Istilah yang umum terdengar adalah Public Private Partnership/ PPP, atau rekanan antara pemerintah dan sektor swasta untuk bersama-sama mewujudkan sebuah sarana atau layanan publik. Namun bukan PPP itu bahasan di sini, melainkan Public Community Partnership, atau rekanan antara pemerintah dan komunitas, juga dengan tujuan mewujudkan sebuah sarana atau layanan publik. Kenapa hal ini jadi penting dibahas? Karena sudah terbukti, setidaknya di Kota Bandung, bahwa komunikasi dan kolaborasi dua arah antar dua stakeholders utama kota ini adalah cara terbaik untuk menjalankan program-program skala kota yang benar-benar berdampak nyata sesuai rencana.
Sebagai warga yang peduli (kalau enggan disebut sebagai “aktivis”), saya dan banyak teman termasuk yang sering protes terhadap kondisi kota. Entah bagaimana, sekitar tahun 2006-2007 itu kami di Bandung jadi sering sekali berkumpul, ngobrol ke sana kemari, atau sekarang sering disebut sebagai “nongkrong produktif”. Obrolan-obrolan itu berujung pada terjadinya berbagai aktivitas “kreatif” yang mengintervensi ruang-ruang publik, dengan maksud menyatakan protes yang sekaligus memberi solusi, dengan cara yang agak ‘vandal’ karena tidak semuanya berizin resmi. Masa itu, kami masih agak awam terhadap kinerja pemerintah; yang kami tahu hanya: “pemerintah tidak becus mengurus kota”; “pemerintah tidak pernah mendukung komunitas”; “pemerintah pura-pura tidak punya dana”; dan segala stigma yang mengasumsikan pihak pemerintah sebagai entitas birokratis nan membosankan, tidak bisa diharapkan. Sikap kami dulu bukan “memusuhi” secara frontal, melainkan mencoba menjadi oposisi kritis yang baik, sehingga masih terbuka ruang-ruang dialog dan kolaborasi dengan pemerintah, dalam beragam porsi.
Sejalan dengan berlalunya waktu, secara perlahan kami mulai mengerti bahwa tidak semua pegawai pemerintah itu “oknum” dalam konotasi negatif; bahkan menemukan beberapa sosok yang jelas mendukung dan memihak kepentingan kami dalam protes-protes tersebut. Lebih jauh lagi, kami juga mulai mengerti bahwa pemerintah dalam melakukan pekerjaannya memiliki batasan yang ketat dalam merancang program dan anggaran: jenis kegiatan, termin pengajuan dan pencairan, dan seterusnya. Dalam proses kolaborasi bertahun-tahun ini, kami makin mengerti “bahasa pemerintah”, dan terus belajar jenis-jenis common language (yang sebagian besar memang istilah birokrasi) yang dapat dipahami oleh semua pihak.
Dan, seperti halnya komunikasi yang baik, ini berlaku dua arah. Pihak pemerintah pun berupaya untuk lebih memahami kebutuhan komunitas, terutama dalam hal-hal yang sering kami kritisi dan menjadi bahan protes. Minimal mereka tidak lagi melihat komunitas sebagai sekedar “sekelompok orang yang selalu merepotkan”, “hanya bisa protes”, dan “banyak menuntut”. Aspirasi kami mulai didengar, diperhatikan, dan diwadahi.
Kota Bandung menjadi kasus khusus ketika, selang beberapa tahun setelah “masa protes-protes” ini, seorang community leader menjadi wali kota. Beberapa aspirasi yang belum sempat terwujud dan program-prorgam komunitas dibawa ke tingkat kebijakan. Fasilitas dan layanan kota yang pernah didambakan, jadi nyata terbangun. Benar, tidak ada yang sempurna. Proses transisi antara “penyelenggaraan pemerintahan kota secara konvensional” dengan “penerapan program terobosan dan inovasi kebijakan” pun tidak selalu berjalan mulus, meskipun seluruh stakeholders telah berupaya keras untuk mewujudkannya dalam koridor peraturan yang berlaku.
Namun, harus selalu optimis dan berpikir positif, apalagi karena interaksi antara pemerintah dan komunitas makin ‘nyambung’. Hal berharga ini seharusnya dijaga dan dibiasakan ke teman-teman komunitas yang mungkin baru mengalami interaksi intensif dengan pemerintah, agar ketika dikecewakan tidak dengan mudah menguar istilah negatif seperti “dipecat”, misalkan, padahal yang terjadi adalah “kontrak tidak diperpanjang”, dan sebagainya. Everything happens for a reason. Opini publik yang terbentuk dari media sosial saat ini mustahil terbendung, sehingga hendaknya kita semua makin cerdas dalam berkomunikasi, dan makin berempati dalam menimbang segala konsekuensinya.
Di satu pihak, sebagai komunitas/ warga, kita harus selalu kritis, namun tetap mandiri dalam mengupayakan aspirasi dan terwujudnya berbagai kebutuhan, tanpa harus bergantung penuh pada pemerintah. Di lain pihak, pemerintah pun dalam proses mengurus suatu wilayah pasti memiliki indeks pencapaian yang sangat terukur, kinerja yang kredibel, serta mengalami proses pengawasan yang ketat – namun akan selalu membutuhkan masukan dari warga, agar fasilitas dan kebijakan yang disediakan dapat berfungsi dengan baik.
Public Community Partnership, yang saat memulainya tidak pernah mudah dan akan selalu menghadapi berbagai tantangan “klise”, harus terus diupayakan agar penyelenggaraan pembangunan manusia dan wilayah dapat berlangsung dengan efektif dan benar-benar nyata berdampak positif bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat. Berbagai fasilitas skala kota, baik benda maupun takbenda (kebijakan, program, dll.), hanya akan menjadi artefak yang makin terbengkalai, tanpa hembusan jiwa dan nafas dari warganya, untuk dapat terus bertumbuh dan berkembang.