Monthly Archives: January 2019

5 Key Questions, 5 Trends, 5 Opportunities: Tom Fleming di Batam

o2fleming01

Beragam komunitas di Batam sedang menggeliat, mulai bangkit untuk turut berkontribusi nyata pada pembangunan kotanya. Salah satu gejalanya nampak di akhir pekan ini, 19-20 Januari 2019, dengan terselenggaranya Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan berbagai stakeholders, dengan tajuk Batam for Creative and Educational Tourism? Potential mapping, connecting resources. Salah satu narasumber, Tom Fleming, konsultan asal Inggris yang telah bekerja sama dengan banyak kota kreatif di Asia Tenggara, menyampaikan materinya berjudul 5 Key Questions, 5 Trends, 5 Opportunities melalui video; yang inti kontennya terpapar berikut ini.

o2fleming04o2fleming03

Tom Fleming merekomendasikan strategi jangka panjang untuk pengembangan kota berbasis komunitas. Terdapat lima pertanyaan yang dapat menjadi acuan dari FGD ini, dan jawabannya dapat menjadi konsensus warga/ komunitas Batam dalam mengembangkan kotanya.

  1. Jenis ekonomi apa yang akan dilaksanakan? Apakah kreativitas? Turisme? Industri Kreatif? Atau terfokus pada skala kota?
  2. Sekuat apakah kemitraan yang ada? Kesadaran akan hal ini penting untuk menentukan tingkatan kerja sama, sekaligus membangun kepercayaan. Diperlukan juga kemitraan yang dapat menampung suara dari kaum muda.
  3. Seperti apa talent pipeline yang ada? Apakah ada jalur pasokan yang kuat dari, misalkan, perguruan tinggi? Apakah talenta yang ada memiliki kekhasan tertentu?
  4. Apa saja sektor-sektor kunci yang ada? Adalah penting untuk menentukan posisi Batam terhadap kota-kota lain dengan kondisi serupa; juga untuk menentukan pasar potensial.
  5. Apa baseline yang dimiliki? Pendekatan strategis apa yang akan diterapkan untuk ekonomi? Apakah ada pertanyaan-pertanyaan kreatif yang dapat diajukan? Jejaring dan benchmark apa yang relevan; bagaimana dengan Indonesia Creative Cities Network (ICCN)?

Tom juga menyampaikan tren yang sedikit banyak dapat menjadi referensi dalam menentukan strategi.

  • Gig Economy: kecenderungan pola pekerja lepas atau freelance, yang memiliki ciri bekerja per proyek, dan berdaya wirausaha
  • Kebangkitan kota-kota sekunder: makin bertumbuhnya peran kampus-kampus, dan penciptaan kualitas hidup yang lebih intim
  • Punahnya pola pemisahan dan munculnya pola persekutuan (convergence): penciptaan lingkungan yang kolaboratif menjadi sangat penting; juga cara untuk mendekati beragam bakat dan keterampilan
  • Pertumbuhan televisi dan permainan (gaming) yang makin pesat: coba untuk berbagi dalam sektor-sektor ini; sehingga diperlukan juga pra/sarana pendukungnya seperti bandwith yang tinggi, dsb.
  • Industri kreatif, sektor seni dan budaya: perlu terus direformasi dan didukung sepenuhnya, karena telah menjadi salah satu modal utama pengembangan komunitas dan SDM

Sebagai penutup, ia menyarankan untuk mengembangkan pendekatan berbasis bukti nyata, dengan kata-kata kunci: kolaboratif, strategi, holistik, kekuatan individu untuk place-making (perkuat simpul-simpul!), dan miliki pandangan jangka panjang (adaptasi cara kerja dengan pergerakan, dan dengan mesin dan teknologi).

o2fleming02

Kota yang Berpihak pada Manusia [4]

Global Social Economy Forum (GSEF) tahun 2018 diselenggarakan tanggal 1-3 Oktober di Bilbao, Spanyol. Bandung Creative City Forum (BCCF) yang telah menjadi anggota penuh GSEF sejak tahun 2014 menghadiri general assembly sekaligus konferensi GSEF bertema Kota dan Ekonomi Sosial. Sesuai dengan nama organisasinya, GSEF menampilkan beberapa pemerintah kota, organisasi dan komunitas, yang masing-masing mengutarakan komitmen dan strateginya untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang berdampak pada kesetaraan sosial. Contoh-contoh kasus yang dipaparkan memiliki kata-kata kunci seperti pembangunan partisipatif, kolaborasi, solidaritas sosial, dll., dengan penekanan pada generasi muda sebagai pelaku utama.

  1. Siapakah pemilik kota? Kepemilikan kolektif menjadi gagasan bersama, terhadap ruang, pengetahuan, cara menjalankan pemerintahan, dsb. hingga terbentuk sebuah pemerintahan “hibrid” (contoh: di Bologna terdapat sebuah pakta antara pemerintah dan warga untuk mengelola ruang atau bangunan), sehingga pendanaan partisipatif menjadi sebuah otonomi bagi semua, bukan hanya bagi para voters.
  2. Kekuatan perubahan-perubahan kecil yang positif jangan sampai luput dari perhatian, karena hal inilah yang memberdayakan masyarakat luas, dan dapat digandakan untuk mencapai perubahan yang lebih besar.
  3. Kesesuaian antara kepemimpinan dan kebijakan; investasi pada warga untuk bergerak, dan pada perguruan tinggi & penelitian untuk dapat berperan lebih.

Creative Industries Federation International Summit diselenggarakan di London, 9 Oktober 2018. Federasi ini dibentuk oleh sekelompok pelaku industri kreatif di Inggris, dan sebelumnya telah menyelenggarakan summit tingkat nasional, yang membahas hal-hal seputar industri kreatif dalam kaitannya dengan kebijakan, politik, bisnis, dsb. Di summit kali ini, dalam format talk show, dibahas tema-tema: Kreativitas dalam Era Ketidak-pastian, Masa Depan Pekerja Kreatif, Masa Depan Konsumen Kreatif, Dapatkah Desain & Kreativitas Menyelamatkan Dunia?, dan Masa Depan Perkotaan (apa peran industri kreatif terhadap kota?).

Salah satu sesi diisi oleh British Council yang memperkenalkan program Developing Inclusive Creative Economies (DICE) yang dijalankan di 9 negara, dengan narasumber dari Nesta dan Bandung, yang memaparkan contoh peran industri kreatif, dan kreativitas pada umumnya, sebagai solusi skala kota (bagaimana peran Inggris/ melalui BC dan apa yang dapat dipelajari dari contoh tersebut).

  1. “Wali kota malam” merupakan sebuah tren global, dimulai dari Amsterdam, berlanjut ke Berlin, New York, Helsinki, dll. hingga London, yang dijuluki Night Czar. Keberadaan wali kota malam ini penting untuk dapat mengelola dan menjaring peristiwa budaya, terutama yang makin meredup (seperti pertunjukan musik di kelab malam).
  2. Merancang pendidikan: kini yang dicari adalah manusia, bukan klasifikasi; manusia yang dapat berpikir secara kreatif & analitis.

World Conference on Creative Economy (WCCE) yang diinisiasi oleh Bekraf, pada kali pertamanya ini diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, setelah 2x preparatory meeting yang diselenggarakan di Bandung (2017) dan Jakarta (2018).

  1. Dunia kini makin: kompetitif (diperlukan keterampilan ekstra dan jejaring), ekstrim (kemanusiaan menjadi tidak terlalu terlihat); berbahaya (perang “info”, namun ada hingga 5.000 berita palsu per tahun di Indonesia); dan saling terhubung (dan kolaboratif).
  2. Untuk dapat menjawab tantangan global, kita harus: menyatukan perspektif yang berbeda dan menghilangkan ‘kelompok-kelompok’ (silo); menghargai pemerintah dan ambisi kreatif; berhubungan dan aktif dalam platform-platform yang mengutamakan inovasi berdasarkan kebutuhan manusia dan lingkungan.

Sebenarnya, tentu saja, masih banyak hal yang dapat ditarik dari berbagai pertemuan ini; terutama contoh-contoh terbaik di mana kreativitas dan visualisasi ide, serta perwujudan prototytpe bagi gagasan yang bersifat solutif, memegang peranan penting bagi pembangunan skala kota. Seluruh contoh mensyaratkan adanya sekelompok (atau lebih) komunitas yang berdaya kepemimpinan, mampu memahami konteks, dan mengarahkan empati serta aktivitasnya pada berbagai tantangan di lingkungan terdekatnya — di belahan bumi mana pun mereka berada.

Kota yang Berpihak pada Manusia [3]

kotamanusia3a

Smart City Expo merupakan sebuah rangkaian acara yang berasal dari Barcelona, lalu kemudian diselenggarakan di negara-negara lain; kali ini di Jaipur, India, 26-28 September.

  1. Saat pembukaan, Muppavarapu Venkiah Naidu, Wakil Presiden India, menghimbau pengembangan layanan yang berpusat pada warga (citizen-centred services), dan bahwa “kota cerdas” memerlukan pemimpin dan leadership yang juga cerdas.
  2. Internet of Things (IoT) bukan selalu berarti benda-benda baru; melainkan bagaimana dengan fasilitas digital/ berbagai peralatan ‘canggih’ pemerintahan dapat melayani wilayah rural.
  3. Menurut Wali Kota Barcelona, “Kota Cerdas” adalah yang dapat membuat semakin banyak warga mau menari di jalanan kota. How would “smart city” make more people dancing in the streets of Barcelona?
  4. Pemerintahan pasti memiliki agenda politik untuk kota. Tantangan untuk pemerintah kota cerdas: bagaimana menyatukan generasi muda dan para pengusaha pemula, untuk memecahkan masalah dan berpotensial mendapatkan penghasilan dari hal terebut.
  5. Bagaimana karakteristik rekanan antara pemerintah dengan swasta? Harus transparan terhadap open data: siapa yang berhak mengakses, dan bagaimana cara pemanfaatannya; mulai dari bentuk command centre, simpul-simpul inovasi, penciptaan nilai untuk layanan yang lebih baik, hingga menguangkan data individu (dan etika di baliknya).
  6. 50% pekerjaan di masa depan belum tercipta. Diperlukan ilmu urban dan sekolah mengenai kota untuk mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan ini.
  7. Digitally-enabled everything: Connectivity, Citizen services, Collaboration in education. Pada intinya, seluruh fasilitas teknologi digital masa kini harus dapat bermanfaat bagi keterhubungan antar manusia, layanan publik, dan kolaborasi dalam pendidikan.
  8. Pelajaran utama: digital harus berkonteks lokal untuk dapat mentransformasi pemerintahan; partisipasi masyarakat dalam perencanaan masih jauh dari kenyataan; data bukanlah keputusan melainkan dipergunakan untuk efisiensi implementasi (kebijakan).
  9. Smart Cities 2.0 = learn – unlearn – collaborate – disrupt.
  10. Kota utamanya adalah mengenai manusia dan makhluk organis lainnya, sehingga solusi juga harus bersifat organis, baik dalam hal teknologi dan sistem, hingga relevansi dan penyesuaiannya dalam konteks yang dibutuhkan.
  11. Smart Cities atau Smart People? Smart Cities mengacu pada akses terhadap layanan kota yang mendasar, Smart People mengacu pada mengadopsi cara baru dalam berkehidupan.
  12. Teknologi saja tidak akan dapat menjamin masa depan; perang gagasan bukanlah mengenai memprioritaskan hal yang satu di atas yang lain, melainkan mengenai peluang bagi warga untuk menyuarakan dirinya, untuk didengar, direkam, dan difasilitasi. Inilah “Smart”.
  13. Tren global yang mengubah lansekap kota: urbanisasi kilat terkait dengan pergeseran ekonomi, perubahan demografi sosial, dan tantangan lingkungan serta keterbatasan sumber daya.
  14. Smart City bukanlah mengenai permainan teknologi, tetapi bagaimana layanan dapat disampaikan dengan lebih cepat dan lebih murah; untuk menciptakan pengalaman (sebagai warga) yang lebih bermakna, dengan pendekatan berbasis teknologi yang berpusat pada warga.
  15. Smart City is a journey to more happy, resilient, and liveable cities. Budaya urban menuntut komunitas yang cerdas dan saling terhubung.
kotamanusia3b

It’s not about prioritising one over another – but allowing citizens to have voice, to be heard, recorded, addressed.

Wacana Kota Cerdas yang ditawarkan dalam Smart City Expo di Jaipur ini agak berbeda dari yang diselenggarakan di negara-negara industri maju. Biasanya sebagian besar membahas kecanggihan teknologi dalam sebuah sistem masyarakat yang sudah sangat teratur dan dapat diprediksi, dengan penegakan hukum yang sudah mapan. Kali ini lebih ditekankan pada hubungan urban-rural, dan bagaimana teknologi dan manusia di belakangnya mengarahkan potensi yang ada demi tercapainya kesetaraan sosial.

Gagasan utama ini sejalan dengan konsep DesignAction.bdg (DA.bdg) 2015, ketika tema “smart city” diangkat, sehubungan dengan gencarnya Pemerintah Kota Bandung saat itu menyediakan fasilitas berbasis teknologi digital dan menggunakan platform internet. Sehingga DA.bdg 2015 dengan tema ConnectiCity mengangkat “kota cerdas” bukan terkait dengan kecanggihan alat, melainkan bagaimana alat & potensi yang ada dapat menghubungkan warga dengan pemerintah, warga dengan kebijakan, dan antar warga & komunitas. Semua kembali pada manusianya. [berlanjut…]

Kota yang Berpihak pada Manusia [2]

[lanjutan]

kotamanusia2a

Sustainable Human City Design Conference: Designing Cities for Better Lives, Seoul, 17-18 September 2018

Tanggal 17-18 September 2018 lalu diselenggarakan Sustainable Human City Design Conference: Designing Cities for Better Lives sebagai bagian dari Seoul Design Cloud/ Seoul Design Week di Seoul, Korea. Konferensi ini dikuratori oleh Kota-kota Desain UNESCO, St. Etienne dan Nagoya, yang kemudian mengundang Kota-kota Desain UNESCO lainnya untuk berpartisipasi aktif, baik dalam pameran, sebagai pembicara konferensi, maupun sebagai narasumber dalam workshop yang difasilitasi oleh Seoul Design Foundation. Berikut ini beberapa hal yang tercatat dari event ini.

  1. Won Soon Park, yang kembali terpilih menjadi Wali Kota Seoul setelah jeda satu periode, memiliki konsep meningkatkan kualitas hidup melalui Desain dan Kota, antara lain dengan menginterpetasikan kembali budaya tradisional sehingga relevan dengan dengan kebutuhan dan gaya hidup masa kini.
  2. Identitas (city branding) I SEOUL U, yang secara pribadi sebenarnya tidak terlalu disukai wali kota, mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat. “Desain yang baik”, dalam hal ini, adalah yang memperoleh konsensus dan menjadi pengetahuan kolektif. Warga Seoul kini dapat terus berpartisipasi melalui situs democracy.seoul.go.kr
  3. Pada masa kini, adalah penting untuk menjadi/ berpikir seperti social designer. Kebijakan Kota Seoul diarahkan untuk menjadi socially innovative city.
  4. Konteks urban menjadi lebih menantang. Users/ pengguna hasil desain kita kini adalah masyarakat umum. Dongdaemun Design Plaza (DDP) menjadi sebuah fasilitas untuk menciptakan masyarakat berbasis desain.
  5. Paola Antonelli, kurator senior di Departemen Arsitektur & Desain dan direktur R&D MOMA di New York, menyampaikan bahwa “warga” adalah sebuah status penting, yang berarti menjadi peserta dalam demokrasi dan terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. Warga harus diberdayakan, termasuk untuk menjadi para desainer yang berpengaruh kuat.
  6. Wali kota yang juga arsitek biasanya banyak berperan, terutama melalui fasilitas dan infrastruktur skala kota (contoh: Curitiba dengan laboratorium studi kota, Bogota dengan taman dan ruang-ruang pejalan kaki, Medellin dengan gondola yang memberikan kesempatan bagi warga miskin untuk bekerja di area komersil di kota, Mexico City dengan laboratorium kota).
  7. Memanfaatkan, berbagi, dan menandai kota adalah sebuah intervensi di mana warga dapat meninggalkan identitasnya di sudut-sudut kota (dalam bentuk, misalkan, laser grafitti tagging, 100 chairs project, menyimpan aroma sebuah kawasan, membuat pemetaan konsentrasi wisatawan vs warga, dll.), menjadikan kota sebagai “miliknya”.
  8. Desain dapat dimanfaatkan sebagai media untuk memprotes kondisi kota, bagi warga untuk dapat ‘membantah’ pemerintahnya (contoh: Wall Street 2011, Brazil 2013, Istanbul 2013, Bahia Shehab 2013, Seoul 2016).
  9. Marc Chassaubene, Wakil Wali Kota St. Etienne: kota menjadi sebuah ruang inovasi sosial, antara lain melalui gerakan desentralisasi budaya; art as a driving force.
  10. Josyanne Franc, focal point St. Etienne untuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN): menciptakan sebuah kota yang sesuai dengan masa kini, memerlukan desainer dan arsitek sebagai mediator.
  11. Solusi bagi kota dan masyarakat adalah inisiatif bottom-up, yang didukung oleh kebijakan dan pendanaan.
  12. Eriko Esaka, focal point Nagoya untuk UCCN: pengembangan kota kreatif yang didukung oleh humanisme bernama “Desain”.
  13. Jepang dengan proporsi penduduk 28% berusia di atas 65 tahun mengalami banyak perubahan: dalam nilai, keluarga dalam berbagai bentuk dan ukuran. Rumah-rumah di kota besar seperti Tokyo mengalami kekosongan hingga 15,8% – ada sekitar 800,000 rumah yang ditinggalkan pemiliknya. Sehingga terdapat sebuah ruang komunikasi baru, seperti Laundry Cafe, di mana warga berusia lanjut dapat bertemu untuk mencuci bajunya sekaligus minum kopi dan berinteraksi dengan sesama pengunjung yang juga menunggu baju selesai dicuci.
  14. Sebuah festival oleh komunitas dapat menjadi kekuatan komunitas: sebuah peristiwa untuk menemukan kekayaan budaya sebuah kawasan, mengubah kehidupan keseharian warga lokal dan komunitas, serta menjadi “pohon terbesar” yang dapat melindungi “hutan budaya” dalam sebuah ekosistem budaya.

Sustainable Human City Design Conference ini ditutup dengan workshop yang difasilitasi oleh Soul Design Foundation, di mana seluruh pesertanya terbagi dalam tujuh tema, dan hasilnya menjadi masukan bagi DDP.

  1. Designing Town
  2. Designing Street
  3. Street Food & Design
  4. Dongdaemun, towards A Vibrant City
  5. A way to memorise the history of Dongdaemun (DDP Tour)
  6. DDP & Universal Design
  7. Fashion Infrastructure

Berikut ini dokumen mengenai Sustainable Human City Design Conference dan 2018 Seoul Design Cloud:

sustainablehumancitydesignconfernece(whitebook)

2018seouldesigncloud(whitebook)

kotamanusia2b

Dengan sekian banyak lagi contoh dari Kota-kota Desain UCCN, makin jelas bahwa pengembangan kota-kota tersebut mengutamakan partisipasi warga, dengan kebijakan dan fasilitas yang juga berupaya mewadahi karakteristik kebutuhan warga.

Kota Bandung pun tidak jauh dari hal-hal tersebut, dengan beragamnya inisiatif warga dalam membentuk kotanya. Hanya saja diperlukan komunikasi yang lebih intensif, dan sistem kerja sama dengan struktur yang lebih solid, antara warga, komunitas, dan pemerintah. [berlanjut…]

Kota yang Berpihak pada Manusia [1]

Tulisan yang dimulai di hari pertama tahun 2019 ini sebenarnya bermaksud melunasi yang tertunda di tahun 2018 lalu. Beberapa perjalanan ke beragam pertemuan dan konferensi di paruh waktu kedua 2018 ini berbeda penyelenggara dan temanya, namun semuanya menuju ke satu gagasan, bahwa kota dan seluruh perangkat pendukungnya harus semakin berpihak pada manusia.

UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Meeting dengan tema Creative Crossroads, di Krakow & Katowice, Polandia, 12-15 Juni — sebagai focal point Bandung, Kota Desain UCCN, menghadiri pertemuan tahunan wajib bagi seluruh kota anggota UCCN, berbagi update, dan memfasilitasi sesi workshop tematik lintas sub-network

Seoul Design Cloud: Human Cities, Seoul, Korea, 16-19 September — sebuah acara pameran dan konferensi yang diinisiasi oleh Kota-kota Desain UCCN, presentasi, dan menjadi narasumber diskusi bertema “Lingkungan Kota yang Berkelanjutan”

Smart City Expo, Jaipur, India, 26-28 September — sebagai narasumber sesi diskusi bertema “Pusaka Budaya dan Identitas Lokal dalam Sebuah Tujuan (wisata) Berkelanjutan”

Global Social Economy Forum (GSEF), Bilbao, Spanyol, 1-3 Oktober — (BCCF) sebagai anggota tetap, menghadiri general assembly GSEF yang wajib bagi seluruh anggotanya, presentasi di sesi Kepemudaan dan di sesi Ekonomi Sosial dan Kota bertema “Nilai dan Daya Saing bagi Pembangunan Wilayah yang Inklusif dan Berkelanjutan”

Creative Industries Federation International Summit, London, UK, 9 Oktober — sebagai pembicara dalam sesi New Markets for the Creative Industries: bagaimana negara-negara sedang berkembang, dengan contoh Indonesia, menggabungkan purpose & profit dalam gelombang baru yang dibawa oleh dunia usaha kreatif dan sosial, dan bagaimana perusahaan UK dapat mendukung dan memperoleh manfaat

World Conference on Creative Economy (WCCE), Bali, Indonesia, 6-8 November — sebagai lead speaker dan fasilitator untuk Agenda 5 mengenai ekosistem dan pendanaan, dengan tema “Membawa Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Dunia Usaha ke Tingkat yang Baru”

MIKTA WIPO Seminar, Jenewa, Swiss, 18-20 November — sebagai narasumber seminar bertema “Perempuan dan Inovasi di Negara-negara MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea, Thailand, Australia)”

kotamanusia1a

Industrial Revolution 4.0: urbanisation, accelerating technological change, challenges of an ageing world, greater global connections

Pertemuan Tahunan UCCN berlangsung sebagaimana mestinya, dengan sesi-sesi wajib dan tambahan sesuai yang ditawarkan oleh kota-kota tuan rumah kali ini, Krakow dan Katowice. Salah satu sesi tambahan yang paling menarik adalah konferensi yang terbuka untuk publik dengan tema Post Creative City. Pembicara kunci konferensi ini adalah Zuzanna Skalska, salah seorang penggagas Dutch Design Week, sebuah event tahunan di Eindhoven, Belanda, yang biasanya diramaikan oleh berbagai pemikiran, temuan dan karya inovatif sebagai hasil kolaborasi lintas disiplin dan kreativitas, memanfaatkan teknologi terkini, sekaligus menjadi skenario dan visi masa depan. Berikut ini hal-hal utama dari paparannya.

  1. Bagaimana Revolusi Industri 4.0 berpengaruh pada kota? Urbanisasi akan mengalami disrupsi yang tidak biasa, namun belum menjadi bencana, yaitu populasi yang makin berusia lanjut (pada tahun 2050-2060); perubahan teknologi mengalami percepatan sedemikian rupa sehingga mengubah perangai manusia; tantangan terbesar akan terkait dunia yang makin menua; dan akan makin terjadi saling keterhubungan dalam skala dunia.
  2. Adalah naif bila menganggap bahwa “kondisi ekonomi meningkat”, karena perusahaan tidak lagi berkembang, sementara pasar barang bekas/ daur ulang makin bertumbuh. Mengacu pada Doughnut Economics (Kate Raworth, 2017) yang memaparkan cara berpikir ekonom abad-21: pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dari PDB. Konsep ini memaparkan wilayah tumbuh-kembang manusia dalam sebuah lingkaran ‘donat’; di mana di atas wilayah tersebut aktivitas manusia akan melebihi ambang batas daya dukung lingkungan (environmental ceiling), sementara di bawah wilayah tersebut, aktivitas manusia tidak akan memadai bagi penghidupan yang layak (social foundation).
  3. Diagram Maslow telah bergeser: kebutuhan dasar manusia kini dilandasi keberadaan WiFi dan pasokan energi (charger); dua hal yang telah menjadi pengendali massa. Ketidak-beradaan WiFi justru menjadi kemewahan baru.
  4. Pasca-Industrial Kreatif: kota-kota sedang mengarah menjadi “desa” dan desa-desa sedang mengarah menjadi “kota”. Pertukaran ini nampak pada fenomena seperti aktivitas urban farming di kota, dan makin teraksesnya kenyamanan masa kini di desa-desa.
  5. Generasi Kreatif: harus berapa usiamu untuk dapat dianggap “lanjut usia”? Munculnya generasi yang menganggap bahwa usia bukanlah angka, namun lebih pada seberapa baik kita memanfaatkan waktu yang kita miliki. Generasi yang bahkan bukan lagi memilih untuk bekerja lepasan (freelancing), melainkan untuk bekerja dalam kolaborasi kelompok (juga mengarah “dari Ocean’s 11 ke Ocean’s 8” dengan dominasi kekuatan perempuan).
  6. Pencipta-Kota Kreatif: siapa yang memiliki kota? Kalau kita membayar pajak, kitalah pemilik kota; sisanya adalah moderator. Sehingga terjadilah berbagai intervensi terhadap ruang-ruang publik oleh para “pemilik kota”.
  7. Ekonomi Sirkular Kreatif: meningkatnya kesadaran mengenai nilai material, obyek keseharian, dan sampah yang dihasilkan manusia sebagai dampaknya; sehingga kini terdapat “paspor” untuk tiap material yang memuat asal muasalnya, sehingga dapat digunakan untuk mempertimbangkan pengolahan dan pemanfaatannya.

Berbagai hal tersebut telah menjadi pertimbangan utama ketika sebuah kota hendak merumuskan strategi dan arah pengembangannya, untuk dapat menjadi relevan dengan zaman ini.

Pada akhirnya, apakah tantangan sebenarnya bagi “kreatif” dalam konteks “kota”? Sebuah kota dengan konsep ‘baru’ memerlukan pendekatan yang juga baru. Sebuah “kota kreatif” memerlukan seorang creative chief — tanpa keberadaan seorang “creative chief”, atribut “kota kreatif” hanya menjadi hal artifisial.

kotamanusia1b

A new city needs a new approach; a creative city needs a creative chief — otherwise, it’s an artificial “creative city”!

Bagaimana dengan Bandung? Dengan segala potensi dan sumber daya yang tersedia, sebagai pusat litbang dan rumah bagi ratusan SMK dan perguruan tinggi, adalah sangat mungkin bagi warga Bandung untuk menggerakkan kotanya dengan kecenderungan-kecenderungan di atas dan menjadi unggul karenanya — apalagi bila didukung oleh kebijakan dan komitmen yang konsisten dari seluruh pemangku kepentingan kota.

Arah untuk menempatkan Manusia sebagai pertimbangan utama dalam mengembangkan berbagai fasilitas kota, dan bahwa hal ini telah menjadi semacam kesepakatan universal bagi adab kota-kota mana pun di dunia, diperkuat oleh hasil dari pertemuan-pertemuan berikutnya. [berlanjut…]