Tag Archives: kota kreatif

Komite Ekraf.bdg

Bandung ini gampang-gampang susah. Katanya, nggak usah ada pemerintah pun, “semuanya bisa jalan sendiri”, karena warganya terlalu mandiri. Juga soal ekonomi kreatif (ekraf), ingin rasanya beneran bisa autopilot. Tapi nyatanya reputasi ekraf Bandung ini pasang-surut, baik di tingkat nasional maupun internasional, tergantung pada periode pengampu kotanya. 

Memang, kegiatan dan event ekraf tetap saja berjalan meriah di kalangan profesional dan akademisi. Di masa ketika kata-kata “kreativitas” atau “kota kreatif” sama sekali tidak tercantum di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ini, aparat kota memang jadinya nggak punya alasan/ landasan legal untuk menggarap bidang ekraf, karena tidak ada dalam daftar tugas mereka — meskipun jabatan pengampu urusan ekraf ini ada dalam struktur pemerintahan. Tapi toh ekraf di Bandung tetap terselenggara dengan aktif dan seru, dalam bentuk berbagai lokakarya, festival, konferensi internasional, dan banyak lagi. Hanya saja memang sayang, kan, kalau potensi ekraf ini tidak dimanfaatkan sebagai strategi dalam membangun SDM dan ruang-ruang kotaNahmakanya disahkannya Perda Ekraf (No.01 Tahun 2021) pada Januari 2021 lalu menjadi semacam jaminan bahwa siapa pun pengelola kotanya, ekraf akan selalu masuk dalam rencana pembangunan [Ref: Dari Aktivisme ke Kebijakan].

Dari delapan urusan ekraf yang tercantum dalam Perda Ekraf itu, salah satunya adalah Komite Ekraf [Ref: Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana?]. Komite inilah yang seharusnya menjadi intermediary, jembatan, atau perantara antara kebijakan dengan aspirasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan ekraf dalam wilayah kota, selain juga merancang peta jalan dan program strategis. Lingkup tugasnya pun sudah dipaparkan di perda tersebut. Pengennya sih segera dibentuk, supaya segera bergerak dan berdampak, apalagi mengingat momentum dan peluang besar yang bertubi-tubi hadir di Kota Bandung. Tapi karena satu dan lain hal — selain karena pandemi dan refocusing anggaran, juga karena adanya perubahan personel pengampu — implementasi dari perda tersebut tidak bisa segera terjadi.

Meskipun hanya selang setahun sejak Perda Ekraf disahkan (Januari 2021) hingga hari ini (Februari 2022), perkembangan situasi terkait ekraf terjadi sangat pesat, dari fenomena lokal dan nasional, hingga skala dunia. Perda yang dimulai prosesnya di tahun 2018 ini pun harus segera mengadopsi kondisi terkini dalam implementasinya. Sebagai (mantan) tim Ekraf.bdg, yang kami inginkan utamanya hanyalah kesinambungan dan pemutakhiran program, agar tidak mulai dari “mentahan” lagi, demi dampak yang lebih nyata dan terukur. Juga, tetap menjaga kesesuaian dengan konsep “ekosistem ekonomi kreatif” yang telah disepakati dan juga tercantum dalam perda. Jadi, kami menyiapkan dokumen referensi, yang sebagian deck-nya bisa dilihat berikut ini.       

Slide 1. Daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung.

Slide 1 memuat daftar rekam jejak ekraf Kota Bandung, yang juga berpengaruh pada konsep dan gerakan ekraf di tingkat nasional dan internasional. Proses dari Triple Helix hingga Hexa Helix; dari riset dan aktivasi oleh komunitas lokal hingga menjadi rekomendasi kebijakan skala dunia; dari inisiatif bottom-up hingga terbentuknya konsensus kerangka kerja sebuah “Kota Kreatif”. Sejarah yang menunjukkan leadership Bandung dalam sektor ekraf tentu tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Slide 2. Dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif”, dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015).

Slide 2 menampilkan dokumen yang menyatakan status Bandung sebagai “Kota Kreatif” dari Kemenparekraf (2013) dan UNESCO (2015). Adanya semacam komite, badan, atau Chief Creative Officer, menjadi pelengkap sebuah “Kota Kreatif”, seperti yang pernah diungkapkan oleh Zuzanna Skalska [Ref: Kota yang Berpihak pada Manusia]:

Pada akhirnya, apakah tantangan sebenarnya bagi “kreatif” dalam konteks “kota”? Sebuah kota dengan konsep ‘baru’ memerlukan pendekatan yang juga baru. Sebuah “kota kreatif” memerlukan seorang creative chief — tanpa keberadaan seorang “creative chief”, atribut “kota kreatif” hanya menjadi hal artifisial

Slide 3. Landasan hukum.

Slide 3 merunut landasan hukum dibentuknya Komite Ekraf sebagai salah satu lingkup yang diatur dalam Perda Ekraf Nomor 01 Tahun 2021. Font yang abu-abu itu, karena sedang ada proses penyusunan Rindekraf nasional yang baru, untuk kemudian dirujuk oleh kota/kabupaten. 

Slide 4. Bagian perda tentang komite.

Slide 5. Bagian perda tentang komite.

Slide 4 dan 5 memaparkan bagian-bagian perda yang memuat bahasan mengenai Komite Ekraf.

Slide 6. Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders sebagai kerangka kerja ekraf.

Slide 6 memuat bagan nomenklatur Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Hexa Helix Stakeholders, yang telah berkembang sejak dirancangnya Perda Ekraf. Sebuah Kota Kreatif harus cekatan dalam memahami dan memanfaatkan alur sinergi seluruh elemen dalam framework ini.

Slide 7. Salah satu alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg.

Struktur komite sebaiknya ramping, namun terkoneksi erat dengan perwakilan bidang (sub-sektor industri kreatif), (hexa helix) stakeholders, dan segmen masyarakat lainnya. Slide 7 memuat bagan salah satu versi/ alternatif usulan struktur Komite Ekraf.bdg yang telah disesuaikan dengan ekosistem dan framework terkini, juga dengan karakteristik dan kebutuhan Kota Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia dalam bidang Desain.

Slides pelengkap ini sifatnya menginformasikan evidence kinerja ekraf Bandung yang sudah turut membentuk pemahaman terhadap “ekonomi kreatif” yang tetap relevan bagi masa kini, pasca pandemi, hingga untuk pemulihan yang berkelanjutan dan membangun kembali tatanan kehidupan di masa mendatang.  

=====

Deck ini sudah dipresentasikan kepada para pengampu tertinggi Kota Bandung beserta jajarannya, di waktu yang berbeda-beda. Semoga keputusan resmi untuk Komite Ekraf.bdg nanti dapat tetap membawa semangat progresif, mampu mengembalikan leadership Kota Bandung dalam sektor ekraf di skala nasional dan dunia, serta berdampak nyata dan terukur bagi seluruh warganya secara inklusif (hal ini nih yang selalu diwanti-wanti oleh para anggota DPRD di setiap sesi pembahasan finalisasi perda). Semangat! 

Perlakuan Super untuk Daerah Super

Bagaimana sektor Ekonomi Kreatif mendukung daerah destinasi pariwisata super prioritas?

Baru-baru ini Indonesia Creative Cities Network (ICCN) kembali mendapat kesempatan untuk berinteraksi langsung, secara daring, dengan Mbak Wamenparekraf. Kali ini agendanya mengenai dukungan sektor ekonomi kreatif bagi akselerasi pengembangan lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (5 DPSP): Danau TobaBorobudurMandalikaLabuan BajoLikupang. Dalam pertemuan itu, Mbak Wamen memperkenalkan kami kepada tim kreator konten dan KOL (Key Opinion Leader) yang juga akan berkontribusi bagi pengembangan 5 DPSP tsb.

Mengenai 5 DPSP dan seluruh upaya pengembangannya, baik dari segi infrastruktur fisik, keterlibatan komunitas dan warga lokal, program-program aktivasi, dan sebagainya, tentu saja sudah banyak dibahas oleh berbagai pihak. Paparan ICCN pada kesempatan ini pun mencakup framework atau kerangka kerja ICCN yang dapat diterapkan di 5 DPSP tersebut, yaitu 10 Prinsip Ko/Kab KreatifCatha EkadasaEkosistem Ekraf, dan Hexa Helix Stakeholders. Dilengkapi dengan kontribusi sudut pandang dari tiap kedeputian di ICCN, yang relevan dengan rencana pengembangan 5 DPSP, didukung dengan data, baik mengenai potensi khas tiap daerah (sejarah, budaya, alam, aktivitas, dsb.) maupun mengenai rencana pembangunan yang direncanakan untuk tiap wilayah, jumlah UMKM & koperasi, serta berbagai komunitas lokal yang telah aktif berkarya di wilayahnya. 

Jadi, di sini mungkin tidak akan dibahas hal-hal itu secara langsung. Hanya saja ada beberapa butir pemikiran yang mungkin dapat disematkan pada skenario besar 5 DPSP, maupun daerah-daerah prioritas lain yang mengikutinya.

DATA

Berlangsungnya segala kegiatan di 5 DPSP, baik festival, konferensi, maupun acara lain dalam konteks ekonomi kreatif, terutama di sektor pariwisata, merupakan kesempatan baik untuk melakukan studi seputar dampak seluruh kegiatan tersebut terhadap kondisi ekonomi warga dan UMKM lokal dan penyerapan tenaga kerja yang terlibat, khususnya dalam sub-sektor industri kreatif (penampil/seni pertunjukan, musik, peliput dan penyunting dokumentasi foto & video, desain cenderamata berikut kemasannya, produk interior dan amenities hotel dan restoran/kafe, dan banyak lagi). Studi ini bisa dilakukan oleh kampus atau lembaga riset, bekerja sama dengan pemda setempat. 

Data yang diperoleh, yang akan lebih baik lagi bila dapat diklasifikasi dalam komponen ekosistem ekraf, akan menjadi bekal argumen yang solid mengenai bagaimana ekraf — melalui sektor pariwisata — berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan bahkan mungkin sekaligus menjadi solusi bagi berbagai permasalahan tertentu di wilayah tsb. Data yang akan selalu terbarukan ini juga dapat memperkuat elemen dashboard Indeks Ko/Kab Kreatif ICCN sebagai alat kerja bagi pemda, yang dapat membantu dalam pembuatan regulasi dan penentuan kebijakan berdasarkan potensi parekraf wilayahnya. 

JENAMA KOLEKTIF: TAGAR, SERI MASKOT, PRODUK KEKAYAAN INTELEKTUAL

5 PSDP ini belum semua orang tahu: bahwa lima daerah ini menjadi destinasi pariwisata super prioritas, atau bahwa ada daerah itu di Indonesia. Untuk mempopulerkannya, terutama ke khalayak ramai dan bukan hanya ke pengusaha/ investor/ pemangku kepentingan daerah itu saja, mungkin diperlukan tagar (tanda pagar/ hashtag) yang dapat disepakati setiap kali terdapat bahasan atau liputan mengenai 5 daerah tersebut di media sosial, apa pun platformnya. Dimulai dari lembaga pengampunya, Kemenparekraf, untuk dapat ditularkan ke seluruh warganet.

Akan seru sepertinya kalau 5 DPSP ini masing-masing punya seri maskot, dengan kode visual (warna, bentuk, dll.) yang serupa, sehingga menjadi semacam benda koleksi. Jadi belum lengkap rasanya kalau hanya punya satu, tapi harus punya empat yang lainnya juga. Produk Kekayaan Intelektual (KI) ini tentu saja bisa menjadi beragam produk turunan, mulai dari boneka (ingat, boneka Asian Games 2018 habis terjual, karena event yang sukses?), peralatan pribadi untuk kesehatan (masker dan hand sanitizer), stationary, produk-produk digital, komik dan animasi, serta cenderamata, dari yang paling sederhana dan umum, hingga versi high-end/ eksklusif yang diproduksi dengan kualitas premium dalam jumlah terbatas.

Selain membangun awareness terhadap 5 DPSP, seri maskot ini juga dapat menjadi gerbang masuk ke pemahaman lebih mendalam mengenai potensi wilayah dan kearifan lokal 5 DPSP, sehingga meningkatkan penghargaan atau respect terhadap daerah tersebut dan segala potensinya. Tidak mustahil pula daerah-daerah lain yang juga menjadi destinasi prioritas pariwisata akan menyusul dengan maskot masing-masing, dengan tujuan serupa. 

Untuk mensukseskan hal ini, tentu saja diperlukan tim kurator yang solid, dengan kredibilitas tinggi, dan telah terjamin dalam hal kualitas kinerjanya. Dengan adanya seri maskot ini, mau tidak mau akan terlatih pula para pelaku ekraf kita dalam hal etika berbisnis dengan KI sebagai aset/komoditinya, mulai dari syarat/ prosedur mengurus KI itu sendiri, hingga komersialisasi dan perlindungan KI.

Dengan adanya seri maskot ini juga, tidak hanya para pelaku ekraf dan UMKM di 5 DPSP tersebut yang dapat memproduksi karya-karya turunannya, namun juga para pelaku di daerah lain, dengan penerapan sharing factory & production site untuk dapat memenuhi kebutuhan pengadaan produk-produk turunannya. Ekosistem ekraf akan kembali tampak dalam upaya rantai nilai ini, dan akan terbukti bahwa dengan kekuatannya sendiri, Indonesia bisa bangkit dan pulih kembali.   

PRODUKSI DAN KONSUMSI YANG BERTANGGUNG JAWAB

Pengadaan fasilitas fisik maupun non-fisik selalu berdampak pada lingkungan, baik saat terjadinya ekstraksi sumber daya, saat pemakaian, maupun (dan terlebih lagi!) saat fasilitas selesai dipakai, yang sering menghasilkan limbah.

Gencarnya produksi gimmick dan apa pun amenities nanti hendaknya memperhatikan siklus material tersebut, sehingga tidak menambah beban wilayah yang harus menampung keramaian yang diharapkan terjadi. Limbah kemasan makanan, kemasan berbagai peralatan agar tetap steril, kemasan cendera mata, peralatan kesehatan (masker, botol-botol hand sanitiser) dan sebagainya, harus sudah menjadi perhitungan sejak awal, bahkan sebelum segala fasilitas ini diadakan untuk daerah-daerah tersebut.

PROYEKSI WILAYAH

Tentu saja 5 DPSP ini tidak hanya disiapkan dan diharapkan sebagai one-off event. 2021 memang telah dideklarasikan oleh PBB sebagai Tahun Internasional untuk Ekonomi Kreatif bagi Pembangunan Berkelanjutan, dengan Indonesia sebagai negara pengusul utamanya di tahun 2019, tapi di tahun 2022 dan seterusnya, Indonesia telah berencana menjadi tuan rumah bagi berbagai event penting skala dunia. G20 Summit (Labuan Bajo) 2022, UN Disaster Conference 2022, World Conference on Creative Economy (WCCE) 2022, ASEAN Summit 2023, dan seterusnya, menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memperoleh traffic yang sangat tinggi, baik secara virtual maupun real. Integrasi lintas K/L dalam menyiapkan berbagai daerah tersebut, dalam koordinasi yang kompak dengan pemda, tentunya menjadi hal yang ideal yang harus diupayakan bersama, dalam rangka mencapai pemulihan yang menyeluruh, dengan leadership yang solid.   

Daerah-daerah yang telah ditentukan sebagai “super prioritas” tentu saja memerlukan perhatian, perlakuan, dan aliran sumber daya yang “super” pula. Keberhasilannya pun bergantung pada kolaborasi yang super, dari para kontributor dengan semangat dan kapasitas yang juga luar biasa super. Momentumnya sudah tiba; kita tidak bisa beralih lagi, kecuali untuk memilih: mau menjadi awak yang super sigap untuk membawa kapal Indonesia terus melaju di tengah badai yang terus berlanjut ini, atau hanya menjadi tikus benalu penggerogot instrumen kapal.

*Featured image Labuan Bajo photo by @manggalih