Tag Archives: UCLG

Urban Games: The City as A Playground

Bahasan tentang Urban Games sebenarnya sudah beberapa kali saya angkat dalam beberapa kesempatan. Ulasan tentang Urban Games ini bahkan pernah menjadi bagian dari laporan riset dari negara-negara Brazil, Chile, Kolombia, Ekuador, Mesir, Kenya, India, Indonesia, Afrika Selatan mengenai informal Economy and Culture in The Global South  yang dilakukan oleh Global Creative Economy Council di tahun 2021 (mengenai Urban Games, dapat diakses di tautan berikut: https://medium.com/informal-economy-in-the-global-south/the-city-as-a-playground-841aa132ffb7). Tulisan kali ini untuk merekap sedikit, terutama dari forum-forum di tahun 2024 ini: United Cities and Local Governments (UCLG) Leading Cities Workshop di Jinju, Korea, dan pada Panel Tematik di UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Conference di Braga, Portugal.

Kegiatan di Jinju, yang adalah juga UCCN City of Crafts & Folk Art sejak 2019, berlangsung pada tanggal 13 Juni, dalam skema Culture 21 PLUS UCLG di mana Jinju menjadi salah satu Leading Cities yang menerapkan toolkit for Cultural Rights in Cities and Communities tsb. Jinju fokus pada pemuda, dan berencana mengaktivasi beberapa agenda pendidikan dan kreativitas bagi pengembangan kota. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan, pejabat dan pendidik di perguruan tinggi, aktivis dalam bidang pendidikan termasuk vokasi, dsb., yang semuanya dikoordinasi oleh Prof. Byung-Hoon Jeong, yang juga focal point Jinju untuk UCCN. Di forum ini, paparan berjudul “The City as A Playground: Urban Games for Regeneration and Resilience” memuat pendekatan dan praktik Bandung sebagai Kota Desain UCCN, lalu fokus pada urban games sebagai salah satu wahana yang mewadahi kebutuhan generasi muda Bandung untuk berinteraksi dan berkontribusi kepada kotanya secara empatik, produktif, sekaligus menyenangkan. Berikut sebagian dari paparan tersebut.

Urban game dapat dirancang sesuai dengan isu perkotaan yang direspons, dan kesesuaian gameplay dengan segmen (peserta/pemain) sasaran. Dalam eksekusinya, permainan memberikan pengalaman bagi para pesertanya, namun sedapat mungkin juga menghasilkan purwarupa solusi dari isu kota yang diangkat. Setelah permainan selesai, hasilnya dapat berlanjut menjadi feedback atau masukan bagi isu tersebut, baik dalam bentuk program lanjutan, bahkan regulasi dan kebijakan.

Beberapa urban games yang pernah dilakukan sebagai kolaborasi Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan beberapa komunitas mitra, seperti EcoEthno, Sahabat Kota, Pustakalana, dan banyak lagi, dengan mengangkat isu tertentu seperti ruang publik, kampung kota, skenario masa depan, dsb. Luaran dari kegiatan ini disesuaikan dengan tujuan awal ketika permainan dirancang, dapat berupa promosi taman dan museum, model kota masa depan, hingga purwarupa solusi permasalahan kota.

Beberapa permainan sebagai contoh di sini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kembali kota melalui budaya pusaka dan kulinernya; (2) mempromosikan bisnis mikro/lokal sekaligus mengangkat isu ekonomi informal dan inklusif; (3) merawat sensitivitas dan empati terhadap kota dengan memanfaatkan TIK dan media sosial; serta (4) menyediakan ruang belajar dan akses keterlibatan sejak dini untuk berkontribusi kepada kota.

Pada kerangka kerja ini (Hexa Helix stakeholders dan tahapan Connect-Collaborate-Commerce/Celebrate), dipetakan prosedur urban games secara umum, yang dapat menjadi rujukan bagi terciptanya permainan-permainan selanjutnya.

Dalam materi presentasi di Thematic Panel UCCN, ditambahkan satu slide berikut, yang memaparkan dampak urban games terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui pembangunan infrastruktur sosial.     

Harapannya, intervensi terhadap kota oleh para kaum muda dalam lintas komunitas/ stakeholders dengan cara yang menyenangkan (playful) dan memikat (engaging) melalui Urban Games dapat terus diaktivasi dan dikembangkan, demi melaksanakan iterasi solusi perkotaan dan menciptakan purwarupa inovatif yang berdampak nyata dan terukur. Sebab inilah esensi sebuah perkembangan kota kreatif sebagai entitas organik, seperti halnya pertumbuhan manusia kreatif: terus bermain, berani mencoba, mencipta dan berbagi solusi bersama.       

=====

Berikut beberapa post dan video urban games di Bandung: Riung Gunung: children as co-designers

 

UNITAR CIFAL Jeju Workshop

Juli 2023 lalu, saya kembali menginjakkan kaki di Jeju, sejak pertama kalinya mengunjungi pulau itu di tahun 2014 sebagai salah satu pembicara di pertemuan PAN Asia Network. Selang sekian tahun, terlihat banyak perubahan di Jeju; dulu sepertinya fasilitas akomodasi dan transportasi terbatas, tidak seperti sekarang, banyak pilihan hotel dan tempat-tempat makan, museum, dan destinasi lainnya. Meskipun merupakan bagian dari negara Korea Selatan, Jeju tidak mensyaratkan visa bagi WNI. Proses persiapan perjalanan pun menjadi jauh lebih mudah.

Tujuan ke Jeju kali ini adalah untuk memenuhi undangan sebagai dosen tamu di rangkaian workshop dengan tema “Culture as Powerful Fuel for Building a Sustainable City”, terjadwal pada tanggal 1 Agustus 2023. Workshop ini diselenggarakan oleh the United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) CIFAL Jeju/Jeju International Training Center (JITC), disponsori oleh Jeju Special Self-Governing Province, berkolaborasi dengan the United Cities and Local Governments (UCLG) Asia Pacific. Berikut kutipan dari undangan mengenai UNITAR CIFAL Jeju:

UNITAR CIFAL Jeju is a part of CIFAL Global Network (International Training Center for Local Authorities/Actors) of UNITAR, a training arm of the UN system. The Center was established in 2010 under the agreement of UNITAR, Jeju Special Self-Governing Province and the International Peace Foundation based in Korea. The center provides local actors including government officials and civil society leaders in the Asia-Pacific region with various capacity-building training programs to exchange strategies, best practices and lessons learned in support of the UN Sustainable Development Goals.

Topik materi yang disampaikan adalah: Power of culture in urban settings: place, identity, and a sense of belonging. Pesertanya, sekitar 30 orang, berasal dari bidang budaya dan pembangunan perkotaan di wilayah Asia Pasifik. Tujuan workshop ini adalah untuk mengeksplorasi sinergi yang mempertemukan kedua bidang tersebut, sambil mengumpulkan peran budaya dalam membangun kota yang inklusif dan berpusat pada manusia, dalam memperkuat kualitas lingkungan binaan dan alami dalam perkotaan. Yang pada akhirnya mengintegrasikan budaya dalam pembuatan kebijakan perkotaan, untuk mempromosikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.   

Dengan topik ini, paparan saya memuat sekilas tentang konsep Bandung sebagai Kota Kreatif UNESCO, bahwa semuanya berlangsung karena inisiatif komunitas dan warga secara bottom-up, dengan frameworks Design Thinking, Urban Acupuncture dan People-Place-Ideas, merujuk pada SDG dan New Urban Agenda, serta referensi Culture Urban Future dari UNESCO. Fashion Village Lab, Airborne.bdg dan Urban Games ditampilkan sebagai control konkrit untuk memudahkan penyampaian pesan, juga dalam konteks Cipta Ruang/Placemaking sebagai konsekuensi dari berbagai program tersebut. Kasus-kasus empirik dari kekuatan budaya dalam ranah perkotaan ini dirangkum dan dirumuskan menjadi berbagai rekomendasi kebijakan yang telah disampaikan di beberapa forum dunia terkait ekonomi kreatif.     

 Dalam workshop ini, ada 5 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tersebar berbaur dalam kelompok-kelompok yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Di sesi terakhir hari itu, tiap kelompok mempresentasikan kasus/pilot dari tempat asal masing-masing sesuai tema workshop, yang kemudian berkembang menjadi diskusi yang menarik, terutama karena bisa saling berefleksi, belajar dan bertukar pikiran. Senang mendapat peluang ini. Terima kasih untuk UCLG yang telah merekomendasikan, dan tim UNITAR CIFAL yang sangat resourceful!

Snippets from Dublin

Berikut ini catatan-catatan lepas dari perjalanan ke Dublin dalam rangka menghadiri UCLG Culture Summit, akhir November 2023.

Kota Literatur

Dublin bergabung dengan UNESCO Creative Cities Network (UCCN) sebagai Kota Literatur sejak 2010. Sudah sepantasnya, mengingat kentalnya sejarah dan para tokoh literatur dunia yang berasal dari Ibu Kota Irlandia ini. Hampir di setiap sudut kota kita dihadapkan pada budaya literatur mereka dalam berbagai bentuk, seperti kutipan (quotes) di ruang publik, lirik lagu yang dinyanyikan di bar, dan penampilan puisi atau prosa di pembukaan acara resmi. Mereka juga masih secara aktif menggunakan bahasa Gaelic, yang selalu diucapkan terlebih dahulu sebagai salam dan pembuka, sebelum dilanjutkan dengan Bahasa Inggris, dan kemudian diucapkan lagi sebagai penutup.

Air minum complimentary di kamar hotel juga membawa semangat “literatur”. Kemasannya berupa botol ‘persegi’ berbahan kertas dan tebu “yang dipanen secara bertanggung jawab” dan “tumbuh kembali sepanjang tahun”. Pada salah satu sisinya tertera “writer’s series” dan ada foto W.B. Yeats, seorang penerima Nobel Literatur kelahiran Dublin. Jadi penasaran, ingin melihat tokoh-tokoh literatur lain di seri botol air minum ini. Hebat, ya, cara mereka mengangkat tokoh budaya lokalnya, disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan masa kini.

Teater

Ada satu hari di mana para peserta UCLG Culture Summit berkesempatan untuk menikmati acara budaya di Dublin, dengan beberapa pilihan kegiatan. Ada workshop musik, menari, perpustakaan anak, tur jalan kaki, dan sebagainya. Saya memilih untuk menonton teater di Abbey Theatre, sebuah bangunan ikonik yang dibuka sejak 1904, yang juga disebut sebagai Teater Nasional Irlandia. 

Malam itu play-nya berjudul The Quare Fellow karya Brendan Behan, disturadarai oleh  Tom Creed. Istimewanya, pertunjukan yang biasanya dimainkan hanya oleh aktor laki-laki, kali ini seluruh pemainnya adalah perempuan dan non-biner. Yang menjadi perhatian lagi adalah, teater ini penuh penonton, padahal bukan malam minggu atau hari libur. Berarti apresiasi untuk jenis pertunjukan ini sudah sangat tinggi, bagi segala kalangan, baik tua maupun muda. Ramainya malam itu seperti, kalau di kita, di bioskop yang sedang memutar film baru yang viral. Ambiens gedung teater, dengan segala memorabilianya, masih terjaga dengan baik. 

Pertunjukannya sendiri sulit diikuti, karena, meskipun berbahasa Inggris, logatnya sangat kental, istilah dan referensinya sangat Irlandia. Diam-diam mengkhayal, andai saja ada subtitle di panggung…

 

Branding Trivia

Ada trivia menarik dari branding UCLG Culture Summit 2023 ini. Seluruh materi promosi dan dokumen dari event ini mengandung kode visual yang sama, dan ada ornamen yang selalu muncul, yaitu satu garis memanjang yang memuat garis-garis pendek dalam posisi tegak lurus dengan garis memanjang tersebut, dalam formasi tertentu. Ternyata, garis-garis itu tidak disusun secara random atau demi estetika saja. Berikut ini keterangan tentang elemen visual tersebut: 

Ogham is an ancient Celtic script consisting of straight lines carved on stones or wood. We’ve chosen the Ogham word for Culture to represent our guarantee as a place of culture in global debates on sustainable development.

Mind blown! Jadi tiap rumpun garis pendek itu sebenarnya huruf, yang membentuk kata “culture”! Dan bisa diposisikan horisontal maupun vertikal, di segala media. Aduh keren banget.

 

Dublin Winter Lights

Sudah masuk musim dingin ini, langit jadi cepat gelap. Kota yang usianya sudah 700 tahun ini pusatnya dipenuhi oleh bangunan abad-16 yang megah dan kokoh, diselingi dengan bangunan-bangunan baru serta toko-toko di sepanjang trotoar. Suasana gelap, terutama pada bidang luas pada dinding gedung, dimanfaatkan sebagai kanvas besar dengan event Dublin Winter Lights.

Sebelum event tersebut dimulai, sudah ada beberapa “light graffiti” yang dapat dinikmati oleh semua orang, bisa tiba-tiba muncul begitu saja di tembok atau trotoar. Permainan cahaya yang jauh lebih ‘niat’ dapat diikuti di media sosial Kota Dublin ini. Seru ya, bisa jadi ajang ekspresi para pelaku kreatifnya, selain juga mencerahkan suasana kota.   

IMG_5989 IMG_5953

Museum Kecil

Karena ada waktu 3 jam sebelum bisa masuk kamar, saya manfaatkan untuk mampir ke The Little Museum of Dublin, yang jaraknya hanya 10 menit jalan kaki dari hotel.

Alasan ke sana? Ingin info lebih banyak soal Dublin & Irlandia, berhubung belum pernah ke sini sama sekali. Selain itu: ada ruangan khusus utk U2!

Museum yang bertempat di 1 rumah berlantai 3 ini merupakan swadaya masyarakat, yang ditertawakan orang waktu pertama dibuka. Kata mereka, “Memang siapa yang mau datang?”. Tapi sekarang jadi museum paling laris se-Dublin. Koleksi museum ini sebagian besar adalah sumbangan dari warga Dublin, mulai dari foto dan poster lawas, sampai kemasan ‘sembako’ jadul. Semuanya punya cerita.

IMG_5954 IMG_5953 IMG_5952

Saya ikutan guided tour-nya (durasi 30 menit), 13 EUR per tiket. Bareng dengan sekitar 12an pengunjung lain, menyimak cerita dari satu ruangan ke yang berikutnya. Menjelang akhir tur, tentang Dublin di tahun 1990an, tentu saja U2 disebut sebagai salah satu kebanggaan “Made in Dublin”.

Refleksi singkat: kisah dan artifak di kota kita pasti nggak kalah seru. Tapi memang perlu dipajang dengan pantas, diceritakan dengan menarik, juga dibuat merchandise-nya yang keren. Nggak usah mewah dan besar, compact saja seperti yg di Dublin ini. Heuh jadi gregetan!

IMG_5958

 

UCLG Culture Summit, Dublin 2023

UCLG (United Cities and Local Government) kembali menyelenggarakan Culture Summit, kali ini yang ke-5, di Dublin, Irlandia, pada tanggal 28 November s.d. 1 Desember 2023. Tema yang diangkat adalah “Culture. Future. Goal.We Act to Bring Local Visions to Global Tabels”. Saya kembali diundang untuk menjadi narasumber, di dua sesi, yang satu bertema “Public Spaces, Communities, Trust, Artists”, dan satu lagi “Measuring The Impacts of Cultural Policies”.  

Sesi “Public Spaces…” dipimpin oleh Mehmet Duman, Sekjen UCLG Timur Tengah dan Asia Barat (UCLG-MEWA), dengan keynote dari Michel Vallée, Pres-Dirjen, Culture pour Tous, Quebec, Kanada. Para narasumber, termasuk saya, datang dari latar belakang yang sangat beragam. Di kesempatan ini, saya menyampaikan tentang ICCN (Indonesia Creative Cities Network), Catha Ekadasa yang ke-4 (Navigasi Pembangunan), sekaligus ke-9 (Pengelolaan Penjenamaan Kota) dalam konteks PKN (Pekan Kebudayaan Nasional) yang diselenggarakan oleh Kemdikbudristek di paruh akhir 2023. Pada paparan, disampaikan juga kata-kata kunci pada program di 37 provinsi, serta Rekomendasi untuk Kongres Kebudayaan sebagai hasil PKN, yang merangkum inti aspirasi komunitas pegiat budaya dan kreativitas di wilayah masing-masing. Upaya ICCN dalam mengaktivasi komunitas di 37 provinsi melalui program yang mengangkat potensi budaya, dengan narasi yang relevan baik bagi peta jalan ICCN, Pemajuan Kebudayaan maupun Pengembangan Ekonomi Kreatif, ternyata memang sejalan dengan agenda besar para penggerak kota yang tergabung dalam/berjejaring dengan UCLG.

Agenda besar ini dituangkan dalam Culture 21: Actions (2015); Rome Charter (2020), di mana ICCN juga berkontribusi dalam perumusannya, mengenai hak (ekspresi) budaya dalam perkotaan; juga dalam Culture 21 PLUS (2025) yang sedang digarap pilotnya sejak 2019.

Sesi “Measuring…” dipimpin oleh Catherine Cullen, Pengarah dalam hal Budaya dan Kota Berkelanjutan, Komite Budaya UCLG, mantan Presiden Komite Budaya UCLG, dan Deputi Wali Kota Lille bidang Budaya, dengan keynote dari John Smithies (TAKSO, Jejaring Pembangunan Budaya Victoria) dan Nancy Duxbury (Program UNCHARTED, Universitas Coimbra). Di sesi ini, saya menyampaikan Catha Ekadasa ke-6 (Indeks Ko/Kab Kreatif), pola pikir Ekosistem Ekonomi Kreatif, dan 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia dalam konteks indeks: bahwa ICCN berupaya mengadaptasinya dengan Indeks Kinerja Pemerintah Indonesia, serta penerapannya di 27 ko/kab di Provinsi Jawa Barat oleh Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi (KREASI) Jabar, yang masih terus mengalami perbaikan dan penajaman sejak tahun 2020, yang tertuang dalam PROSPEK. Hal mengenai pengukuran ini juga telah menjadi perhatian kota-kota di seluruh dunia, sebagai salah satu cara untuk meyakinkan pemerintah masing-masing, baik lokal maupun nasional, dalam menentukan kebijakan budaya.

Demikian mengenai partisipasi ICCN dalam UCLG Culture Summit yang diselenggarakan setiap dua tahun ini; akan segera menyusul juga kabar-kabar lain yang menarik, terutama hal-hal yang dapat dipelajari dan ditindak-lanjuti dengan berbagai pihak yang ditemui, terutama dalam hal aktivasi wilayah berbasis budaya, ekonomi kreatif, dan kepariwisataan. 

Di antara Lord Mayor Dublin dan Wali Kota Ramallah, Palestina,
bersama para peserta UCLG Culture Summit 2023
Dengan The Lord Mayor of Dublin,
Daithi de Róiste