Tag Archives: hutanmenyala

Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Regeneratif

Awal Juni lalu, saya mewakili pihak non-pemerintah Indonesia dalam forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) bertema “Technologies, maker movement and tourism Entrepreneurship in Creative Tourism: Innovation and Technologies in Tourism”, Sesi III dalam Co-Creation Forum: Impact of Creative Economies on the Future of Tourism in the APEC region. Kabarnya, ini adalah satu dari sangat sedikit forum APEC yang mengangkat subyek Ekonomi Kreatif dan Pariwisata, diselenggarakan di Cusco, Peru, pada tanggal 5 Juni 2024.

*Semua yang mengikuti Instagram saya mungkin ingat bagian heboh dari perjalanan ke Peru ini: drama koper yang tak kunjung tiba. Bahkan setelah saya kembali ke Indonesia, koper itu baru menyusul pulang beberapa hari setelahnya. Tapi ini cerita untuk di lain kali, sekarang kembali pada Forum APEC…

Berikut ini paparan yang disampaikan dengan durasi 10 menit, mengenai Ekonomi Kreatif dan Pariwisata.

Untuk menjaga relevansi bahasan antara kedua sektor tersebut, di awal disampaikan kutipan Presiden Indonesia dalam APEC Leaders Informal Dialogue di Bangkok, 2022, yang menyebutkan bahwa “Ekonomi Kreatif adalah sektor masa depan dan pilar pertumbuhan inklusif”. 

Untuk menegaskan konteks, disampaikan juga definisi Ekonomi Kreatif menurut UU di Indonesia (2019), sebagai “perwujudan nilai tambah dari Kekayaan Intelektual yang berasal dari kreativitas, berbasis pusaka budaya, ilmu, dan/atau teknologi”; serta referensi dari OECD (2014), “industri kreatif dapat menstimulasi pertumbuhan pariwisata dengan menyediakan konten kreatif bagi tourism experiences, dengan mendukung pendekatan-pendekatan inovatif untuk pengembangan pariwisata”.

Slide ini mencoba menggambarkan spektrum destinasi pariwisata, dari yang bersifat sangat alami/hampir tanpa sentuhan tangan manusia, hingga yang bersifat buatan secara keseluruhan/dalam sebuah lingkungan binaan (built environment). Porsi dan bentuk intervensi sektor Ekraf pun berbeda-beda, namun tentu saja perlu dipertimbangkan dampak dari kegiatan dua sektor tersebut — tidak saja secara berkelanjutan (sustainable), atau menjaga kualitas wilayah sesuai dengan kondisi semula; namun juga secara regeneratif, atau meningkatkan kualitas kondisi wilayah dan seisinya, sehingga membaik dengan adanya intervensi aktivitas pariwisata dan ekonomi kreatif.   

Dalam konteks tersebut, terdapat irisan besar antara Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Regeneratif dalam menjawab tantangan SDG. Kedua sektor tersebut sama-sama memiliki purpose, yang kerap muncul dalam bentuk idealisme sebuah kegiatan; juga berupaya memberi nilai tambah, bahkan penciptaan nilai; melibatkan komunitas, termasuk masyarakat setempat;  menjalin hubungan sinergis dengan para pihak (stakeholders) yang berbeda-beda; serta memiliki kinerja yang terukur, agar dapat selalu mengevaluasi dan melakukan perbaikan di masa mendatang.

Berikut ini disampaikan contoh Ekonomi Kreatif x Pariwisata pada kondisi destinasi yang berbeda. Pertama adalah Samsara Living Museum di Karangasem, Bali, yang sarat kondisi alami dan praktik-praktik tradisional, budaya adat masyarakat setempat. Intervensi Ekraf berbasis budaya tentu mendominasi destinasi tersebut, agar tetap menjaga harmonisasi antara alam dan tradisi yang telah berlangsung selama sekian generasi. Intervensi tersebut hadir dalam bentuk, antara lain, penyediaan paket-paket pengalaman aktivitas tradisi bagi para pengunjung, pengemasan produk/komoditi lokal sehingga mendapatkan konsumen (off taker) yang dapat mengapresiasi secara pantas, dan sebagainya.

Contoh kedua adalah Urban Games oleh Bandung Creative City Forum (BCCF), sebuah kegiatan yang menawarkan destinasi pariwisata alternatif di perkotaan yang minim potensi alami. Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan kota melalui budaya kuliner, (situs) pusaka & bersejarah, serta beragam bisnis mikro/keluarga dalam narasi permainan ‘berburu harta karun’. Permainan ini melibatkan lintas komunitas kreatif, bahkan yang menaungi para difabel berbakat, serta mempromosikan berbagai usaha mikro bidang kuliner dan kriya yang selama ini telah memberi warna dan karakteristik pada Kota Bandung. Permainan ini juga dapat dirancang dengan fokus-fokus tertentu, seperti Ekologi, Ekonomi dan Sosial-Budaya; juga dapat disesuaikan dengan profil para pesertanya (keluarga, mahasiswa, siswa sekolah, dsb.).

HutaNMenyala, sebuah wahana immersive experience di Tahura, Bandung, oleh SembilaNMatahari, merupakan contoh di mana intervensi Ekonomi Kreatif memberi nilai tambah pada sebuah destinasi dalam konteks pariwisata pasca pandemi. Narasi dan visualisasi HutaNMenyala diangkat dari elemen dan tradisi lokal; produksinya dilakukan oleh para pelaku muda dalam subsektor desain, animasi, film, literatur, dsb.; operasionalnya melibatkan masyarakat setempat sebagai pemandu hutan dan usaha kuliner lokal; dan banyak lagi dampak positif dari intervensi ekraf di kawasan ini yang bersifat regeneratif bagi lingkungan dan penduduk lokal, bila mendapatkan dukungan untuk berlanjut secara kondusif.

Pemahaman terhadap spektrum destinasi “alami x binaan” ini oleh para penyusun kebijakan dan otoritas, juga operator dan pengelola destinasi, menjadi kunci untuk terciptanya sektor pariwisata yang tidak hanya berkelanjutan, namun juga regeneratif.      

Sebagai penutup ringkas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Sektor Ekraf berpotensi besar untuk menambah nilai pada sebuah destinasi, melalui dampak-dampak sosial, lingkungan dan ekonomi yang bersifat regeneratif; (2) Sektor Pariwisata mendorong eksplorasi beragam ekspresi produk dan jasa kreatif dalam ekosistem Ekonomi Kreatif; (3) Keberhasilan sinergi antara sektor Ekraf dan Pariwisata memerlukan pemahaman menyeluruh terhadap konteks lokal, dukungan kebijakan dan inovasi, serta kolaborasi erat antar seluruh pihak.