Category Archives: Design

contribution to improve and encourage sustainable life style by design

Bangkok Creative City Dialogue

Berbarengan dengan diselenggarakannya Bangkok Design Week, Creative Economy Agency (CEA) Thailand membuat sesi Creative City Dialogue pada tanggal 10 Februari 2023, dengan mengundang beberapa focal point UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Secara umum mereka mengangkat tema terkait arah pembangunan kota setelah pandemi. Bagaimana budaya dan kreativitas dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan kota, terutama dalam hal ekonomi, taraf hidup, dan ketangguhan (resilience). Salah satu yang juga dieksplorasi dalam sesi ini adalah peluang kolaborasi atau inisiasi peta jalan yang dapat tercapai dalam 4 tahun ke depan.

Pada sesi tersebut, Bandung mengawali paparannya dengan menampilkan linimasa nomenklatur Ekonomi Kreatif di Indonesia, dari sisi pemerintah dan forum/jejaring komunitas. Dari linimasa ini terlihat kesinambungan antara satu momentum dengan yang berikutnya, di mana Ekonomi Kreatif Indonesia terbangun oleh kedua sisi tersebut. Inisiatif pada tingkat komunitas, secara bottom-up menjadi pasokan bagi penentuan kebijakan, kegiatan dan program yang difasilitasi dan diregulasi oleh pemerintah secara top-down. Jadi semacam iterasi “double diamonds” yang dijalankan oleh stakeholders yang saling melengkapi. Pertemuan yang produktif antara bottom-up dengan top-down ini hanya mungkin terjadi jika terdapat ruang-ruang komunikasi yang kondusif bagi seluruh pihak, jika terdapat pihak intermediary yang memahami dan mengakomodasi kepentingan seluruh pihak secara proporsional, dan bila seluruh pihak dapat menyepakati fokus tujuan bersama yang lebih besar dari kepentingan sektoral.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid0bkFQMjBXTdx8RCS8BojNCn2JgsPMBpJ6eVuZcDv9CSamJwxqrDVrTvN4Vd1RzZoNl

Materi paparan dari 9 kota UCCN (Asahikawa, Bandung, Bangkok, Kuching, Nagoya, Perth, Phetchaburi, Seoul, Singapore) dapat diakses di sini: https://drive.google.com/drive/mobile/folders/1dA9SYgfi55wXhP-ITYgtDJ_BbxlKf6jA?usp=share_link

Sesi diskusi dibuka setelah makan siang. Setiap peserta mendapat pertanyaan yang sama secara umum, yaitu rencana 4 (empat) tahun ke depan dalam konteks strategi pembangunan kota kreatif. Bagi Bandung, kondisi dalam 4 tahun mendatang belum dapat diprediksi dengan tenang dengan adanya dinamika sepanjang masa pilkada dan pilpres, yang sangat mungkin akan berpengaruh pada program-program dan pengambilan keputusan secara top-down. Sehingga para pelaku ekonomi kreatif sebaiknya lebih mengandalkan rencana yang diampu oleh pihak-pihak seperti simpul komunitas atau kelompok masyarakat yang kredibel, dan lembaga akademik atau pusat riset, yang operasionalnya tidak tergantung secara langsung pada disrupsi politik pemerintahan. Kesimpulan ini berdasarkan pengalaman Kota Bandung, yang meskipun telah memiliki Perda Ekraf (01/2021), eksekusinya tidak berlangsung sesuai dengan rencana.

Berbagai momentum penting juga dapat kita manfaatkan dalam mempromosikan “kreativitas” dan “ekonomi kreatif” sebagai jawaban bagi beragam tantangan Pembangunan Berkelanjutan; yang terdekat adalah KTT ASEAN 2023 yang diketuai Indonesia. Kita bisa memunculkan diri sebagai “ASEAN” melalui karya-karya kreatif yang dapat berpartisipasi dalam event tersebut, menunjukkan kekuatan potensi ekonomi kreatif di wilayah ASEAN, sekaligus menyatakan bahwa “kreativitas”, melalui proses ko-kreasi, dapat menjadi bahasa bersama di wilayah Asia Tenggara yang sangat kaya keragaman budaya.  

Disampaikan juga, bahwa dalam skala yang lebih luas, Kota Bandung bersama Provinsi Jawa Barat akan terus menyempurnakan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat bantu bagi pemerintah kota/kabupaten untuk merancang kebijakan atau membuat keputusan berdasarkan data ekosistem ekonomi kreatif di wilayahnya masing-masing, sekaligus memetakan peluang kolaborasi dengan wilayah lain, melalui identifikasi keunggulan tiap wilayah dalam eksosistem ekraf.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi diskusi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid02DR1vG6mPQJhu7d6ZhYyQPRaC59GhjHdUkEhnHskXPvoGejMx6QhHaE6fZ8nKKizfl

Tautan untuk press release di situs Creative Economy Agency: https://www.cea.or.th/th/news/bangkok-creative-city-dialogue-eng https://www.cea.or.th/en/single-project/bangkok-creative-city-dialogue

Creative City Dialogue ini diharapkan untuk tidak hanya terjadi sekali ini saja, dan Bangkok menawarkan kota-kota lain untuk menyelenggarakan sesi dialog berikutnya. Nah – sebuah kesempatan yang harus disambut dengan baik. Bandung – dan kota-kota kreatif UNESCO lain di Indonesia: Pekalongan, Ambon, Jakarta – mari kita siapkan diri untuk menjadi tuan rumah di momentum terdekat kita! 🙂  

Inclusive and Resilient Creative Economy

The complete theme for the Side Event of the High-Level Political Forum on Sustainable Development was Inclusive and Resilient Creative Economy for Sustainable Development, held online on 8 July, 2021. It was a great honour to act as the discussant of this session. Due to the limited duration, there was no time to really go deep into each speaker’s points, nor to have an extensive discussion afterward, but written here are some points worth noting during the session that was hosted by Mr. Royhan Wahab, Deputy-Director for Trade in Services and Trade Facilitation, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia.

H.E. Mr. Dr. Sandiaga S. Uno, Minister of Tourism and Creative Economy of the Republic of Indonesia, in his keynote speech mentioned that we should reconfigure Creative Economy to be a recovery tool. There are two keys of approaches: (1) At Home, (2) Hygiene. At home, we are reconfiguring the way we consume (food, goods), where people prefer more and more personalised experience and convenience. The growing sector, e-commerce and digital technology that provide platforms for contents, should be explored for wider opportunities for the creative economy. Hygiene, related to health issues, would lead us to live safely amidst the virus around us. Business models around this approach should still be developed.   

H.E. Ms. Angelica Mayolo, Minister of Culture, Republic of Colombia, in her keynote speech mentioned culture as an economy pillar, of which ecosystem should be strengthened. The dominating demography of youth is a potential resource for creative industry and along the issues of heritage; it is necessary to have a bill to develop measures in the creative sector. Referring to the Orange Economy, we should work on modernising the cultural sector; create, innovate, inspire.

H.E. Mr. Dr. Agung Firman Sampurna, Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia, made a special remark concerning sustainability and resilience. We should see the current pandemic era as “The Great Reset” that gives us a chance to rebuild and rework our policy for recovery, inducing in tourism and creative economy sectors as among the priorities. He also mentioned the importance of audit and transparency in answering the Sustainable Development Goals challenges.

H.E. Ms. Amalia A. Widyasanti, Ph.D., Deputy for Economic Affairs, Ministry of the Indonesian National Development Planning Agency, during the panel session brought up the subject of economy transformation. The previous ministry-level institution for creative economy (BEKRAF) set three main objectives of the sector: increase of GDP, job creation, and export value. Consequently, the following support should be provided: (1) Focusing policy-making to human resource. Considering the “demographic bonus” and the widening gap of access due to the pandemic, we have to find a swift strategy to open more opportunities for youth and creative economy-related occupations; (2) Bills on the Creative Economy sector that should include the scopes of research, space/hub, incentives, and IP rights. The BBI (Bangga Buatan Indonesia) campaign should be able to become a pull factor; (3) Availability of broadband network and inclusive access to this facility; (4) Access to finance and market. She also mentioned about the leadership of Indonesia in the Creative Economy sector through the first World Conference of Creative Economy (WCCE) in 2018 and the establishment of Friends of Creative Economy (FCE). FCE and BEKRAF proposed the International Year of Creative Economy, that became the UN General Assembly resolution, aiming to mainstream creative economy as a strategy to answer the challenges of SDGs. Again, consequently, these efforts should be supported by international collaboration particularly on digital economy and legal framework

H.E. Mr. Jagdish D. Koonjul GCSK., GOSK., Ambassador of the Republic of Mauritius to the UN, discussed how creative economy sector can be a vehicle to eradicate poverty. The keywords of this discussion include economy transformation, innovation, and thriving performing art, supported by technology. There is also a notion to conduct the tourism business with insights around sustainability and Public-Private Partnership, along with the promotion of creative industries.                       

H.E. Ms. Mgs. Maria Cristina Solis Gallo, Undersecretary of Territorial Competitiveness, MPCEIP of the Republic of Ecuador, mentioned that the Creative Economy is a rapidly growing sector in Ecuador, until the pandemic hit. Responding to this condition, they have been conducting: (1) Recovery Strategy, and (2) National Competitiveness Strategy; all within the context of Creative Industry that involves the main stakeholders: academia, government (ministries), and so on. 

Ms. Natalia Stapran, Director of the Department for Multilateral Economic Cooperation and Special Projects, Ministry of Economic Development of the Russian Federation, discussed about inclusive creative economy in Russia, by integrating creative economy in planning and territorial development.    

Mr. Ernesto O. Ramirez, Assistant Director-General for Culture UNESCO, considered the impacted cultural workers and expressed the importance to integrate culture into development schemes. This is one bold step to strengthen the dignity of cultural professionals, while also recognising the digital transformation of creative industries. He also mentioned about Indonesia leadership in promoting creative economy that lead to the declaration of 2021 as the International Year of Creative Economy for Sustainable Development. He also mentioned the MONDIACULT event in Mexico, 2022, as part of the Creative Mexico Forum in October. This 2022 congress will take place 40 years after the original MONDIACULT, a major milestone in shaping the debate on global cultural policies

==========

Responding to the speakers, and considering the theme of this session, “Inclusive and Resilient Creative Economy”, it is worth paying attention to the recent publication by Global Solutions Network, titled INTERSECTING. This publication collected ideas and best practices related to the efforts of recovery from the pandemic, from many corners of the world, and in many levels. Among them is seen in this page, the Solidarity Act (Aksi Bersama Bantu Sesama) from Indonesia Creative Cities Network (ICCN), a hub organisation that has connected community initiatives in more than 210 cities in Indonesia. This part shows the substantial role of community initiatives in coping with the emergency situations at the beginning of the pandemic, when the government had yet to gather adequate data in order to be able to distribute aids proportionally.

Within the context of creative economy, all ICCN programs are practiced with a framework that has become the consensus and commitment of all its members. This framework includes the 10 Principles of Creative City and Catha Ekadasa, or the 11 Ways to implement the 10 Principles; involving the Hexa Helix Stakeholders of a creative city that follow the 3 path of Connect-Collaborate-Create/Celebrate; and comply with the Creative Economy Ecosystem that comprises four main elements: human resource/creators, products (goods, services, systems), market/users, and R&D. 

Most of the speakers have also mentioned important milestones regarding the Creative Economy Sector at the global level, particularly regarding the leadership of Indonesia within this subject. The timeline shows that the efforts to mainstream creative economy have been built since the first World Conference on Creative Economy (WCCE), followed by the establishment of Friends of Creative Economy (FCE) that drafted the resolution for the International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCEforSD). 2021 as the IYCEforSD was declared in 2019; however, the pandemic that started in 2020 has forced changes of plans. In the mean time, ICCN became the knowledge partner of U20 in publishing a policy recommendation, titled “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” in 2020, then joined T20 in 2021 to formulate another one in the line of “Creative Economy as an Accelerator of Sustainable Recovery”. All these are an effort to promote Creative Economy as among the sectors to be discussed during the G20 Summit in Indonesia, 2022. The pandemic has given the opportunity for creative economy to prove that it is among the most relevant sectors for recovery and to create inclusive resilience. Therefore, it is also worth noting that the Asian Development Bank Institute (ADBI) will hold a conference in Tokyo in November 2021, with the theme “Imagining and Delivering a Robust, Inclusive, and Sustainable Recovery”; that will present cases and practices from around the world regarding similar subject of this event. We are all creating scenarios and keep experimenting on how we could move forward together; what have we learned, what would we bring with us, and what we should leave behind for a sustainable future.  

Lastly, keywords such as culture and heritage have also been widely discussed at the global level. The G20 Culture Webinar, for instance, has brought up the theme of creativity for social change, and changing perspectives for cultural heritage. The human-centred development model that became a part of the U20 white paper (2020) put out an argument about how creative economy would provide inclusive occupations in the future, by the means of access to technology, the involvement of all stakeholders, and the iteration of people working in the sectors whose main characteristics fit the required skills and mindset.

===== #IYoCE2021 @IndonesiaUNNY =====

Airborne.bdg | Human City Design Award 2020

Airborne.bdg, salah satu program BCCF di tahun 2017, menjadi salah satu dari 10 finalis Human City Design Award (HCDA) 2020, di mana hanya akan dipilih satu pemenang, yang sedianya akan diumumkan di akhir tahun 2020 lalu, tapi terpaksa ditunda hingga 8 Maret 2021.  

10 finalis HCDA 2020 bisa dilihat di sini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020

Tentang Airborne.bdg di HCDA 2020 ada di laman ini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020/airborne-bdg

Mengutip dari situsnya (dalam interpretasi bebas), HCDA ini bermula dari dideklarasikannya Kota Seoul sebagai Human City Design Seoul pada tahun 2018, sebagai respons terhadap kebutuhan dunia di masa kini, di mana masyarakat percaya bahwa kita harus mengatasi dampak buruk dari permasalahan berjaraknya manusia, materialisme, dan lingkungan; bahwa kita harus merancang lingkungan perkotaan yang berkelanjutan, sehingga manusia dapat menikmati kehidupan berkreativitas. 

Dengan deklarasi tersebut, Pemerintah Metropolitan Seoul dan Seoul Design Foundation berharap agar dapat menjadi jalur komunikasi dalam membangun ekosistem perkotaan, di mana manusia dan alam dapat hidup berdampingan, juga sekaligus menjadi platform bagi kesejahteraan bersama, yang terus mengupayakan keberlanjutan dan kesejahteraan bagi komunitas yang terus berkembang.  

Harapan ini menjadi dasar ditujukannya HCDA pada para desainer atau pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam meningkatkan hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antar sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan sekelilingnya, dan manusia dengan alam, melalui penanganan berbagai isu lingkungan perkotaan dengan visi yang baru, melalui desain.       

HCDA mengajak kota-kota di seluruh dunia untuk mengajukan karya terbaiknya, terkait dengan tema yang ditentukan. Di tahun 2020 ini, HCDA bertema Desain untuk Kota Berkelanjutan untuk hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan, dengan tujuan:

  • Untuk mewujudkan ekosistem kota yang berkelanjutan bagi hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan melalui desain
  • Untuk mendiskusikan desain sebagai solusi kreatif bagi berbagai permasalahan sosial yang kompleks di kota, dan untuk memperluas efek “khasiat penyembuhan” dari desain di seluruh dunia
  • Untuk mendorong agar sektor desain berkontribusi pada perkembangan umat manusia

Di HCDA 2020 ini, Airborne.bdg lolos seleksi menjadi finalis, berbarengan dengan 9 projects lain dari Brazil, Italia, Jepang, Kolombia, Korea Selatan, Perancis, Singapura, dan Thailand. Airborne.bdg, yang selesai pada tahun 2017 lalu, merupakan puncak dari serangkaian kegiatan yang dilakukan BCCF sejak tahun 2013 di area Kampung Linggawastu, Kecamatan Bandung Wetan, yaitu mural yang digarap di permukaan atap rumah, membentuk citra .bdg berukuran raksasa, yang hanya dapat dilihat secara utuh dari ketinggian 40 meter dari permukaan tanah. 

Cita-cita untuk mewujudkan adanya landmark ini muncul setelah Bandung bergabung dalam Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) sebagai Kota Desain pada 11 Desember 2015. Untuk membuat penanda kota dengan dimensi dan struktur fisik berukuran masif, tentu diperlukan lahan, tenaga, dan biaya yang sangat besar, sehingga harus dicari cara lain untuk mewujudkan cita-cita tersebut. BCCF yang kala itu sedang terlibat dengan berbagai kegiatan, terutama dalam kolaborasi dengan beberapa kampung, menggagas mural atap ini, yang diawali dengan proses panjang. Mulai dari memetakan pihak-pihak yang terlibat, mengupayakan sponsor, koordinasi dengan Komite Ekonomi Kreatif Kota Bandung, Pemerintah Kota Bandung yang juga menjadi pengampu kegiatan ini beserta perangkat setempat (camat, lurah, RW dan RT), komunikasi dengan warga, dan seterusnya. Dimulai dari kegiatan pengembangan produk (sekaligus kemasan, branding, dan narasinya) bersama Desain Produk FSRD ITB dan Bank Sampah Sabilulungan tahun 2013 yang kemudian didukung oleh Dekranasda Kota Bandung, juga program workshop untuk anak di Taman Pulosari dengan tema-tema arts & crafts, science, dan adventure asuhan EcoEthno dan kakak-kakak mahasiswa Magister Desain FSRD ITB, program Riverplay public furniture di bantaran salah satu ruas Cikapundung dengan Karang Taruna dan Desain Produk FSRD ITB, hingga berbagai aktivitas dengan warga (antara lain workshop fotografi Matawarga dengan AirFoto Network) menuju urban game Sasab.bdg tahun 2015 sebagai bagian dari Helarfest 2015, dan banyak lagi; kawasan Kampung Linggawastu ini menjadi cerminan makna “desain” dan “kreativitas” yang menjadi argumen Bandung sehingga berhasil bergabung dalam UCCN.

Sehingga mural atap di Linggawastu menjadi semacam “stempel”, cap yang menandai sebuah “kota kreatif” dengan kekhasannya sendiri, di mana warganya terus menerus bereksperimen dan menciptakan purwarupa solusi bagi permasalahan sekitarnya. Di mana inisiatif komunitas dapat bertemu dengan kebijakan dan regulasi pemerintah melalui praktik design thinking, dan di mana sinergi antar pemangku kepentingan selalu dilatih dan dievaluasi.

Mengakhiri catatan ini, berikut kutipan dari materi presentasi saya (prerecorded) untuk keperluan Awarding Event tanggal 8 Maret 2021 nanti. Berhasil atau tidak memenangkan penghargaan ini, setidaknya hal ini menjadi pengingat akan semangat perjuangan dan kerja keras komunitas dalam berkarya dan berdampak nyata.

The paint on the rooftops may not last, but we managed to capture a momentum to deliver a statement about what “design” and “creativity” mean for Bandung as a UNESCO creative city. It gives us an opportunity to think of another artefact, which can prove how agile thinking and action could actually build a resilient urban community. In a way, its ephemeral existence conveys a message for us to keep being relevant in our creative endeavours”

[Cat pada permukaan atap mungkin tidak akan awet, tapi kita berhasil merengkuh sebuah momentum untuk menyampaikan pernyatan tentang makna “desain” dan “kreativitas” bagi Bandung sebagai kota kreatif UNESCO. [Airborne.bdg] membuka peluang bagi kita untuk memikirkan artefak lain, yang dapat membuktikan bagaimana pemikiran dan perbuatan yang tangkas sebenarnya dapat membangun komunitas perkotaan yang tangguh. Dengan cara tertentu, keberadaannya yang sementara justru membawa pesan bagi kita untuk terus menjadi relevan dalam segala upaya kreativitas kita.]         

=====

Berikut ini beberapa tautan ke media/ liputan mengenai Airborne.bdg

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Keren, logo ‘.bdg’ ini dilukis di atas permukaan genteng 132 rumah warga – 15 Desember 2017 

https://m.merdeka.com/bandung/halo-bandung/keren-logo-bdg-ini-dilukis-di-atas-permukaan-genteng-132-rumah-warga-171215l.html

Airborne.bdg Bakal Jadi Landmark Baru di Bandung – 15 Desember 2017

https://ayobandung.com/read/2017/12/15/26520/airbornebdg-bakal-jadi-landmark-baru-di-bandung

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Bakal Ada Landmark Baru di Bandung – 16 Desember 2017

Ikon Baru Kota Bandung “.bdg” – 18 Desember 2017

https://ptbestprofitfuturesbandung.mystrikingly.com/blog/ikon-baru-kota-bandung-bdg

Lewat Pasupati, Jangan Lupa Tengok Lukisan .bdg di Atap Warga – 19 Desember 2017

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3775965/lewat-pasupati-jangan-lupa-tengok-lukisan-bdg-di-atap-warga

Facebook Fiki Satari

https://www.facebook.com/fikisataricom/posts/representasi-skenario-bandung-kota-kreatif-dunia-yg-dinarasikan-dlm-proposal-dos/1792642597424899/

Twitter @infobdg

“Masa Cerdas” Kota Bandung

Dalam artikel ini, 5 lessons for smart cities in ASEAN: The example of Bandung, Indonesia* Bandung disebut sebagai termasuk yang terdepan di antara kota-kota di Asia Tenggara dalam hal keterlibatan teknologi dan sistem yang membawanya menjadi “Kota Cerdas”. Hal-hal penentunya adalah, antara lain, komitmen pemimpin daerah, yang didukung oleh seluruh pihak, termasuk komunitas dengan berbagai inisiatifnya yang – walaupun bersifat bottom-up – terus berupaya berdampak luas, hingga skala kota.

Bandung Blog 5

Credits: Yoshi Andrian Amtha (copyright: Future Cities Laboratory, 2020)

Bandung Creative City Forum, salah satu simpul komunitas di Kota Bandung, rutin menyelenggarakan DesignAction.bdg (DA.bdg), sebuah konferensi sekaligus workshop design thinking untuk mendapatkan solusi inovatif bagi berbagai permasalahan mendesak di Kota Bandung, dengan melibatkan Penta Helix stakeholders. DA.bdg 2015 bertema ConnectiCity, dengan fokus pada isu smart city yang kala itu sedang gencar bergaung di mana-mana. Apalagi pemerintah Kota Bandung masa itu mengeluarkan banyak kebijakan dan fasilitasi melalui media internet, aplikasi digital, dan teknologi komunikasi, seperti PPDB online, pajak online, PIPPK, dan sebagainya. Namun permasalahan di lapangan ternyata mencakup bukan sekedar akses masyarakat terhadap teknologi dan piranti yang memadai, namun juga pemahaman terhadap sistem layanan yang lumayan ‘baru’ ini, baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah sebagai operator atau pelaksananya. Sehingga DA.bdg melihat upaya mewujudkan Bandung sebagai smart city bukan hanya dari sudut pandang kecanggihan teknologi atau piranti, namun lebih kepada keterhubungan antara pemerintah dan masyarakat, kebijakan dan implementasinya, serta antar unsur dalam masyarakat itu sendiri, melalui bantuan dan sistem yang tepat guna.

Dalam kurun waktu sekian tahun sejak itu, komuntas pun berinsiatif untuk menyusun strategi yang dapat menghubungkan antara gerakan bottom-up dengan penilaian kinerja pemerintah, berdasarkan mindset ekosistem ekonomi kreatif. Dalam upaya ini, Bandung pernah mengalami “masa cerdas” yang cukup menyeluruh. Bukan hanya menjalani keseharian dengan “aman”, tapi juga melakukan berbagai  inovasi pemerintahan dan program-program yang berdampak nyata, dengan melibatkan partisipasi warga/ komunitas secara aktif.

Ayo bikin Bandung lagi!

*This article leverages the methodology and the findings of the research project “Translating Smart Cities and Urban Governance in ASEAN” led by the Future Cities Laboratory (FCL) – Singapore ETH Centre and the NUS-Lee Kuan Yew School of Public Policy (2019-2020), focusing on the development of three smart cities in Indonesia: Bandung, Jakarta and Makassar.

It’s Good to Talk, Show 5

Tanggal 10 Juni lalu, saya diajak ngobrol-ngobrol melalui Zoom yang disalurkan juga sebagai program radio, sehingga apa pun yang ditampilkan secara visual, harus disampaikan juga secara verbal. Pembawa acara ini adalah Donald Hyslop, yang terhubung dengan saya melalui jejaring Global Cultural District Network (GCDN), selain juga beliau sebagai Head of Community Partnerships di Tate Modern dan di Better Bankside Cultural District di London; serta Nicole Van Dijk, kurator dan mengepalai program penelitian dan pengembangan di Museum Rotterdam, selain juga Wakil Ketua CAMOC (ICOM Council for City Museums). Selain saya, untuk sesi ke-5 ini, ada juga Paul Howard, kurator di Blackstone Arts Center di NSW, Australia.

Seperti halnya berbagai acara daring lain di musim pandemi ini, It’s Good to Talk juga merupakan upaya agar program-program seni, budaya, dan kreativitas pada umumnya tetap dapat memperoleh saluran ekspresi; dan agar para pelakunya dapat tetap terhubung — bahkan dengan memanfaatkan teknologi yang memungkinkan komunikasi jarak jauh, lintas zona waktu.  

https://youtu.be/tBfGCpW69d8

Di sesi ini, salah satu yang diangkat adalah Bamboo Dome Project, program kerja sama dengan Prof. Takaaki Bando dari Musashino Art University (Jepang) dengan Program Studi Desain Produk ITB tahun 2012. Gagasan dan konsep tentang hunian masa depan,  pemanfaatan material alam dan perlakuan teknologi dengan lebih bijak dan cerdas, serta cara manusia bertahan dan bertumbuh; semuanya terkandung dalam Bamboo Dome Project ini. Sesi ngobrol-ngobrol ini jadi mengingatkan lagi ke masa itu.

Sesi yang sangat menyegarkan ^_^

Coming Home: Doing the Write Thing

ComingHome-CVF_602d2f24-9910-4776-878f-697c01beae38_large

Sooo… my graphic stories about our moving from Amsterdam to Bandung in early 2007, its preparations and afterwards – when we were adjusting to our new life in a different city – are now published under the title Coming Home by Epigram Books, Singapore. There was a plan to have a launching event in Singapore earlier this year, but, Corona.

Coming Home can be ordered through Epigram Books online shop. There’s also a lengthy interview/article, Doing the Write Thing: Tita Larasati. Go to the link for a complete version of the article; I’ll just put the first parts here.

For those who aren’t familiar with my graphic diary, it’s actually what it is: a visual recording of my daily happenings, or thoughts. It’s not in a conventional format of ‘comics’ with panels and word balloons, since they’re spontaneous scribbles in a sketchbook. No prior pencil sketches, directly drawn with black gel pen. I’m glad Epigram Books replaced my scrawny hand writing with a font that looks similar, but more friendly to the eyes.

I usually post my stories at Multiply (already extinct now), so readers are usually my friends and networks from that social media, who are also familiar with the real “me” from my other updates at Multiply. Anyhow, hope old and new readers alike would enjoy this one, too!  

=====

Why did you decide to make your book a graphic diary instead of a graphic novel or simply a memoir?
Because it is actually a diary, where I record daily occurrences, not only in writings but mostly in graphics. I didn’t start by an intention of creating a “novel”, since I know I wouldn’t have time for such ambition although I’d love to, one day. A “memoir” tends to mean that it is produced on purpose to make an autobiography, which also wasn’t my intention. I just want to record memorable, simple happenings around me—like a person taking a photograph of things she likes—and compile the results into an album.

How did your habit of recording and drawing daily happenings begin?
I actually never stop drawing since I knew how to use a crayon or a pencil. Whenever our family made a long trip, as far as I remember, we kids were each given a drawing book and a set of crayon or colourful markers. So when we’re bored, we were told to just draw. Or, whenever we went on a vacation, then my father (he’s an architect) used to make sketches too of the sceneries or objects around us, and I did the same while accompanying him. I haven’t really started compiling my drawings properly until 1995. I spent almost the whole year in Germany, doing my apprenticeship in a product design company. My German boss asked me to fax my parents every week, to send them news (about what I did in Germany). I thought, writing day-to-day happenings would be too tedious to read, so I fax them 1 page of drawings each week. (My mother used to make copies of my fax pages and distributed them to families and friends). By the end of my apprenticeship period, I ended up with about 100 pieces of A4 papers full of drawings. This habit apparently continues, even up to today.

Gotong Royong Kekinian

Kita semua sekarang sedang dalam berada kondisi luar biasa. Semua kegiatan sehari-hari terpaksa dilakukan di luar kebiasaan; tidak selalu semuanya berarti buruk, bahkan beberapa justru melatih untuk menjadi lebih baik. Hebohnya, perubahan ini berlaku di seluruh dunia, bagi segala kalangan, tanpa kecuali. Yang menjadi pembeda hanyalah cara-cara menanggapi dan menghadapinya, sesuai dengan konteks kebutuhan masing-masing. Berikut ini sedikit catatan sehubungan dengan pandemi COVID-19 di lingkungan yang terdekat dengan saya. 

 

PEC

Mengenai PEC ini (International Advisory Council for Creative Industries Policy and Evidence Centre UK), pernah saya tulis beberapa waktu lalu. Seharusnya tim PEC ini kumpul lagi awal Juni di Istanbul, Turki, tapi harus dibatalkan. Salah satu dari kami mengusulkan untuk bertemu lewat Zoom, untuk melanjutkan pembicaraan dan supaya tidak “terpisah terlalu lama”. Dengan segera waktu di-polling dan ditentukan, dan tibalah saatnya bertemu secara virtual. 

Screen Shot 2020-04-02 at 19.55.03

Pertemuan PEC

Menarik, mengetahui pengalaman masing-masing negara dan wilayah di belahan bumi lain, dengan fokus perhatian yang juga berbeda-beda. Jelas bahwa tidak ada satu pun negara yang siap dengan kondisi berdampak semasif dan semulti-dimensi ini, tapi setidaknya kita selalu dapat saling belajar dari pihak-pihak lain dalam hal upaya, pengalaman, dan kolaborasi.

Salah satu hal yang diangkat dari pertemuan PEC kali ini adalah fenomena tersedianya akses publik terhadap pertunjukan seni (musik, tari, teater, dll.) yang ditampilkan  secara daring tanpa dipungut biaya. Terdapat kekhawatiran bahwa hal ini akan cenderung membentuk pendapat umum bahwa “seni itu gratis”. Hal lain yang diangkat adalah tentang terpukulnya sektor pariwisata dan berbagai sub-sektor industri kreatif yang menyertainya, yang memang mengandalkan hadirnya kerumuman manusia sebagai sumber pendapatan. Kondisi yang beragam akan menuntut solusi yang berbeda-beda pula. Saya menyampaikan bahwa modal sosial (social capital) adalah yang selama ini memang mendominasi jenis tanggapan yang paling cepat dapat dirasakan manfaatnya; berupa inisiatif masyarakat dalam bentuk berbagai penggalangan dana dan aksi. Saya sampaikan juga program Indonesia Creative Cities Network (ICCN) terkait COVID-19, yaitu kompilasi inisiatif forum lintas komunitas para anggotanya di lebih dari 220 kabupaten/kota, berupa: (1) Komunikasi & edukasi seputar COVID-19, terutama hal-hal yang harus diperhatikan untuk menghadapinya, dalam konten visual dan verbal yang sesuai dengan budaya setempat; (2) Sumber-sumber daya lokal yang menjadi pijakan bagi berbagai gerakan; (3) Konten protokol untuk pemulihan kilat, terutama bagi industri lokal yang terdampak. Data yang diperoleh akan diolah menjadi masukan dan rekomendasi solusi bagi pemerintah sebagai ajuan resmi dari ICCN, agar kebijakan dapat ditetapkan berdasarkan kondisi nyata (evidence-based policy).          

Sebagai tindak lanjutnya, PEC kini sedang mengumpulkan berbagai inisiatif dan gerakan penanganan dampak epidemi COVID-19, terutama yang terkait dengan industri kreatif dan ekonomi kreatif, yang hasilnya diharapkan dapat berkontribusi bagi sektor tersebut secara global.    

 

Bandung dan Sekitarnya

Namanya juga Bandung, yang sarat kampus, kaum muda, dan komunitas, yang semuanya tidak pernah berdiam diri bila ada peluang solusi, terutama di masa krisis seperti sekarang ini. 

    • Design Ethnography Lab. Ini adalah lab baru di Program Studi Desain Produk, FSRD ITB, untuk penelitian desain berbasis entografi. Lab ini mempublikasikan cara membuat masker sendiri dengan bahan-bahan keseharian yang umumnya terdapat di rumah, dengan mengacu dari berbagai referensi. Sekarang, ada versi bahasa daerahnya juga!
    • Masih dari kampus. Desain Produk ITB punya mesin-mesin pencetak 3 dimensi (3D printers). Sebagian, yang memenuhi syarat, sekarang dikaryakan untuk mencetak komponen face shield dan thermometer. Untuk alat-alat medis yang lebih kompleks, seperti ventilator, dibutuhkan standar khusus dan tingkat kelayakan material yang teruji.     
    • Jurusan Fashion di Universitas Maranatha, baik dosen maupun mahasiswanya, menjahit masker kain (non-medis) untuk dibagikan gratis pada yang membutuhkan di sekitar Bandung dan Jawa Barat. Gerakan produksi masker kain ini banyak juga dilakukan oleh teman-teman baik pengusaha perorangan maupun yang bergabung dalam asosiasi semacam Indonesia Fashion Chamber. 
    • Aliansi Desainer Produk Industri Indonesia (ADPII) banyak membahas kontribusi profesi desain produk/industri di grup-grup WA dan media sosial, seperti produksi alat dan bilik desinfektan, face shield, fasilitas cuci tangan & sabun di ruang-ruang publik, dan sebagainya.
    • Torch, start up lokal untuk peralatan traveling dan outdoor, mengalihkan sebagian lini produksinya untuk membuat Alat Pelindung Diri (APD) reusable (!) untuk tenaga medis, dengan juga memperhatikan faktor-faktor keamanan (aman partikel virus) dan kenyamanan (breathable fabric, ukuran tidak menghalangi gerakan).

      619ea3ac-2f37-48f9-828c-725cd025d65f

      APD desain Torch

    • Arus Informasi Santri (AIS) Jawa Barat berkolaborasi dengan para desainer lokal (melalui Bandung Creative City Forum dan Forum Desain Bandung) untuk mengeluarkan materi informasi dan edukasi yang akrab dengan keseharian masyarakat Jawa Barat. Karena terminologi seperti social distancing, physical distancing, lockdown, dan sebangsanya itu sulit untuk langsung dimengerti; dengan sasaran warga yang masih sering bergerombol, bepergian, dan berniat mudik. 
    • YPBB menginisiasi gerakan untuk memberi bantuan pada pemulung dan tukang sampah yang rawan terpapar virus, karena setiap hari mereka harus menghadapi limbah disposable mask dari rumah-rumah tangga. Banyak lagi gerakan yang bersifat mendukung mereka yang harus bekerja di luar, yang membutuhkan fasilitas pengaman yang layak.    

 

Pertemuan Virtual

Terima kasih kepada teknologi informatika dan komunikasi masa kini, yang memungkinkan kita bertemu secara virtual melalui berbagai program. Yak, kalau termasuk sebagai kaum yang privileged, pasti dengan mudah punya akses ke gawai canggih, layanan internet, dan aliran listrik yang stabil. Kontak sosial terjadi lewat daring, dengan teman-teman yang biasanya jarang sekali bisa bertemu.

Screen Shot 2020-04-04 at 16.39.00

Ngumpul seangkatan SMA

  • Ngumpul daring dengan teman-teman seangkatan di SMA 6 Jakarta ini memang ajaib, karena meskipun caur banget, bobot kontennya nggak kalah dengan kantor berita kelas dunia. Beberapa hari lalu, ditetapkan para narsum yang semuanya canggih, teman-teman seangkatan juga, untuk bahas COVID-19 dan dampaknya. Benar-benar jadi makanan jiwa dan otak, sampai kenyang dan senang.
  • Sesi-sesi ngobrol daring jadi berhamburan di mana-mana. Sekali cek medsos dan grup WA, pasti keluar minimal 2-3 poster promo untuk sesi-sesi ini. Siapa pun jadi bisa belajar tentang apa pun, dan pasti berharap punya waktu cukup untuk menyimak semuanya, atau minimal berharap waktunya nggak bentrok dengan virtual meeting lainnya.          

 

Nah, inisiatif yang berikutnya ini yang paling seru: Lumbung Pangan Sekewood.

Art, Design and Culture

Ini adalah hari-hari akhir semester, yang artinya? Ya, benar: waktunya mengejar tenggat waktu menilai kumpulan tugas-tugas dan hasil ujian akhir semester. Makanya, seharusnya semua tugas dan ujian itu bisa dibuat seru, supaya masa-masa penilaian seperti ini justru bikin semangat. Salah satunya adalah CCE60 Art, Design and Culture (ADC), mata kuliah di MBA CCE ITB, pesertanya adalah mahasiswa tingkat magister bisnis yang sekaligus juga pengusaha muda. Ini adalah kelas ADC kedua yang saya pegang, sebagai salah satu dosen dalam sistem team teaching; kali ini bersama Dina Dellyana dan Prananda Luffiansyah. 

Inti kelas ADC ini adalah memberikan wawasan tentang bagaimana kreativitas (seni, desain) dan budaya dapat berpengaruh bagi aktivitas bisnis, beserta praktiknya (karena ini kuliah 3 SKS). Materi-materi seperti design thinking, emotional design, manifestasi ragam budaya pada komoditi (barang dan jasa), craftsmanship, etnografi, dan sebagainya, disampaikan di dalam kelas, seperti biasa. Yang berbeda adalah: untuk Ujian Tengah Semester (UTS), kelas ini wajib menyelenggarakan sebuah acara diskusi terkait kontribusi kreativitas dan budaya terhadap bisnis dan mendokumentasikannya dalam bentuk laporan tertulis; untuk Ujian Akhir Semester (UAS), secara kolektif kelas ini wajib menyusun publikasi, juga dalam bentuk buku, mengenai studi etnografi yang dilakukan dalam kelompok, sekaligus memuat kesan & pesan mereka terhadap perkuliahan ini. 

Hasil UTS dan UAS ini terlalu heboh untuk hanya disimpan di perpustakaan (di bawah ada tautan ke buku UAS ADC versi PDF). Saya coba tuliskan sedikit di sini, berhubung nilainya sudah beres dimasukkan semua. (Hore!)

How Creative Mind Enhances Your Business

Talkshow ini digelar pada tanggal 9 Oktober 2019, pk.17:30-21:00 WIB di Auditorium SBM ITB. Mahasiswa dibebaskan untuk mengorganisasi sendiri seluruh keperluannya; tim dosen hanya harus memastikan bahwa penyelenggaraannya bertepatan dengan jadwal UTS, serta mengingatkan kelengkapan yang diperlukan untuk penilaian. Kebetulan pula, selama satu bulan penuh di Oktober 2019 itu sedang berlangsung Bandung Design Biennale (BDB), sehingga talkshow ini pun tercatat sebagai salah satu peserta BDB. Salah satu tantangan utamanya tentu saja adalah memperoleh narasumber yang dapat segera dikonfirmasi, salah satunya untuk keperluan publikasi. Pada Hari-H, semua berlangsung dengan lancar, dan yang penting dapat memberikan insights bagi para mahasiswa kelas ini mengenai pentingnya pemahaman terhadap budaya, terutama untuk menentukan segmen pengguna dan performance produk barang/jasa, serta pentingnya kreativitas untuk dapat berinovasi.

Para narasumber talkshow ini adalah Yusuf Zulkifli (Matoa), Bayu Rengga (POT Branding House), dan ‘Ayah’ PidiBaiq (The PanasDalam). Yusuf dan Bayu masing-masing memamparkan jalannya bisnis mereka. Matoa memberikan added value pada market melalui Creative Concept dan Creative Storytelling; namun tidak hanya terfokus pada nilai jual produknya saja, melainkan terus berupaya untuk menginspirasi pelaku industri kreatif lainnya. Kunci sukses penjualan produk Matoa, menurut Yusuf, adalah international quality dengan cara upgrading kerajinan tangan lokal. Ketika ditanya kenapa konten promosi produk Matoa se’ribet’ itu, jawabannya adalah: to raise the bar. Memang, jangan mau biasa-biasa saja; make extra deliveries to prove your worth untuk dapat bersaing dengan produk-produk sejenis. Sedangkan POT selama dua tahun belakangan ini terus mengulik “manusia” untuk memahami bagaimana sebuah brand dapat menjadi bagian dari diri mereka. Bayu menyampaikan 3 fase pertumbuhan dalam pengembangan brand: functional (responsif, solutif), emotional (konteks emosi & selera), dan behavioural (kesepakatan value). PidiBaiq, yang caranya berkarya termasuk sangat impulsif, telah menghasilkan berbagai produk, dari komik dan musik, hingga yang populer belakangan ini, novel dan film layar lebar (Dilan). Di acara ini, Pidi menyampaikan konsepnya tentang kreativitas. Bahwa, di dunia eksakta, bila jawabanmu umum atau sama dengan yang lain, berarti kamu benar; sementara di dunia kreatif, bila jawabanmu umum, berarti kamu nyontek, atau tidak berinovasi. “Kreatif” berarti terus menerus bereksperimen, bebas berkarya, tidak dibatasi, dan fokus pada upaya untuk terus menerus memperbaiki karya dan diri sendiri.   

Tanggapan dari audience rata-rata menginginkan agar acara ini diselenggarakan siang hari agar lebih banyak yang bisa hadir; tapi sepertinya panitianya di siang hari sibuk menggarap UTS lain, sehingga talkshow terpaksa digelar malam. Secara keseluruhan, yang hadir – termasuk mahasiswa peserta kelas ini – menikmati dan memberi tanggapan positif terhadap acara ini, yang memberikan pengalaman dan insights yang tidak dapat diperoleh bila pembelajaran hanya terjadi rutin di ruang kelas.

Etnografi dalam Eksplorasi Solusi Kreatif untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Untuk melengkapi inti mata kuliah ini, disampaikan materi etnografi yang langsung dipraktikkan di lapangan. Mahasiswa, dalam kelompok, memilih obyek UMKM di sekitar kampus untuk diintervensi dengan menggunakan panduan dan lembar kerja yang disediakan. Jenis usaha yang dipilih untuk studi sebagian besar adalah warung/ tempat makan: Taman Sari Food Festival, Rajo Dendeng, Sate Kobar, Ruko Nonstop (Kaya Kopi), Warung Timbel Hasanudin, Simpang Tigo; selain juga Komunitas Baca Badak Singa dan Laundry Tubagus Ismail. 

Dengan terjun ke lapangan dan langsung berinteraksi, baik dengan pemilik/ pengelola tempat usaha maupun konsumennya, para mahasiswa melakukan penggalian data, termasuk dalam hal emosi, perilaku, dan sebagainya terkait budaya dan kebiasaan sehari-hari. Selanjutnya, dilakukan proses analisa, diskusi, dan co-designing dengan para pengambil keputusan di tempat-tempat usaha tersebut, untuk solusi yang paling feasible dengan dampak nyata dan terukur. Untuk hal yang terakhir ini, jelas dibutuhkan waktu lebih lama lagi untuk membuktikan perubahannya; namun setidaknya interaksi ini telah berkontribusi positif, baik bagi pihak tempat usaha maupun bagi mahasiswa yang mendapatkan hands-on experience dalam upaya meningkatkan aktivitas bisnis UMKM. Metodologinya dapat lanjut dibawa ke unit usaha yang dijalankan oleh tiap mahasiswa, dan di-exercise terus hingga mencapai cara yang paling jitu, dan siapa tahu, dapat juga dibawa untuk menciptakan dampak yang lebih besar bagi pengembangan UMKM di Indonesia.           

Mata Kuliah Art, Design and Culture ini masih  diselenggarakan bagi kelas-kelas selanjutnya di MBA CCE ITB, tapi mungkin akan berlangsung dengan cara yang berbeda, karena dosen-dosen pengampunya berganti. Bagaimana pun itu, pasti tetap dapat memberikan bekal dan wawasan dari perspektif seni, desain, budaya, dan kreativitas pada umumnya, yang relevan dan dapat berkontribusi bagi pengembangan bisnis. 

Dear students, it’s been a real pleasure working with you in the past months. We‘ve read all your words and observed all your deeds; sincerely proud of your hard work and commitments. Hope our paths come across again, in the same (or more) challenging and fun ambience. Have a great life!

Book Design – ADC – Final

 

DxCC [1/2]

DxCC1Mungkin pernah dengar, ya, ungkapan ini, “Kalau kita menjadi orang yang paling cerdas di sebuah ruangan, berarti kita berada di ruangan yang salah”. Nah, pertemuan di Bangkok yang baru lalu ini membuat lega, karena saya pasti berada di ruangan yang benar. Kesibukan selama ini dalam membangun organisasi, metodologi dan konsep, serta program-program selama ini dalam konteks ekonomi kreatif, design thinking, pengembangan komunitas, dan sebagainya, meskipun nampaknya bergerak ke arah yang benar, akan selalu membutuhkan kritik (termasuk self criticism), masukan, dan referensi. Sehingga undangan untuk berpartisipasi dalam seminar DxCC dan workshop Design for Collaborative Cities ini pun dirasa tepat waktu, di tengah-tengah laju aktivitas yang sepertinya ‘seru sendiri’. Tiba saatnya jeda sebentar untuk belajar. Mari, simak sejenak, apa yang dipikirkan dan sudah dilakukan oleh orang-orang, komunitas, dengan pengetahuan, keahlian, dan semangat serupa.     

Kita, warga dunia ini, sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang seluruhnya membutuhkan penanganan mendesak. Bagi Asia Tenggara, kawasan yang umumnya beriklim tropis dengan kepadatan penduduk yang terus bertambah, juga sebagai lahan lumbung keanekaragaman bahan makanan dan rempah dunia, adalah wajar bila hal-hal utama yang diangkat terkait soal ketahanan pangan dan kesehatan. Dampak Perubahan Iklim telah sangat terasa, ketika panen tidak lagi stabil, pasokan air bersih makin langka, udara makin panas dan kotor, serta menciptakan kondisi yang subur bagi berbiaknya berbagai penyakit. Sebagai yang menekuni bidang desain dan kreativitas pada umumnya, solusi apa yang bisa kita tawarkan dalam menghadapi tantangan ini? 

DxCC2Ezio Manzini, pendiri DESIS (Design for Social Innovation and Sustainability) Network, menginisiasi sebuah program bernama DxCCDesign for Collaborative Cities: cultivating communities in sustainable and healthy city making, yang telah dilaksanakan di Shanghai, Bogota, dan Beijing, dan kini di Bangkok, bekerja sama dengan Universitas Chulalongkorn. 

  1. Salah satu pertanyaan yang mengemuka adalah, “Bagaimana makanan menjadi bagian dari desain sebuah kota?”, karena rantai pasokan pangan yang lengkap, di mana bahan makanan ditanam/ diternakkan kemudian dipanen, diolah menjadi bahan baku, didistribusikan, hingga dimasak dan mencapai konsumen, pada akhirnya menjadi pertimbangan penataan sebuah ruang kota. 
  2. Makanan juga telah menjadi penggerak yang baik dalam sebuah komunitas; kegiatan keseharian di kota padat penduduk tentunya tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan akses yang cepat dan terjangkau ke makanan, yang seringkali muncul di kota-kota Asia Tenggara dalam bentuk kaki lima. Tentu saja kegiatan ini berimbasnya terhadap pengelolaan limbah dan persoalan higienis lainnya.            
  3. Ezio Manzini menegaskan bahwa DxCC bukan hanya untuk arsitek dan perancang kota, tapi juga desainer, dan berbagai lapisan pihak yang terlibat dalam perputaran produk dan jasa. Program ini bermaksud menemukan komunitas bentuk baru, yang menentukan “how a city could be” dalam korteks antara Kota dan Sistem Pangan.  
  4. Apakah Inovasi Sosial dapat berkontribusi dalam fokus kepada Kota (City) dan Pereka-Kota (City-Making)? Terutama dalam menemukan hubungan baru antara manusia dengan alamnya, dan, dalam skala yang lebih luas: antara perkotaan dengan lahan tumbuh makanannya. Hal ini tidak terlepas dari upaya menghubungkan kembali antara perkotaan dengan pedesaan. 
  5. Darurat Iklim bukan hanya menyangkut kepedulian terhadap lingkungan, tapi juga pada perilaku dan keterhubungan antara manusia dalam perannya yang beragam. 
  6. Tentu saja kita tidak bisa kembali ke masa lalu, di mana kota yang multifungsi dan agrikultur yang juga multifungsi masih berfungsi dengan baik dan efektif. Kini kita harus membangun “komunitas pangan yang baru”. Berbagai upaya telah dilakukan terkait hal ini di kota-kota dunia dalam skala yang berbeda-beda, seperti peri-urban farms, urban farms, neighbourhood farms, rooftop farms, balcony vegetable gardens, dll. yang pada akhirnya membentuk sebuah sistem rural-urban baru, dan menciptakan social gardeners.      
  7. Bagaimana sistem rural-urban baru ini dapat terus berlanjut? Karena warga dan komunitas terus menerus melakukannya, untuk membentuk “komunitas pangan yang baru” tersebut. Komunitas inilah yang menghasilkan koperasi pangan, dan kemitraan antara petani dan warga (kota). 
  8. Dari segi Inovasi Sosial, telah diketahui bahwa bila sebuah “komunitas masa lalu”, yang mempraktikkan perilaku, aktivitas, dan cara-cara kerja konvensional, mengalami bentrokan dengan “komunitas kontemporer”, yang mempraktikkan perilaku, aktivitas dan cara-cara kerja termutakhir, termasuk dengan pemanfaatan media dan teknologi canggih, biasanya “komunitas masa lalu” ini akan lenyap.  
  9. Kita memerlukan light, place-related communities, yang memiliki kekuatan, pengetahuan, dan juga pengetahuan desain. We should grow a new sense of care.
  10. Kita harus menciptakan enabling ecosystems, yang relevan dengan tempat, keahlian, peralatan dan dukungan, dilengkapi dengan visi bersama, kemampuan co-design, dan rancangan yang terarah.     

 

*Di bagian kedua nanti, paparan tentang penelitian di kota-kota Asia Tenggara, dan  workshop yang menggunakan 3 Horizons Framework

 

DxCC3

DxCC4

Placemaker Week ASEAN, Kuala Lumpur, Malaysia, 7-8 November 2019

Placemaker Week ASEAN 2019 baru saja usai diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia; pertama kalinya di kawasan Asia setelah sebelumnya hanya berlangsung di Eropa Barat. PMWA2019 ini digelar di stadion Ching Woo yang dibangun tahun 1950an, yang beberapa fasilitasnya masih berfungsi dan terbuka utk publik. Apa itu “placemaking”? Kata-kata kunci yang banyak dilempar di forum ini, terkait istilah tersebut, antara lain: keberlanjutan, pemberdayaan komunitas dalam menciptakan perubahan, transformasi ruang (publik), hak terhadap (ruang) kota, inklusivitas, dan sejenisnya. Bisa dilihat dari kotretan #graphicnotes di sini 🙂 

placemakerASEAN tita

Senang hadir di sini, karena juga bisa sambil reuni sebentar dengan Mas Singgih, yang menekankan bahwa dalam konteks Asia, aspek warga desa (tidak hanya warga kota) berpengaruh besar terhadap pergerakan di skala wilayah kota/kabupaten. Intinya, meskipun placemaking bukanlah hal yang baru bagi kita di Asia, namun dalam platform ini kita bisa saling berbagi dan menunjukkan cara orang Asia membentuk dan mengubah ruang-ruangnya sendiri, dengan caranya sendiri; sekaligus dapat menjadi rujukan bagi warga belahan dunia lain yang masih berjuang untuk menentukan ruang hidupnya sesuai dengan kapasitas dan ekspresinya sendiri. Pointers dari acara ini antara lain:

  1. ThinkCity, yang awalnya dibentuk khusus untuk menangani peremajaan area bersejarah Penang sebagai Kota Pelabuhan abad ke-14, yang telah diakui UNESCO sebagai Kota Pusaka, dalam melaksanakan tugasnya berprinsip untuk membentuk ruang-ruang sosial berbasis budaya, untuk membuat orang nyaman berada di dalamnya, dengan mempelajari sosiologi ruang kota dan behavioural economics.  
  2. Karena keberhasilannya di Penang, ThinkCity pun melebarkan garapannya ke kota-kota lain seperti Kuala Lumpur, Johor Baru, dll., dengan memegang konsep transformasi kota yang berpihak pada manusia, serta mempromosikan keberagaman dan inklusivitas. Bagaimana peran placemaking dalam hal ini? Apa kontribusinya?  
  3. Setiap orang punya hak untuk membentuk ruangnya, sehingga kesetaraan sosial dapat tercapai.
  4. Placemaking harus bisa menciptakan a sense of space, juga rasa memiliki. Pendekatan bottom-up memungkinkan hal ini, untuk mewujudkan kemauan masyarakat yang sebenarnya; bukan kemauan masyarakat yang diasumsikan oleh pemerintah.    
  5. Placemaking bukan berarti membangun yang baru, tapi justru memanfaatkan yang telah dimiliki, dengan cara memberikan dimensi dan perspektif baru pada ruang tersebut. 
  6. Ruang sosial dapat dibentuk dalam tahapan: Branding >> Destinasi >> Liveability.
  7. Kesetaraan dalam kota dapat tercapai dengan mempertimbangkan aspek-aspek Place, Product, Program, People, Prosperity, Promotion.
  8. Intinya adalah empati, ketika berurusan dengan komunitas, keadilan, dan orisinalitas.  

Setelah sesi panel, saya bergabung dengan workshop yang difasilitasi oleh The City at Eye Level Asia, sebuah inisiatif yang dimulai di Belanda dan mulai menyebar ke seluruh dunia, dan baru kali ini dicoba untuk Asia. Format workshop-nya adalah world cafe, di mana para peserta dalam kelompok-kelompok secara bergiliran mampir berdiskusi dari satu meja ke meja berikutnya. Tiap meja memiliki tema yang berbeda; dalam hal ini berupa pertanyaan How, Who, When, Why, What, Where, untuk gagasan pembentukan jejaring The City at Eye Level di Asia. Hasil dari sesi ini adalah pengajuan diri dari kota-kota di Asia untuk menjadi tuan rumah, sekretariat, dan sebagainya. The City of Eye Level selama ini telah mengadakan pertemuan dan menerbitkan publikasi seputar partisipasi masyarakat dalam kotanya; diharapkan terdapat pula publikasi dengan tema tersebut dari wilayah Asia dari jejaring yang telah terbentuk ini.

Ada satu sesi lagi di mana saya berkesempatan menyampaikan contoh-contoh intervensi ruang publik yang telah dilakukan oleh BCCF, yang kemudian bergeser ke program-program yang bersifat pengembangan kapasitas SDM melalui urban games, workshop design thinking bagi pemerintah, sebagai modul sekolah, dsb. 

placemakerASEAN tita2

Selama di sana, saya juga sempat diwawancara oleh salah satu media terbesar Malaysia, The Star, yang hasilnya bisa dibaca di tautan ini:

https://www.thestar.com.my/metro/metro-news/2019/11/16/placemaking-speakers-share-their-experience-and-ideas

Dari acara-acara semacam ini, yang paling menyenangkan adalah kesempatan bertemu kembali dengan rekan-rekan ‘seperjuangan’ di wilayah Asia Tenggara. Setelah menunaikan seluruh sesi hari itu, saya kembali berdiskusi dengan tim ThinkCity terkait rencana kolaborasi berikutnya. Hubungan erat yang kami mulai sejak tahun 2014, ketika kami sebagai Kota-kota Bandung dan Penang beserta Cebu dan Chiang Mai bersepakat untuk bekerja sama dalam korteks Jejaring Kota Kreatif Asia Tenggara, hingga kini telah mengalami dinamika yang tak terduga. Di sinilah kami harus saling belajar melihat manfaat dan dampak dari kolaborasi yang selama ini terjadi. Nantikan rencana-rencana kami berikutnya, karena sepertinya bakal lebih seru, terutama yang juga terkait dengan Indonesia Creative Cities Network (ICCN).