Tulisan yang dimulai di hari pertama tahun 2019 ini sebenarnya bermaksud melunasi yang tertunda di tahun 2018 lalu. Beberapa perjalanan ke beragam pertemuan dan konferensi di paruh waktu kedua 2018 ini berbeda penyelenggara dan temanya, namun semuanya menuju ke satu gagasan, bahwa kota dan seluruh perangkat pendukungnya harus semakin berpihak pada manusia.
UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Meeting dengan tema Creative Crossroads, di Krakow & Katowice, Polandia, 12-15 Juni — sebagai focal point Bandung, Kota Desain UCCN, menghadiri pertemuan tahunan wajib bagi seluruh kota anggota UCCN, berbagi update, dan memfasilitasi sesi workshop tematik lintas sub-network
Seoul Design Cloud: Human Cities, Seoul, Korea, 16-19 September — sebuah acara pameran dan konferensi yang diinisiasi oleh Kota-kota Desain UCCN, presentasi, dan menjadi narasumber diskusi bertema “Lingkungan Kota yang Berkelanjutan”
Smart City Expo, Jaipur, India, 26-28 September — sebagai narasumber sesi diskusi bertema “Pusaka Budaya dan Identitas Lokal dalam Sebuah Tujuan (wisata) Berkelanjutan”
Global Social Economy Forum (GSEF), Bilbao, Spanyol, 1-3 Oktober — (BCCF) sebagai anggota tetap, menghadiri general assembly GSEF yang wajib bagi seluruh anggotanya, presentasi di sesi Kepemudaan dan di sesi Ekonomi Sosial dan Kota bertema “Nilai dan Daya Saing bagi Pembangunan Wilayah yang Inklusif dan Berkelanjutan”
Creative Industries Federation International Summit, London, UK, 9 Oktober — sebagai pembicara dalam sesi New Markets for the Creative Industries: bagaimana negara-negara sedang berkembang, dengan contoh Indonesia, menggabungkan purpose & profit dalam gelombang baru yang dibawa oleh dunia usaha kreatif dan sosial, dan bagaimana perusahaan UK dapat mendukung dan memperoleh manfaat
World Conference on Creative Economy (WCCE), Bali, Indonesia, 6-8 November — sebagai lead speaker dan fasilitator untuk Agenda 5 mengenai ekosistem dan pendanaan, dengan tema “Membawa Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Dunia Usaha ke Tingkat yang Baru”
MIKTA WIPO Seminar, Jenewa, Swiss, 18-20 November — sebagai narasumber seminar bertema “Perempuan dan Inovasi di Negara-negara MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea, Thailand, Australia)”
Industrial Revolution 4.0: urbanisation, accelerating technological change, challenges of an ageing world, greater global connections
Pertemuan Tahunan UCCN berlangsung sebagaimana mestinya, dengan sesi-sesi wajib dan tambahan sesuai yang ditawarkan oleh kota-kota tuan rumah kali ini, Krakow dan Katowice. Salah satu sesi tambahan yang paling menarik adalah konferensi yang terbuka untuk publik dengan tema Post Creative City. Pembicara kunci konferensi ini adalah Zuzanna Skalska, salah seorang penggagas Dutch Design Week, sebuah event tahunan di Eindhoven, Belanda, yang biasanya diramaikan oleh berbagai pemikiran, temuan dan karya inovatif sebagai hasil kolaborasi lintas disiplin dan kreativitas, memanfaatkan teknologi terkini, sekaligus menjadi skenario dan visi masa depan. Berikut ini hal-hal utama dari paparannya.
- Bagaimana Revolusi Industri 4.0 berpengaruh pada kota? Urbanisasi akan mengalami disrupsi yang tidak biasa, namun belum menjadi bencana, yaitu populasi yang makin berusia lanjut (pada tahun 2050-2060); perubahan teknologi mengalami percepatan sedemikian rupa sehingga mengubah perangai manusia; tantangan terbesar akan terkait dunia yang makin menua; dan akan makin terjadi saling keterhubungan dalam skala dunia.
- Adalah naif bila menganggap bahwa “kondisi ekonomi meningkat”, karena perusahaan tidak lagi berkembang, sementara pasar barang bekas/ daur ulang makin bertumbuh. Mengacu pada Doughnut Economics (Kate Raworth, 2017) yang memaparkan cara berpikir ekonom abad-21: pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dari PDB. Konsep ini memaparkan wilayah tumbuh-kembang manusia dalam sebuah lingkaran ‘donat’; di mana di atas wilayah tersebut aktivitas manusia akan melebihi ambang batas daya dukung lingkungan (environmental ceiling), sementara di bawah wilayah tersebut, aktivitas manusia tidak akan memadai bagi penghidupan yang layak (social foundation).
- Diagram Maslow telah bergeser: kebutuhan dasar manusia kini dilandasi keberadaan WiFi dan pasokan energi (charger); dua hal yang telah menjadi pengendali massa. Ketidak-beradaan WiFi justru menjadi kemewahan baru.
- Pasca-Industrial Kreatif: kota-kota sedang mengarah menjadi “desa” dan desa-desa sedang mengarah menjadi “kota”. Pertukaran ini nampak pada fenomena seperti aktivitas urban farming di kota, dan makin teraksesnya kenyamanan masa kini di desa-desa.
- Generasi Kreatif: harus berapa usiamu untuk dapat dianggap “lanjut usia”? Munculnya generasi yang menganggap bahwa usia bukanlah angka, namun lebih pada seberapa baik kita memanfaatkan waktu yang kita miliki. Generasi yang bahkan bukan lagi memilih untuk bekerja lepasan (freelancing), melainkan untuk bekerja dalam kolaborasi kelompok (juga mengarah “dari Ocean’s 11 ke Ocean’s 8” dengan dominasi kekuatan perempuan).
- Pencipta-Kota Kreatif: siapa yang memiliki kota? Kalau kita membayar pajak, kitalah pemilik kota; sisanya adalah moderator. Sehingga terjadilah berbagai intervensi terhadap ruang-ruang publik oleh para “pemilik kota”.
- Ekonomi Sirkular Kreatif: meningkatnya kesadaran mengenai nilai material, obyek keseharian, dan sampah yang dihasilkan manusia sebagai dampaknya; sehingga kini terdapat “paspor” untuk tiap material yang memuat asal muasalnya, sehingga dapat digunakan untuk mempertimbangkan pengolahan dan pemanfaatannya.
Berbagai hal tersebut telah menjadi pertimbangan utama ketika sebuah kota hendak merumuskan strategi dan arah pengembangannya, untuk dapat menjadi relevan dengan zaman ini.
Pada akhirnya, apakah tantangan sebenarnya bagi “kreatif” dalam konteks “kota”? Sebuah kota dengan konsep ‘baru’ memerlukan pendekatan yang juga baru. Sebuah “kota kreatif” memerlukan seorang creative chief — tanpa keberadaan seorang “creative chief”, atribut “kota kreatif” hanya menjadi hal artifisial.
A new city needs a new approach; a creative city needs a creative chief — otherwise, it’s an artificial “creative city”!
Bagaimana dengan Bandung? Dengan segala potensi dan sumber daya yang tersedia, sebagai pusat litbang dan rumah bagi ratusan SMK dan perguruan tinggi, adalah sangat mungkin bagi warga Bandung untuk menggerakkan kotanya dengan kecenderungan-kecenderungan di atas dan menjadi unggul karenanya — apalagi bila didukung oleh kebijakan dan komitmen yang konsisten dari seluruh pemangku kepentingan kota.
Arah untuk menempatkan Manusia sebagai pertimbangan utama dalam mengembangkan berbagai fasilitas kota, dan bahwa hal ini telah menjadi semacam kesepakatan universal bagi adab kota-kota mana pun di dunia, diperkuat oleh hasil dari pertemuan-pertemuan berikutnya. [berlanjut…]