Ciptakan Rumah Susun Yang Lebih Liveable Untuk Hunian Masyarakat Kalangan Bawah di Perkotaan
Rosiana Izzul Azmi (27116021)
Di Indonesia warga pinggiran perkotaan yang dianggap bermasalah direlokasi ke rumah susun, sepertinya sudah menjadi pola umum solusi atas permasalahan perumahan perkotaan di Indonesia saat ini. Sedangkan di sisi lain masalah-masalah psikologis selalu muncul ketika masyarakat secara tiba-tiba dipindah dari lingkungan hunian lama (rumah konvensional) ke hunian baru (bangunan vertikal/rumah susun). Kondisi keterasingan ini oleh Aston Bachelard (1958) dalam The Poetics of Space di bahas sebagai fenomena manusia urban yang kehilangan “rumahnya”. Sejumlah rumah susun yang dibangun di kota-kota besar seringkali dilakukan tanpa pertimbangan kondisi iklim setempat yang tropis-lembab, serta tuntutan kenyamanan fisik yang dikesampingkan. Selain itu, menurunnya kualitas lingkungan tempat tinggal warga saat ini membuat pemerintah mengeluarkan peraturan Gubernur DKI yang mewajibkan bangunan yang akan dibangun harus memenuhi persyaratan dasar sebuah bangunan hijau dan ramah lingkungan, peraturan ini secara tidak langsung akan mendukung upaya dalam mengaplikasikan konsep-konsep green design pada bangunan vertikal di kota-kota besar, khususnya di ruang hunian vertikal (rumah susun). Dikatakan oleh David Harvey (2008) hak atas kota adalah sejatinya bukan hanya hak warga atas sumber daya kota (transportasi, kesehatan, pendidikan dll) akan tetapi hak bagaimana dan seperti apa mereka tinggal, hak bagi kaum miskin untuk memiliki tempat tinggal yang tidak hanya sekedar layak huni, tetapi juga tempat tinggal yang memenuhi kenyamanan fisik dan psikis penghuni.
Foto perspektif keadaaan rumah susun di Batam, sebagai rumah susun terbaik menurut menteri pemukiman rakyat pada tahun 2010.
Kehidupan warga pemukiman kumuh di Bantaran Waduk Pluit ini merupakan sekelumit potret kemiskinan di Indonesia, Jakarta, (10/9/14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)
Dalam hitungan tahun terjadi pergeseran dan perubahan pola dan tatanan kehidupan secara mencolok di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia modern. Kehidupan tradisional yang selaras dengan alam yang terbukti telah mampu menjaga kelestarian alam hingga berabad-abad lamanya kini telah bergeser (Frick dan Mulyani, 2006). Dalam kehidupan tradisional, manusia membangun rumah, perkampungan dan jalur pergerakan selaras dengan alam. Rumah tinggal di dalam suatu komunitas ditata sesuai dengan tata laku anggota komunitas tersebut. Dalam perkembangannya, pergeseran tatanan kehidupan dari tatanan tradisional kepada cara hidup yang modern. Seiring dengan perubahan tatanan dalam masyarakat modern, tuntutan pengadaan rumah di kota-kota besar semakin tinggi namun tidak diiringi dengan ketersediaan lahan. Akibatnya rumah susun/ vertikal house dianggap solusi yang paling tepat untuk masalah pemukiman di perkotaan saat ini.
Permasalahan yang ditimbulkan sektor pemukiman terhadap penurunan kualitas lingkungan di Indonesia semakin menghawatirkan, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap pemukiman yang layak semakin diabaikan. Para pelaku pengembang baik dari pihak swasta maupun pemerintah melakukan pembangunan tanpa memikirkan kepentingan kenyamanan fisik dan menyampingkan pertimbangan kondisi iklim alam setempat yang tropis lembab (banyaknya unit rumah susun yang mangkrak dan tidak dihuni). Padahal sejatinya rumah tinggal bukan hanya sekedar bangunan struktural, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat.
Sudah saatnya hunian vertikal/rumah susun di perkotaan dibangun dengan gagasan desain yang dapat meminimalkan dampak negative rancangan bangunan terhadap alam, memunculkan desain hunian yang layak dan ramah terhadap kenyamanan penghuni, baik dari segi kesehatan, lingkungan, suhu, serta penggunaan energy dan dampak spikologis yang timbul ketika berada di ruang hunian vertikal.
- Desain berkelanjutan dalam bentuk partisipasi warga.
Proyek pelibatan warga dalam rancangan membangun perumahan dan lingkungan akan menghasilkan rancangan yang berkelanjutan (sustainable), bukan hanya secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosial terpenuhi. Aspek keruangan yang diinginkan akan muncul dalam rancangan pembaruan perumahan yang akan mereka huni sehingga menumbuhkan rasa bangga dan antusiasme untuk merawat lingkungan hunian mereka kedepannya. Seperti halnya yang dialami warga di kampung Akuarium Jakarta Utara yang mengalami penggusuran, awal tahun ini warga bersama arsitek dari Rujak Center for Urban Studies, Andesha Hermintomo merancang lingkungan yang telah digusur dengan konsep yang baru, desain kampung dibuat lebih padat secara vertikal, agar lebih banyak ruang terbuka hijau dan ruang terbuka komunitas. Konsep rancangan desain dibuat selama 2 bulan terakhir untuk menghadirkan lingkungan yang lebih layak huni dengan melibatkan warga setempat.
Desain rancangan Andesha H untuk warga di perkampungan Aquarium Jakarta Utara
- Green design sebagai salah satu solusi terhadap menurunnya kualitas lingkungan
Rancangan yang mengacu pada konsep green design seperti banyaknya bukaan alami pada elemen dinding, memperbanyak akses sirkulasi angin sebagai penghawaan alami, penempatan kaca sebagai pencahayaan alami dapat mengurangi penggunaan energy di siang hari, meminimalisir penggunaan energy, memperlambat dampak negative pada alam, lingkungan, dan manusia, tanpa harus mengorbankan tuntutan kualitas hidup manusia yang sehat, aman, dan nyaman. Serta banyaknya pengaplikasian tanaman hijau pada area dalam dan luar hunian dapat memperbaiki kualitas hidup penghuni. Menampilkan keharmonisan antara bangunan buatan manusia dengan alam sekitarnya, konsep yang berkelanjutan dan ramah lingkungan ini di gagas juga oleh John Hardy (2007) pada project mengembangan Green School di Bali.
Ilustrasi, Thinkstockphotos
Untuk itu fenomena sosial budaya ini perlu disikapi dengan pembaruan ide-ide dari para desainer dan pengembang kota. Salah satunya dengan melalui pendekatan desain partisipatif (desain berkelanjutan) dan penerapan konsep green design yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan masyarakat pada ruang hunian vertikal.
SUMBER
http://kependudukan.lipi.go.id/en/population-study/human-ecology/363-jakarta-kampung-dan-penggusuran, diakses 4 maret 2017
https://indoprogress.com/2016/07/keterasingan-warga-di-dalam-ruang-kota/ , diakses 15 november 2016
https://malikalkarim.wordpress.com/2011/12/05/kota-berkelanjutan/, diakses 10 november 2017
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/10/tidak-mudah-menemukan-solusi-dalam-masalah-lingkungan-hidup, diakses 5 november 2017
http://properti.kompas.com/read/2017/01/10/210000821/konsep.rumah.tinggal.pemerintah.dianggap.tidak.sesuai.kebutuhan.warga, diakses 5 november 2017
Karyono, Tri Harsono (2010), Green Arsitekture : Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau Di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers
Roaf, Sue., Fuentes, M., Thomas, S., (2001), Ecohouse 2 : a Design Guide, Italy, Architectural Press.