obyek/ komoditi, atau sebuah profesi berbasis ilmu-ilmu desain yang diketahui selama ini, namun “Desain” yang juga sebagai cara berpikir warganya dalam mengatasi permasalahan lokal, sebagai cara menciptakan purwarupa solusi berbagai isu perkotaan, dan sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan antara warga dengan pemerintah, kebijakan, dan regulasi. Prinsip inilah yang membawa Bandung diterima masuk ke dalam jejaring tersebut, yang terbukti telah memberikan  peluang yang sangat luas  untuk mengembangkan potensi ekonomi kreatifnya.

Kali ini, Bandung diminta untuk mempresentasikan DesignAction.bdg, yang dinilai oleh UNESCO sebagai salah satu contoh terbaik penerapan tujuan SDG #11, Sustainable City. Dalam proses persiapan materi presentasinya, dilakukan beberapa kali asistensi, hingga terdapat versi akhirnya, seperti yang ditampilkan sebagai slideshow di sini.

More on DesignAction.bdg, coming up!