Monthly Archives: February 2019

Public Community Partnership

Istilah yang umum terdengar adalah Public Private Partnership/ PPP, atau rekanan antara pemerintah dan sektor swasta untuk bersama-sama mewujudkan sebuah sarana atau layanan publik. Namun bukan PPP itu bahasan di sini, melainkan Public Community Partnership, atau rekanan antara pemerintah dan komunitas, juga dengan tujuan mewujudkan sebuah sarana atau layanan publik. Kenapa hal ini jadi penting dibahas? Karena sudah terbukti, setidaknya di Kota Bandung, bahwa komunikasi dan kolaborasi dua arah antar dua stakeholders utama kota ini adalah cara terbaik untuk menjalankan program-program skala kota yang benar-benar berdampak nyata sesuai rencana.

BCCF dago public art

Salah satu intervensi ruang publik, pendirian huruf DAGO di perempatan Cikapayang (2008) dengan dana komunitas (“hidup adalah udunan”) untuk mengalihkan aktivitas negatif menjadi positif di kawasan tersebut. Karena upaya ini terbukti berhasil, tahun 2010 Pemkot Bandung mengalokasikan APBD untuk pendirian public art tersebut secara permanen.

Sebagai warga yang peduli (kalau enggan disebut sebagai “aktivis”), saya dan banyak teman termasuk yang sering protes terhadap kondisi kota. Entah bagaimana, sekitar tahun 2006-2007 itu kami di Bandung jadi sering sekali berkumpul, ngobrol ke sana kemari, atau sekarang sering disebut sebagai “nongkrong produktif”. Obrolan-obrolan itu berujung pada terjadinya berbagai aktivitas “kreatif” yang mengintervensi ruang-ruang publik, dengan maksud menyatakan protes yang sekaligus memberi solusi, dengan cara yang agak ‘vandal’ karena tidak semuanya berizin resmi. Masa itu, kami masih agak awam terhadap kinerja pemerintah; yang kami tahu hanya: “pemerintah tidak becus mengurus kota”; “pemerintah tidak pernah mendukung komunitas”; “pemerintah pura-pura tidak punya dana”; dan segala stigma yang mengasumsikan pihak pemerintah sebagai entitas birokratis nan membosankan, tidak bisa diharapkan. Sikap kami dulu bukan “memusuhi” secara frontal, melainkan mencoba menjadi oposisi kritis yang baik, sehingga masih terbuka ruang-ruang dialog dan kolaborasi dengan pemerintah, dalam beragam porsi.

BCCF baksil forestwalk

Ketika mendengar rencana perubahan satu-satunya hutan kota di Bandung menjadi restoran dan apartemen, komunitas ‘protes’ melalui pendirian ForestWalk, juga membuat artikel dan infografis mengenai manfaat Hutan Baksil dan memuatnya di surat kabar terbesar se-Jawa Barat. Hasilnya: bangunan dibatalkan, hutan tetap ada dan menjadi ruang ekspresi warga, hak membangun oleh pengembang dikembalikan ke Pemkot Bandung.

Sejalan dengan berlalunya waktu, secara perlahan kami mulai mengerti bahwa tidak semua pegawai pemerintah itu “oknum” dalam konotasi negatif; bahkan menemukan beberapa sosok yang jelas mendukung dan memihak kepentingan kami dalam protes-protes tersebut. Lebih jauh lagi, kami juga mulai mengerti bahwa pemerintah dalam melakukan pekerjaannya memiliki batasan yang ketat dalam merancang program dan anggaran: jenis kegiatan, termin pengajuan dan pencairan, dan seterusnya. Dalam proses kolaborasi bertahun-tahun ini, kami makin mengerti “bahasa pemerintah”, dan terus belajar jenis-jenis common language (yang sebagian besar memang istilah birokrasi) yang dapat dipahami oleh semua pihak.

Dan, seperti halnya komunikasi yang baik, ini berlaku dua arah. Pihak pemerintah pun berupaya untuk lebih memahami kebutuhan komunitas, terutama dalam hal-hal yang sering kami kritisi dan menjadi bahan protes. Minimal mereka tidak lagi melihat komunitas sebagai sekedar “sekelompok orang yang selalu merepotkan”, “hanya bisa protes”, dan “banyak menuntut”. Aspirasi kami mulai didengar, diperhatikan, dan diwadahi.

Kota Bandung menjadi kasus khusus ketika, selang beberapa tahun setelah “masa protes-protes” ini, seorang community leader menjadi wali kota. Beberapa aspirasi yang belum sempat terwujud dan program-prorgam komunitas dibawa ke tingkat kebijakan. Fasilitas dan layanan kota yang pernah didambakan, jadi nyata terbangun. Benar, tidak ada yang sempurna. Proses transisi antara “penyelenggaraan pemerintahan kota secara konvensional” dengan “penerapan program terobosan dan inovasi kebijakan” pun tidak selalu berjalan mulus, meskipun seluruh stakeholders telah berupaya keras untuk mewujudkannya dalam koridor peraturan yang berlaku.

Namun, harus selalu optimis dan berpikir positif, apalagi karena interaksi antara pemerintah dan komunitas makin ‘nyambung’. Hal berharga ini seharusnya dijaga dan dibiasakan ke teman-teman komunitas yang mungkin baru mengalami interaksi intensif dengan pemerintah, agar ketika dikecewakan tidak dengan mudah menguar istilah negatif seperti “dipecat”, misalkan, padahal yang terjadi adalah “kontrak tidak diperpanjang”, dan sebagainya. Everything happens for a reason. Opini publik yang terbentuk dari media sosial saat ini mustahil terbendung, sehingga hendaknya kita semua makin cerdas dalam berkomunikasi, dan makin berempati dalam menimbang segala konsekuensinya.

2018 BINUS BCCF.021

Setelah terselenggara rutin tahunan sejak 2013, workshop design thinking yang utamanya melibatkan pemerintah dan warga/komunitas, DesignAction.bdg tahun 2017 memilih tema SerendiCtiy, dalam upaya menemukan kembali pijar-pijar aktivitas komunitas kreatif di Bandung setelah sekian tahun memperoleh berbagai kemudahan dari Pemkot Bandung. Apakah mereka kembali bersembunyi, memposisikan diri tetap sebagai sub-kultur, terus mengoposisi, atau justru terbuai? Pertemuan-pertemuan tak terduga ini seharusnya tetap menjadi sumber inovasi sosial.

Di satu pihak, sebagai komunitas/ warga, kita harus selalu kritis, namun tetap mandiri dalam mengupayakan aspirasi dan terwujudnya berbagai kebutuhan, tanpa harus bergantung penuh pada pemerintah. Di lain pihak, pemerintah pun dalam proses mengurus suatu wilayah pasti memiliki indeks pencapaian yang sangat terukur, kinerja yang kredibel, serta mengalami proses pengawasan yang ketat – namun akan selalu membutuhkan masukan dari warga, agar fasilitas dan kebijakan yang disediakan dapat berfungsi dengan baik.

Public Community Partnership, yang saat memulainya tidak pernah mudah dan akan selalu menghadapi berbagai tantangan “klise”, harus terus diupayakan agar penyelenggaraan pembangunan manusia dan wilayah dapat berlangsung dengan efektif dan benar-benar nyata berdampak positif bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat. Berbagai fasilitas skala kota, baik benda maupun takbenda (kebijakan, program, dll.),  hanya akan menjadi artefak yang makin terbengkalai, tanpa hembusan jiwa dan nafas dari warganya, untuk dapat terus bertumbuh dan berkembang.

 

SENDAL: Toponimi

Mengenai SENDAL, atau Mata Kuliah Seni, Desain, Lingkungan di FSRD ITB, bisa dibaca di sini:  https://o2indonesia.wordpress.com/2018/05/14/sendal-upgraded/

190201 SENDALpakTB.001

Tahun 2018 lalu MK SENDAL mengangkat tema “toponimi”, atau penamaan daerah sesuai dengan karakter alami daerah tersebut. Tahun 2019 ini tema yang sama masih diangkat, karena masih banyak yang sebenarnya dapat dieksplorasi oleh sekitar 250 mahasiswa FSRD ini. Dosen tamu sebagai narasumber tema ini masih tetap Pak T. Bachtiar, penulis dan peneliti, Kelompok Riset Cekungan Bandung dan Masyarakat Geografi Nasional Indonesia, yang telah matang malang-melintang dengan serunya di bidang ilmu kebumian, terutama di Jawa Barat; dan yang penting, beliau selalu membagi ilmunya dengan cara penyampaian yang menyenangkan. SENDAL kali ini juga masih menggandeng Karang Taruna Kota Bandung sebagai rekanan mahasiswa yang berencana mengolah kewilayahan. Seperti juga tahun lalu, sesi kuliah Toponimi ini terbuka untuk publik, dan ternyata menarik cukup banyak peminat. Tidak masalah, karena kelas SENDAL diselenggarakan di Gedung Lembaga Film Mahasiswa (LFM), atau bioskop kampus, sehingga daya tampungnya lumayan memadai.

TOPONIMI CEKUNGAN BANDUNG – TB – 1-2-2019

Inti materi yang disampaikan Pak TB adalah asal muasal terbentuknya Kota Bandung dan wilayah di sekitarnya sebagai proses alami, yang lalu, sejalan dengan waktu, menjadi wilayah hunian padat penduduk. Cara orang menamai daerah-daerah hunian ini pun biasanya berdasarkan karakter khas atau kondisi alami tiap daerah tersebut. Pesan utamanya? Bahwa kebijakan terkait pengembangan kawasan harus memperhatikan betul toponimi dan asal muasal kawasan tersebut, terutama untuk menghindari dampak fatal bila terjadi lagi perubahan permukaan bumi. Tahukah kita, bahwa Bandung itu kota yang dibangun di atas lapisan tanah endapan danau purba, yang bawahnya masih berupa massa air? Sudah siapkah warga Bandung bila suatu saat terjadi lagi pergeseran lapisan tersebut? Bagaimana upaya pertahanan hidup yang telah disiapkan, apakah pola pikir keseharian kita sudah mengarah pada kesiagaan menghadapi bencana?

Di sinilah pentingnya mahasiswa peserta MK SENDAL memahami hal-hal terkait toponimi dan kondisi relevan terkini, dan diharapkan dapat menjadi bagian dari solusi atau jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan seputar siaga bencana tersebut.

=====

Sesi ini ternyata dihadiri pula oleh wartawan Pikiran Rakyat, yang kemudian menulis artikelnya di terbitan esok harinya, Sabtu 2 Februari 2019; berikut tautannya di e-paper: https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2019/02/02/ada-sejarah-di-balik-penamaan-suatu-tempat-jangan-diacak 

PDF halaman 1 dan 10 yang memuat artikel Toponimi: 020219_10020219_01