Konperensi Asia-Afrika 1955, yang disebut-sebut menginspirasi kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika, yang diingat juga sebagai “Bandung Conference” sehingga mengabadikan nama Kota Bandung sebagai “Ibu Kota Asia-Afrika”, dianggap sebagai tonggak sejarah di mana pertama kalinya 29 negara di Asia dan Afrika bertemu untuk menentukan nasibnya sendiri. Arsip KAA (dokumen, foto dan film) telah ditetapkan sebagai UNESCO Memory of The World sejak tahun 2015. Gedung Merdeka/Museum KAA di Bandung dan beragam artifak di dalamnya menjadi saksi bisu peristiwa penting ini. Tapi gentingnya sejarah menjelang dan setelah KAA berlangsung tidak dapat diperoleh dengan hanya mengunjungi museum atau berdiam di Bandung. Untuk bisa mendalami serunya KAA, sepertinya harus menyimak sendiri dari pelakunya langsung.
Belum lama ini, saya sempat bongkar-bongkar perpustakaan mendiang bapak di Jakarta dan menemukan buku yang tipis tapi sarat semangat, berjudul “Sejarah, Cita-cita dan Pengaruhnya: Konperensi Asia-Afrika Bandung” (1977) yang memuat ceramah Dr. H. Roeslan Abdulgani pada tanggal 26 Oktober 1974 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta.
[Buat saya yang waktu SMP & SMA nggak suka pelajaran sejarah karena isinya hapalan melulu, buku-buku semacam inilah yang berhasil membangkitkan keingintahuan soal sejarah dan tokoh-tokohnya.]
Berhubung sekarang kita sedang menjelang peringatan KAA ke-70, ada baiknya mengupas sekelumit sejarahnya. Berikut ini sebagian kutipan yang menjadi catatan pengingat, betapa pentingnya KAA di kancah dunia, terutama bagi negara-negara yang terlibat.
Konperensi Kolombo (Srilanka, April 1954) yang diprakarsai PM Srilanka Sir John Kotelawala adalah saat Indonesia — saat itu diwakili PM Ali Sastroamidjojo — mengajukan gagasan untuk mengadakan konperensi yang lebih luas dari sekedar 5 negara Kolombo saja (Srilanka, Birma, India, Pakistan, Indonesia), yaitu konperensi antar negara di Asia-Afrika. Padahal tadınya Indonesia nggak diundang ke Kolombo, lho. Tapi Sir John Kotelawala bilang, “However, it was pointed out to me, that Indonesia too belonged to the same cultural area, and that she too had shaken off the shackles of colonialism at about the same time as ourselves, although her masters were different from ours”. Indonesia berada di wilayah budaya yang sama, dan juga baru saja membebaskan diri dari kolonialisme. PM Ali mengusulkan diselenggarakannya Konperensi Asia-Afrika tersebut, karena meskipun di PBB sudah ada konsultasi dan kerja sama antar negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, namun di luar forum PBB tidak ada platform penampung dan mesin penggeraknya. Jadi sama sekali tidak bermaksud untuk membuat suatu “blok”.
Usulan Indonesia ditanggapi dengan skeptis oleh PM lainnya, karena rencana-rencana sebelumnya untuk menyelenggarakan konperensi serupa had proved abortive, atau mati sebelum dilahirkan. Tapi Indonesia bersikeras, sehingga usulan tersebut menjadi salah satu butir Komunike Konperensi Kolombo. Setelah itu, di Bogor pada akhir tahun 1954, dilakukan pertemuan persiapan KAA. Konperensi Bogor inilah yang memutuskan negara mana saja yang akan diundang, dengan segala pertimbangannya, menjadi total 29 negara: 5 negara sponsor, 12 negara Asia lainnnya, 8 negara Arab, dan 4 negara Afrika (waktu itu hanya 4 negara Afrika yang sudah merdeka).
29 negara yang akan hadir, berarti hampir separuh dari anggota PBB yang waktu itu beranggotakan 60 negara, jadi dinamika KAA ini membelah peta dunia politik internasional. Jan Romein, ahli sejarah internasional, di bukunya “The Asian Century” (1956) menulis demikian, “The Bandung Conference marked the end of an era, the era of European ascendancy”. Pernyataan ini merujuk dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, Konperensi Berlin (1884) di mana terjadi pembagian negara-negara Asia Afrika sebagai tanah jajahan, dan Konperensi Brussel (1927) di mana disuarakan cita-cita persatuan dan kemerdekaan Asia Afrika oleh pemuda dan mahasiswa. Bandung menjadi tempat di mana persatuan tersebut dilaksanakan. Dalam pidato pembukaan KAA, Presiden Sukarno mengingatkan tentang Konperensi Brussel, “I recall in this connection the Conference of the League against imperialism and colonialism, which was held in Brussels almost thirty years ago. At that Conference many distinguished Delegates who are present here today met each other and found new strength in their fight for independence. But that was a meeting place thousands miles away, amidst foreign people, in a foreign country, in a foreign continent. It was assembled there not by choice, but by necessity”.
Jadi, Berlin 1884 adalah simbol menanjaknya Eropa kolonialis dan imperialis yang membagi-bagi Asia Afrika; Brussels 1927 adalah simbol pernyataan pemuda Asia Afrika untuk persatuan dan kemerdekaan; maka Bandung 1955 menjadi simbol terlaksanannya solidaritas Asia Afrika dan terhapusnya noda Berlin!
Kebangkitan Asia Afrika melalui Konperensi Bandung ini membuka mata dan hati dunia Barat yang selalu menganggap remeh dunia AA, demikian pendapat Vera Micheles Dean, seorang guru besar di New York University, melalui bukunya “The Nature of the Non Western World” dalam bab “Land of Bandungia”, “Here is the terra incognita of the 20th century, which is yet to be carefully surveyed and properly mapped by the West. Here is the Land of which we know so little — the land that we might call Bandungia in honor of the first Afro-Asian Conference in history held at Bandung, Indonesia, in April 1955. […] This land of Bandungia is peripatetic”. Bandung itu peripatetic, dinamis, berputar-bergerak.
Sebagai hasil dari desakan Konperensi Bandung, antara 1955-1957, tidak kurang dari 20 negara, yang dulunya selalu menjadi korban perang dingin tidak dapat masuk menjadi anggota PBB, semuanya kemudian dapat masuk karena Semangat Bandung. Akibatnya, dominasi Sovyet dengan vetonya di Dewan Keamanan PBB patah, dominasi Amerika di Majelis Umum dengan 2/3 mayoritasnya pun patah; dan PBB menjadi badan yang juga terdiri dari politik bebas Asia-Afrika dan Amerika Latin yang ikut menentukan jalannya sidang.
Hans J. Morgenthau, seorang profesor ilmu politik, dalam bukunya “Politics among Nations” menyebutkan bahwa, “The compositions of the majority supporting recommendations of the General Assembly underwent a drastic change with the admission of 20 new members in 1956/1957. This date constitutes a turning point in the history of the UN, closing one phase and ushering in a new one.”
Apa perbedaan antara gagasan Konperensi Bandung 1955 (Dasa Sila Bandung) dan Konperensi Beograd 1961 (non-blok)? Keduanya sama-sama bermaksud meredakan kegentingan internasional sebagai akibat meruncingnya perang dingin; dan mendobrak bipolarisasi dunia dari perang dingin ke multipolar dunia, serta mendorong suasana konfrontasi super power ke arah koeksistensi secara damai.
Namun secara detail, terdapat perbedaan dalam butir-butir komunike kedua konperensi tersebut. Dalam Dasa Sila Bandung, dinyatakan, “respect for the right of each nation to defend itself singly or collectively, in conformity with the Charter of the UN”, yang tidak terdapat dalam Komunike Beogard. Juga, “abstention from the use of arrangements of collective defense to serve the particular interest of any of the big powers”, atau tidak akan menggunakan persetujuan pertahanan kolektif untuk mengabdi kepada kepentingan khusus dari setiap negara besar. Ditegaskan di Bandung bahwa freedom and peace are interdependent, oleh karena itu colonialism in all its manifestations is an evil which should be brought to an end.
Dilihat dari negara-negara yang dilibatkan, kriteria Bandung semata-mata adalah geografis, sementara kriteria Beogard adalah sikap politis tertentu, yaitu politik non-aligned militer dengan protagonis perang dingin. Bandung mempunyai corak kelanjutan sebagai non-white, sedangkan Beogard menitikberatkan pada sikap politis dan mengaburkan garis geografis dan garis warna non-white, sambil sebenarnya memberlakukan garis pemisah antara negara-negara Asia-Afrika yang ikut dalam blok militer super power masing-masing.
Dalam buku ini, Roeslan Abdulgani menyatakan bahwa titik tolak pendekatan Beogard adalah pragmatis kontemporer, sementara Bandung lebih historis filosofis. Semangat Bandung turut menggerakkan beberapa rumusan berbagai keputusan KTT non-aligned selanjutnya.
Faktor apa saja yang menyebabkan suksesnya KAA? (1) Kuatnya dan mendalamnya cita-cita solidaritas Asia Afrika dalam menghadapi dominasi Barat dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti kolonialisme, imperialisme, fasisme, komunisme, dsb.; (2) Situasi dan kondisi sekitar tahun 1954-1955 di mana cita-cita tersebut tumbuh dan berkembang; (3) Bangsa Indonesia sendiri sebagai pemrakarsa dan tuan rumah KAA telah membangkitkan suatu pushing power dan organisational skill yang menjamin suasana kondusif bagi berjalannya konperensi.
Meskipun demikian, bukan berarti seluruhnya berjalan mulus. Tidak sedikit halangan masa itu, seperti jatuhnya pesawat terbang Kashmir Princess yang membawa delegasi RRC di Natuna karena sabotase di Hongkong; situași keamanan di Bandung karena gangguan gerombolan Darul Hikam; sampai habisnya persediaan bensin di Jawa Barat, khususnya Bandung.
Peaceful coexistence antar negara-negara dengan sistem politik, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda adalah yang paling baik di dunia, Peaceful coexistence atas dasar persamaan derajat, keadilan dan kemakmuran, dan keuntungan secara timbal balik, bebas dari penindasan dan ketakutan. Peaceful coexistence adalah inti dari Semangat Bandung!