Tag Archives: unesco creative cities network

Urban Games: The City as A Playground

Bahasan tentang Urban Games sebenarnya sudah beberapa kali saya angkat dalam beberapa kesempatan. Ulasan tentang Urban Games ini bahkan pernah menjadi bagian dari laporan riset dari negara-negara Brazil, Chile, Kolombia, Ekuador, Mesir, Kenya, India, Indonesia, Afrika Selatan mengenai informal Economy and Culture in The Global South  yang dilakukan oleh Global Creative Economy Council di tahun 2021 (mengenai Urban Games, dapat diakses di tautan berikut: https://medium.com/informal-economy-in-the-global-south/the-city-as-a-playground-841aa132ffb7). Tulisan kali ini untuk merekap sedikit, terutama dari forum-forum di tahun 2024 ini: United Cities and Local Governments (UCLG) Leading Cities Workshop di Jinju, Korea, dan pada Panel Tematik di UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Conference di Braga, Portugal.

Kegiatan di Jinju, yang adalah juga UCCN City of Crafts & Folk Art sejak 2019, berlangsung pada tanggal 13 Juni, dalam skema Culture 21 PLUS UCLG di mana Jinju menjadi salah satu Leading Cities yang menerapkan toolkit for Cultural Rights in Cities and Communities tsb. Jinju fokus pada pemuda, dan berencana mengaktivasi beberapa agenda pendidikan dan kreativitas bagi pengembangan kota. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan, pejabat dan pendidik di perguruan tinggi, aktivis dalam bidang pendidikan termasuk vokasi, dsb., yang semuanya dikoordinasi oleh Prof. Byung-Hoon Jeong, yang juga focal point Jinju untuk UCCN. Di forum ini, paparan berjudul “The City as A Playground: Urban Games for Regeneration and Resilience” memuat pendekatan dan praktik Bandung sebagai Kota Desain UCCN, lalu fokus pada urban games sebagai salah satu wahana yang mewadahi kebutuhan generasi muda Bandung untuk berinteraksi dan berkontribusi kepada kotanya secara empatik, produktif, sekaligus menyenangkan. Berikut sebagian dari paparan tersebut.

Urban game dapat dirancang sesuai dengan isu perkotaan yang direspons, dan kesesuaian gameplay dengan segmen (peserta/pemain) sasaran. Dalam eksekusinya, permainan memberikan pengalaman bagi para pesertanya, namun sedapat mungkin juga menghasilkan purwarupa solusi dari isu kota yang diangkat. Setelah permainan selesai, hasilnya dapat berlanjut menjadi feedback atau masukan bagi isu tersebut, baik dalam bentuk program lanjutan, bahkan regulasi dan kebijakan.

Beberapa urban games yang pernah dilakukan sebagai kolaborasi Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan beberapa komunitas mitra, seperti EcoEthno, Sahabat Kota, Pustakalana, dan banyak lagi, dengan mengangkat isu tertentu seperti ruang publik, kampung kota, skenario masa depan, dsb. Luaran dari kegiatan ini disesuaikan dengan tujuan awal ketika permainan dirancang, dapat berupa promosi taman dan museum, model kota masa depan, hingga purwarupa solusi permasalahan kota.

Beberapa permainan sebagai contoh di sini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kembali kota melalui budaya pusaka dan kulinernya; (2) mempromosikan bisnis mikro/lokal sekaligus mengangkat isu ekonomi informal dan inklusif; (3) merawat sensitivitas dan empati terhadap kota dengan memanfaatkan TIK dan media sosial; serta (4) menyediakan ruang belajar dan akses keterlibatan sejak dini untuk berkontribusi kepada kota.

Pada kerangka kerja ini (Hexa Helix stakeholders dan tahapan Connect-Collaborate-Commerce/Celebrate), dipetakan prosedur urban games secara umum, yang dapat menjadi rujukan bagi terciptanya permainan-permainan selanjutnya.

Dalam materi presentasi di Thematic Panel UCCN, ditambahkan satu slide berikut, yang memaparkan dampak urban games terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui pembangunan infrastruktur sosial.     

Harapannya, intervensi terhadap kota oleh para kaum muda dalam lintas komunitas/ stakeholders dengan cara yang menyenangkan (playful) dan memikat (engaging) melalui Urban Games dapat terus diaktivasi dan dikembangkan, demi melaksanakan iterasi solusi perkotaan dan menciptakan purwarupa inovatif yang berdampak nyata dan terukur. Sebab inilah esensi sebuah perkembangan kota kreatif sebagai entitas organik, seperti halnya pertumbuhan manusia kreatif: terus bermain, berani mencoba, mencipta dan berbagi solusi bersama.       

=====

Berikut beberapa post dan video urban games di Bandung: Riung Gunung: children as co-designers

 

Transisi Ekraf Indonesia?

Sektor Ekonomi Kreatif (Ekraf) di Indonesia sedang berada di persimpangan nomenklatur menjelang periode pemerintahan baru di akhir 2024. Adalah satu hal untuk merancang skenario ekraf di masa mendatang, dengan peta jalan berdasarkan seluruh (rekomendasi) kebijakan yang telah dihasilkan sebelumnya; namun adalah hal lain, bila dalam praktiknya nanti, terdapat berbagai penyesuaian menurut struktur pemerintahan yang baru. Apakah Ekraf akan tetap digandeng dengan Pariwisata, atau berdiri sendiri? Atau digabung dengan sektor lain, seperti Budaya, Pendidikan, Ekonomi, bahkan Digital?

19 Maret 2024 lalu, Kemenparekraf menggelar FGD Penyusunan Rancangan Teknokratik Rencana Strategis Kemenparekraf/Baparekraf 2025-2029. Sebagai salah satu narasumber, saya diberi tema “Pengembangan Ekonomi Kreatif melalui Kota Kreatif dan Klaster Kreatif”. O ya, sebelum FGD ini berlangsung, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) turut memberikan masukan bagi renstra tsb., sehingga materi ini kurang lebih merupakan elaborasi dari masukan ICCN yang juga dipertajam ke hal-hal seputar Kota Kreatif. Berikut ini beberapa butir paparan yang disampaikan.

1 Kepemimpinan Indonesia dalam Sektor Ekonomi Kreatif Global | Hingga kini, Indonesia masih memegang posisi tawar yang tinggi dalam sektor Ekraf skala global, terutama karena reputasinya sebagai inisiator World Conference on Creative Economy (WCCE), Friends of Creative Economy (FCE), dan Resolusi PBB No. A/78/459 tahun 2023 tentang Promosi Ekraf untuk Pembangunan Berkelanjutan yang berkonsekuensi pada pelaporan kinerja ekraf secara berkala (setiap dua tahun, mulai 2026). Untuk dapat menjaga posisi tersebut, diperlukan kepemimpinan yang komprehensif, serta pemahaman, pengawalan dan keterkaitan isu-isu ekraf dari satu platform/forum ke platform/forum yang berikutnya. Diperlukan juga sebuah Centre of Excellence di Indonesia yang benar-benar berperan/ berfungsi sebagai pusat keunggulan Ekraf terutama dari karakteristik ekraf Indonesia dan perspektif Global South.

2 White Paper & Rekomendasi Kebijakan Ekraf Skala Global | Hingga kini, Indonesia telah banyak terlibat dalam penyusunan white paper dan rekomendasi kebijakan Ekraf skala global dalam berbagai platform/forum (G20, ADBI, WCCE, Connecti:City, dsb.). Dokumen-dokumen tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda, namun semuanya mengangkat kata-kata kunci kepentingan Indonesia, atau sudut pandang Global South, sehubungan dengan Ekraf sebagai strategi pembangunan: SDG, pekerja informal, intermediary/agregator, inklusivitas, transformasi digital, pengukuran/index, inovasi berbasis budaya, dan penemuan masa depan.

3 Roadmap Ekraf Global — Agenda Ekraf Nasional | Dari semua rekomendasi kebijakan, peta jalan, dll. yang telah dihasilkan, seluruhnya menyediakan opsi arahan sesuai dengan prioritas; apakah Indonesia puny agenda Ekraf utama, adakah sudut pandang negara bagian Bumi Selatan, atau isu wilayah ASEAN yang perlu diangkat? Sehingga dipnerlukan adanya peta jalan, rencana strategis, rencana aksi dan indikator kinerja ekonomi kreatif nasional yang dapat menjadi rujukan dan diterapkan secara sistematis oleh pemerintah daerah.

4 Tata Kelola Ekraf di Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota | Saat ini terdapat beberapa K/L yang kewenangannya saling tumpang tindih dengan Kemenparekraf, seperti Kementerian BUMN untuk daerah pariwisata, Kemendikbudristek untuk situs-situs bersejarah, KemenKopUKM untuk hasil kerajinan, dll. Harus ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas agar cakupan sasaran program jadi semakin luas dan indeks kinerja setiap K/L terkait bisa diukur.

5 Ekonomi Kreatif, Kota Kreatif, Klaster Kreatif | kota, ICCN telah memiliki kerangka kerja & panduan program/kegiatan Kota Kreatif, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota/jejaringnya, sehingga tiap kabupaten/kota di Indonesia dapat menerapkannya sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah. Dalam konteks skala kota, komitmen terhadap SDG mengacu pada New Urban Agenda; sementara Ekraf dilihat sebagai sebuah ekosistem, terutama untuk memetakan peran pemerintah, sesuai dengan UU Ekraf dan Perda Ekraf; dan kerangka kerja ICCN (10 Prinsip Kota Kreatif, Catha Ekadasa, Hexa Helix) menjadi acuan sistematika dalam upaya menganalisis data untuk Indeks Kabupaten/Kota Kreatif. Perhitungan indeks ini telah dipraktikkan setiap tahunnya di Provinsi Jawa Barat sejak 2020.

6 Kota Kreatif v 1.0 x Kota Kreatif v 2.0 | Mengutip Prof. Andy Pratt, UNESCO Chair of Global Creative Economy, mengenai Kota Kreatif versi 2.0: kota-kota kreatif versi pertama adalah yang mengangkat konteks globalisasi, place marketing/branding, dan menyelenggarakan aktivitas budaya. Namun kota kreatif versi kedua, adalah yang menjembatani perbedaan-perbedaan, memiliki sistem keterhubungan, serta cenderung berkolaborasi untuk mewujudkan “Kota Kreatif untuk Dunia”. Pergeseran paradigma ini pun berpengaruh pada konsep “Ekonomi Kreatif”, yang tadinya merupakan model Industri Budaya dan Kreativitas dalam ranah ekraf itu sendiri, kini memperluas lingkupnya menjadi perwujudan barang & jasa budaya, serta terjalinnya jejaring berdasarkan makna dan penciptaan nilai dalam konteks Ekonomi Sirkular.

7 Menuju Institusionalisme Baru dalam Tata Kelola Ekonomi Kreatif | Masih berkaitan dengan “kota kreatif versi 2.0”, dengan model kelembagaan yang baru, maka diperlukan pula tata kelola yang sesuai. Antara lain dengan menerapkan perantara (intermediation) dan dukungan untuk para produsen kebudayaan, peningkatan kapasitas dalam hal dukungan strategis, mengembangkan praktik-praktik kerja lintas bidang, dsb.

8 Evaluasi Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UCCN) 2024 | Mengacu pada hasil evaluasi UCCN 2024, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi refleksi bagi kota-kota anggota UCCN di Indonesia, sekaligus perlu diantisipasi dalam penyelenggaraan “kota kreatif” di masa mendatang. Berkut ini butir-butir rekomendasi yang diajukan:

  • Perlu penyelarasan konsepsi Kabupaten/Kota Kreatif ICCN, Kota Kreatif UNESCO, KaTa Kreatif Kemenparekraf
  • Perlu mekanisme pendukungan bagi para focal point UCCN di Indonesia dari kementerian terkait dan KNIU (koordinasi tingkat nasional, mobilisasi, promosi, laporan berkala, dsb.)
  • Perlu benchmarking unit/lembaga pengampu “kota kreatif” dengan merujuk pada existing unit/agency di kota-kota UCCN di luar Indonesia (misalkan: DesignSingapore Council, Creative Economy Agency Thailand)
  • Perlu koordinasi khusus dan skema koleksi & analisis data ekraf Indonesia secara komprehensif; terutama dari perspektif karakteristik ekraf Indonesia/Global South, terkait persiapan laporan berkala mulai 2026 (Resolusi PBB No. A/78/459)
  • Website KNIU perlu dilengkapi dengan laman tentang kota-kota UCCN di Indonesia; seleksi di tingkat nasional belum melibatkan masukan dari para focal point UCCN di Indonesia untuk mendapatkan update terbaru mengenai konten dan proses yang berlaku di UNESCO    

Ekonomi Kreatif adalah sektor yang dinamis, sangat kontekstual, mengikuti perkembangan era yang sarat disrupsi, sehingga transisi nomenklaturnya pun akan selalu terjadi. Paparan ini adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi kondisi mendatang, agar kita selalu siap dengan opsi skenario yang dapat membawa sektor Ekraf untuk tetap relevan dan unggul dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Mari lanjut berkarya!


Tautan ke dokumen Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388996?posInSet=3&queryId=N-eb11463d-4573-442b-b667-ff7fee229946

Tautan ke dokumen Ringkasan Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388645

 

World Design Cities Conference Shanghai

Shanghai, Kota Desain UNESCO sejak 2010, melalui Shanghai UNESCO Creative City Promotion Office, kembali menggelar World Design Cities Conference (WDCC) secara luring, setelah sebelumnya dilaksanakan secara bauran di 2022. Dalam rangkaian acara WDCC ini terdapat UNESCO Creative Cities Summit, kali ini dengan tema Design Our Future Cities, yang diadakan pada tanggal 26 September 2023.

Pembicara kunci dalam summit tersebut adalah Denise Bax, Chief of Communication, Cities and Events Unit; UNESCO, Secretary of the UNESCO Creative Cities Network; dilanjutkan dengan tayangan video sambutan dari beberapa wakil/wali Kota Kreatif UCCN: Bilbao, Bangkok, Asahikawa, Braga, Graz, Turin. Setelah itu, masuk ke sesi Expertise Sharing, di mana saya membawa topik “Connectivity Matters: scenarios for future creative cities”. Inti dari paparan ini, kurang lebih adalah, kalau sudah jadi “kota kreatif”, lalu selanjutnya bagaimana? Didahului dengan argumen berupa frameworks “kota kreatif” dan “indeks kota kreatif” versi ICCN, serta implementasi indeks pada 27 kabupaten/kota di Jawa Barat oleh KREASI Jabar sejak 2020, sebagai penutup paparan ini mengajukan tiga preposition terkait skenario kota kreatif di masa mendatang.

Creative City is about connectivity of all relevant resources and stakeholders; an implementation of Creative Economy at the city level. // Kota Kreatif adalah tentang konektivitas dari seluruh sumber daya dan pemangku kepentingan terkait; merupakan implementasi dari Ekonomi Kreatif pada tingkat kota.

Measurable variables are designated to constitute a “creative city”; their values determine the position and roles of the city within the Creative Economy Ecosystem. // Variabel-variabel yang dapat diukur ditujukan untuk mendefinisikan “kota kreatif”; nilai-nilainya menentukan posisi dan peran sebuah kota dalam Ekosistem Ekonomi Kreatif.

Formulating scenarios for Future Creative Cities requires visions of human-centered cities and a comprehension of the Creative City Index. // Merumuskan skenario untuk Kota Kreatif Masa Depan memerlukan visi dari kota yang berpihak pada manusia dan pemahaman terhadap Indeks Kota Kreatif.

Di luar acara summit, kami, delegasi anggota UCCN, berkesempatan untuk mengunjungi venue pameran, yang hampir seluruhnya menampilkan desain produk bermuatan teknologi (digital dan kecerdasan buatan) termutakhir, namun dengan fungsi yang dekat dengan keseharian manusia, sambil masih mengangkat SDA lokal dan budaya. Peserta pameran terdiri dari perusahaan besar maupun kecil, hingga perguruan tinggi dengan karya-karya mahasiswanya.

Dari kunjungan singkat ini, terlihat bahwa sepertinya sekarang Cina bisa berjalan dan berkembang sukses, tanpa tergantung pada negara lain. Seluruh lini kebutuhan hidup tersedia dengan layak. Selama di sana, WhatsApp, GoogleMap, dan apa pun produk piranti lunak yang biasanya kita pakai di sini, tidak bisa berfungsi lancar. Mereka tidak perlu impor teknologi, karena tercukupkan dengan karya bangsanya sendiri. Ini salah satu bukti terbaik tentang kedaulatan negara.

Sejak acara pembukaan resmi, summit, pameran, hingga kunjungan ke simpul-simpul kreatif & revitalized heritage spaces, Shanghai menunjukkan kesadaran dan keseriusan pemerintah, lembaga pendidikan dan industri/swasta dalam mendukung proses litbang demi tercapainya inovasi, industrialisasi untuk bersaing, dan apresiasi terhadap “desain” dalam arti solusi, penambahan nilai melalui teknologi dan Kekayaan Intelektual, dan kebanggaan sebagai bangsa pencipta/produsen yang mengejar kemandirian. Kepingin desain Indonesia maju seperti ini? Banget! Syaratnya? Sinergi antar pihak yang diperkuat regulasi, dan benar-benar harus dijalankan dengan komitmen tinggi, tanpa korupsi.

=====

UCCN Forum Seoul

On October 26, 2023, the Korean National Commission for UNESCO and Seoul Design Foundation held the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum in Seoul, Korea, with the theme “The people power in solidarity through culture”. The following is copied from their invitation:

=====

The Korean National Commission for UNESCO has promoted active exchanges and cooperation among domestic member cities and has widely promoted and developed excellent cases of domestic creative cities at home and abroad.

Seoul Design Foundation (SDF) was initially proposed on November 2008 by the Seoul Metropolitan Government in order to promote design industries in Seoul. Since launched on 2nd March 2009, Seoul Design Foundation has been implementing various design projects running Dongdaemun Design Plaza (DDP), Seoul Upcycling Plaza, and Seoul Design Incubating Centre.

In this situation, the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum will be held to contribute to creating a comprehensive, safe, and resilient sustainable city and residence by UNESCO’s SDG 11 on the same date as the Seoul Design Conference.

=====

Since I was unable to attend in person, I sent a video presentation. In order to keep with the timing, I prepared the script in advance. So copied below is the deck, and the script as the captions, for the sake of documenting the event. The amazing team in Seoul has also taken photos (attached here as well) during the screening of my video, which I am immensely grateful for.

=====

1
Good afternoon, ladies and gentlemen. I regret for not being able to attend in person, but I am grateful that I get the chance to participate online. I am Tita, the focal point of Bandung, UNESCO City of Design. Today I would like to share our stories concerning community initiatives and how they shape the look of our city.

2
When “Bandung” is mentioned, people are usually reminded of “Bandung Conference”, an historical event in 1955 where 29 Asian and African countries gathered to make a stance. The declaration of the conference contains keywords that have become the spirit of Bandung people up to today: economy, culture, human rights, peace, and International partnership.

3
The city of Bandung itself has a long reputation as a place to go for shopping, fashion and culinary experience. The amount of higher education institutions, research centres and strategic national industries attracts young people, who dominate the demography of Bandung City.

4
There was a momentum when these young people, united in communities, organised under one hub organisation called Bandung Creative City Forum or BCCF, responded to various urban issues by building prototypes of solutions, both tangible and intangible interventions to public spaces and groups of local communities.

5
All programs and activities of BCCF implement Design Thinking method, with Urban Acupuncture concept, where the city is considered an organic entity, not unlike a human body, that has centres for thinking, breathing, memories, waste disposal; facilities for distributions of energy, nutrition, and all.
Each urban space intervention is like pinning a needle of creativity in spots of the body that – if conducted consistently at the right spots – is hoped to heal the whole body, or the city, making it function better.

6
This movement, that started in 2007, has shaped the characteristics of Bandung people, who see Design as a way of thinking to solve urban issues, that manages to create values and meanings according to the actual needs and contexts; Creativity as a strategy to lessen the gap between people and government, people and policy, and among all stakeholders; and Prototypes as a driver of Social Innovation, to make rapid improvements that can be conducted by all citizens.
With this angle, Bandung joined the UNESCO Creative Cities Network as a City of Design since 2015.

7
Such movement occurs as well in other cities in Indonesia; young people, who are aware that we can no longer rely on economy activities that depends on the extraction of natural resources, shift to economy activities that requires human intelligence and creativity.
These young people also formed cross community forums, built networks with each other, conducted programs and events that involve economy activities, and often offered urban solutions that also become social innovations.
These forums gathered and established Indonesia Creative Cities Network in 2015. ICCN currently has more than 240 city members from all over Indonesia. All ICCN members are committed to implement the 10 Principles of Indonesia Creative City.

8
Having an organisation with such diverse members require frameworks that can be implemented by all. ICCN refers to the Creative Economy Ecosystem, establishes the 10 Principles of Indonesia Creative Cities that comply with the SDGs, and Catha Ekadasa, or the 11 ways or guide to implement the 10 Principles, and involves Hexa Helix stakeholders in 3C steps – Connect Collaborate Commerce/Celebrate in all its programs.
One example is as follows.

9
Fashion Village Lab, an industrial area for multinational fashion labels, located in Cigondewah, the periphery of Bandung City.

10
The project started with a research on the issues of housing for the factory workers, but it turned out that the problems are more complex. What started as housing issues extended into environmental, social and economy issues as well.

11
All stakeholders were being involved, including the multinational brands at their headquarters; local governments down to the neighbourhood levels, the factory workers and local inhabitants. It was discovered that the workers also make a living outside their factory hours, and the villagers have an income from various jobs related to the factory activities.

12
Fashion Village Lab consisted of, among others, experimentations on up cycling the fabric waste into building bricks and other commodities, improvement of public facilities, plans of circular fashion production unit that includes an area for natural-dye plants, and an establishment of a cooperation of local women entrepreneurs.

13
The mapping of the project show supporting factors and stakeholders in Fashion Village Lab, and is used as a reference once the project is ready to be restarted after the pandemic.

14
Another project is Urban Games, of which themes and contents can be modified according to the events and contexts. One game attempts to reintroduce Bandung through its culinary culture and heritage through a “treasure hunt” activity.

15
Another game asks high school students to map environmental issues with an app, which then reveal the findings to the authorities for follow-ups.

16
These kinds of activities have more or less changed the face of the city. Young entrepreneurs have turned idle spaces into studios, workshop, offices and stores, such as this military warehouses.

17
Turning conventional market into a cool place to hang out, such as this one where hundreds of emerging local brands are being displayed.

18
Such as this mixed use of a traditional wet market, when the kiosks that sell vegetables, fruits and meat close at noon, another kiosks open: those that sell coffee and food, and those providing space for various activities, such as movie screening, discussion, poetry reading, and so on.

 

 

To conclude, it is important for cities with similar characteristics to Bandung – a growing and dense city – that is dominated by young generations of different backgrounds who are highly motivated to change the city so they have a better place to live, work and play, to have clear directions or frameworks, in order to be able to assess the impacts and plan the next strategic actions – and to maintain the spirit of urban culture in solidarity, inclusivity and partnership.
19
Thank you.

Aturan Main UCCN

UNESCO Creative Cities Network (UCCN), yang dibentuk pada tahun 2004, kini telah menghubungkan hingga sekitar 300 kota di 90 negara di dunia yang terkategori dalam 7 klaster: Desain, Film, Gastronomi, Kriya & Seni Rakyat, Literatur, Media Art, Musik. Selama 19 tahun perjalanannya, UCCN telah mengalami beberapa kali evaluasi, termasuk upaya perbaikan terhadap operasional dan pengukuran dampaknya, baik bagi kota anggota jejaring maupun bagi organisasi UCCN itu sendiri. Salah satunya adalah yang diselenggarakan pada November 2022 lalu, berupa pertemuan antara para koordinator klaster kota-kota anggota UCCN dengan Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO.

Ernesto Ottone R., Assistant Director-General for Culture, ketika menyampaikan pesan penutup pada event BEYOND URBAN, Road to G20 Indonesia 2022, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network

Pesan-pesan dari Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO

MONDIACULT 2022

  • Pengantar topik diskusi, mengenai beragam proses terkait Jejaring Kota Kreatif, terutama tentang pelaksanaan Pemantauan & Pelaporan Keanggotaan, juga proses evaluasi bagi penentuan kota-kota baru dan kemungkinan terbentuknya sebuah mekanisme pemberhentian bagi kota-kota yang tidak aktif, atas permintaan kota-kota anggota.
  • Konteks untuk usulan revisi Pemantauan & Laporan Keanggotaan (Membership Monitoring & Reporting) sebagai tindak lanjut dari penerapan Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan – MONDIACULT 2022 oleh 150 menteri, yang mengakui kebudayaan sebagai barang publik global, dan penyusunan peta jalan yang berwawasan ke depan bagi sektor kebudayaan, termasuk elaborasi dari Global Report on Cultural Policies yang akan diluncurkan tahun 2025, yang akan mendukung advokasi global untuk kebudayaan sebagai tujuan yang berdiri sendiri pasca agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
  • UNESCO akan berusaha untuk melakukan tinjauan komprehensif tentang kondisi sektor budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal, dengan tujuan memperkuat kebijakan budaya di masa mendatang, serta membangun berbagai mekanisme pelaporan berkala UNESCO di seluruh konvensi, rekomendasi, dan program-program budayanya. Hasil dari analisa ini, termasuk berbagai kemajuan dari negara-negara dan kota-kota anggota dalam mengimplementasikan Deklarasi MONDIACULT 2022, akan dipresentasikan pada Forum Dunia tentang Kebijakan Kebudayaan MONDIACULT oleh UNESCO di tahun 2025, yang selanjutnya akan diselenggarakan setiap empat tahun.
  • Ditekankan bahwa menjelang konferensi internasional ini, akan sangat penting untuk mempertahankan dialog berkala dengan para pembuat keputusanmitra dan praktisi, termasuk melalui Jejaring Kota Kreatif, untuk memberi masukan refleksi dan untuk menguatkan sinergi lintas program, demi memastikan efektivitas dan dampak yang lebih besar.

Revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan UCCN

  • UNESCO mengusulkan untuk merevisi pelaksanaan Laporan Pemantauan Keanggotaan, dengan dukungan dari anggota jejaring, untuk memastikan meningkatnya kesesuaian antara siklus dan mekanisme pelaporan berkala, serta untuk mempertajam formulir pelaporan untuk memastikan peningkatan sinergi dengan program lain, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada prioritas sektor budaya, dan mengenali lebih jauh relevansi tindakan lokal terhadap pembangunan berkelanjutan global, serta menghubungkan dimensi lokal dan global.
  • Mekanisme Pemantauan Keanggotaan akan tetap menjadi kewajiban.

Kontribusi dari Kelompok Koordinator

Penyelenggaraan UCCN

  • Interkonektivitas perlu diperkuat dalam Jejaring, terutama melalui kegiatan dan inisiatif yang dipimpin oleh UNESCO dan kota-kota anggotanya.

MONDIACULT 2022: Laporan Global UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan

  • Perlunya memastikan partisipasi dari Kota-kota Kreatif dalam persiapan Laporan Global, termasuk melalui Laporan Pemantauan Keanggotaan, sejalan dengan pentingnya memasukkan jejaring kota-kota sebagai pelaku yang berperan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan kota di proses MONDIACULT.

Revisi Mekanisme Pemantauan Keanggotaan

  • Adalah penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan pelaporan tetap menjadi kewajiban, termasuk maksud untuk memfasilitasi pelaporan kota ke Komisi Nasional.
  • Usulan revisi disambut baik oleh kota-kota anggota, mengingat adanya kebutuhan untuk menyelaraskan kegiatan dan pelaporan dengan program-program UNESCO yang lain, dan mendukung siklus 4 tahun meskipun dibutuhkan periode transisi. Pendekatan ini dinilai bijak, karena akan memungkinkan jejaring untuk bergabung dalam dialog global dalam agenda pasca-2030.
  • Pelaporan harus bersifat kualitatif dan kuantitatif untuk memperhitungkan skala dan keragaman sumber daya tiap kota. Contoh metodologi yang memungkinkan analisis komparatif yang lebih besar adalah Monitor Kota Kreatif Uni Eropa.
  • Diperlukan struktur yang lebih efektif dari Mekanisme Pemantauan Keanggotaan, untuk meningkatkan jumlah sasaran informasi yang dapat diintegrasikan. Diperlukan juga proses ko-kreasi antar kota dalam merevisi mekanisme tersebut; juga dukungan dari otoritas tingkat pusat (nasional) untuk memfasilitasi persiapan laporan yang berkualitas.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk Mekanisme Pemantauan Keanggotaan.

Mekanisme bagi Kota-kota yang Tidak Aktif

  • UNESCO – berkolaborasi dengan kelompok klaster UCCN – diminta untuk meningkatkan tindakan dalam mendorong partisipasi dari kota-kota yang tidak aktif dan, bila perlu, memberlakukan konsekuensi dari ketidak-aktifan ini.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk mengatasi kota-kota yang tidak aktif.

Proses Evaluasi

  • Terkait proses evaluasi untuk Kota Anggota baru, diangkat pentingnya evaluasi mitra sejawat, juga perlunya menyelaraskan kriteria evaluasi melalui matriks yang disepakati oleh seluruh koordinator dan UNESCO.

Langkah Berikutnya

  • UNESCO akan meluncurkan revisi dari mekanisme evaluasi untuk aplikasi UCCN, bekerja sama dengan kota-kota anggota.
  • Usulan untuk membentuk kelompok-kelompok kerja untuk mengatasi isu kota-kota yang tidak aktif dan revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan akan ditindak-lanjuti oleh Sekretariat UCCN bersama dengan Kelompok Koordinasi.

=====

Jadi apa artinya untuk kita?

Bagi kota-kota di Indonesia yang sudah bergabung dalam UCCN, Pekalongan, Bandung, Ambon, Jakarta, antara lain: harus memperhatikan penyusunan Laporan Pemantauan Keanggotaannya. Kota-kota ini sudah ‘terkena peraturan’ penyampaian laporan setiap 4 tahun, jadi tidak akan terkena ‘resiko’ menyerahkan laporannya dua kali berturut-turut dalam jangka waktu di bawah 4 tahun. Selain itu, akan terdapat penajaman konten laporan, yang harus lebih diselaraskan dengan hasil dari MONDIACULT, menitik-beratkan pada hal kebudayaan. Juga, tentang fasilitasi dari otoritas pusat (kementerian) untuk penyusunan laporan, serta penilaian laporan oleh rekan sejawat (meskipun selama ini memang sudah terlaksana demikian, tapi akan ditetapkan matriks yang memuat butir-butir penilaian).

Bagi kota-kota yang hendak bergabung dalam UCCN, antara lain: memperhatikan formulir aplikasi berikutnya, yang saat ini sedang dievaluasi, agar lebih mengarah kepada sektor kebudayaan sebagai implementasi dari Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan.

Masa untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dirancang untuk berakhir pada 2030 – rentang 7 tahun dari sekarang – sementara tidak ada satu pun dari 17 targetnya yang berhasil tercapai dengan tuntas. Dari 17 target tersebut, tidak ada yang secara eksplisit menyebut “Kebudayaan”, sehingga terjadi diskusi tak terhitung terkait the missing goal tersebut. Meskipun terdapat argumen bahwa “Kebudayaan” dianggap telah menyatu (embedded) dalam seluruh target, tapi pada kenyataannya sering ‘dilupakan’ dalam perancangan strategi dan aksi untuk memenuhi SDGs. Oleh karena itu UNESCO, sebagai badan dunia yang terfokus pada kebudayaan dan edukasi, khususnya UCCN yang kota-kota anggotanya berkomitmen untuk memanfaatkan kreativitas dalam strategi pembangunan, berniat untuk menyertakan faktor Kebudayaan secara lebih sistematis dan terukur, melalui evaluasi mekanisme seleksi dan pelaporan kinerjanya.

Sebagai relevansi, cek juga ulasan dari paparan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, yang membawa hasil dari MONDIACULT 2022 di event WCCE 2022: Culture and Creative Economy

Pesan Ernesto Ottone R. pada BEYOND URBAN dapat disimak selengkapnya pada tautan Hari ke-2 Beyond Urban, mulai menit ke 2:02:49.

Seluruh konten event BEYOND URBAN – Road to G20, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network pada tanggal 28-29 Juli 2022, dapat diakses melalui tautan ini: https://beyondurban.iccn.or.id