Tag Archives: event

Peran ICCN dalam Ekraf Global

[Ini catatan yang unggahannya sedikit tertunda, dari Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) di Rumah Sanur, disarikan dari sesi tanggal 26 November 2020, pk.14.30-15.00 WITA]

Dari rangkaian acara Indonesia Creative Cities Festival (ICCF), terdapat satu sesi diskusi dengan narasumber internasional, untuk membahas isu seputar ekonomi kreatif dalam skala global, terutama dalam kaitannya dengan organisasi simpul komunitas seperti ICCN; dan juga membahas peran ICCN ke depannya, terutama dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Narasumber pertama adalah Nicolas Buchoud, yang juga hadir dan berbicara di ICCF 2019 di Ternate sebagai penasehat sekaligus anggota kehormatan ICCN. Nicolas sempat berkunjung ke Rumah Sanur dan berbincang dengan alm. Kang Ayip pada akhir 2018 lalu, seusai acara World Conference on Creative Economy (WCCE) yang pertama, bertempat di Nusa Dua. Kini Nicolas juga menjabat sebagai co-chair dari Gugus Tugas Infrastruktur dari T20 (Think Tank 20/ kelompok think tank bagi G20), penasehat U20 (Urban 20/ kelompok wali kota dari negara-negara G20), dan fellow dari Global Solutions Network. Narasumber kedua, John Newbigin, adalah pendiri dan ketua Creative England (2011-2018), penasehat khusus bagi Menteri Budaya Inggris, duta industri kreatif bagi Wali Kota London, dan juga ketua Dewan Penasehat Internasional untuk Creative Industries Policy & Evidence Centre (PEC).

Berikut ini rangkuman dari sesi diskusi tersebut.

  1. Saat ICCF 2019 di Ternate, Nicolas mengajukan 4 hal untuk meningkatkan kepemimpinan global ICCN melalui beberapa inisiatif. Sejauh ini, yang telah tercapai adalah: (1) Menjadi representatif Indonesia di World Urban Forum (WUF) 10 di Abu Dhabi, Februari 2020, dan (2) Berkontribusi pada U20 dalam menyusun rekomendasi kebijakan, bertajuk “Creative Economy and The Future of Work”. Yang tidak/belum terlaksana adalah (1) Partisipasi ICCN dalam Expo 2020, terutama untuk WCCE di Dubai, karena tertunda hingga Dessember 2021; dan (2) bergabung dengan inisatif think tank UNOSSC/ United Nations Office for South-South Cooperation.  
  2. Ketika pandemi, kondisi kesehatan dan ekonomi memburuk secara global. Dalam kondisi ini, bagaimana aktivitas Ekonomi Kreatif dapat terus didorong? Dalam kondisi ini pula terlihat bahwa modal Sumber Daya Manusia, yang juga menjadi modal utama sektor Ekonomi Kreatif, adalah sumber daya kunci, berbarengan dengan modal finansial.
  3. Kota adalah episentrum bagi segala bentuk krisis, sehingga peran kota menjadi sangat kuat. Baik kegagalan maupun kesuksesan sebuah kota dalam menghadapi krisis tercermin dalam ketangguhan atau resiliensi kota itu sendiri. Oleh karena itu, komunitas independen setingkat kota/kabupaten pun memegang peranan penting dalam menentukan arah serta capaian pembangunan. 
  4. 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN sangat berbeda dari “indikator kota kreatif” yang lain. Kalau indikator lain biasanya langsung mengangkat aspek dan dampak ekonomi, 10 Prinsip ICCN ini justru mendahulukan aspek-aspek welas asih, inklusivitas, solidaritas, dan hak asasi manusia. John telah mencoba menerapkan 10 Prinsip ICCN di berbagai komunitas di Amerika Latin, yang ternyata dapat dengan mudah menerima dan menerapkan prinsip-prinsip ini.   
  5. Pembahasan mengenai kehidupan pasca pandemi mengarah pada betapa modal sosial, seperti halnya berkomunitas, telah terbukti menjadi solusi untuk dapat bertahan, terutama pada skala lokal, di mana sektor budaya dan ekonomi kreatif memiliki irisan sangat besar dengan informal economy.
  6. Informal economy mendominasi unit usaha secara global; di India bahkan 80% unit usaha merupakan sektor informal. Sektor ini memiliki kelincahan dan ketangkasan dalam menyesuaikan bisnisnya, sehingga kerap menjadi penyelamat bagi aktivitas ekonomi lokal. 
  7. Berbagai sumber mata pencaharian yang masuk ke dalam kategori informal economy banyak beririsan dengan sektor creative economy, sehingga tantangannya pun serupa, yaitu perlu adanya alat ukur untuk dapat mengetahui perkembangannya secara konkrit. 
  8. Indonesia, tepatnya di Labuan Bajo, akan menjadi tuan rumah G20 Summit di tahun 2022, bukan 2023 seperti yang direncanakan sebelumnya. Ini akan menjadi the next historical responsibility bagi ICCN, yang harus mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan tersebut dalam 24 bulan. Tapi justru ini yang menjadi peluang pembuktian bahwa ekonomi kreatif merupakan pendekatan pembangunan berbasis manusia, dan tidak bergantung pada “kelas/kaum kreatif”. 
  9. Sustainable Development Goals (SDG) telah menjadi konsensus global, namun tidak ada satu pun dari 17 sasaran tersebut yang menyebutkan “budaya” (culture) secara eksplisit. Budaya, yang selalu bersifat partisipatif, seharusnya tertanam dalam seluruh sasaran SDG.
  10. Ekonomi kreatif umumnya dianggap sebagai sektor yang secara tipikal berada di wilayah perkotaan, melalui penambahan nilai pada suatu produk barang/jasa. Namun konektivitas desa-kota dan pengembangan ekonomi kreatif di pedesaan juga harus menjadi perhatian dan diangkat sebagai potensi yang menjadi kekuatan bangsa dengan sumber daya budaya yang tak terhingga. 
  11. Momentum International Year of Creative Economy (IYCE) for Sustainable Development 2021 dan G20 Summit 2022 di Indonesia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena tidak akan kembali lagi bahkan dalam satu abad mendatang; dalam momentum ini Indonesia berperan untuk menunjukkan bentuk pemulihan dengan fokus pada pengembangan kapasitas SDM.

Di akhir sesi, mereka diminta menyampaikan pertanyaan atau pesan bagi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif seputar hal-hal yang tengah dibahas, berikut ini: SDG kini bertitik berat pada pembentukan pemulihan yang terfokus pada kapasitas dan sumber daya manusia, sehingga pemerintah harus berinvestasi pada kebijakan yang mendorong keterlibatan komunitas, serta menghasilkan dampak yang seusai dengan konteks di mana kebijakan tersebut diterapkan.

Placemaker Week ASEAN, Kuala Lumpur, Malaysia, 7-8 November 2019

Placemaker Week ASEAN 2019 baru saja usai diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia; pertama kalinya di kawasan Asia setelah sebelumnya hanya berlangsung di Eropa Barat. PMWA2019 ini digelar di stadion Ching Woo yang dibangun tahun 1950an, yang beberapa fasilitasnya masih berfungsi dan terbuka utk publik. Apa itu “placemaking”? Kata-kata kunci yang banyak dilempar di forum ini, terkait istilah tersebut, antara lain: keberlanjutan, pemberdayaan komunitas dalam menciptakan perubahan, transformasi ruang (publik), hak terhadap (ruang) kota, inklusivitas, dan sejenisnya. Bisa dilihat dari kotretan #graphicnotes di sini 🙂 

placemakerASEAN tita

Senang hadir di sini, karena juga bisa sambil reuni sebentar dengan Mas Singgih, yang menekankan bahwa dalam konteks Asia, aspek warga desa (tidak hanya warga kota) berpengaruh besar terhadap pergerakan di skala wilayah kota/kabupaten. Intinya, meskipun placemaking bukanlah hal yang baru bagi kita di Asia, namun dalam platform ini kita bisa saling berbagi dan menunjukkan cara orang Asia membentuk dan mengubah ruang-ruangnya sendiri, dengan caranya sendiri; sekaligus dapat menjadi rujukan bagi warga belahan dunia lain yang masih berjuang untuk menentukan ruang hidupnya sesuai dengan kapasitas dan ekspresinya sendiri. Pointers dari acara ini antara lain:

  1. ThinkCity, yang awalnya dibentuk khusus untuk menangani peremajaan area bersejarah Penang sebagai Kota Pelabuhan abad ke-14, yang telah diakui UNESCO sebagai Kota Pusaka, dalam melaksanakan tugasnya berprinsip untuk membentuk ruang-ruang sosial berbasis budaya, untuk membuat orang nyaman berada di dalamnya, dengan mempelajari sosiologi ruang kota dan behavioural economics.  
  2. Karena keberhasilannya di Penang, ThinkCity pun melebarkan garapannya ke kota-kota lain seperti Kuala Lumpur, Johor Baru, dll., dengan memegang konsep transformasi kota yang berpihak pada manusia, serta mempromosikan keberagaman dan inklusivitas. Bagaimana peran placemaking dalam hal ini? Apa kontribusinya?  
  3. Setiap orang punya hak untuk membentuk ruangnya, sehingga kesetaraan sosial dapat tercapai.
  4. Placemaking harus bisa menciptakan a sense of space, juga rasa memiliki. Pendekatan bottom-up memungkinkan hal ini, untuk mewujudkan kemauan masyarakat yang sebenarnya; bukan kemauan masyarakat yang diasumsikan oleh pemerintah.    
  5. Placemaking bukan berarti membangun yang baru, tapi justru memanfaatkan yang telah dimiliki, dengan cara memberikan dimensi dan perspektif baru pada ruang tersebut. 
  6. Ruang sosial dapat dibentuk dalam tahapan: Branding >> Destinasi >> Liveability.
  7. Kesetaraan dalam kota dapat tercapai dengan mempertimbangkan aspek-aspek Place, Product, Program, People, Prosperity, Promotion.
  8. Intinya adalah empati, ketika berurusan dengan komunitas, keadilan, dan orisinalitas.  

Setelah sesi panel, saya bergabung dengan workshop yang difasilitasi oleh The City at Eye Level Asia, sebuah inisiatif yang dimulai di Belanda dan mulai menyebar ke seluruh dunia, dan baru kali ini dicoba untuk Asia. Format workshop-nya adalah world cafe, di mana para peserta dalam kelompok-kelompok secara bergiliran mampir berdiskusi dari satu meja ke meja berikutnya. Tiap meja memiliki tema yang berbeda; dalam hal ini berupa pertanyaan How, Who, When, Why, What, Where, untuk gagasan pembentukan jejaring The City at Eye Level di Asia. Hasil dari sesi ini adalah pengajuan diri dari kota-kota di Asia untuk menjadi tuan rumah, sekretariat, dan sebagainya. The City of Eye Level selama ini telah mengadakan pertemuan dan menerbitkan publikasi seputar partisipasi masyarakat dalam kotanya; diharapkan terdapat pula publikasi dengan tema tersebut dari wilayah Asia dari jejaring yang telah terbentuk ini.

Ada satu sesi lagi di mana saya berkesempatan menyampaikan contoh-contoh intervensi ruang publik yang telah dilakukan oleh BCCF, yang kemudian bergeser ke program-program yang bersifat pengembangan kapasitas SDM melalui urban games, workshop design thinking bagi pemerintah, sebagai modul sekolah, dsb. 

placemakerASEAN tita2

Selama di sana, saya juga sempat diwawancara oleh salah satu media terbesar Malaysia, The Star, yang hasilnya bisa dibaca di tautan ini:

https://www.thestar.com.my/metro/metro-news/2019/11/16/placemaking-speakers-share-their-experience-and-ideas

Dari acara-acara semacam ini, yang paling menyenangkan adalah kesempatan bertemu kembali dengan rekan-rekan ‘seperjuangan’ di wilayah Asia Tenggara. Setelah menunaikan seluruh sesi hari itu, saya kembali berdiskusi dengan tim ThinkCity terkait rencana kolaborasi berikutnya. Hubungan erat yang kami mulai sejak tahun 2014, ketika kami sebagai Kota-kota Bandung dan Penang beserta Cebu dan Chiang Mai bersepakat untuk bekerja sama dalam korteks Jejaring Kota Kreatif Asia Tenggara, hingga kini telah mengalami dinamika yang tak terduga. Di sinilah kami harus saling belajar melihat manfaat dan dampak dari kolaborasi yang selama ini terjadi. Nantikan rencana-rencana kami berikutnya, karena sepertinya bakal lebih seru, terutama yang juga terkait dengan Indonesia Creative Cities Network (ICCN).

Ada Apa di Ternate?

Ada apa di Ternate?

[34.000 DPL, antara Manado dan Jakarta, 8 September 2019]

PHOTO-2019-09-08-06-56-29

Catatan ini mulai ditulis dalam pesawat yang sedang terbang menuju Jakarta, dari Manado, dalam rangkaian perjalanan pulang menuju Bandung dari Ternate. Iya, seharusnya pagi tadi sudah tiba di Jakarta dengan pesawat yang terbang langsung dari Ternate, lalu langsung sambung jalan darat ke Bandung. Tapi pesawat pagi tadi batal berangkat, ada masalah teknis, lalu kami jadinya harus pindah maskapai. Anyway, yang penting akhirnya ada kepastian bisa berangkat pulang dengan aman. Agak-agak loncat dari satu pulau ke yang lain, tapi pasti pulang. 

Ada apa di Ternate? Ada hal-hal menakjubkan beberapa hari belakangan ini. Ada banyak hal yang menjadi pelajaran berharga, yang seharusnya bisa menjadi modal untuk memilih arah langkah selanjutnya. Dari mana ya memulai ceritanya. Oke, mungkin dari adanya sebuah organisasi bernama Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang tidak ada pembandingnya di Indonesia ini. 

Seperti namanya, ICCN ini adalah sebuah wadah di mana “kabupaten dan kota kreatif” bertemu untuk menjalin hubungan yang sinergis. Kabupaten/kota yang tergabung dalam ICCN ini masing-masing diwakili oleh komunitas yang telah menggerakkan aktivitas ekonomi kreatif di wilayahnya. Tak jarang, mereka juga sekaligus berperan dalam arah pembangunan wilayahnya, dengan mengandalkan daya cipta dan potensi kreativitas para anggotanya. Birds of a feather flock together. Berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta gencarnya pemakaian media sosial, terutama di kalangan muda, tidak suit bagi komunitas-komunitas ini untuk saling menemukan satu sama lain, kaumnya yang serupa, baik secara fisik maupun virtual. Satu demi satu hubungan dengan niat baik mulai dirajut, titik-titik produktif dihubungkan sesuai porsinya, sehingga terbentuklah sebuah jaringan yang hidup, aktif, dan bersemangat. Sejak diinisasinya pada awal tahun 2015, hingga di paruh tahun 2019 ini, ICCN telah menghubungkan komunitas kreatif di lebih dari 200 kabupaten/kota se-Indonesia.                

Ketika sebuah kumpulan bertumbuh menjadi semakin besar, dengan sendirinya sebuah sistem governance untuk mengatur diri harus disepakati dan diberlakukan. Diawali dengan komitmen untuk mengamalkan 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia, yang difinalisasi dan dideklarasikan di Kota Bandung, 27 April 2015. Organisasi ini secara bertahap memperkuat fondasinya melalui pengesahan bentuk legal yang paling sesuai dengan sifat alaminya: Perkumpulan. Dalam upaya pengukuhan fondasi ini, dilakukan pula pembenahan organisasi agar lebih solid, kredibel, dan bermakna bagi seluruh anggotanya. Ia juga diniatkan untuk berdampak positif bagi seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat luas di tiap kabupaten/kota yang terpapar langsung oleh seluruh program dan kegiatannya. Tentu saja ada sekelompok individu, para pengurus organisasi, yang mengeksekusi hal-hal ini, secara sukarela. Mereka umumnya adalah pemimpin forum lintas komunitas di daerahnya masing-masing, namun juga profesional handal pada bidangnya sebagai sumber penghasilan utama bagi diri dan keluarganya. Sehingga, bayangkan, dedikasi dan energi yang diperlukan untuk dapat membagi waktu dan pikiran demi menumbuhkan dan mewujudkan sebuah idealisme kolektif yang dibungkus dalam sebentuk ICCN.

Sejak 2015 pula, dalam kurun waktu empat tahun, telah dilakukan lima kali konferensi (di Solo 2015, Malang 2016, Makassar 2017, Sleman 2018, dan baru-baru ini, Ternate 2019), tiga kali rapat koordinasi nasional (di Bandung, Padang, dan Surabaya), serta, tak terhitung, rapat-rapat koordinasi di berbagai provinsi, yang dimotori oleh para koordinator daerah, demi menjaring titik-titik energi serupa yang tersebar di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Mobilisasi dan militansi komunitas-komunitas ini luar biasa; dan pasti diperjuangkan tengan gigih, karena masing-masing individunya percaya pada nilai-nilai yang diusung, dan percaya bahwa segala upaya bersama ini dapat membawa perubahan yang lebih baik.

Sebelum kembali ke pertanyaan, “Ada apa di Ternate?”, mungkin akan lebih membantu bila sebelumnya ada pertanyaan, “Jadi ICCN itu ngapain aja?” (dan mungkin akan memancing sayap-sayap pertanyaan berikutnya). Untuk mempersingkat cerita, sepanjang perjalanan berorganisasi dan berinteraksi secara intensif dengan rekan-rekan seperjuangan di berbagai wilayah di Indonesia, ICCN menemukan dinamika dan tantangan yang khas yang terjadi di seluruh wilayah, terkait komunitas kreatif dan pemerintah daerah. Yang semuanya sebenarnya berujung pada satu kata kunci: komunikasi. Yang pada umumnya terungkap adalah: 

      • komunitas merasa tidak pernah memperoleh dukungan yang semestinya dari pemerintah, baik dalam bentuk akses fasiiltas maupun pendanaan; 
      • komunitas sering dikecewakan dengan kerap terjadinya perubahan arah pembangunan kabupaten/kota setiap kali terjadi pergantian individu pimpinan daerah; 
      • komunitas mengalami kesulitan dalam berkegiatan dan berekspresi, karena adanya kebijakan atau regulasi tertentu yang diberlakukan di wilayahnya;         
      • dan sebagainya.

Tentu saja entitas komunitas, yang bersifat sangat organik, kadang spontan dan bahkan penuh improvisasi demi menghadapi dinamika yang sangat cepat, tidak bisa dibenturkan dengan entitas pemerintahan atau birokrasi yang sifatnya sangat rigid, kaku, serta sarat prosedur dan perhitungan dalam melaksanakan kegiatannya. Sehingga ICCN pun mencari cara agar berbagai tantangan khas tadi dapat teratasi dengan baik. Apa urusannya? Karena kemajuan dan pengelolaan sebuah wilayah bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga warganya yang aktif dan kritis, dan selalu berupaya untuk menjadi bagian dari solusi. Katanya komunitas “independen”, kok mau-maunya akur dengan pemerintah? Lho, “independen” kan bukan selalu berarti menentang. Dalam hal ini, kemandirian ICCN bahkan terbukti dengan memposisikan pemerintah pada porsinya, yaitu sebagai pihak pengelola wilayah, perancang peraturan, demi perikehidupan dan kesejahteraan seluruh warganya. Dalam upaya ini, ICCN menyadari adanya momentum “bonus demografi”, “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” (Sustainable Development Goals), “Agenda Perkotaan Baru” (New Urban Agenda), serta “Revolusi Industri 4.0”; sehingga ICCN memandang pemerintah sebagai mitra strategis, terutama dalam hal mengarahkan potensi ekonomi kreatif, yang menjadi kekuatan besar di masa kini dan mendatang.

Jadi ICCN itu ngapain aja? Nah, dari 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia yang telah menjadi komitmen bersama untuk diwujudkan, dirincilah pokok-pokok pikiran dan kata-kata kunci yang menjadi esensinya, sebagai berikut: welas asih (compassion), inklusif, HAM, kreativitas, lingkungan, sejarah dan pusaka, transparansi dan kejujuran, kebutuhan dasar, energi terbarukan, dan fasilitas publik. 

Sekarang. Bagaimana caranya mengukur compassion dan inklusivitas, misalnya, pada sebuah daerah, sehingga menjadi sebuah indikator yang kredibel bagi sebuah kabupaten/kota? Di sinilah ICCN dapat berperan aktif, sebagai organisasi tingkat nasional yang dapat menjangkau hingga level grassroots. Melalui Buku Putih Kota Kreatif Indonesia yang telah disusun dan diterbitkan oleh ICCN dengan dukungan dari Kemenko Perekonomian dan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf), ICCN menyampaikan gagasannya mengenai “kabupaten/kota kreatif”. Bahwa indikator perkembangan sebuah wilayah bukanlah untuk ‘menghakimi’ atau memberi label pada sebuah kabupaten/kota sebagai dominasi sub-sektor industri kreatif tertentu, atau untuk berkompetisi dengan kabupaten/kota lainnya. Bagi ICCN, indikator kabupaten/kota kreatif lebih berfungsi untuk memetakan posisi wilayah tersebut dalam sebuah ekosistem ekonomi kreatif, dan untuk mengidentifikasi potensi utama wilayah dalam ekosistem tersebut (misalkan, sebagai pemasok bahan baku, atau sumber daya terampil/ pengrajin, atau pusat penelitian & pengembangan, dll.), sehingga tiap daerah dapat mengetahui adanya daerah-daerah lain dengan potensi serupa, atau dengan sumber daya/potensi yang diperlukan/ dapat dikolaborasikan, untuk dapat mengakselerasi perkembangan wilayahnya melalui kegiatan berbasis komoditi industri kreatif tertentu. Misalkan, rotan. Secara umum, Cirebon memiliki reputasi sebagai pusat pengrajin dan sentra rotan; namun pasokan material rotannya sebagian besar diperoleh dari Palu, sedangkan litbang desain produknya berasal dari kampus-kampus berjurusan Desain di Bandung, dan penjualannya disalurkan melalui Jakarta dan Bali. Dari runutan ini, dan dari informasi seluruh titik wilayah yang terlibat dalam industri kreatif berbasis material rotan, dapat digambarkan sebuah peta ekosistem ekonomi kreatif yang elemen-elemennya dapat saling mengisi/melengkapi, untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas industri. Hal serupa dapat diterapkan untuk berbagai jenis industri kreatif lainnya, termasuk bagi komoditi takbenda.     

Lalu, harus mulai dari mana untuk melibatkan peran komunitas, dalam sinerginya dengan unsur Penta Helix yang lainnya? Nah, dari sinilah ICCN menawarkan 11 Jurus Kabupaten/Kota Kreatif, yang dipaparkan selama konferensi berlangsung pada tanggal 4-5 September lalu, berbentuk “meja-meja konsultasi” di mana siapa pun, terutama pemda dari seluruh penjuru Indonesia, bisa mampir dan ngobrol santai mengenai jurus-jurus tertentu, yang sebenarnya saling terkait satu sama lain. 

PHOTO-2019-09-03-16-25-30

Ini adalah salah satu jawaban dari “Ada apa di Ternate?”, yaitu eksperimen sebuah konferensi di mana penyampaian konten tidak hanya berlangsung satu arah, dari pembicara ke peserta; atau dibatasi dalam sesi tanya-jawab; tapi juga berlangsung secara interaktif, di mana konten dapat disampaikan dalam format bahasan yang lebih mendalam dan spesifik sesuai dengan kebutuhan khas masing-masing wilayah; dilayani oleh para personel ICCN yang menguasai konten-konten tersebut.

Ada apa lagi di Ternate? Sebuah konferensi mengenai kabupaten/kota kreatif, dilengkapi dengan forum konsultasi 11 jurus kabupaten/kota kreatif, yang dihadiri oleh tidak kurang dari tiga gubernur, dua belas bupati dan wali kota, perwakilan negara-negara asing, pengusaha terkemuka, ratusan pemerintah daerah, dan lain-lain. Ini satu hal.

Hal lain adalah sebuah festival yang berlangsung sejak tanggal 2 hingga 7 September,  bertempat di Fort Oranje, benteng peninggalan masa kolonial di tengah kota, yang kini menjadi ruang publik yang sangat inspiratif. Puncaknya adalah Coho Gia Kololi Kie, saat 42.000 warga berdiri mengelilingi Gunung Gamalama dengan saling berpegangan tangan selama tujuh menit, memecahkan rekor MURI versi dunia karena belum pernah dilakukan sebelumnya di belahan bumi mana pun. Di sekeliling gunung, warga dari berbagai usia dan kalangan, berjajar dengan riang, siap meramaikan acara ini dengan penuh rasa bangga. Bendera merah-putih dibawa berkeliling, dikawal oleh kaum muda Ternate, secara estafet disampaikan termasuk melalui Ketua Umum ICCN, hingga tiba di tangan Wali Kota Ternate, yang kemudian menancapkan bendera tersebut di tengah Fort Oranje, sebagai lambang persatuan dan perdamaian bagi Indonesia, sekaligus merayakan keberagamannya. Semua yang hadir terbawa haru, menyanyikan Indonesia Raya, Padamu Negeri, diiringi gelegar puisi, dan seruan-seruan bersemangat. Pecah! Setelah itu, spontan, para pasukan pengibar bendera menari bersama, bercampur dengan warga dan  delegasi ICCN. 

PHOTO-2019-09-06-15-22-36

Semua keramaian ini; intinya apa? Lihat, kalau seluruh warga bisa kompak dengan pemerintahnya. Lihat, kalau semua pihak bersedia turun tangan untuk mewujudkan cita-cita bersama. Lihat, kalau pengelola daerah mampu dengan tepat mengakomodasi kebutuhan dan keinginan warganya tanpa terkecuali. Lihat, kalau tradisi tetap dijaga tanpa menafikkan kebaruan-kebaruan yang seharusnya dapat disesuaikan dengan kondisi nyata. Maka tercapailah tujuan bersama, tahap demi tahap, diiringi buncahan rasa bangga!

Tentu saja semua ini tidak berlangsung tanpa tantangan. Jalan tidak selalu mulus. Kembali pada satu kata kunci: komunikasi. “Ada apa di Ternate?” punya hal lain yang dapat menjadi pelajaran. Acara satu minggu penuh ini tentu saja telah disiapkan jauh hari sebelumnya, dimulai ketika Ternate terpilih sebagai tuan rumah saat berlangsungnya ICCF 2018 di Sleman. Pihak pengampu utama penyelenggaraan tentu saja Komunitas Jarkot, sebagai bagian dari ICCN; selain juga pihak-pihak pendukung, seperti pemerintah kota, pemerintah provinsi, sponsor, dan lain-lain. Dengan latar belakang yang sangat berbeda-beda, seluruh pihak yang terlibat dalam persiapan acara ini tentu berupaya mendapatkan titik temu untuk beragam pengambilan keputusan. Penentuan prioritas. Pemilihan konten. Alokasi pendanaan dan sumber-sumber daya lain. Strategi media exposure. Mekanisme tindak-lanjutnya. Dan sebagainya. Drama? Tentu saja ada, selayaknya dinamika komunitas. Gegar budaya? Pasti juga terjadi, di semua pihak, dan dalam beragam spektrum. “Toleransi” bukanlah sekedar basa-basi. Dari semua ini, makin terbukti bahwa komunikasi yang terbuka seharusnya menjadi kunci solusi bagi berbagai permasalahan yang timbul, dan untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi. Dan justru di sinilah kedewasaan dalam berkomunitas dan mengorganisasi diri menjadi teruji. Semua yang terlibat di sini, jelas sudah ‘naik kelas’ dalam jenjang pengalaman berjejaring. Yang penting, setelah semuanya reda, dan permasalahan dapat teratasi, kita semua dapat mengapresiasi hal-hal positif yang terjadi, dan hasil bermanfaat yang dapat dinikmati bersama. Dari sini juga terbukti bahwa leadership yang tangguh, yang berani dan mampu mengambil keputusan terbaik dalam kondisi genting, hingga meredam letupan yang kontraproduktif, dapat mengembalikan kondusivitas dan optimisme bersama.     

Ada apa di Ternate? Kekayaan alamnya yang khas dan melimpah, narasi sejarahnya yang luar biasa, artefak pusaka, budaya, serta tradisinya yang terjaga baik — semua ini hanyalah seujung kuku dari sekujur tubuh potensi Ternate. Kini, sejarah di Pulau Rempah kembali ditorehkan; momentum yang kembali membawa Ternate dan segala kekuatannya ke panggung dunia, dalam kedaulatan anak-anak bangsanya sendiri. Dengan semangat kolaborasi dan jejaring, kita eratkan persaudaraan, dan rajut kembali kebhinnekaan; Karena Kita Indonesia. Semangat!   

PHOTO-2019-09-07-18-32-09

*tautan berita mengenai Indonesia Creative Cities Festival 2019 di media bisa dicari dengan kata-kata kunci “Ternate” dan “ICCF”

*sumber foto: ICCN

Connecti:City – Peran Simpul-simpul Kreatif bagi Pembangunan Daerah

ConnectiCity Logo

Belum lama berselang, di Bandung, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan event Connecti:City dengan konteks simpul kreatif, atau creative hub, yang rencananya akan menjadi event tahunan. Acara ini juga menjadi ajang bagi Pemprov Jabar untuk menghibahkan simpul kreatif kepada kota/ kabupaten sebagai salah satu wujud komitmen Pemprov Jabar dalam mengembangkan Ekonomi Kreatif di wilayah kota/ kabupaten di Jawa Barat. Connecti:City yang pertama ini bertema Enhancing the Roles of Creative Hotspots, Community Hubs, and Smart Networks for Regional Development (Memperkuat Peran Titik-titik Panas Kreatif, Simpul Komunitas, dan Jejaring Cerdas untuk Pembangunan Daerah), dan dalam konferensinya mengundang pembicara yang dapat memaparkan konsep dan contoh mengenai “simpul kreatif”: bentuk, cara mengelola, cara mendanainya, dan sebagainya. Berikut ini inti dari paparan para narasumber.

2019 WestJavaCEconf present.008

Kenneth Cobonpue dari Cebu, Filipina.

Sebagai salah satu desainer profesional yang paling sukses di dunia, Kenneth juga berperan sebagai konsultan kebijakan (melalui semacam Bappeda) di Filipina. Paparan Kenneth menampilkan karya-karyanya, yang  dalam tiap proses penciptaanya mengandung pemikiran tersendiri: Kenneth bekerja dengan material (alami) yang kerap ditemui secara lokal, dengan bentuk yang terinspirasi juga oleh keragaman lokal, serta mengembangkan teknik produksi sedemikian rupa sehingga tidak dapat diduplikasi mesin (menjaga tingkat keterampilan manual dan serapan tenaga kerja). Tidak berhenti di situ, Kenneth juga sangat memperhatikan strategi branding bagi produk-produknya.

Sebagai desainer yang berasal dari Asia Tenggara, ketika pertama kali berpartisipasi di pameran internasional, ia diberi ruang di lantai atas, di pojok, dekat WC. Ia memikirkan cara untuk dapat keluar dari lokasi tersisih itu ke tempat yang lebih mendapat perhatian. Akhirnya ia membuat mobil dari bambu, yang bahkan kemudian dipajang di pintu masuk utama event pameran teresebut. Branding-nya semakin kuat dengan adanya endorsement dari Brad Pitt (“It takes Holywood to get your product known worldwide”) dan ketika salah satu mebelnya, tempat tidur, dipakai di klip video Maroon 5. Belakangan ini,  brand yang memuat namanya sendiri itu semakin melesat dengan adanya kolaborasi antara Kenneth Cobonpue dengan Star Wars. Ia telah menyatakan tidak akan membuat turunan desain dari karakter Star Wars, melainkan menyerap karakteristik film tersebut dalam karya-karyanya, hingga menjadi satu-satunya desainer yang namanya diperkenankan muncul bersama dengan brand Star Wars.

Apa yang dapat dipelajari dari Kenneth? Ia menekankan pentingnya desainer Asia Tenggara untuk mengenali material kekayaan alam asli Asia Tenggara dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga mencapai kualitas unggul, yang tidak mudah ditiru dan diproduksi oleh mesin; bahwa desainer Asia Tenggara harus terus mengeksplorasi sumber daya alam dan budaya lokalnya masing-masing, untuk menemukan kekayaan tak terhingga di sana.

M. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat

Sebagai pemrakarsa acara ini, RK memaparkan terlebih dahulu perjalanannya dengan latar belakang praktisi arsitektur dan urban desain, yang juga pernah aktif di masyarakat – sebagai pendiri dan ketua Bandung Creative City Forum (BCCF) – yang telah banyak menghasilkan prototype/ purwarupa solusi bagi Kota Bandung. Beliau menampilkan beberapa karya arsitektur dan filosofinya, kemudian beralih ke karya-karyanya di Kota Bandung, terutama pembangunan fasilitas ruang publik. RK mengungkapkan perlunya ruang-ruang pertemuan ini, yang dapat menjadi salah satu faktor penting penggerak aktivitas komunitas, mahasiswa, dan masyarakat umum. Inilah alasan Pemprov Jabar menghibahkan ruang-ruang publik yang khusus didedikasikan bagi kepentingan dan kebutuhan komunitas kreatif lokal, yang diharapkan dapat menjadi pusat pengembangan ekosistem ekonomi kreatif di daerah tersebut.

Jia-Ping Lee, dari ThinkCity, Malaysia

ThinkCity telah menjalin kerja sama dengan Kota Bandung melalui BCCF sejak terbentuknya SouthEast Asian Creative Cities Network (SEACCN) pada tahun 2014. ThinkCity yang pada awalnya mendapat tugas khusus untuk mengelola GeorgeTown Penang sebagai kota pusaka UNESCO, kini telah berkembang dan bercabang di kota-kota lain di Malaysia dengan tugas melakukan peremajaan dan revitalisasi kota, tidak hanya melalui pra/sarana fisiknya, tapi juga melalui kegiatan dan dampak sosial budaya pada masyarakatnya. Pada kesempatan ini Ping menampilkan beberapa kasus yang telah berlangsung, sekaligus mengabarkan mengenai program berikutnya yang mengundang kota-kota lain untuk turut berpartisipasi: Placemaker Week ASEAN 2019 (4-8 November 2019).

Emily Ong, dari DesignSingapore Council, Singapura

Emily adalah focal point Singapura Kota Desain untuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Sebagai sesama Kota Desain UCCN dari Asia Tenggara sejak 2015, Singapura dan Bandung sedang berupaya mempererat kerja sama, dengan juga menggandeng kota-kota lain di wilayah regional ini. DesignSingapore Council tadinya bernaung di bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi, namun per April 2019 pindah di bawah Kementerian Perdagangan, dengan tujuan meningkatkan dampak ekonomi dengan basis potensi desain dan kreativitas pada umumnya. Salah satu hal menarik adalah adanya kurikulum kreativitas/ design thinking bagi tingkat sekolah menengah di Singapura, yang dikembangkan oleh guru-guru bersama dengan para siswanya, yang mengembalikan gairah untuk mengeksplorasi dan aktif bereksperimen, bagi anak-anak usia remaja di Singapura. Sekolah menjadi tempat belajar yang menyenangkan.

2019 WestJavaCEconf present.009

Daniel Donnelly (Asia Timur), Malaya Del Rosario (Filipina), Camelia Harahap (Indonesia) dari British Council

British Council telah menyusun Creative Hub Toolkit yang dapat diunduh secara gratis di website mereka, dan telah mendiseminasi Toolkit ini di beberapa kota di Asia Tenggara, termasuk melakukan penelitian terkait implementasi dan dampaknya terhadap perkembangan ekonomi kreatif di kota-kota tersebut. Sebuah simpul kreatif, dalam hal ini, tidak selalu berupa sebuah ruang fisik, tapi juga dapat berupa sebuah platform online di mana para pelakunya dapat bertukar informasi dan membangun sesuatu secara bersama-sama. Berbagai bentuk simpul kreatif di Filipina dan Indonesia dipaparkan oleh masing-masing Director of Arts BC di negara-negara tersebut, meliputi juga program-program yang tengah dan akan dijalankan.

Imhathai Kunjina, dari Creative Economy Agency (CEA), Thailand

Bagi para pelaku dan profesional di bidang kreatif, Thailand terkenal dengan Thailand Creative & Design Centre (TCDC), yang memiliki koleksi material terkaya dalam perpustakaan materialnya, Material ConneXion. Kini TCDC, yang markasnya terdapat di Bangkok dan Chiang Mai, sedang bertransformasi menjadi Creative Economy Agency (CEA), yang akan juga mencakup bidang-bidang kreatif selain desain. TCDC, yang branding-nya sudah sangat kuat, menjadi bagian dari CEA. Dalam kesempatan ini, Imhathai menyampaikan berbagai capaian dan rencana dalam transformasi ini, terutama terkait TCDC/CEA Chiang Mai yang diampunya. Chiang Mai juga telah bergabung dalam UCCN pada tahun 2017 sebagai Kota Craft & Folk Art, namun kota ini telah juga menyelenggarakan acara rutin tahunan Chiang Mai Design Week, biasanya berbarengan dengan Nimmanhaemin Art Promenade (NAP), yang telah mampu membawa perubahan dan perkembangan bagi kota tersebut.

Arief ‘Ayiep’ Budiman, dari Rumah Sanur, Bali

Rumah Sanur didirikan berdasarkan inspirasi kearifan lokal (Bali) yang mencakup tiga hal yang tak terpisahkan: desa (tempat), kala (waktu) dan patra (konteks), dengan menghidupkan kembali semangat Sanur School yang mengusung kolaborasi antar budaya dan ekspresi. Sejak 2014, Rumah Sanur bertujuan membangun kreativitas yang inklusif, melalui pengembangan ekosistem kreatif dan mendukung inovasi sosial, yang terfokus pada pengelolaan sumber daya dan pengembangan produk. Dalam paparannya, Kang Ayiep menyampaikan hal-hal yang dapat menjadi acuan bagi sebuah simpul kreatif, di mana pun simpul ini berada. Rumah Sanur sendiri berkolaborasi dengan berbagai pihak, yang mengaktivasi simpul dengan tiga tahapan: membentuk, mengelola, dan me-monetise para pelaku (baik pengelola maupun pengunjung) yang berkepentingan dengan simpul tersebut. Salah satu hal yang patut dicatat dari paparan ini adalah bahwa penting bagi sebuah simpul kreatif untuk dapat menarik dan mengajak beragam talenta lokal untuk dapat berkarya bersama, dengan memanfaatkan tempat tersebut sebagai titik temu yang ‘tak terduga’, yang harus dapat dikelola dengan benar untuk dapat terus menghidupkan tempat tersebut dan berdampak positif bagi  para pelakunya.

Hirokazu Nagata, dari Plus Arts, Kobe, Jepang

Jepang dapat dipandang sebagai negara yang memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi berbagai bencana alam, sehingga warganya pun dapat dianggap sebagai memiliki cara-cara yang paling teruji dalam mengatasi hal-hal darurat. Nagata dari +Arts telah mengembangkan berbagai paket disaster awareness dengan pendekatan kreatif, yang dapat melibatkan seluruh anggota keluarga, dan terutama anak-anak, dengan cara bermain, melalui komunikasi yang mudah diserap oleh siapa pun. Paket-paket ini tersedia dalam bentuk fisik dan aktivitas, praktik latihan penyelamatan dan kondisi darurat, yang sudah diterapkan di berbagai kota dunia; masing-masing mengalami penyesuaian dengan kondisi tempat masing-masing. Di Indonesia sendiri aktivitas ini telah beberapa kali dilakukan di Yogyakarta, terutama setelah terjadi gempa besar di kota tersebut. Dari pengalamannya selama bertahun-tahun, Nagata memaparkan filosofinya mengenai jenis-jenis manusia: angin, air, dan tanah. Manusia bertipe angin adalah yang menyebarkan benih-benih “stimulasi” atau program pada komunitas atau masyarakat di suatu tempat; manusia bertipe tanah adalah yang tinggal dalam komunitas tersebut dan menjaga kelangsungan program di tempat tersebut; manusia bertipe air adalah yang mendampingi komunitas, yang terus menerus mengairi, menumbuhkan dan memberi dukungan bagi bertumbuhnya “benih” program yang telah ditanam di tempat tersebut. Nagata dan timnya mengembangkan Earth Manual Project, yang memuat berbagai cara mengatasi kondisi darurat, dan telah melakukan pameran dan aktivasi keliling; yang kebetulan kali ini sedang digelar di Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta.

Kobe telah bergabung sebagai Kota Desain UCCN sejak 2008, sehingga dalam platform ini pun Bandung dan Kobe sedang berupaya menjalin kerja sama dalam hal darurat bencana. Terutama mengingat bahwa Jawa Barat adalah juga wilayah rawan bencana, sementara terdapat ribuan desainer di Bandung, yang tentunya dapat lebih berkontribusi bagi kesiapan/ tanggap bencana Jawa Barat dengan cara-cara yang dapat diserap dengan mudah, cepat, dan menyenangkan bagi masyarakat umum.

 

Dari paparan para narasumber pada Connecti:City ini, terlihat berbagai bentuk simpul kreatif di sebuah kota, yang dengan karakteristiknya masing-masing berhasil menghasilkan dampak nyata, inklusif, dan relevan bagi kebutuhan warga lokal maupun pengunjung dan jejaringnya di tingkat global. Simpul-simpul ini dapat menjadi ruang bagi pengembangan kreativitas di bidang-bidang tertentu, namun juga dapat menghasilkan solusi yang jitu dan inovatif bagi beragam isu dan persoalan yang dihadapi wilayah tersebut, melalui rekayasa sosial dan aktivasi potensi kreativitas yang ada.

Diharapkan, pada Connecti:City berikutnya, simpul-simpul yang baru dibentuk di Jawa Barat pun telah dapat menunjukkan perkembangan dan dampaknya yang positif bagi wilayahnya, melalui para pelaku dan penggerak simpul-simpul tersebut.

ConnectiCity Poster

*Paparan dari saya sendiri akan ditulis di blog terpisah 🙂

**Connecti:City 2019 akan didiseminasikan dalam bentuk buku

Bandung, Contoh SDG Dunia

 

ekrafbdg NEW.002

Menjelang Pertemuan Tahunan Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) yang ke-11 Juli lalu di Enghien-les-Bains, Kota Media Art di Perancis, Bandung dihubungi oleh UNESCO, diminta untuk mempresentasikan salah satu kegiatan rutinnya dalam sesi khusus mengenai Sustainable Development Goal (SDG) dalam rangkaian pertemuan tersebut.

Bagi Bandung, yang bergabung dalam UCCN sebagai Kota Desain pada tanggal 11 Desember 2015, Pertemuan Tahunan yang ke-11 ini merupakan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya diselenggarakan di Östersund, Kota Gastronomi di Swedia. Dalam pertemuan UCCN ke-10 tahun 2016 itu, dalam sesi konferensi Valuing and Evaluating Creativity for Sustainable Regional Development, Bandung mengutarakan prinsip dasarnya sebagai “Kota Desain”, di mana “Desain” bagi Bandung tidaklah terbatas pada kualitas fisik dan estetik suatu obyek/ komoditi, atau sebuah profesi berbasis ilmu-ilmu desain yang diketahui selama ini, namun “Desain” yang juga sebagai cara berpikir warganya dalam mengatasi permasalahan lokal, sebagai cara menciptakan purwarupa solusi berbagai isu perkotaan, dan sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan antara warga dengan pemerintah, kebijakan, dan regulasi. Prinsip inilah yang membawa Bandung diterima masuk ke dalam jejaring tersebut, yang terbukti telah memberikan  peluang yang sangat luas  untuk mengembangkan potensi ekonomi kreatifnya.

Kali ini, Bandung diminta untuk mempresentasikan DesignAction.bdg, yang dinilai oleh UNESCO sebagai salah satu contoh terbaik penerapan tujuan SDG #11, Sustainable City. Dalam proses persiapan materi presentasinya, dilakukan beberapa kali asistensi, hingga terdapat versi akhirnya, seperti yang ditampilkan sebagai slideshow di sini.

More on DesignAction.bdg, coming up!

Apa Kata Prof. John Howkins Sekarang?

Name tag sebagai pembicara di #ASEANCC2017

ASEAN menyelenggarakan Creative Cities Forum & Exhibition di Manila, Filipina, pada tanggal 26-27 April ini. Bandung diundang sebagai pembicara di hari kedua sebagai salah satu kota di Asia Tenggara yang telah menjadi anggota Jejaring Kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN), yaitu sebagai Kota Desain, sejak Desember 2015. Selain Bandung, kota yang telah masuk jejaring UCCN adalah Pekalongan (Kota Kriya & Seni Rakyat), Phuket (Kota Gastronomi), dan Singapura (Kota Desain). Suatu kehormatan untuk dapat mewakili Bandung di forum ini, terutama waktu tahu bahwa ada teman dari jejaring BCCF, SouthEast Asian Creative Cities Network (SEACCN), yang juga akan hadir. Lebih semangat lagi ketika mengetahui bahwa pembicara kunci untuk forum ini adalah Prof. John Howkins, yang pertama kali memunculkan istilah “Ekonomi Kreatif” sekitar 20 tahun lalu.

Prof. John Howkins membawakan materinya di #ASEANCC2017

Catatan berikut ini adalah beberapa hal dari materi yang disampaikan oleh Prof. John Howkins pada keynote speech-nya yang berjudul What, When and How? The Creative Economy in The Philippines.

  1. What? Dalam tahun-tahun belakangan ini, lebih dari 150 negara dan ribuan kota membuat komitmen tingkat tinggi terhadap ekonomi kreatif. Terjadi peningkatan luaran secara global dari 2,200 Milyar USD di tahun 2000 menjadi 4,600 Milyar USD di tahun 2016.
  2. What? Kreativitas memanfaatkan berbagai gagasan untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru. Sifatnya individual, pribadi, subyektif, dan ekspresif. Ekonomi Kreatif adalah menghasilkan uang dari gagasan-gagasan (The Creative Economy is making money out of ideas).
  3. What? Di UK (DCMS), Industri Kreatif bernilai sebesar 89 Milyar GBP, atau berkontribusi hingga 5,2%. Ekonomi Kreatif (seluruh bisnis kreatif) bernilai 133 Milyar GBP, atau 8,1%. Di Amerika (BEA), industri kreatif terhitung sebesar 704 Milyar USD, atau 4,2% dari GDP.
  4. When? Sejak kapan fenomena menguangkan gagasan ini terjadi? Bisnis kreatif memiliki sejarah panjang. William Shakespeare, seorang pujangga Inggris, adalah seorang jutawan. Mengutip Daniel Defoe, seorang penulis dan pebisnis, “Menulis telah menjadi sebuah cabang dalam dunia komersil di Inggris yang sangat diperhitungkan” (1725).
  5. When? Apa istilah yang tepat untuk fenomena ini? Berbagai istilah telah diperkenalkan, seperti Information Economy di tahun 1962 oleh Fritz Machlup, kemudian Knowledge Economy oleh Peter Drucker (1969), Post-Industrial Society oleh Daniel Bell (1973), dan Digital Economy oleh Don Tapscott (1995). Selain itu, muncul pula istilah-istilah lain seperti entertainment economy, attention economy, wired economy, network economy, dan cultural economy. Namun sejak tahun 1990an hingga kini, lebih dikenal dengan istilah Creative Economy.

    Grafik pertumbuhan sub-sektor industri kreatif di UK tahun 2008-2014

  6. Apa yang terjadi di tahun 1990an? Kreativitas menjadi gerakan massal. Orang-orang kreatif jadi bersikap seperti pebisnis. Para pebisnis menjadi lebih kreatif. Konsumen menginginkan kebaruan, gaya, dan hiburan. Pemerintah Inggris mempromosikan kreativitas sebagai sumber kesejahteraan, mengoleksi data industri inti, meluncurkan paket kebijakan menyeluruh.
  7. Apa yang terjadi di tahun 1990an? Teknologi digital mengubah konten, jejaring, format, produksi, promosi, harga, dan distribusi.
  8. Kita sekarang berada di mana? Prof. Howkins mengutarakan tiga konsep terkait Ekonomi Kreatif yang belum berubah banyak sejak dahulu: (1) Setiap orang terlahir kreatif, (2) Kreativitas memerlukan kebebasan, (3) Kebebasan memerlukan pasar.
  9. (1) Setiap orang terlahir kreatif. Setiap orang terlahir dengan memiliki imajinasi, dan gairah untuk memanfaatkannya untuk kesenangan pribadi dan tujuan umum. “Menjadi kreatif adalah berlaku sewajarnya.”
  10. (2) Kreativitas memerlukan kebebasan. Kita menginginkan kebebasan dalam mengatur hubungan kita dengan gagasan-gagasan.
  11. (2) Kreativitas memerlukan kebebasan. Untuk berkata ya, berkata tidak, berekspresi, mengeksplorasi, mengungkap, mempertanyakan, mengikuti, menyadur, mengendalikan, menolak, memuntir, mempopulerkan, memproduksi, mengemas, menampilkan, membingkai, meminjam, menggandakan, mencuri, mengembangkan, meneliti, menguji, menguji lagi, mengetahui, berbagi, bertukar, membuat purwarupa, mempromosikan, menjual, membeli, … “Cari, Tiru, Gabung dan Pelajari.”

    Bagian 1 graphic note Howkins

  12. (3) Kebebasan memerlukan pasar. Dalam Ekonomi Kreatif, terdapat aset, industri, pasar, dan transaksi. Sektor-sektor inti adalah: seni, desain, entertainment, media, dan inovasi – selain juga makanan, penjaga pesisir (US) dan pertanian (Cina).
  13. Bekerja dalam Ekologi Kreatif. Kreativitas adalah hal yang sangat kompetitif: lebih kompetitif dari pekerjaan yang sifatnya berulang, selalu berupaya mencari kebaruan, “sebuah ekonomi kegagalan”? Terdapat risiko pribadi: kesepian dan ketakutan, karena proses kreatif bagi penciptanya biasanya dilakukan secara pribadi. Terdapat risiko bisnis: aset takbenda (ide, kekayaan intelektual), ketidak-pastian pasokan, permintaan dan nilai; dan pengusaha pemula (start-up) memiliki tingkat kegagalan yang sangat tinggi.
  14. Bekerja dalam Ekologi Kreatif. Kita semua menghadapi dua ‘hakim’: yang satu akan selalu mempertanyakan: apakah ini hal terbaik yang bisa kamu lakukan? Sementara yang satu lagi akan bertanya, mungkin karyamu ini cukup baik, tapi apakah ini yang dikehendaki pasar? Pertimbangannya adalah pada “suara pribadi dan kekuatan kelompok.”

    Bagian 2 graphic note Howkins

  15. Universality: Kepemimpinan Pemerintah. Pemerintah UK (1998) menyatakan bahwa kreativitas merupakan hal yang penting untuk: kepuasan pribadi, kesejahteraan sosial, kekayaan ekonomi. Adanya pernyataan ini berdampak pada meningkatnya rasa percaya diri para pelaku kreatif, politisi, orang tua dan generasi muda – yang makin menjadi yakin akan pilihan masing-masing pada bidang kreatifnya. Aksi: deklarasi tingkat tinggi bahwa ekonomi kreatif adalah sebuah sumber daya nasional untuk semua orang.
  16. Universality: Pendidikan. Mereka yang berpendidikan tinggi menjadi semakin memiliki keinginan bereksplorasi dan lebih ekspresif, dan ingin bekerja di bidang bisnis kreatif (pasokan) dan ingin membeli produk kreatif (permintaan). Terdapat generasi baru: angkatan kerja dengan kapasitas pengetahuan, 70% lapangan kerja baru kini mensyaratkan “kreativitas” (McKinsey). Aksi: memperpanjang durasi edukasi, menambah kampus-kampus spesialis. Mahasiswa kini harus makin dihadapkan pada berbagai permasalahan nyata.
  17. Universality: Pendidikan. “Para pembelajar muda” harus “didorong untuk berkreasi, untuk mau mengambil risiko” (Peraturan Edukasi Prasekolah). Aksi: membuat hal ini menjadi dasar pendidikan di pra-TK, setelah TK, dan sepanjang hidup (belajar secara terus-menerus).

    Bagian 3 graphic note Howkins

  18. Kebebasan: Belajar. Edukasi tidak sama dengan belajar. Edukasi merupakan hal yang diarahkan oleh negara, bersifat wajib, dan memiliki batasan umur. Belajar merupakan hal yang diarahkan oleh diri sendiri, bersifat sukarela, dan terus berlanjut. Belajar lebih penting dibandingkan edukasi. Mengacu dari Soedjatmoko mengenai Kapasitas Pembelajaran: infrastruktur SDM perlu diolah untuk mewujudkan masyarakat pembelajar. Aksi: membuka lebih banyak kesempatan belajar di luar sistem edukasi (UK Skillset).
  19. Pasar: Managing Talent. Keberhasilan memerlukan keterampilan khusus: kepemipinan (mengintegrasikan kreativitas dan bisnis), memaksimalkan gagasan baik, kontrak (cara menuliskan, cara menutup perjanjian), finansial (menyertakan aset takbenda dalam neraca), pemasaran (memanfaatkan media sosial), dan penjualan (hubungan konsumen). Aksi: kampus manajemen dan bisnis.
  20. Pasar: Copyright. Copyright adalah mata uang ekonomi kreatif. IP memungkinkan kita untuk memiliki dan mengendalikan aset kita. Tapi kita memerlukan keseimbangan antara kepemilikan dan akses. Aksi: mendirikan sebuah pusat konsultasi IP gratis dan sebuah simpul untuk Digital Copyright Exchange.

    Bagian 4 graphic note Howkins

  21. Pasar: Retail. Di seluruh hal ekonomi, penjualan sama pentingnya dengan pembuatan. Drucker: sebuah perusahaan memiliki hanya dua fungsi, inovasi dan penjualan. Penjualan dalam hal ini bertujuan: menghasilkan pendapatan, memungkinkan pengembangan bisnis, dan menyebar gagasan-gagasan baru. Aksi: ikuti pendapat Drucker, dan kebijakan yang mendukung distribusi dan penjualan.
  22. Empat kriteria untuk memulai aksi: Perubahan dan Keberagaman, dan Pembelajaran dan Adaptasi.
  23. “Masa depan tidak menunggu untuk ditemukan. Masa depan itu untuk diciptakan, terlebih dahulu dalam pemikiran, lalu dalam kegiatan.” Walt Disney.

Prof. Howkins dengan graphic note dari materi keynote speech

Beberapa hal yang tertangkap dalam graphic notes antara lain:

  • mengenai pentingnya bagi pemerintah untuk memiliki kepemimpinan dan cara berpikir yang berbeda (mau menanyakan, “apa yang bisa kami bantu? apa masalah yang kalian hadapi?” pada para pengusaha pemula), dan bahwa pemerintah seharusnya mendengarkan juga saran dari para pelaku dalam bidang desain dan media;
  • karya ekonomi kreatif merupakan hal yang subyektif, sehingga sulit untuk menjadikannya sebuah kebijakan yang memerlukan perhitungan-perhitungan kuantitatif;
  • mengenai cara meyakinkan pemerintah lokal: melalui demo/ pilot project yang tidak terlalu mewah, tapi dapat menjadi sebuah simpul yang dihargai baik oleh sektor bisnis maupun oleh komunitas;
  • bahwa kita makin hidup dalam dunia jejaring takbenda, di mana konsumen lebih memilih untuk bukan lagi membeli, melainkan memiliki benda, dan lebih menginginkan untuk mendapatkan akses ke sebuah pengalaman;
  • setiap negara perlu memiliki sekolah seni khusus (film, desain, dsb.).

Dan ada banyak hal lagi yang membuat bahasan mengenai ekonomi kreatif ini menjadi tak kunjung habis. Bagi yang masih penasaran, terutama yang berada di Bandung November 2017 ini, bisa berinteraksi langsung dengan Prof. John Howkins yang telah bersedia hadir di Bandung Design Biennale! Nantikan update selanjutnya ^_^

Prof. Howkins menutup presentasinya dengan kutipan dari Walt Disney, tokoh kreatif dunia

Chiang Mai Design Week

Born Creative

Born Creative

Ini adalah pertama kalinya Chiang Mai menyelenggarakan Design Week (Chiang Mai Design Week/ CMDW), dengan tema Born Creative, diselenggarakan oleh Thailand Creative & Design Center (TCDC) dengan dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi Chiang Mai dan The Office of Knowledge Management and Development (OKMD). Selama satu minggu penuh, 6-14 Desember 2014, beragam aktivitas dan program yang berhubungan dengan desain dan kreativitas diselenggarakan di banyak titik di Kota Chiang Mai. Saya berkesempatan hadir di CMDW perdana ini karena diundang untuk menjadi salah satu narasumber di salah satu acara utama CMDW yaitu di sesi Creative City dalam program Creative Dialogue, sebuah talk show yang diselenggarakan di venue utama CMDW, yaitu TCDC Chiang Mai. Berikut ini adalah beberapa hal menarik mengenai penyelenggaraan CMDW di kota yang karakter dan skalanya menyerupai Bandung ini.

 

Paket Buku Acara dan Peta

Penyelenggara telah menyiapkan buku acara dengan jadwal dan detail tiap program, plus peta yang memberi informasi lokasi sebaran venue tempat program/acara berlangsung. Titik-titiknya pun memiliki kode berbeda untuk tiap jenis acara, misalkan: pameran, instalasi kota, workshop, dll. Paket buku acara dan peta ini dapat diperoleh gratis di booth informasi CMDW yang tersebar juga di beberapa titik kota yang menjadi venue besar CMDW, selain juga dapat diakses melalui website CMDW http://www.chiangmaidesignweek.com/map_location/. Dengan adanya informasi yang selalu ter-update ini, pengunjung dapat merencanakan perjalanan dan waktu kunjungannya ke CMDW.

 

Elemen kota: Instalasi Seni dan Penanda Venue

Tersebar di Chiang Mai, beberapa instalasi seni yang juga ditandai sebagai bagian dari CMDW. Tiap instalasi diberi penanda yang serupa dengan penanda di setiap venue atau gedung yang berpartisipasi di CMDW; bentuknya mirip penyangga kanvas untuk melukis. Penanda ini, selain diberi nomor sesuai dengan yang terdapat di peta dan buku acara, juga memuat informasi mengenai instalasi yang terpasang dan pembuatnya.

Penanda ini sangat membantu bagi pengunjung yang sengaja hendak mampir ke berbagai venue CMDW, terutama karena beragamnya jenis venue yang berpartisipasi di CMDW ini; dari café, gudang ‘kosong’ dan gedung-gedung pemerintahan, hingga hotel bersejarah dan spa yang memiliki reputasi global. Hal ini juga menyebabkan siapa pun yang berada di Chiang Mai menjadi mengetahui mengenai CMDW dan dapat turut menikmati suasana dan karya-karya di CMDW.

Selain instalasi dan penanda venue, terdapat pula elemen promosi di beberapa titik seperti di terminal kedatangan di bandara Chiang Mai, di persimpangan jalan, dan lain-lain, namun tidak sampai mengalihkan dari rambu-rambu utama maupun mengganggu pemandangan kota.

 

Tur Sepeda

Selama berlangsungnya CMDW, terdapat tawaran tur sepeda gratis yang menawarkan kunjungan ke beberapa venue CMDW, sekaligus paket-paket workshop selama tur berlangsung. Chiang Mai belum mempunyai sistem bike sharing di kotanya, dan tim operator tur sepeda ini pun sebagian besar datang dari Bangkok, sementara sepeda-sepedanya diadakan oleh sponsor. Di luar acara tur, sepeda-sepeda ini dapat dipergunakan secara gratis oleh siapa pun, dan dapat diambil atau dikembalikan di pos-pos sepeda mana pun yang tersedia di venue CMDW.

Tur sepeda ini berlangsung sejak pagi hingga sore hari. Pagi hari, sekitar 15 pesertanya sudah berkumpul di meeting point awal, di TCDC. Setelah diberi pengarahan singkat mengenai cara berkendara yang aman dan membentuk buddy system untuk selama tur berlangsung, kami berjalan kaki ke sebuah venue CMDW lain yang terletak di seberang jalan TCDC. Venue ini berupa sebuah lahan kosong di mana terdapat sebuah gudang semi-terbuka, yang selama CMDW berlangsung menjadi tempat pameran. Di pelatarannya terdapat satu kontainer barang yang diubah menjadi ruang display (pameran furnitur Skandinavia) dan satu area yang berfungsi sebagai dapur dan café terbuka untuk acara diskusi, serta sebagian lahan yang menjadi tempat parkir dan pos sepeda. Setelah melihat pameran di venue pelataran terbuka ini, kami kemudian berjalan kaki menuju venue di sebelahnya, sebuah gedung 4 lantai yang biasanya tidak terpakai. Selama CMDW berlangsung, seluruh lantai gedung ini diisi oleh pameran dari beragam produk, mulai dari produk-produk tradisional (mis. lacquer works), karya kontemporer (mis. poster dan desain produk daur ulang), hingga display mengenai organisasi seperti Handmade Chiang Mai. Setelah selesai melihat display di gedung ini, kami kembali ke venue gudang semi-terbuka, untuk memilih dan mulai mengendarai sepeda masing-masing menuju venue CMDW lain.

Tiba tengah hari, venue yang kami kunjungi adalah sebuah hotel di kawasan kota tua Chiang Mai, yang sebagian bangunannya masih berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Di hotel ini terdapat pameran textile for fashion dan hasil studi eksplorasi material alam untuk berbagai produk berbahan dasar kertas. Setelah disambut oleh manajer pemasaran hotel yang juga menerangkan bahwa hotel ini juga sangat terkenal oleh spa-nya, tim tur sepeda ini dijamu minuman segar dan makanan kecil sebelum melanjutkan perjalanan. Saya harus berpisah dengan rombongan, karena harus segera mempersiapkan diri untuk mengisi acara Creative Dialogue, sementara peserta tur lain berangkat ke venue lain dan berpartisipasi di berbagai workshop yang termasuk dalam paket tur sepeda ini.

 

“Angkot” Gratis

Selain sepeda, selama CMDW disediakan pula kendaraan gratis dari venue ke venue, yaitu “angkot” (kendaraan umum yang lazim digunakan di Chiang Mai, mirip Mikrolet di Jakarta), yang diubah menjadi shuttle gratis CMDW dengan menambahkan penanda dan infografis peta venue yang menjadi titik hop-on/-off pada bagian muka dan sisi kendaraan.

 

Meskipun hanya sempat berada di Chiang Mai selama 2 hari saat CMDW berlangsung, cukup terasa suasana penyemarakkan kota dengan berbagai aktivitas desain. Apalagi saat itu juga berlangsung Nimmanhaemin Art&Design Promenade (NAP), acara tahunan yang telah menjadi salah satu tujuan utama pengunjung Chiang Mai di minggu ini. Beragamnya jenis acara yang ditawarkan juga menggambarkan lingkup pengembangan desain di Thailand pada umumnya, dan Chiang Mai pada khususnya: mulai dari karya mahasiswa desain, pengrajin tradisional, hingga designer-residence dan karya warga ekspatriat, mulai dari karya eksperimen hingga yang telah memiliki brand eksklusif; seluruhnya disajikan dengan cara yang dapat memperkenalkan dunia Desain dengan ramah dan menyenangkan.

Merayakan Hari Pohon dengan Kreativitas dan Aktivasi Ruang Kota

*Pertama kalinya menulis artikel untuk Warta Gereja GKI Maulana Yusuf, Bandung, dalam perjalanan antara Seoul dan Jeju, Korea Selatan. Artikel ini dapat pula diakses di http://gkimy.or.id/main/kolom-bina-jemaat/325-kolom-bina-2014-11-23

 

Merayakan Hari Pohon dengan Kreativitas dan Aktivasi Ruang Kota

 

Dari sekian banyak hari besar dan peringatan di muka bumi ini, salah satu yang paling mengekspresikan kemesraan antara manusia dan habitatnya adalah Arbor Day, atau Hari Pohon (arbor berarti “pohon” dalam Bahasa Latin), yang jatuh pada tanggal 21 November, di mana orang diajak untuk menanam dan merawat pepohonan. Pada awalnya, Hari Pohon ini dimulai di Villanueva de la Sierra, sebuah kota kecil di Spanyol, ketika seorang rohaniwan lokal mencanangkan inisiatif tersebut pada tahun 1805, yang disambut dengan antusias oleh seluruh warga. Hingga kini, Arbor Day masih dirayakan di berbagai negara, meskipun dalam tanggal yang berbeda-beda, disesuaikan dengan iklim dan musim tanam di negara masing-masing.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita pernah memberi perhatian khusus pada pohon yang terus memberi manfaat bagi kita? Atau mungkin karena saking terbiasanya merasakan kehadiran pohon, kita terkadang menganggap remeh keberadaannya? Bagi kita yang hidup di kota besar, padat penduduk, dan terus berkembang seperti Bandung: perilaku apa yang kita biasakan dalam menghadapi sesama makhluk hidup ciptaan-Nya ini?

Berbagai hal yang berkaitan dengan kualitas lingkungan, yang telah menjadi keprihatinan bersama belakangan ini, antara lain meliputi bencana banjir, polusi udara, dan suhu yang makin panas dan tidak nyaman, terutama di berbagai wilayah padat penduduk. Secara langsung maupun tidak, hal-hal ini berkaitan dengan keberadaan dan kualitas pepohonan di lingkungan tersebut.

Terbatasnya Ruang Terbuka Hijau di perkotaan padat penduduk seperti Bandung ini menjadi salah satu sebab berkurangnya lahan yang dapat ditanami dan ditumbuhi pepohonan. Namun hal ini tidak menjadi halangan bagi berbagai komunitas dan masyarakat lokal untuk dapat memperbaiki kualitas lingkungan hidupnya. Tentu beberapa dari kita telah akrab dengan istilah urban farming dan sejenisnya, yang mengarah pada pemanfaatan lahan yang paling sempit sekali pun untuk bercocok tanam. Bahkan juga pemanfaatan berbagai lokasi tanam yang (dulunya) tidak lazim, seperti dinding, pagar, hingga atap rumah, dengan media tanam yang juga berbagai rupa. Bandung, yang dikenal sebagai kota dengan berbagai komunitasnya yang sangat aktif, telah banyak pula melahirkan gerakan yang berkaitan langsung dengan upaya penghijauan wilayah permukiman, hingga aktivasi ke kampung-kampung kota dan taman-taman publik, hingga hutan kota.

Forest Walk at Babakan Siliwangi. (c)GalihSedayu2013

Forest Walk di Hutan Kota Babakan Siliwangi (c)GalihSedayu2013

Kreativitas warga dan komunitas di Bandung bahkan telah berupaya mengajak masyarakat luas agar menyadari adanya hutan kota satu-satunya yang ada di Kota Bandung, Babakan Siliwangi, dan memanfaatkannya sebagai ruang publik yang inspiratif. Hutan kota ini telah dideklarasikan menjadi Hutan Kota Dunia pada tahun 2011 bersamaan dengan event Tunza, sebuah konferensi internasional untuk anak-anak dan pemuda yang diadakan oleh United Nations Environmental Program (UNEP) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), bekerja sama dengan Bandung Creative City Forum (BCCF). Saat itu, Hutan Baksil tengah menjadi subyek pembicaraan yang hangat berkenaan dengan rencana pembangunannya menjadi sebuah apartemen bertingkat dan ditentangnya rencana tersebut oleh masyarakat luas. Pada saat yang bersamaan, sebuah komunitas mengadakan sayembara pemanfaatan Hutan Baksil, yang desain pemenangnya benar-benar diwujudkan di hutan kota tersebut. Hasilnya adalah ForestWalk, sebuah canopy walk, atau “jembatan” di mana kita bisa berjalan sejajar atau mendekati pucuk pepohonan besar. ForestWalk dilihat sebagai salah satu upaya pernyataan warga terhadap keinginannya untuk tetap memiliki hutan kota, juga sebagai upaya mendekatkan warga kepada hutan kotanya, di samping mengekspresikan pula kesadaran warga terhadap pentingnya memiliki paru-paru kota yang tetap dapat menjadi sumber oksigen dan peredam polusi suara. Sejak didirikannya pada tahun 2011 lalu, ForestWalk hingga kini masih dapat dinikmati warga Bandung, namun, sayangnya belum dapat terawat secara optimal, sehingga banyak bagiannya yang rusak dan kotor.

Regia Infographic

Regia Infographic

Usaha untuk mendekatkan warga kepada hutan kota dilakukan lagi pada tahun 2012, ketika, dalam rangkaian acara Helarfest, diadakan Lightchestra, sebuah konser musik dan cahaya yang digelar selama tiga malam berturut-turut dalam Hutan Baksil, tanpa dipungut biaya dan dilaksanakan dengan penuh pertimbangan terhadap habitat alami dan komunitas dan warga yang beraktivitas di hutan kota tersebut. Di tahun berikutnya, 2013, bertepatan dengan Hari Bumi, Hutan Baksil kembali diaktifkan dengan event bernama Regia. Dalam Regia, dilaksanakan berbagai acara seperti yoga pagi di ForestWalk, workshop anak-anak di dalam Hutan Baksil, konser blues di Sanggar Olah Seni yang berlokasi di sisi Hutan Baksil, Forest Dining untuk memberikan pengalaman makan malam yang berbeda, pameran dan workshop fotografi, dan lain-lain, yang semuanya masih tetap bertujuan untuk mendekatkan warga pada hutan kota, dan secara kreatif memberikan informasi seputar hutan kota dan berbagai faktanya, seperti jumlah oksigen yang dihasilkan, jenis pohon yang mendominasi Hutan Baksil, fungsi Hutan Baksil sebagai tempat singgah berbagai spesies burung yang bermigrasi, dan sebagainya.

Berbagai aktivitas kreatif seperti ini dapat menjadi salah satu cara untuk kembali menyadarkan warga akan pentingnya keberadaan pohon dalam jumlah yang memadai di wilayah tempat tinggal kita, sekaligus juga mengajak warga untuk dapat merawat dan menambah jumlah pohon yang kita butuhkan tersebut. Adalah baik untuk mengadakan acara menanam pohon dalam merayakan Hari Pohon ini, terutama di area yang benar-benar membutuhkan, namun akan lebih seru lagi bila dilakukan juga berbagai inisiatif dalam bentuk yang baru dan menyenangkan untuk mengaktivasi ruang-ruang publik sekaligus merawat pepohonan yang sudah ada di tempat-tempat tersebut. Mari, tingkatkan apresiasi terhadap pepohonan, bukan hanya dengan menanam dan merawat, tapi juga dengan mengajak keterlibatan warga seluas mungkin untuk menjaga keberlangsungannya dengan cara-cara yang menyenangkan.

=====

Tita Larasati, Dosen Program Studi Desain Produk FSRD ITB & SekJen BCCF

City, Design, Sustainability

When I was asked to deliver a talk that concerns city, design, and sustainability, I right away browsed the various materials that I have in stock for such subjects, while thinking of a way to integrate them into a legible statement. Most of the audiences, I was told, were (design) students and young delegates from ASEAN countries, so I would have to take into account that not everybody is familiar with Bandung and all its characteristics. All presentation materials, of course, have to do with programs of Bandung Creative City Forum (BCCF), its programs and strategy to create a “creative city”. Here goes.

City - Design - Sustainability

CITY – DESIGN – SUSTAINABILITY

Bandung in Brief

As the capital city of West Java Province, Bandung is populated by about 2,5 million people, of which almost 70% are below 40 years old. Historically, it was among the most cities favored by the Dutch colonial government due to its cool temperature, mountain scenery and hot water springs. It had more to offer: as a resource for quinine and pharmaceutical industry and tea and coffee plantations; it was the first city designed as a garden-city, and where Dutch-Indies architects built art deco buildings. In the 30s, the newest fashion could be found either in Paris or in Bandung, hence the nickname “The Paris of Java” for Bandung in those era. All these historical facts have left cultural heritage beyond mere physical buildings; they left a city whose people are used to having a variety of lifestyles and behaviors, including progressive development in many aspects.

Bandung Potentials

Bandung is located relatively near from Jakarta, the capital city of Indonesia. Surrounding the two cities are smaller towns with material and production resources, which have become an important part of business and R&D activities in Jakarta and Bandung. Among the advantages are easy accesses to material research, product development and production, market studies, manual skills, traditional and cultural resources, and many more, which are often required in creative activities. Therefore, the location of Bandung is much favorable, considering the surrounding resources and the distance to all these resources. Added by the condition of Bandung, which is known for its pleasant mountainous atmosphere, Bandung has its advantages as a Place where creative endeavors are supported and encouraged.

Since the establishment of the first higher education in engineering in Bandung, the city has become home for about 50 universities and other higher education institutions, both for vocational and academic/research levels. These schools have attracted young, talented people from all over the place, who represent the diversity of Bandung citizens. These generations also possess an abundance of energy and ideas. They commonly gather with people who share similar interests, conducting joint programs and numerous activities in various scales, and holding them in many spots in Bandung. The facts that communities in Bandung are high in number and are very active have lead to the conclusion that the main potentials of Bandung are its People and Ideas, added by the advantage of Bandung’s location and condition: Place. The slide that shows four main programs of BCCF (Helarfest, Kampung Kreatif, Simpul Institute, DesignAction.bdg), with their general road map, gives a picture of how these programs work closely to the field of design and creativity.

Design for the City

How is Design contributing to the development of a city and its sustainability? The following slides attempt to answer this question through examples taken from BCCF programs. Presented here are three functions of Design: as a tool, as a practice, and as a method. Firstly, as a tool, the design of our city branding .bdg has taken effect as a code that unify the different creative communities in Bandung, who can still present their individual identity while having also a collective identity as originated from Bandung (by the community’s name before the [dot], and by the “bdg” that follows). As commonly conducted when defining a brand, prior studies on positioning, values, personality, etc. were explored as well, to find the real soul of Bandung, before translating all these manifestations to a visual form: a logo, a brand and its activations that represent the city.

Secondly, as a practice, design for a city can come in many forms, purposes, and scales.

  1. RekaKota project during Semarak.bdg in 2010, where several public spots in the city were each assigned to a group of designers/artists. Each group designed either a shelter, a smoking corner, a public bench, and so on, depending on the particular spot. RekaKota is among the first BCCF events that attempted to implement a collaboration among designers, business sector, and the government, by offering the public facility designs to a brand or company who would invest in producing the facilities while also subtly promoting their brand, and by having the government’s decision to give permission to the location and the facilities, and for tax reduction if the facilities are considered as an advertisement for the brands.
  2. Bandung Public Furniture projects in Helarfest 2008 and 2009, where industrial design students, lecturers and professionals designed and produced a variety of public furniture and put them in public spaces (open space in malls, public parks, etc.). The products had unusual functions and shapes, compared to the benches commonly found in public areas in Bandung, and it was interesting to observe how people appreciate and interact with these products. This project has gradually proven that well-designed products can add to the pleasant experience of people towards their built environment.
  3. An infographic poster from Regia event in 2013 that was published in Pikiran Rakyat, the biggest newspaper in West Java, informed its reader about Babakan Siliwangi World City Forest in Bandung: the dominant tree species, its Oxygen production, its function as a transit place for migrating birds, and so on. Through this clear and easy-to-read graphics, people are expected to gain information and affection towards the subject at the same time, and – in this case – to be aware and care more about Bandung’s only city forest.
  4. Regia in 2013 contained several sub-events, among which one was Forest Dining, where Baksil ForestWalk was turned into a dining place, collaborating with a nearby restaurant. This environment design provided a new experience in dining, where the “floors” were elevated wooden planks and the “walls” were huge, living trees with its hanging roots, leaves and branches, lightened by random colorful spotlights. Furthermore, another Regia sub-event was going on at the same time: Blues Leuweung, where live blues music performed at Sanggar Olah Seni, a cluster of art studios located at the periphery of the forest, and its sounds reached the ForestWalk, which added to this unique dining atmosphere.

All in all, “design for the city” that are presented here can be seen not as a mean to merely decorate or beautify a place. Design is meant to provide proper interaction between people and their surrounding objects and environment, to give clear information inclusively, and to create pleasant experiences for citizens in conducting their daily lives in the city. All design projects by BCCF aim to make urban life more enjoyable.

Thirdly, design as a method to solve problems in the city. DesignAction.bdg (DA.bdg) program at BCCF is a workshop-conference that applies design thinking method to find innovative solutions for urban issues, involving the four stakeholders of a city: the government, business sector, academics and communities. The first DA.bdg in 2013 focused on urban mobility issues, where all participants tried walking, taking angkot and bus, and riding bicycles in the city in the observation/empathy phase. The process continued with re-framing up to prototyping, where participants in groups presented and role-played their recommendations to solve urban mobility problems. DA.bdg2013 had about 250 participants from all stakeholders (government, business sector, academics and communities) who gathered for three full days and interacted intensively with each other; an opportunity that seldom comes. The “creative process” that is commonly used to solve design problem is now no longer the domain for designers only, but can be applied to other conditions, including an urban setting, and even to rethink about policies and regulations, to find where bottom-up and top-down solutions can meet, and so on.

What about the Sustainability?

The term “sustainability” refers to the three aspects of Environment, Economy, and Social-Culture. “Design for the City” by BCCF includes these three aspects as well, in the form of the target of each program: Footprints. The slide that contains BCCF strategy to create a “creative city” describes that all BCCF programs and activities aim to leave either one or more of these footprints:

  • Economic: local people or communities should be able to gain an entrepreneurial mindset and to gradually self-sustain themselves by relying on their own skills and efforts
  • Social-Cultural: local people or communities should be able to express themselves and explore their own characteristics inclusively, particularly through creative activities
  • Environmental/ Artifact: there should be a physical object/ artifact that not only reminds the people/ communities about their creative potentials, but also becomes a tool for their creative expressions, while maintaining the quality of their living habitat

The previous examples left these footprints in various forms:

  • .bdg left a city brand and its activations; it gained a sense of belonging towards the city from the different communities; it also accumulated a sense of Pride that we all a part of Bandung; and it encouraged Bandung citizens to be aware of their identity.
  • Public facility projects left a number of physical objects that have improved the urban experience in Bandung, both for citizens and visitors; the project even led to a change of policy at the municipal level concerning creative expressions in public spaces.
  • Design thinking workshop basically provides a new method of solving problems by exploring the creative potentials from all stakeholders of a city, from different backgrounds and disciplines, since this is how usually innovations emerge.

It can be seen in the slide that contains a few of BCCF portfolio since its establishment in 2008: programs and events that were held to respond to, or attempted to find solutions for, a number of urban issues (in the red circles in the middle): green open space, urban mobility, entrepreneurship, public space, heritage buildings, etc. The processes and results are prototypes and recommendations for the city government and all stakeholders, especially seen from the community level, on how people can contribute to many aspects of a city. All programs and events leave the aforementioned footprints; some are better-maintained than the rest, which proves that they all require active participations from all stakeholders of the city.

Conclusively, it is proven that Design can play an important part in a City development: as a tool, a practice or a method. It so happens that Bandung has this potential at a superior level, therefore we – communities – have been using this strength to build our own living spaces, to make them more pleasant. The Sustainability takes place when all stakeholders understand and are willing to contribute to creating a Liveable, Lovable Bandung! 🙂

Nimmanhaemin

Denah tenant peserta NAP dan brand masing-masing

Denah tenant peserta NAP dan brand masing-masing

Poster dan denah NAP sebagai penunjuk arah

Poster dan denah NAP sebagai penunjuk arah

Kunjungan ke Chiang Mai ini bukan untuk pertama kalinya, tapi kali ini bertepatan dengan peristiwa istimewa di sana: Chiang Mai untuk pertama kalinya mengadakan Design Week, berbarengan dengan berlangsungnya acara tahunan Nimmanhaemin Art&Design Promenade (NAP) yang ke-15. Apa yang membuat NAP ini menjadi sangat menggemaskan dan membuat penasaran? Karena sebenarnya kita pun bisa membuat hal serupa yang tidak kalah serunya!

Nimmanhaemin adalah sebuah distrik di Chiang Mai yang merupakan tempat berkumpulnya berbagai showroom, studio dan kantor desain dan seni dalam berbagai bidang. Sekitar 14 tahun lalu, beberapa desainer yang bekerja di Nimmanhaemin berinisiatif untuk mengundang para designer-maker, desainer pemula dan seniman muda untuk menggelar karya mereka di wilayah tersebut dalam sebuah acara tahunan, sebagai kesempatan bagi mereka untuk memperkenalkan karya mereka langsung ke khalayak ramai. Ternyata inisiatif ini disambut dengan sangat positif, dan telah berjalan secara konsisten tiap tahunnya. Para pesertanya bahkan membuat produk baru dan dalam jumlah terbatas, tidak sedikit pula yang handmade atau merupakan hasil keterampilan tangan, untuk dijual pada event ini, yang jatuh pada masa ketika banyak orang berburu hadiah Natal (5-10 Desember).

Persimpangan koridor PAN

Persimpangan koridor PAN

Koridor NAP yang dipenuhi pengunjung

Koridor NAP yang dipadati pengunjung

Booth sebuah organisasi warga lokal

Booth sebuah organisasi warga lokal

Kios makanan tradisional dari warga lokal

Kios makanan tradisional dari warga lokal

 

 

 

 

 

 

 

 

Area tempat berlangsungnya NAP merupakan lahan privat, yang para pemiliknya mengijinkan pemakaiannya untuk NAP dengan syarat berbagi hasil dari keuntungan penjualan produk-produk di NAP. Penyelenggara NAP membentuk sebuah tim kurator untuk menyeleksi tenant atau peserta NAP, untuk dapat menjaga identitas NAP sebagai ajang promosi bagi desainer dan seniman muda/ pemula, sekaligus juga menjaga kualitas produk di NAP. Selain itu, penyelenggara NAP juga menyediakan beberapa booth gratis untuk organisasi lokal, seperti pada sekelompok warga yang aktif mendata lingkungan mereka, dll. Selain tenda-tenda untuk produk-produk atau karya-karya terbaru, disediakan juga lokasi untuk makanan dan minuman, baik dari pengusaha muda pemula, maupun untuk warga lokal yang menjajakan berbagai jajanan tradisional. Selama NAP berlangsung, terdapat pula berbagai pertunjukan, live music, dll. Berhubung Nimmanhaemin, lokasi NAP ini, jauh dari pusat kota, penyelenggaranya pun menyediakan beberapa ‘shuttle’, yaitu kendaraan umum dalam kota Chiang Mai (rupanya mirip Mikrolet di Jakarta) yang disewa dan ditandai khusus sebagai bagian dari NAP, lengkap dengan rutenya, selama event berlangsung.

Pelataran mal Maya

Pelataran mal Maya

Ruang publik di pelataran Maya

Ruang publik di pelataran Maya

Pelataran dan jalan setapak yang dipenuhi pop-up stores

Pelataran yang dipenuhi pop-up stores

Dampak NAP rupanya menjalar ke area sekitarnya. Di sekitar area NAP, tumbuh berjamuran berbagai café dan toko-toko desain dan pernak-pernik, telah dirancang dan mulai dibangun pula beberapa apartemen dan hotel. Salah satu venue terbesar di dekat NAP adalah sebuah mall baru bernama Maya, yang selama NAP berlangsung, pelatarannya dipenuhi oleh sejumlah pop-up stores, café dan food truck, yang sifatnya lebih permanen (sementara NAP hanya berlangsung selama 1 minggu). Hal terpenting yang patut dicatat adalah, meskipun dipadati pengunjung, area NAP tetap terjaga kebersihan dan ketertibannya. Tidak ada sampah sembarangan berceceran, atau pengunjung yang saling mengganggu. Semuanya menikmati suasana dengan santai dan gembira.

Pembuat produk ini gemar pada huruf dan terampil mengolah kayu secara manual

Pembuat produk ini gemar pada huruf dan terampil mengolah kayu secara manual

Ini pengrajin bir, yang mencampurkan teh hijau, dll. pada produk kulinernya

Ini pengrajin bir, yang mencampurkan teh hijau, dll. pada produk kulinernya

Ada beberapa booth yang juga menawarkan workshop DIY products

Ada beberapa booth yang juga menawarkan workshop DIY products

Berkat berlangsungnya NAP selama 15 tahun secara konsisten dan selalu ramai pengunjung, area Nimmanhaemin pun menjadi populer dan bergairah, dan berhasil menarik berbagai sumber daya kreatif dalam bidang seni & desain dan wirausaha untuk menetap di sana, hingga pemodal dan sektor bisnis dalam bidang kreatif untuk berniaga di area tersebut. Bahkan, kabarnya, Chiang Mai Design Week (CMDW) pun diadakan di awal Desember agar para pengunjung CMDW dapat pula sekaligus mengunjungi NAP.

NAP ini contoh nyata bagaimana seni, desain dan kreativitas dapat berkontribusi bagi pengembangan dan keberlangsungan ekonomi dan sosial, sekaligus merupakan bukti berhasilnya kerjasama antara komunitas kreatif, sektor bisnis dan pemerintah yang mendukung inisiatif tersebut, hingga dapat berlangsung langgeng.

Nah, kita mau tunggu apa lagi? Bukankah berbagai modal dasar itu sudah kita miliki semua? Tinggal menguji kemampuan kolaborasi antar pemangku kepentingan yang berbeda, dan menjaga konsistensi daya berkreasi para wirausahawan kreatif kita dalam bidang seni dan desain, sekaligus kuliner!