Tag Archives: bandung

Borang Mondiacult 2024

Secara berkala, setiap 4 tahun, semua kota anggota UCCN (UNESCO Creative Cities Network) wajib menyerahkan Laporan Pemantauan Keanggotaan (Membership Monitoring Report/MMR). Kota Desain Bandung telah menyerahkan laporan pertamanya di tahun 2019, dan juga telah menyelesaikan yang kedua di tahun 2023 (meskipun baru dapat diunggah di tahun 2024). Namun di tahun 2024 ini, ada kewajiban lain yang harus diserahkan.

Sebagai tindak lanjut dari Mondiacult (UNESCO World Conference on Cultural Policies and Sustainable Development) yang diselenggarakan di Mexico, September 2022, UCCN mengarahkan seluruh kota anggotanya (yang bergabung sebelum 2023) untuk melengkapi kuesioner terkait “kontribusi sektor budaya dan kreatif dalam pembangunan berkelanjutan”.  Hasil dari kuesioner ini diharapkan dapat mengidentifikasi peran kota kreatif dalam menjawab tantangan SDG, sejalan dengan Deklarasi Mondiacult 2022, Pernyataan Misi UCCN dan prioritas Sektor Budaya di UNESCO.

Koordinasi awal pengisian borang Mondiacult: focal point Bandung UCCN dengan Bappelitbang Kota Bandung, 28 Maret 2024

Kuesioner ini disebarkan akhir Februari 2024 lalu, untuk diisi dan dikirimkan kembali selambat-lambatnya pada Juni 2024. Seluruh pertanyaannya secara umum terkait Budaya, Kreativitas dan Kota, meliputi kebijakan dan program kota dalam hal-hal berikut: (1) Menjamin hak-hak budaya, (2) Mengangkat teknologi digital dalam sektor budaya, (3) Memupuk pendidikan kebudayaan dan seni, (4) Memungkinkan sistem ekonomi berkelanjutan untuk budaya, (5) Melindungi dan mempromosikan budaya dalam menghadapi perubahan iklim, dan (6) Melindungi seniman dan budaya dalam bahaya.

Dengan sendirinya, diperlukan masukan dari pemerintah kota untuk melengkapi jawaban di borang ini. Setelah bersurat ke Pj Wali Kota Bandung, terdapat disposisi bagi Bappelitbang untuk mengkoordinasi OPD terkait, membagi tugas untuk menanggapi butir-butir yang relevan dengan tugas dan fungsi di kedinasan.

Pertanyaan-pertanyaan di borang yang panjangnya kurang lebih 10 halaman ini ternyata perlu dirembug oleh dinas-dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pendidikan, Lingkungan Hidup, Komunikasi dan Informatika, Pemuda dan Olah Raga, dll., termasuk juga yang membidangi infrastruktur fisik, ekonomi, hukum/regulasi, dan sebagainya. Terutama karena sering terdapatnya regulasi yang saling terkait, yang dapat saling mengisi dalam menanggapi suatu pertanyaan. Borang ini sekarang masih dalam proses penyelesaian, namun iterasi yang telah dilakukan dengan lintas OPD ini makin mengkonfirmasi beberapa hal:

  1. Budaya”, meskipun nomenklaturnya hanya terdapat dalam salah satu struktur pemerintahan (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata), sebenarnya adalah urusan bagi beberapa dinas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa pertanyaan pada borang Mondiacult ini memerlukan jawaban inti dari lebih dari satu kedinasan.
  2. “Budaya” bukanlah sekedar tradisi atau pertunjukan seperti yang biasanya dipersepsikan dalam arti sempit, namun merasuk ke seluruh lini kehidupan, yang dipraktikkan dalam keseharian, dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, dsb., yang berpusat pada pengembangan Sumber Daya Manusia.
  3. “Budaya” dalam strategi pembangunan daerah biasanya menjadi urusan sekunder, bahkan tersier, sehingga alokasi anggarannya pun tidak sebesar urusan primer. Namun bila tidak dirawat dan dipraktikkan dengan benar, peradaban akan terkikis, sehingga seluruh “urusan primer” pun akan menjadi sia-sia. Mengutip Charles Landry (2020), “Not ‘what is the value of culture’, but ‘what is the cost of NOT valuing arts/culture’”.
  4. Dalam lingkup kota, perlu adanya kepemimpinan yang paham benar bahwa potensi budaya dan kreativitas harus dikelola dengan layak, serta diberi akses dan peluang yang setara, agar dapat menjadi bahan bakar terbarukan bagi pembangunan yang inovatif, inklusif dan berkelanjutan.

Seusai iterasi pertama pengisian borang Mondiacult bersama lintas OPD Kota Bandung, 4 April 2024

Dengan adanya borang Mondiacult ini, setidaknya kita di Kota Bandung jadi dapat mengetahui dan mengukur sendiri, seberapa jauh perhatian dan keberpihakan kita terhadap sektor budaya dan kreativitas, sampai dengan bercermin pada berbagai hal yang telah dihasilkan dari aktivasi sektor budaya dan kreativitas. Sambil terus bersama-sama belajar, tidak hanya tentang konten borang, namun juga tentang jalinan komunikasi yang membaik dan semoga terus terjaga baik – antar dinas, antar personel, dan antar pihak hexa helix – demi tujuan yang sama: dampak nyata Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia. Terima kasih, jajaran Pemerintah Kota Bandung, mari kita lanjutkan dulu kewajiban yang satu ini, sebelum berangkat ke program-program seru berikutnya.

World Design Cities Conference Shanghai

Shanghai, Kota Desain UNESCO sejak 2010, melalui Shanghai UNESCO Creative City Promotion Office, kembali menggelar World Design Cities Conference (WDCC) secara luring, setelah sebelumnya dilaksanakan secara bauran di 2022. Dalam rangkaian acara WDCC ini terdapat UNESCO Creative Cities Summit, kali ini dengan tema Design Our Future Cities, yang diadakan pada tanggal 26 September 2023.

Pembicara kunci dalam summit tersebut adalah Denise Bax, Chief of Communication, Cities and Events Unit; UNESCO, Secretary of the UNESCO Creative Cities Network; dilanjutkan dengan tayangan video sambutan dari beberapa wakil/wali Kota Kreatif UCCN: Bilbao, Bangkok, Asahikawa, Braga, Graz, Turin. Setelah itu, masuk ke sesi Expertise Sharing, di mana saya membawa topik “Connectivity Matters: scenarios for future creative cities”. Inti dari paparan ini, kurang lebih adalah, kalau sudah jadi “kota kreatif”, lalu selanjutnya bagaimana? Didahului dengan argumen berupa frameworks “kota kreatif” dan “indeks kota kreatif” versi ICCN, serta implementasi indeks pada 27 kabupaten/kota di Jawa Barat oleh KREASI Jabar sejak 2020, sebagai penutup paparan ini mengajukan tiga preposition terkait skenario kota kreatif di masa mendatang.

Creative City is about connectivity of all relevant resources and stakeholders; an implementation of Creative Economy at the city level. // Kota Kreatif adalah tentang konektivitas dari seluruh sumber daya dan pemangku kepentingan terkait; merupakan implementasi dari Ekonomi Kreatif pada tingkat kota.

Measurable variables are designated to constitute a “creative city”; their values determine the position and roles of the city within the Creative Economy Ecosystem. // Variabel-variabel yang dapat diukur ditujukan untuk mendefinisikan “kota kreatif”; nilai-nilainya menentukan posisi dan peran sebuah kota dalam Ekosistem Ekonomi Kreatif.

Formulating scenarios for Future Creative Cities requires visions of human-centered cities and a comprehension of the Creative City Index. // Merumuskan skenario untuk Kota Kreatif Masa Depan memerlukan visi dari kota yang berpihak pada manusia dan pemahaman terhadap Indeks Kota Kreatif.

Di luar acara summit, kami, delegasi anggota UCCN, berkesempatan untuk mengunjungi venue pameran, yang hampir seluruhnya menampilkan desain produk bermuatan teknologi (digital dan kecerdasan buatan) termutakhir, namun dengan fungsi yang dekat dengan keseharian manusia, sambil masih mengangkat SDA lokal dan budaya. Peserta pameran terdiri dari perusahaan besar maupun kecil, hingga perguruan tinggi dengan karya-karya mahasiswanya.

Dari kunjungan singkat ini, terlihat bahwa sepertinya sekarang Cina bisa berjalan dan berkembang sukses, tanpa tergantung pada negara lain. Seluruh lini kebutuhan hidup tersedia dengan layak. Selama di sana, WhatsApp, GoogleMap, dan apa pun produk piranti lunak yang biasanya kita pakai di sini, tidak bisa berfungsi lancar. Mereka tidak perlu impor teknologi, karena tercukupkan dengan karya bangsanya sendiri. Ini salah satu bukti terbaik tentang kedaulatan negara.

Sejak acara pembukaan resmi, summit, pameran, hingga kunjungan ke simpul-simpul kreatif & revitalized heritage spaces, Shanghai menunjukkan kesadaran dan keseriusan pemerintah, lembaga pendidikan dan industri/swasta dalam mendukung proses litbang demi tercapainya inovasi, industrialisasi untuk bersaing, dan apresiasi terhadap “desain” dalam arti solusi, penambahan nilai melalui teknologi dan Kekayaan Intelektual, dan kebanggaan sebagai bangsa pencipta/produsen yang mengejar kemandirian. Kepingin desain Indonesia maju seperti ini? Banget! Syaratnya? Sinergi antar pihak yang diperkuat regulasi, dan benar-benar harus dijalankan dengan komitmen tinggi, tanpa korupsi.

=====

UCCN Forum Seoul

On October 26, 2023, the Korean National Commission for UNESCO and Seoul Design Foundation held the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum in Seoul, Korea, with the theme “The people power in solidarity through culture”. The following is copied from their invitation:

=====

The Korean National Commission for UNESCO has promoted active exchanges and cooperation among domestic member cities and has widely promoted and developed excellent cases of domestic creative cities at home and abroad.

Seoul Design Foundation (SDF) was initially proposed on November 2008 by the Seoul Metropolitan Government in order to promote design industries in Seoul. Since launched on 2nd March 2009, Seoul Design Foundation has been implementing various design projects running Dongdaemun Design Plaza (DDP), Seoul Upcycling Plaza, and Seoul Design Incubating Centre.

In this situation, the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum will be held to contribute to creating a comprehensive, safe, and resilient sustainable city and residence by UNESCO’s SDG 11 on the same date as the Seoul Design Conference.

=====

Since I was unable to attend in person, I sent a video presentation. In order to keep with the timing, I prepared the script in advance. So copied below is the deck, and the script as the captions, for the sake of documenting the event. The amazing team in Seoul has also taken photos (attached here as well) during the screening of my video, which I am immensely grateful for.

=====

1
Good afternoon, ladies and gentlemen. I regret for not being able to attend in person, but I am grateful that I get the chance to participate online. I am Tita, the focal point of Bandung, UNESCO City of Design. Today I would like to share our stories concerning community initiatives and how they shape the look of our city.

2
When “Bandung” is mentioned, people are usually reminded of “Bandung Conference”, an historical event in 1955 where 29 Asian and African countries gathered to make a stance. The declaration of the conference contains keywords that have become the spirit of Bandung people up to today: economy, culture, human rights, peace, and International partnership.

3
The city of Bandung itself has a long reputation as a place to go for shopping, fashion and culinary experience. The amount of higher education institutions, research centres and strategic national industries attracts young people, who dominate the demography of Bandung City.

4
There was a momentum when these young people, united in communities, organised under one hub organisation called Bandung Creative City Forum or BCCF, responded to various urban issues by building prototypes of solutions, both tangible and intangible interventions to public spaces and groups of local communities.

5
All programs and activities of BCCF implement Design Thinking method, with Urban Acupuncture concept, where the city is considered an organic entity, not unlike a human body, that has centres for thinking, breathing, memories, waste disposal; facilities for distributions of energy, nutrition, and all.
Each urban space intervention is like pinning a needle of creativity in spots of the body that – if conducted consistently at the right spots – is hoped to heal the whole body, or the city, making it function better.

6
This movement, that started in 2007, has shaped the characteristics of Bandung people, who see Design as a way of thinking to solve urban issues, that manages to create values and meanings according to the actual needs and contexts; Creativity as a strategy to lessen the gap between people and government, people and policy, and among all stakeholders; and Prototypes as a driver of Social Innovation, to make rapid improvements that can be conducted by all citizens.
With this angle, Bandung joined the UNESCO Creative Cities Network as a City of Design since 2015.

7
Such movement occurs as well in other cities in Indonesia; young people, who are aware that we can no longer rely on economy activities that depends on the extraction of natural resources, shift to economy activities that requires human intelligence and creativity.
These young people also formed cross community forums, built networks with each other, conducted programs and events that involve economy activities, and often offered urban solutions that also become social innovations.
These forums gathered and established Indonesia Creative Cities Network in 2015. ICCN currently has more than 240 city members from all over Indonesia. All ICCN members are committed to implement the 10 Principles of Indonesia Creative City.

8
Having an organisation with such diverse members require frameworks that can be implemented by all. ICCN refers to the Creative Economy Ecosystem, establishes the 10 Principles of Indonesia Creative Cities that comply with the SDGs, and Catha Ekadasa, or the 11 ways or guide to implement the 10 Principles, and involves Hexa Helix stakeholders in 3C steps – Connect Collaborate Commerce/Celebrate in all its programs.
One example is as follows.

9
Fashion Village Lab, an industrial area for multinational fashion labels, located in Cigondewah, the periphery of Bandung City.

10
The project started with a research on the issues of housing for the factory workers, but it turned out that the problems are more complex. What started as housing issues extended into environmental, social and economy issues as well.

11
All stakeholders were being involved, including the multinational brands at their headquarters; local governments down to the neighbourhood levels, the factory workers and local inhabitants. It was discovered that the workers also make a living outside their factory hours, and the villagers have an income from various jobs related to the factory activities.

12
Fashion Village Lab consisted of, among others, experimentations on up cycling the fabric waste into building bricks and other commodities, improvement of public facilities, plans of circular fashion production unit that includes an area for natural-dye plants, and an establishment of a cooperation of local women entrepreneurs.

13
The mapping of the project show supporting factors and stakeholders in Fashion Village Lab, and is used as a reference once the project is ready to be restarted after the pandemic.

14
Another project is Urban Games, of which themes and contents can be modified according to the events and contexts. One game attempts to reintroduce Bandung through its culinary culture and heritage through a “treasure hunt” activity.

15
Another game asks high school students to map environmental issues with an app, which then reveal the findings to the authorities for follow-ups.

16
These kinds of activities have more or less changed the face of the city. Young entrepreneurs have turned idle spaces into studios, workshop, offices and stores, such as this military warehouses.

17
Turning conventional market into a cool place to hang out, such as this one where hundreds of emerging local brands are being displayed.

18
Such as this mixed use of a traditional wet market, when the kiosks that sell vegetables, fruits and meat close at noon, another kiosks open: those that sell coffee and food, and those providing space for various activities, such as movie screening, discussion, poetry reading, and so on.

 

 

To conclude, it is important for cities with similar characteristics to Bandung – a growing and dense city – that is dominated by young generations of different backgrounds who are highly motivated to change the city so they have a better place to live, work and play, to have clear directions or frameworks, in order to be able to assess the impacts and plan the next strategic actions – and to maintain the spirit of urban culture in solidarity, inclusivity and partnership.
19
Thank you.

Komite Ekraf.bdg

Bandung ini gampang-gampang susah. Katanya, nggak usah ada pemerintah pun, “semuanya bisa jalan sendiri”, karena warganya terlalu mandiri. Juga soal ekonomi kreatif (ekraf), ingin rasanya beneran bisa autopilot. Tapi nyatanya reputasi ekraf Bandung ini pasang-surut, baik di tingkat nasional maupun internasional, tergantung pada periode pengampu kotanya. 

Memang, kegiatan dan event ekraf tetap saja berjalan meriah di kalangan profesional dan akademisi. Di masa ketika kata-kata “kreativitas” atau “kota kreatif” sama sekali tidak tercantum di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ini, aparat kota memang jadinya nggak punya alasan/ landasan legal untuk menggarap bidang ekraf, karena tidak ada dalam daftar tugas mereka — meskipun jabatan pengampu urusan ekraf ini ada dalam struktur pemerintahan. Tapi toh ekraf di Bandung tetap terselenggara dengan aktif dan seru, dalam bentuk berbagai lokakarya, festival, konferensi internasional, dan banyak lagi. Hanya saja memang sayang, kan, kalau potensi ekraf ini tidak dimanfaatkan sebagai strategi dalam membangun SDM dan ruang-ruang kotaNahmakanya disahkannya Perda Ekraf (No.01 Tahun 2021) pada Januari 2021 lalu menjadi semacam jaminan bahwa siapa pun pengelola kotanya, ekraf akan selalu masuk dalam rencana pembangunan [Ref: Dari Aktivisme ke Kebijakan].

Dari delapan urusan ekraf yang tercantum dalam Perda Ekraf itu, salah satunya adalah Komite Ekraf [Ref: Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana?]. Komite inilah yang seharusnya menjadi intermediary, jembatan, atau perantara antara kebijakan dengan aspirasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan ekraf dalam wilayah kota, selain juga merancang peta jalan dan program strategis. Lingkup tugasnya pun sudah dipaparkan di perda tersebut. Pengennya sih segera dibentuk, supaya segera bergerak dan berdampak, apalagi mengingat momentum dan peluang besar yang bertubi-tubi hadir di Kota Bandung. Tapi karena satu dan lain hal — selain karena pandemi dan refocusing anggaran, juga karena adanya perubahan personel pengampu — implementasi dari perda tersebut tidak bisa segera terjadi.

Meskipun hanya selang setahun sejak Perda Ekraf disahkan (Januari 2021) hingga hari ini (Februari 2022), perkembangan situasi terkait ekraf terjadi sangat pesat, dari fenomena lokal dan nasional, hingga skala dunia. Perda yang dimulai prosesnya di tahun 2018 ini pun harus segera mengadopsi kondisi terkini dalam implementasinya. Sebagai (mantan) tim Ekraf.bdg, yang kami inginkan utamanya hanyalah kesinambungan dan pemutakhiran program, agar tidak mulai dari “mentahan” lagi, demi dampak yang lebih nyata dan terukur. Juga, tetap menjaga kesesuaian dengan konsep “ekosistem ekonomi kreatif” yang telah disepakati dan juga tercantum dalam perda. Jadi, kami menyiapkan dokumen referensi, yang sebagian deck-nya bisa dilihat berikut ini.       

Slide 1. Daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung.

Slide 1 memuat daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung, yang juga berpengaruh pada konsep dan gerakan ekraf di tingkat nasional dan internasional. Proses dari Triple Helix hingga Hexa Helix; dari riset dan aktivasi oleh komunitas lokal hingga menjadi rekomendasi kebijakan skala dunia; dari inisiatif bottom-up hingga terbentuknya konsensus kerangka kerja sebuah “Kota Kreatif”. Sejarah yang menunjukkan leadership Bandung dalam sektor ekraf tentu tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Slide 2. Dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif”, dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015).

Slide 2 menampilkan dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif” dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015). Adanya semacam komite, badan, atau Chief Creative Officer, menjadi pelengkap sebuah “Kota Kreatif”, seperti yang pernah diungkapkan oleh Zuzanna Skalska [Ref: Kota yang Berpihak pada Manusia]:

Pada akhirnya, apakah tantangan sebenarnya bagi “kreatif” dalam konteks “kota”? Sebuah kota dengan konsep ‘baru’ memerlukan pendekatan yang juga baru. Sebuah “kota kreatif” memerlukan seorang creative chief — tanpa keberadaan seorang “creative chief”, atribut “kota kreatif” hanya menjadi hal artifisial

Slide 3. Landasan hukum.

Slide 3 merunut landasan hukum dibentuknya Komite Ekraf sebagai salah satu lingkup yang diatur dalam Perda Ekraf Nomor 01 Tahun 2021. Font yang abu-abu itu, karena sedang ada proses penyusunan Rindekraf nasional yang baru, untuk kemudian dirujuk oleh kota/kabupaten. 

Slide 4. Bagian perda tentang komite.

Slide 5. Bagian perda tentang komite.

Slide 4 dan 5 memaparkan bagian-bagian perda yang memuat bahasan mengenai Komite Ekraf.

Slide 6. Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders sebagai kerangka kerja ekraf.

Slide 6 memuat bagan nomenklatur Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders, yang telah berkembang sejak dirancangnya Perda Ekraf. Sebuah Kota Kreatif harus cekatan dalam memahami dan memanfaatkan alur sinergi seluruh elemen dalam framework ini.

Slide 7. Salah satu alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg.

Struktur komite sebaiknya ramping, namun terkoneksi erat dengan perwakilan bidang (sub-sektor industri kreatif), (hexa helix) stakeholders, dan segmen masyarakat lainnya. Slide 7 memuat bagan salah satu versi/ alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg yang telah disesuaikan dengan ekosistem dan framework terkini, juga dengan karakteristik dan kebutuhan Kota Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia dalam bidang Desain.

Slides pelengkap ini sifatnya menginformasikan evidence kinerja ekraf Bandung yang sudah turut membentuk pemahaman terhadap “ekonomi kreatif” yang tetap relevan bagi masa kini, pasca pandemi, hingga untuk pemulihan yang berkelanjutan dan membangun kembali tatanan kehidupan di masa mendatang.  

=====

Deck ini sudah dipresentasikan kepada para pengampu tertinggi Kota Bandung beserta jajarannya, di waktu yang berbeda-beda. Semoga keputusan resmi untuk Komite Ekraf.bdg nanti dapat tetap membawa semangat progresif, mampu mengembalikan leadership Kota Bandung dalam sektor ekraf di skala nasional dan dunia, serta berdampak nyata dan terukur bagi seluruh warganya secara inklusif (hal ini nih yang selalu diwanti-wanti oleh para anggota DPRD di setiap sesi pembahasan finalisasi perda). Semangat! 

Airborne.bdg | Human City Design Award 2020

Airborne.bdg, salah satu program BCCF di tahun 2017, menjadi salah satu dari 10 finalis Human City Design Award (HCDA) 2020, di mana hanya akan dipilih satu pemenang, yang sedianya akan diumumkan di akhir tahun 2020 lalu, tapi terpaksa ditunda hingga 8 Maret 2021.  

10 finalis HCDA 2020 bisa dilihat di sini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020

Tentang Airborne.bdg di HCDA 2020 ada di laman ini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020/airborne-bdg

Mengutip dari situsnya (dalam interpretasi bebas), HCDA ini bermula dari dideklarasikannya Kota Seoul sebagai Human City Design Seoul pada tahun 2018, sebagai respons terhadap kebutuhan dunia di masa kini, di mana masyarakat percaya bahwa kita harus mengatasi dampak buruk dari permasalahan berjaraknya manusia, materialisme, dan lingkungan; bahwa kita harus merancang lingkungan perkotaan yang berkelanjutan, sehingga manusia dapat menikmati kehidupan berkreativitas. 

Dengan deklarasi tersebut, Pemerintah Metropolitan Seoul dan Seoul Design Foundation berharap agar dapat menjadi jalur komunikasi dalam membangun ekosistem perkotaan, di mana manusia dan alam dapat hidup berdampingan, juga sekaligus menjadi platform bagi kesejahteraan bersama, yang terus mengupayakan keberlanjutan dan kesejahteraan bagi komunitas yang terus berkembang.  

Harapan ini menjadi dasar ditujukannya HCDA pada para desainer atau pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam meningkatkan hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antar sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan sekelilingnya, dan manusia dengan alam, melalui penanganan berbagai isu lingkungan perkotaan dengan visi yang baru, melalui desain.       

HCDA mengajak kota-kota di seluruh dunia untuk mengajukan karya terbaiknya, terkait dengan tema yang ditentukan. Di tahun 2020 ini, HCDA bertema Desain untuk Kota Berkelanjutan untuk hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan, dengan tujuan:

  • Untuk mewujudkan ekosistem kota yang berkelanjutan bagi hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan melalui desain
  • Untuk mendiskusikan desain sebagai solusi kreatif bagi berbagai permasalahan sosial yang kompleks di kota, dan untuk memperluas efek “khasiat penyembuhan” dari desain di seluruh dunia
  • Untuk mendorong agar sektor desain berkontribusi pada perkembangan umat manusia

Di HCDA 2020 ini, Airborne.bdg lolos seleksi menjadi finalis, berbarengan dengan 9 projects lain dari Brazil, Italia, Jepang, Kolombia, Korea Selatan, Perancis, Singapura, dan Thailand. Airborne.bdg, yang selesai pada tahun 2017 lalu, merupakan puncak dari serangkaian kegiatan yang dilakukan BCCF sejak tahun 2013 di area Kampung Linggawastu, Kecamatan Bandung Wetan, yaitu mural yang digarap di permukaan atap rumah, membentuk citra .bdg berukuran raksasa, yang hanya dapat dilihat secara utuh dari ketinggian 40 meter dari permukaan tanah. 

Cita-cita untuk mewujudkan adanya landmark ini muncul setelah Bandung bergabung dalam Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) sebagai Kota Desain pada 11 Desember 2015. Untuk membuat penanda kota dengan dimensi dan struktur fisik berukuran masif, tentu diperlukan lahan, tenaga, dan biaya yang sangat besar, sehingga harus dicari cara lain untuk mewujudkan cita-cita tersebut. BCCF yang kala itu sedang terlibat dengan berbagai kegiatan, terutama dalam kolaborasi dengan beberapa kampung, menggagas mural atap ini, yang diawali dengan proses panjang. Mulai dari memetakan pihak-pihak yang terlibat, mengupayakan sponsor, koordinasi dengan Komite Ekonomi Kreatif Kota BandungPemerintah Kota Bandung yang juga menjadi pengampu kegiatan ini beserta perangkat setempat (camat, lurah, RW dan RT), komunikasi dengan warga, dan seterusnya. Dimulai dari kegiatan pengembangan produk (sekaligus kemasan, branding, dan narasinya) bersama Desain Produk FSRD ITB dan Bank Sampah Sabilulungan tahun 2013 yang kemudian didukung oleh Dekranasda Kota Bandung, juga program workshop untuk anak di Taman Pulosari dengan tema-tema arts & craftsscience, dan adventure asuhan EcoEthno dan kakak-kakak mahasiswa Magister Desain FSRD ITB, program Riverplay public furniture di bantaran salah satu ruas Cikapundung dengan Karang Taruna dan Desain Produk FSRD ITB, hingga berbagai aktivitas dengan warga (antara lain workshop fotografi Matawarga dengan AirFoto Network) menuju urban game Sasab.bdg tahun 2015 sebagai bagian dari Helarfest 2015, dan banyak lagi; kawasan Kampung Linggawastu ini menjadi cerminan makna “desain” dan “kreativitas” yang menjadi argumen Bandung sehingga berhasil bergabung dalam UCCN.

https://youtube.com/watch?v=vUOsuvgXCYY%3Ffeature%3Doembed

Sehingga mural atap di Linggawastu menjadi semacam “stempel”, cap yang menandai sebuah “kota kreatif” dengan kekhasannya sendiri, di mana warganya terus menerus bereksperimen dan menciptakan purwarupa solusi bagi permasalahan sekitarnya. Di mana inisiatif komunitas dapat bertemu dengan kebijakan dan regulasi pemerintah melalui praktik design thinking, dan di mana sinergi antar pemangku kepentingan selalu dilatih dan dievaluasi.

Mengakhiri catatan ini, berikut kutipan dari materi presentasi saya (prerecorded) untuk keperluan Awarding Event tanggal 8 Maret 2021 nanti. Berhasil atau tidak memenangkan penghargaan ini, setidaknya hal ini menjadi pengingat akan semangat perjuangan dan kerja keras komunitas dalam berkarya dan berdampak nyata.

The paint on the rooftops may not last, but we managed to capture a momentum to deliver a statement about what “design” and “creativity” mean for Bandung as a UNESCO creative city. It gives us an opportunity to think of another artefact, which can prove how agile thinking and action could actually build a resilient urban community. In a way, its ephemeral existence conveys a message for us to keep being relevant in our creative endeavours”

[Cat pada permukaan atap mungkin tidak akan awet, tapi kita berhasil merengkuh sebuah momentum untuk menyampaikan pernyatan tentang makna “desain” dan “kreativitas” bagi Bandung sebagai kota kreatif UNESCO. [Airborne.bdg] membuka peluang bagi kita untuk memikirkan artefak lain, yang dapat membuktikan bagaimana pemikiran dan perbuatan yang tangkas sebenarnya dapat membangun komunitas perkotaan yang tangguh. Dengan cara tertentu, keberadaannya yang sementara justru membawa pesan bagi kita untuk terus menjadi relevan dalam segala upaya kreativitas kita.]         

=====

Berikut ini beberapa tautan ke media/ liputan mengenai Airborne.bdg

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

https://kwriu.kemdikbud.go.id/berita/airborne-bdg-landmark-terbaru-bandung-kota-desain-unesco/embed/#?secret=UTyxdSUwb1

Keren, logo ‘.bdg’ ini dilukis di atas permukaan genteng 132 rumah warga – 15 Desember 2017 

https://m.merdeka.com/bandung/halo-bandung/keren-logo-bdg-ini-dilukis-di-atas-permukaan-genteng-132-rumah-warga-171215l.html

Airborne.bdg Bakal Jadi Landmark Baru di Bandung – 15 Desember 2017

https://ayobandung.com/read/2017/12/15/26520/airbornebdg-bakal-jadi-landmark-baru-di-bandung

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO

https://www.destinasibandung.co.id/airborne-bdg-landmark-baru-di-bandung-kota-desain-unesco.html/embed#?secret=X1BC8v7GeH

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO

https://sorotindonesia.com/airborne-bdg-landmark-terbaru-bandung-kota-desain-unesco/embed/#?secret=f84QmUu74W

Bakal Ada Landmark Baru di Bandung – 16 Desember 2017

https://jabarekspres.com/berita/2017/12/16/bakal-ada-landmark-baru-di-bandung/embed/#?secret=swwMi9sdFf

Ikon Baru Kota Bandung “.bdg” – 18 Desember 2017

https://ptbestprofitfuturesbandung.mystrikingly.com/blog/ikon-baru-kota-bandung-bdg

Lewat Pasupati, Jangan Lupa Tengok Lukisan .bdg di Atap Warga – 19 Desember 2017

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3775965/lewat-pasupati-jangan-lupa-tengok-lukisan-bdg-di-atap-warga

Facebook Fiki Satari

https://www.facebook.com/fikisataricom/posts/representasi-skenario-bandung-kota-kreatif-dunia-yg-dinarasikan-dlm-proposal-dos/1792642597424899/

Twitter @infobdg

Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana? (2)

*sambungan dari bagian sebelumnya

Maka, begitu perda ini disahkan, harus segera diturunkan menjadi perwal yang akan mendetailkan secara teknis hal-hal tersebut. Misalkan, persyaratan menjadi personel Komite Ekraf, tata kelola Pusat Kreasi, dan sebagainya. Dalam kesempatan workshop ini, para peserta pun menyampaikan aspirasinya, dalam rangka mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi dengan adanya perda tersebut. Berikut ini beberapa hal yang menarik untuk dicatat dari rangkuman hasil workshop:

  1. Pelaku Ekonomi KreatifHarapannya, pelaku ekraf dapat lebih sadar terhadap peraturan yang ada demi peningkatan peran/kontribusinya bagi kota; terjadi multi-perspektif lintas bidang usaha dan keahlian terkait (financemarketing, desain, dll.); akademisi hendaknya membantu litbang pelaku ekraf. Tantangannya, masih terasanya hirarki (senior/junior) di antara pelaku ekraf; pertemuan antara karakter ekraf sebagai ekosistem yang cair dengan birokrasi yang rendering rigid/kaku; anggapan “sebelah mata” terhadap profesi ekraf; lambatnya proses legalisasi dan akses teknologi; pelaku ekraf yang rentan sebagai pekerja, umumnya karena tidak memiliki sertifikat/hukum yang melindungi agar tidak bersifat eksplotatif. Solusinya, hendaknya terdapat forum atau platform komunikasi intensif; perkuat sinergi antara pemerintah dengan asosiasi profesi dan akademisi; penentuan standar remunerasi para pekerja ekraf; komite ekraf diisi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh asosiasi masing-masing bidang; tersedianya support system yang mengefisiensi operational cost di awal usaha (mis. konsultasi akunting, pemasaran, SDM, dsb., di luar produk & proses kreatif), agar ekraf bisa mengarahkan energi dan fokusnya ke ide-ide baru.  
  2. Penataan Ekonomi KreatifHarapannya, memudahkan akses terhadap urusan legal dan administrasi seperti perizinan; meningkatnya pemahaman mengenai HKI; elemen & pekerjaan di pemerintahan agar dipercayakan pada pelaku ekraf di bidangnya (mis. pembuatan buku oleh desainer grafis); tersedianya sistem daring yang baik. Tantangannya, proses perlindungan HKI bagi pelaku ekraf; pendanaan dari APBD untuk boosting pengusaha ekraf perintis; gentrification sebagai resiko “kawasan ekraf”; perlu prosedur sinkronisasi data antara pelaku (asosiasi/komunitas) dengan pemerintah; sistem online pemerintah yang sering berubah dan kurang user friendlySolusinya, adanya galeri Bandung Kota Desain yang dikelola oleh komunitas; upgrade kanal online; kelonggaran impor untuk mempercepat akses ke teknologi baru; adanya layanan chat 24/7 yang suportif dan jam buka yang fleksibel (hingga di luar hari/jam kerja).
  3. Pengembangan Ekonomi KreatifHarapannya, adanya edukasi HKI yang mendasar sejak pendidikan dini melalui apresiasi karya, sebelum masuk ke teknis; keterlibatan pelaku ekraf dalam pengembangan sektor dan disiplin ilmu selain ekraf untuk dapat saling bersinergi; adanya pusat riset bidang ekraf terbesar di Indonesia; peningkatan kepekaan terhadap perubahan sosial budaya melalui ruang diskusi antar stakeholders; adanya ekosistem yang mendukung serendipity co-creation dan co-learningTantangannya, keterbatasan akses untuk pengembangan kreativitas di masa pandemi; keterbatasan pendidikan & pengembangan pemrograman di platform tertentu yang sulit diakses; belum adanya hub/simpul yang merepresentasikan 16 sub-sektor; masih banyak sektor yang belum paham peran pelaku ekraf dalam pengembangan sektornya; regenerasi talent sebagai komoditi ekraf; eksekusi program yang belum selalu berkelanjutan; komunikasi lintas sub-sektor. Solusinya, kurikulum terkait HKI sejak SD, SMP, SMA hingga kuliah; harus ada pihak penengah (intermediary) yang menjaga ekosistem dan sebagai penghubung antar stakeholders; adanya FGD lintas (sub)sektor untuk saling update perkembangan masing-masing, juga untuk membuka mindset dan memicu kolaborasi; adanya wadah untuk pembelajiran pemrograman (Stackoverflow Bahasa Indonesia); adanya indikator yang jelas dalam mendata dan mengukur kinerja kontribusi ekraf terhadap ekonomi.
  4. Pusat Kreasi dan Kota KreatifHarapannya, akses yang terbuka namun disertai konsep yang jelas dan terukur; adanya pusat layanan HKI yang melakukan pendekatan “jemput bola” ke pelaku ekraf; BCH yang berfungsi penuh dan terbuka/akomodatif bagi seluruh sub-sektor. Tantangannya, BCH yang belum nyaman sebagai ruang kreasi; pembangunan infrastruktur yg belum tepat guna; sulitnya akses sumber informasi market/trend; perawatan (pra)sarana oleh para pelakunya sendiri. Solusinya, FGD lintas sub-sektor untuk mendefinisikan tujuan dan “why factor” sebuah pusat kreasi sekaligus mengevaluasi sistem dan bentuk akomodasi BCH; inkubasi ekraf dan kewirausahaan bagi seluruh warga secara inklusif.
  5. Komite Penataan dan Pengembangan Ekonomi KreatifHarapannya, melibatkan asosiasi profesi; dikelola secara profesional 7 hari/minggu; komite berkelas dunia; terbukanya kolaborasi dengan seluruh sub-sektor untuk memperluas peluang; kolaborasi penta helix yang inklusif dan berkapasitas mendorong co-creation, bukan memaksakan agenda masing-masing; program berbasis permasalahan nyata, bottom-upTantangannya, berjejaring lintas bidang; komite harus mampu menemukan ribuan “ekraf hidden gems” di Bandung; regenerasi; ego; legalisasi yang lebih lambat dari perkembangan & penerapan teknologi baru. Solusinya, perlu simpul interdisiplin; filter kandidat dan regenerasi “rising star” setiap tahun; adanya lembaga/komite ekraf yang lebih cair untuk akses pendanaan; adanya kebebasan akses jaringan rekomendasi bagi para akademisi untuk pengembangan ekraf; berjejaring dengan institusi internasional; tim penta helix yang difasilitasi oleh kemampuan co-create service design profesional. 
  6. PendanaanHarapannya, adanya bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana untuk regenerasi dan inkubasi pendukung ekosistem ekraf; adanya informasi mengenai pendanaan yang dapat diakses dengan mudah; penyaluran pendanaan yang lebih terarah; kerja sama dengan BUMN/swasta terkait peluang pendanaan dan peluang kerja sama yang transparan. Tantangannya, informasi terkait akses penggunaan APBD dan sumber pendanaan lain untuk ekraf. Solusinya, pemanfaatan aset negara (BUMN, pemda, swasta) yang idle, yang dapat dioptimalkan sebagai sarana pendukung ekraf; adanya lembaga yang mengelola dana khusus ekraf; mekanisme transparansi pengelolaan dana; pembentukan konsortium dana CSR khusus untuk ekraf; kolaborasi dengan KBRI dan berbagai institusi budaya asing, yang dapat menjadi sumber informasi terkait peluang pendanaan (grantfunding, dsb.) dari luar negeri.
  7. Sistem Informasi Ekonomi KreatifHarapannya, adanya sosialisasi yang lebih friendly sejak awal/ sekelum menetapkan rencana tahunan, dengan mengajak perwakilan pelaku ekraf, sehingga dapat diverifikasi di akhir tahun; adanya sosialisasi mengenai sistem informasi secara lebih menyeluruh, dengan interface yang lebih terfokus pada pengenalan platform Patrakomala dan manfaatnya; data dibuat lebih transparan dan accessible, baik bagi asosiasi maupun non asosiasi. Tantangannya, belum seluruh stakeholders mengetahui informasi ini; informasi dari pemda yang cenderung kaku/bersifat satu arah; website yang operasionalnya belum ramah pengguna. Solusinya, sosialisasi sekaligus user testing berhadiah bagi target users melalui undangan personal; website-nya harus keren; ada tips & tricks dari KOL/ content creator pelaku yang reliable, sesuai bidangnya. 
  8. Pengawasan dan PengendalianHarapannya, pemerataan fasilitasi/bantuan ke seluruh sub-sektor, dan adanya akses database yang mudah dan responsif. Tantangannya, kecenderungan penyaluran fasilitasi/bantuan karena adanya kedekatan; kurangnya transparansi performa ekraf di Kota Bandung. Solusinya, pengawasan oleh tim gabungan lintas sub-sektor; adanya portal informasi yang memuat dinamika ekraf di Bandung dan tersedianya database yang terukur.  

Tentu saja masukan yang diperoleh dari 2x workshop lebih dari yang tertulis di sini, tapi semoga dapat memberikan gambaran mengenai tanggapan para pelaku terhadap adanya perda ekraf. Awareness awal di kalangan masyarakat pelaku terhadap adanya perda ini diperlukan, bahkan harus terus menerus disosialisasikan, agar Perda Ekraf tidak hanya disahkan, tapi menjadi alat yang ‘hidup’ dan benar-benar dapat dimanfaatkan oleh para pelaku ekraf, terutama di Kota Bandung.

Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana? (1)

Sejak disusunnya Naskah Akademik (NA) sebagai landasan drafting Ranperda Ekraf, berulang kali berbagai skenario diujikan pada pasal-pasal yang dirancang, satu demi satu, untuk mengantisipasi implikasinya bagi seluruh pemangku kepentingan yang menjadi obyek utama perda tersebut. Setelah terdapat draft versi final pun, sesi “pengujian” terakhir diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Helarfest 2020, yaitu pre-event DesignAction.bdg (DA.bdg) dan saat berlangsungnya DA.bdg, dengan tema CureYourCity. 

Saat itu, mumpung ranperda ini sedang dalam masa menunggu proses sinkronisasi dengan pemprov, BCCF membuat upaya sosialisasinya. Pertama, tentu saja agar para pelaku – dan siapa pun yang akan terkena konsekuensi penerapan pasal-pasal dalam perda tersebut – mengetahui adanya peraturan daerah bagi kepentingan mereka. Kedua, agar para pelaku mengetahui hal-hal apa saja yang akan diatur dalam perda ini, serta cara menyikapinya. Sehingga (pre)event DA.bdg pun menampung harapan, potensi masalah, dan juga solusi yang ditawarkan. 

Nah, sebelum membahas risalah hasil workshop, sebaiknya kita runut dulu beberapa pointers dalam ranperda tersebut.  

Pertama, judul rancangan perda ini mengandung kata “Penataan” (“Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif”), dengan pengertian bahwa sumber daya dan potensi ekraf di Kota Bandung sudah cukup melimpah, namun masih memerlukan penataan agar secara kolektif dapat dikelola secara berkelanjutan, dengan dampak yang terukur.

Kedua, terdapat 8 hal utama yang diatur dalam Perda Ekraf ini, yaitu: 

  1. Pelaku Ekonomi Kreatif. Perda ini mengatur pelaku kreasi (SDM kreatif) dan pengelola kekayaan intelektual dari karya kreatif. Tercantum juga hak pelaku untuk, antara lain, memperoleh kesempatan yang sama, dan mendapatkan perlindungan hukum. Pengelola wajib memberikan laporan berkala, melakukan bantuan pembinaan, dan mengalokasikan dana CSR untuk kegiatan ekraf. Juga, disebutkan bahwa wali kota berperan menjamin hak & kewajiban, serta memberikan fasilitas sesuai Peraturan Perundang-undangan (PUU). 
  2. Penataan Ekonomi Kreatif. Terbagi menjadi Perencanaan (1, 5, dan 10 tahun) dan pelibatan Komite Ekraf, serta Pelaksanaan di mana termasuk di dalamnya penataan wilayah dengan tema tertentu dan pembentukan kawasan “Creative Belt”.    
  3. Pengembangan Ekonomi Kreatif. Pengembangan 17 sub-sektor ekraf dan dapat ditambahkan sesuai PUU, serta pengembangan ekraf dari aspek ekosistemnya (penelitian, pendanaan, infrastruktur, dsb.). 
  4. Pusat Kreasi dan Kota Kreatif. Mengatur tentang keberadaan dan manfaat pusat kreasi di berbagai tingkat kewilayahan, pemenuhan indeks kota kreatif, serta dukungan pada para pelaku di setiap sub-sektor. 
  5. Komite Penataan & Pengembangan Ekonomi Kreatif. Mengatur komite yang akan terdiri dari Penta Helix stakeholders, menetapkan fungsi komite (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan evaluasi), dsb.  
  6. Pendanaan. Pendanaan sektor ekraf dapat berasal dari APBD Kota maupun sumber lain yang sah, dan Penganggarannya pun termasuk dalam APBD, namun dapat juga terjadi perluasan sumber pendanaan.  
  7. Sistem Informasi Ekonomi Kreatif. Mengatur adanya sistem informasi yang terintegrasi, keharusan pelaku ekraf untuk menyampaikan informasi, serta pemberian insentif bagi pelaku yang aktif berpartisipasi. 
  8. Pengawasan dan Pengendalian. Mengatur hal-hal seputar pengawasan pelaksanaan program, perlindungan dari tindakan diskriminasi, penyalahgunaan dokumen, dll. 

*bersambung ke bagian berikutnya

Dari Aktivisme ke Kebijakan

Mana pernah menyangka, dulu ketika beramai-ramai sibuk mengintervensi ruang-ruang kota, bahwa suatu hari kegiatan itu akan menjadi berbagai konsep yang harus dapat dijelaskan secara sistematis, agar dapat direplikasi atau dijadikan acuan untuk tujuan serupa. Yang dulu dilakukan sebagai eskperimen secara berulang dan diadaptasi sesuai konteks, kini diformalisasi dalam beragam istilah yang kerap dirujuk di berbagai forum. Dulu, purwarupa ruang publik dan sistem Kota Bandung kita reka ulang, murni dengan maksud memberi pengalaman berbeda bagi warga dan memperlihatkan ke para pembuat kebijakan, bahwa kota ini dapat menjadi lebih produktif dan menyenangkan buat semua, hanya dengan memberi sedikit sentuhan yang tepat. Tidak perlu berbiaya besar, tidak perlu berbirokrasi rumit, tidak perlu infrastruktur yang masif. Cukup “tusuk jarum kota”, atau urban acupuncture.

Itu awalnya dulu. Semacam aktivisme, berskala kota.

Berangsur, pergerakan di kota-kota lain, dan dalam skala yang lebih besar, pun mulai tersambung, dan berpengaruh. Konotasi “aktivisme” skala kota sebagai daya ungkit kegiatan ekonomi berbasis kreativitas, daya cipta dan kekayaan budaya pun makin terkukuhkan. Salah satu puncaknya adalah keberhasilan Bandung bergabung sebagai Kota Desain dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN) pada tahun 2015, yang merupakan pengakuan dari sebuah lembaga tertinggi dunia terhadap “kreativitas” dari perspektif sebuah kota padat penduduk yang terus berkembang di kawasan Asia Tenggara, yang berbeda dari kota-kota yang telah terlebih dahulu bergabung dalam UCCN. Yang tadinya bergerak dan bertumbuh secara organik, alami sebagai upaya untuk berlanjut hidup dalam ragam profesi “kreatif”, kini menjadi model-model yang, pada akhirnya, perlu dituangkan sebagai regulasi yang mampu menjaga sinergi seluruh pihak yang berkepentingan.    

Istilah seputar industri kreatif, ekonomi kreatif, kota kreatif, kampung kreatif, placemaking, dan sejenisnya, mulai menjadi akrab, baik bagi pelakunya maupun di kalangan birokrat. Khususnya di Bandung, semua ini tentu tidak asing lagi. Bahkan sebelum terjadinya formalisasi “ekonomi kreatif”, karakter aktivitas ekonomi di Bandung pun telah dan selalu mengandalkan semangat dan upaya tersebut. Kesadaran terhadap potensi SDM kreatif ini menjadi makin nyata ketika “ekonomi kreatif” dan “kota kreatif” sempat dibunyikan secara eksplisit dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang mendorong Perangkat Daerah (PD) untuk merencanakan dan mengalokasikan sumber daya & pendanaan untuk kegiatan dalam lingkup ekonomi kreatif. Ini adalah periode ketika kreativitas dan aktivitas ekonomi berbasis budaya menjadi strategi pembangunan kota. Namun di periode pemerintahan berikutnya, “ekonomi kreatif”, apalagi “kota kreatif”, sama sekali tidak tersebut dalam RPJMD. Tanpa arahan tersebut, PD tidak punya alasan untuk menyelenggarakan “ekonomi kreatif” dalam rencana pembangunan, meskipun dalam strukturnya terdapat Bidang Ekonomi Kreatif sebagai bagian dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 

Memang, kegiatan ekonomi kreatif akan selalu berjalan, dengan atau tanpa campur tangan pemerintah. Semangat dan upaya mencapai “kota kreatif” pun masih akan terus diperjuangkan oleh para pelakunya, dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Tapi kita juga sudah melihat bukti, bahwa justru dengan keterlibatan aktif pemerintah dan perangkatnya, perkembangan potensi ekraf dan dampaknya sebagai peningkat kesejahteraan dapat terakselerasi dengan lebih stabil dan terukur. Justru dengan merujuk pada kemajuan sektor ekraf di kota/negara lain, makin terbukti bahwa intervensi top-down berupa kebijakan jelas diperlukan. 

Hal ini menjadi salah satu alasan utama diperlukannya Peraturan Daerah terkait Ekonomi Kreatif (Perda Ekraf), sehingga siapa pun yang menjabat sebagai Wali Kota Bandung, akan berkewajiban menyelenggarakan dan mendukung sektor ekonomi kreatif. Agar yang sudah terkomunikasikan dan terbangun selama ini, terutama antara pemerintah dan stakeholders lain, dapat dilanjutkkan dan dikembangkan dengan konsisten.

Pembahasan di Bagian Hukum Pemkot Bandung

Dengan alasan inilah, terbentuk tim penyusun Naskah Akademik (NA) untuk Rancangan Perda (Ranperda) Ekraf tahun 2018 lalu, yang terdiri dari ahli dan pelaku ekraf, ahli bidang hukum, dan ahli bidang administrasi pemerintahan. Seluruh referensi dan bukti potensi ekraf Bandung dikumpulkan dan disusun sebagai argumentasi diperlukannya perda ekraf. Bekerja sama dengan Bappeda (kini Bappelitbang), juga dengan dukungan Bidang Ekraf Disbudpar, Ranperda Ekraf melalui proses sesuai prosedur yang berlaku dalam perjalanannya menuju pengesahan. FGD dengan seluruh stakeholders termasuk lintas PD, perombakan, penajaman, asistensi, lalu pending selama sekian waktu, sebelum berlanjut lagi di awal 2020. Masuk ke pembahasan di DPRD, yang mencermati per pasal: sinkronisasinya terhadap (ran)perda lain dan peraturan dengan hirarki yang lebih tinggi, implikasinya terhadap obyek/sasaran perda, konsekuensinya terhadap seluruh pelaku dan stakeholders, dan seterusnya.

Proses ini juga menguji kekhasan Perda Ekraf Bandung ini, yang hendaknya memiliki karakteristik tersendiri (sehingga dapat menjawab pertanyaan, “Kenapa Bandung harus punya perda sendiri, sementara sudah ada Perda Ekraf Jabar dan UU Ekraf?”), sekaligus juga menyesuaikan dengan nomenklatur ekonomi kreatif yang sangat dinamis, baik dari segi struktur pemerintahan hingga implementasinya di lapangan.  

Setelah perjalanan panjangnya, akhirnya Ranperda Ekraf Kota Bandung masuk dalam agenda Sidang Paripurna DPRD Kota Bandung untuk disahkan menjadi Perda Ekraf Kota Bandung pada tanggal 28 Desember 2020

Disahkannya Perda Ekraf ini menjadi salah satu milestone bagi ekraf Kota Bandung, sekaligus sebagai penanda tahun ke-5 keanggotaan Bandung sebagai Kota Kreatif UNESCO. Sebuah pencapaian yang diinisiasi dari komunitas secara bottom-up, melalui komunikasi intensif dengan pemangku kebijakan, hingga dapat diajukan menjadi peraturan daerah, demi menjaga sinergi untuk perkembangan ekonomi kreatif dan para pelakunya. Terima kasih atas semua pihak yang terlibat, bekerja keras dalam menyumbangkan keahlian, pengetahuan dan pemikirannya. Semoga dampak dari Perda Ekraf ini dapat segera dirasakan nyata manfaatnya bagi seluruh warga masyarakat.      

*Perda Ekraf ini masih akan diturunkan menjadi beberapa perwal yang akan memuat hal-hal teknis sesuai pasal-pasal dalam perda, misalkan tentang Komite Ekraf, Simpul Kreasi, pendanaan, dll. Mohon dukungannya agar semua bisa lancar dan segera berfungsi.

NEXT: Bagaimana bila Perda Ekraf ini nanti diterapkan? Bagaimana implikasinya ke para pelaku ekraf di Kota Bandung? Bagaimana cara memanfaatkannya? Sebelum disahkannya perda ini, BCCF menyelenggarakan dua workshop dengan para pelaku ekraf untuk mensimulasikan implementasi perda tersebut. Hasilnya? Mari kita bahas di tulisan berikutnya. 

Kota Kreatif, Untuk Apa? [3]

Bandung UCCN.004.jpgIni adalah tulisan bagian ketiga, dan terakhir, melanjutkan dua tulisan sebelumnya: KOTA KREATIF, UNTUK APA? tentang pemberian predikat “Kota Kreatif”, penentuan sub-sektor unggulan dan indikatornya, dan KOTA KREATIF, UNTUK APA? [2] tentang kasus penentuan sub-sektor unggulan Bandung yang baru saja berlalu. Bagian terakhir ini membahas hasil diagnosa untuk Bandung, yang baru disepakati oleh yang berwenang dengan penanda-tanganan Berita Acara Hasil Uji Petik pada Hari Rabu, 23 Mei 2018.

Berita Acara versi pertama memuat keputusan bahwa sub-sektor Fashion merupakan unggulan Kota Bandung, dengan juga menyebutkan sub-sektor Musik, Film, dan Kuliner, tanpa sama sekali menyebutkan sub-sektor Desain. Berita Acara versi kedua (terlampir), adalah yang telah direvisi, dengan juga menyebutkan sub-sektor Desain. Berita Acara versi kedua ini pun masih direvisi lagi, karena mengandung kesalahan dalam pencantuman detail data/ angka-angka, sehingga yang ditanda-tangani mungkin adalah versi ketiga atau kesekian.

Berita Acara Kota Bandung 22052018 – edit

Secara umum, penentuan sub-sektor Fashion sebagai unggulan Kota Bandung merupakan hal yang mudah terprediksi, dengan adanya data yang selama ini telah dikompilasi oleh berbagai lembaga dan institusi (Bagian Ekonomi Pemkot Bandung, Bandung Creative City Forum, Komite Ekonomi Kreatif Kota Bandung, dll.). Bandung yang telah lama dikenal sebagai pusat produsen garmen dan apparel, tempat bertumbuhnya factory outlet, dan terkenal sebagai trend-setter fashion, tentu mudah diindikasi sebagai Kota Fashion. Dalam dossier Bandung sebagai Kota Desain dalam UNESCO Creative Cities Network, sub-sektor Fashion termasuk dalam kategori Desain, seperti halnya Arsitektur, Arsitektur Lansekap, Kriya Baru, dll., selain Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual. Dalam kelengkapan dossier Bandung, disajikan pula data kontribusi industri fashion, penyerapan tenaga kerja, hingga seluruh stakeholders yang terlibat dalam ekosistem industri fashion.

Namun dalam Uji Petik/ Tinjauan Lapangan ini hanya satu pelaku yang terlibat (yang terpilih berdasarkan preferensi pribadi yang berwenang, bukan berdasarkan data/ konsensus para pelaku bidang fashion), sehingga mungkin belum dapat mewakili seluruh dimensi industri fashion di Bandung. Adanya Fashion dalam Program Studi Kriya di FSRD ITB yang telah membentuk kerja sama multitahun bersama KOFICE melalui Young Creator Indonesia Fashion Institute (YCIFI), dan juga telah menghasilkan banyak temuan inovatif dalam bidang fashion dan tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, berbagai brand lokal untuk fashion & apparel, fenomena “distro” yang kental dengan eksistensi sub-kultur di Bandung, pabrik-pabrik manufaktur garmen yang secara signifikan memproduksi sekian brand multinasional namun belum menjamin kelayakan kondisi kesejahteraan buruhnya dan bahkan menjadi sumber polusi utama bagi tanah dan sungai-sungai di Jawa Barat, hingga berbagai upaya masyarakat grassroots dalam berwirausaha dalam bidang fashion; merupakan hal-hal yang seharusnya tidak diabaikan dalam kegiatan Uji Petik/ Tinjauan Lapangan ini. Karena industri fashion bukan hanya berarti gebyar lenggokan di catwalk, tapi juga seluruh ekosistem dan hulu-hilir industri dan para stakeholders-nya. Mudah-mudahan, apa pun implikasi dari Berita Acara ini nanti, seluruh dimensi industri fashion di Bandung benar-benar dapat terlibat dan menghasilkan dampak nyata bagi seluas mungkin masyarakat.

==========

catatan samping:

  1. Hasil dalam Berita Acara PMK3I menjadi penentuan prioritas bagi penyaluran bantuan fasilitas/ dukungan dari pemerintah pusat kepada kota/kabupaten. Sehingga seharusnya kegiatan PMK3I tidak diproses secara terburu-buru, dan tidak bisa diputuskan hanya dalam selang waktu 2-3 hari saja, sementara implikasinya berlaku selama 2 (dua) tahun ke depan bagi kota/kabupaten terkait.
  2. Kabupaten Bandung termasuk yang memperoleh diagnosa dadakan. Penentuannya sebagai Kota Game & Apps kemungkinan besar berdasarkan adanya sebuah universitas berorientasi teknologi yang berlokasi di wilayah ini, sementara belum terdeteksi adanya komunitas/ pelaku dalam bidang Game & Apps yang telah berkiprah atau berkepentingan di kabupaten tersebut.
  3. Penentuan Kabupaten Bandung juga sebagai Kota Seni Rupa adalah sebagai justifikasi disalurkannya fasilitas kepada sebuah galeri seni rupa ternama, yang secara wilayah administratif juga terletak di Kabupaten Bandung. Bukan berdasakan potensi seni rupa di keseluruhan wilayah kabupaten.
  4. Pihak stakeholders yang menanda-tangani Berita Acara tidak semuanya diberi tahu terlebih dahulu mengenai konteks dan dokumen yang ditanda-tangani; sehingga ada yang terpaksa menanda-tangani Berita Acara karena sudah hadir, meskipun namanya salah (bukan nama sebenarnya) dalam dokumen negara tersebut.

Kota Kreatif, Untuk Apa? [2]

DCIM100MEDIADJI_0130.JPG

Melanjutkan tulisan sebelumnya, Kota Kreatif, Untuk Apa? kini kita fokus pada proses yang terjadi di Bandung.

Saat program Penilaian Mandiri Kota/Kabupaten Kreatif Indonesia (PMK3I) dimulai, Bandung sudah menjadi anggota UCCN sebagai Kota Desain. Namun untuk dapat memperoleh fasilitasi/bantuan dari pemerintah pusat, seperti halnya kota/kabupaten lain, Bandung harus mengikuti mekanisme penyaluran bantuan yang berlaku melalui Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (D3 Bekraf). Tim Bandung yang terdiri dari personil pemerintah kota, komunitas, dan Komite Ekonomi Kreatif berpartisipasi di workshop pengisian borang PMK3I (sebelum tersedia format online form di situs kotakreatif.id). Meskipun sudah menjadi Kota Desain UCCN, Bandung diharuskan memilih 1 (satu) dari 16 (enam belas) sub-sektor industri kreatif menurut nomenklatur Bekraf; jadi harus memilih antara Desain Produk, Desain Komunikasi Visual, atau Desain Interior. Setelah melewati sekian diskusi dan kompromi, dipilihlah Desain Produk untuk melengkapi borang PMK3I secara manual di tahun 2016.

Selang beberapa bulan kemudian, sekitar September 2017, tiba-tiba Pemkot Bandung mendapatkan surat pemberitahuan bahwa proses Uji Petik akan dilakukan oleh Tim Asesor Bekraf berdasarkan permintaan dari salah satu pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan. Catatan:

  1. Menurut prosedur, permintaan Uji Petik dilakukan ketika borang (online) telah terisi. Siapa yang mengisi borang tersebut atas nama Bandung di sub-sektor Seni Pertunjukan?
  2. Pemkot Bandung diminta oleh Tim Asesor Bekraf untuk menghadirkan pula, dalam pertemuan Uji Petik tersebut, para pelaku dari sub-sektor Kriya dan Desain Produk, selain Seni Pertunjukan; juga pelaku dari luar Kota Bandung, seperti dari Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan sekitarnya. Permintaan ini disampaikan sehari sebelum pertemuan, namun tetap disanggupi oleh Pemkot Bandung. Kenapa turut mengundang pelaku dari luar Kota Bandung? Bukankah identifikasi sub-sektor berlaku untuk Kota Bandung saja?

Di awal pertemuan, dipaparkan mengenai PMK3I. Ternyata permintaan Uji Petik datang dari salah satu dari tiga pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya yang akan memperoleh bantuan dari Bekraf saat itu. Tinjauan lapangan kemudian dilakukan ke ketiga tempat pelaku yang akan memperoleh bantuan Bekraf, lalu tim kembali berkumpul pada sore harinya, untuk membahas Berita Acara sebagai hasil kegiatan Uji Petik. Berita Acara ini memuat kesepakatan sub-sektor unggulan kota/kabupaten yang akan ditanda-tangani (disetujui) oleh kepala daerah. Catatan:

  1. Permintaan Uji Petik oleh pelaku tidak meminta rekomendasi dari Pemkot Bandung. Pemkot Bandung tidak terinformasikan mengenai hal ini sebelumnya.
  2. Adanya pernyataan di sesi awal, “Bandung akan kita tetapkan sebagai Kota Seni Pertunjukan. Sebab, akan aneh bila Bandung ditetapkan sebagai Kota Desain atau yang lain, sedangkan bantuan ini akan disalurkan ke sub-sektor Seni Pertunjukan. Kalau beda, nanti akan ‘jadi temuan’, kan?” << Jadi, proses “Uji Petik” ini hanya akan menjadi pembenaran penyaluran bantuan ke ketiga pelaku tersebut, dan bukan menjadi bagian dari prosedur yang semestinya.
  3. Adanya tawaran, “Di tingkat internasional, Bandung sudah menjadi Kota Desain UCCN. Bagaimana kalau di tingkat nasional, Bandung menjadi Kota Seni Pertunjukan?” << Hal ini menunjukkan perbedaan pemahaman mengenai karakter/ unggulan sub-sektor industri kreatif sebuah kota/kabupaten, yang seharusnya ditetapkan berdasarkan data nyata terkait kontribusi, daya ungkit, dsb.
  4. Berita Acara yang diterima oleh Bandung masih dalam bentuk draft kasar, di mana masih terdapat kesalahan nama kota, nomor surat, dll., serta memuat pernyataan-pernyataan yang seharusnya masih dapat didiskusikan bersama. Berita Acara juga masih menyisakan beberapa bagian kosong, untuk diisi oleh pemkot.

Berita Acara dijadwalkan untuk ditanda-tangani oleh kepala daerah dalam waktu kurang dari 1 (satu) minggu setelah draft kasar tersebut disampaikan, yaitu sekitar akhir September 2017. Bandung tidak dapat memenuhi undangan penanda-tanganan Berita Acara tersebut di Jakarta, karena — selain undangan yang mendadak — pihak Pemkot Bandung juga belum menerima draft final dari Berita Acara tersebut.

==========

Waktu berlalu; bantuan Bekraf telah lama disalurkan kepada ketiga pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya, dan tidak lagi terdengar update mengenai hasil PMK3I untuk Bandung. Hingga minggu ini, pertengahan Mei 2018. Tiba-tiba ada pemberitahuan ke Pemkot Bandung bahwa akan dilakukan (lagi) Uji Petik untuk Bandung beserta kota/kabupaten di sekitarnya (Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi), ditutup dengan penanda-tanganan Berita Acara yang direncanakan untuk berlangsung di Bandung pada Hari Rabu, 23 Mei 2018. Bagaimana dengan Berita Acara tahun 2017 dulu? Kenapa tiba-tiba dilakukan Uji Petik tanpa pengisian borang terlebih dahulu? Bagaimana kesiapan daerah-daerah lain tersebut?

Untuk persiapannya, Pemkot Bandung meminta agar draft kasar Berita Acara 2017 difinalisasi dan dikirimkan kembali ke Pemkot Bandung untuk dicermati isinya. Jumat, 18 Mei 2018, Pemkot dan Komite Ekraf.bdg merevisi Berita Acara “versi final” tersebut, namun muncul juga pertanyaan-pertanyaan.

  • Apakah penanda-tanganan Berita Acara 2017 ini ‘dihitung mundur’, yang berarti harus ditanda-tangani oleh Wali Kota Bandung saat itu (bukan oleh pejabat pengganti)?
  • Atau, apakah Berita Acara ini dianggap dibuat tahun 2018, tapi berarti Uji Petik tidak perlu lagi dilakukan (untuk sub-sektor Seni Pertunjukan dan Desain Produk), karena sudah terjadi, dan bantuan Bekraf sudah disalurkan?
  • Atau, apakah akan dibuat Berita Acara yang sama sekali baru, versi Mei 2018, dengan penentuan sub-sektor yang sama sekali berbeda — tapi bagaimana justifikasi bantuan Bekraf yang sudah disalurkan tahun lalu ke para pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya?
  • Apakah berarti penentuan sub-sektor tidak lagi berpengaruh pada arah/ prioritas mengalirnya bantuan dari pemerintah pusat?

Terlampir, “draft final” dari Tim Asesor PMK3I untuk Bandung yang disampaikan pada Hari Kamis 17 Mei 2018, dan versi revisi yang diselesaikan oleh Bidang Ekraf Disbudpar Kota Bandung dan Komite Ekraf.bdg pada Hari Jumat 18 Mei 2018. Ternyata kedua dokumen ini sama sekali tidak terpakai. (padahal sudah berapa dana negara yang dikeluarkan untuk proses tersebut tahun lalu?)

Berita Acara Uji Petik 2017 – Kota Bandung

Berita Acara Uji Petik 2017 Kota Bandung3 revEkrafBdg

==========

Senin pagi, 22 Mei 2018, pertemuan berlangsung di Kantor Disbudpar Kota Bandung; dihadiri oleh personel pemkot, Tim Asesor PMK3I, para pelaku dari sub-sektor Musik, Kuliner, Fashion, Film, Desain — yang dihadirkan bukan berdasarkan pengisian borang sebelumnya, atau data, melainkan berdasarkan preferensi pribadi dari yang berwenang. Catatan:

  1. Disampaikan bahwa “Uji Petik kali ini memang berbeda”. Mekanisme/ prosedur yang ditetapkan sendiri oleh Bekraf, yang seharusnya dipenuhi oleh kota/kabupaten, kali ini tidak berlaku, tanpa alasan yang terlalu jelas. << Kenapa harus dilakukan penentuan sub-sektor sekarang? Kenapa harus berbeda?
  2. Terdapat pernyataan dari Tim Asesor PMK3I bahwa, “Bandung sebagai Kota Desain ditentukan oleh UNESCO, padahal Bandung jelas kaya dengan potensi sub-sektor lain”. << Tanggapan: UNESCO tidak menentukan sub-sektor untuk Bandung. Pilihan “Desain” diperoleh dari konsensus stakeholders Kota Bandung yang mengajukan sub-sektor tersebut setelah melalui beberapa FGD dan sesi diskusi di tahun 2012, yang waktu itu dihadapkan pada pilihan Gastronomi, Musik, dan Desain. Pada akhirnya diraih kesepakatan Desain, mengingat sub-sektor ini adalah yang paling siap dalam segi infrastruktur, ekosistem, pengembangan SDM, dan seterusnya (argumen ada pada dossier Bandung untuk UCCN).
  3. Terdapat pernyataan dari Tim Asesor PMK3I bahwa, “Penentuan sub-sektor unggulan kota/kabupaten ini serius, bukan mainan anak kecil”. << Tanggapan: Setuju; oleh karena itu, penentuan dengan standar internasional (seperti yang dilakukan oleh UCCN) tentunya juga telah dipersiapkan secara matang, tidak main-main, karena harus dapat berlaku di seluruh belahan dunia.
  4. Terdapat pernyataan dari Pemkot Bdg bahwa “Bidang Ekraf baru bergabung di Disbudpar beberapa bulan yang lalu. Masih sangat bayi”. Kesannya, harus ‘tunduk’ pada bidang-bidang lain dalam kedinasan. << Tanggapan: Benar, faktanya memang begitu. Sebelumnya, bidang ekraf bergabung di Bagian Ekonomi Setda. Komite Ekraf Bandung dibentuk berdasarkan SK Perwal 2014, namun personilnya telah menjadi Tenaga Ahli untuk Pengembangan Ekraf di 10 Provinsi (Kementerian Perdagangan, 2010), menjadi Koordinator Pokja Ekraf Rumah Transisi (2014) yang bertugas menyerahkan lembar kerja bidang ekraf pada Pemerintahan RI 2014-2019, dan juga telah menjadi rekanan UNESCO dalam mengembangkan ekonomi kreatif di kota-kota dunia. Komite Ekraf Bandung pun terdiri dari para pelaku ekraf yang berpengalaman, dan telah banyak berkontribusi dalam kegiatan ekraf baik dalam skala nasional (sertifikasi profesi, narsum penentuan kebijakan, dll.) maupun internasional (delegasi Indonesia di workshop & konferensi dunia, penyelenggara event ekraf di luar negeri, dsb.). Benar, secara struktural Bidang Ekraf di Disbudpar memang masih seusia bayi, tapi di baliknya ada kapasitas, kompetensi, dan pengalaman sebagai pelaku ekraf yang jauh melebihi sumber daya yang ada di Disbudpar Kota Bandung.
  5. Setiap perwakilan sub-sektor yang hadir diminta berpendapat, secara bergiliran. << Pengamatan: tidak adanya Term of Reference untuk pertemuan ini berimbas pada konten yang disampaikan, yang sebagian besar pada akhirnya lebih merupakan “curhat” mengenai kondisi sub-sektor masing-masing (kurangnya dukungan, tidak ada peran pemerintah, tidak ada ruang-ruang khusus untuk berekspresi, kurangnya sumber daya yang handal, dsb.). Padahal, sesi Tinjauan Lapangan Uji Petik ini menjadi peluang yang baik untuk menyampaikan upaya perbaikan berbagai kondisi tersebut secara swadaya dalam konteks perkembangan ekraf, dan hal-hal yang diperlukan dari pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan untuk dapat mengakselerasi upaya-upaya tersebut.
  6. Kegiatan hari itu termasuk Tinjauan Lapangan untuk sub-sektor Musik, Fashion, Film, dan Kuliner, namun ternyata belum ada tempat-tempat sasaran; baru hendak dicek kemungkinan peluang kunjungan saat itu juga. “Musik tidak bisa dikunjungi seperti proses produksi manufaktur”; “Di Ujung Berung mungkin bisa?”; “Tidak ada yang produksi makanan di minggu pertama puasa begini”; “Lihat ke outlet-nya saja”; “Sedang tidak ada kegiatan”; “Atau ke BCH saja yuk, baru di-setting”, dst. << Tanggapan: lho, katanya tadi, penentuan sub-sektor ini “bukan mainan anak kecil” dan pendekatannya “tidak bisa main-main”? Kalau serba dadakan, tanpa data/ persiapan, dan pakai “sistem hitung kancing” seperti ini, apakah hasilnya akan valid dan sesuai dengan yang diharapkan? Kan tindak-lanjutnya nanti berupa penyaluran fasilitas/ bantuan pemerintah pusat terhadap sub-sektor sasaran/ unggulan; apakah akan efektif, berdasarkan justifikasi hasil Uji Petik yang dapat dipertanggung-jawabkan?
  7. Disampaikan oleh pemkot beberapa upaya mengembangkan ekonomi kreatif di Kota Bandung, seperti melalui aktivasi warga kampung/ tingkat grassroots, pengembangan desain produk dan kemasan produk lokal, “upaya melibatkan ketertarikan generasi muda melalui berbagai kompetisi bidang ekraf”, dll. << Tanggapan: seluruh upaya pengembangan ekraf yang diungkapkan oleh pihak berwenang ini sebenarnya telah diajukan dalam Strategi Pengembangan Ekraf, sesuai dengan Peta Jalan Ekraf yang dirancang hingga tahun 2020 oleh Komite Ekraf.bdg bersama Bidang Ekraf. Berbagai program dan kegiatan pun telah dirunut dalam strategi tersebut, dalam lintas sub-sektor industri kreatif (Desain dan Kuliner, Desain dan Musik, Desain dan Seni Pertunjukan, dsb.), bahkan disinergikan juga dengan bidang-bidang lain yang ada dalam kedinasan (seni tradisi, promosi, dsb.). Kerja sama dengan perguruan tinggi pun telah dilakukan; FSRD ITB menyelenggarakan pameran hasil purwarupa/ prototype-nya di Pendopo dalam 3 tahun belakangan ini (kecuali semester ini yang digelar di kampus): setiap kalinya ditampilkan sekitar 50 solusi desain bagi permasalahan kewilayahan, bekerja sama langsung dengan warga dan organisasi lokal seperti Karang Taruna, panti asuhan, PAUD, dll. Pemerintah sebenarnya tinggal memetik hasil/ solusi yang sesuai (dengan mata anggaran, rencana pembangunan, dsb.), dan merealisasikannya secara top-down, agar dampaknya dapat meluas.

 

Siang hari ini, Selasa 22 Mei 2018, Berita Acara (BA) PMK3I sebagai hasil Uji Petik dan Tinjauan Lapangan akan disusun, untuk ditanda-tangani besok, Rabu 23 Mei 2018. Akan sejauh apa BA PMK3I ini berpengaruh pada pengembangan ekonomi kreatif Kota Bandung? Atau apakah ini hanya akan menjadi formalitas saja, karena tidak ada efeknya bagi aliran fasilitasi/ bantuan dari pemerintah pusat untuk “sub-sektor unggulan” kota/kabupaten? Yang artinya, kecil kemungkinannya bahwa APBN disalurkan tepat sasaran. Atau mungkin, pada akhirnya, tidak akan berdampak apa-apa bagi berbagai upaya bottom-up yang selama ini sudah berjalan secara organik dan swadaya oleh komunitas dan pelaku sektor ekonomi kreatif di Kota Bandung.

Baiklah, kita tunggu saja hasil Berita Acara ini, sub-sektor industri kreatif apa yang ditentukan sebagai “unggulan” Bandung kali ini, sebagai hasil dari proses yang berlangsung seperti ini.

 

*foto landmark .bdg oleh @dudisugandi 2017