Category Archives: Uncategorized

Urban Games: The City as A Playground

Bahasan tentang Urban Games sebenarnya sudah beberapa kali saya angkat dalam beberapa kesempatan. Ulasan tentang Urban Games ini bahkan pernah menjadi bagian dari laporan riset dari negara-negara Brazil, Chile, Kolombia, Ekuador, Mesir, Kenya, India, Indonesia, Afrika Selatan mengenai informal Economy and Culture in The Global South  yang dilakukan oleh Global Creative Economy Council di tahun 2021 (mengenai Urban Games, dapat diakses di tautan berikut: https://medium.com/informal-economy-in-the-global-south/the-city-as-a-playground-841aa132ffb7). Tulisan kali ini untuk merekap sedikit, terutama dari forum-forum di tahun 2024 ini: United Cities and Local Governments (UCLG) Leading Cities Workshop di Jinju, Korea, dan pada Panel Tematik di UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Conference di Braga, Portugal.

Kegiatan di Jinju, yang adalah juga UCCN City of Crafts & Folk Art sejak 2019, berlangsung pada tanggal 13 Juni, dalam skema Culture 21 PLUS UCLG di mana Jinju menjadi salah satu Leading Cities yang menerapkan toolkit for Cultural Rights in Cities and Communities tsb. Jinju fokus pada pemuda, dan berencana mengaktivasi beberapa agenda pendidikan dan kreativitas bagi pengembangan kota. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan, pejabat dan pendidik di perguruan tinggi, aktivis dalam bidang pendidikan termasuk vokasi, dsb., yang semuanya dikoordinasi oleh Prof. Byung-Hoon Jeong, yang juga focal point Jinju untuk UCCN. Di forum ini, paparan berjudul “The City as A Playground: Urban Games for Regeneration and Resilience” memuat pendekatan dan praktik Bandung sebagai Kota Desain UCCN, lalu fokus pada urban games sebagai salah satu wahana yang mewadahi kebutuhan generasi muda Bandung untuk berinteraksi dan berkontribusi kepada kotanya secara empatik, produktif, sekaligus menyenangkan. Berikut sebagian dari paparan tersebut.

Urban game dapat dirancang sesuai dengan isu perkotaan yang direspons, dan kesesuaian gameplay dengan segmen (peserta/pemain) sasaran. Dalam eksekusinya, permainan memberikan pengalaman bagi para pesertanya, namun sedapat mungkin juga menghasilkan purwarupa solusi dari isu kota yang diangkat. Setelah permainan selesai, hasilnya dapat berlanjut menjadi feedback atau masukan bagi isu tersebut, baik dalam bentuk program lanjutan, bahkan regulasi dan kebijakan.

Beberapa urban games yang pernah dilakukan sebagai kolaborasi Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan beberapa komunitas mitra, seperti EcoEthno, Sahabat Kota, Pustakalana, dan banyak lagi, dengan mengangkat isu tertentu seperti ruang publik, kampung kota, skenario masa depan, dsb. Luaran dari kegiatan ini disesuaikan dengan tujuan awal ketika permainan dirancang, dapat berupa promosi taman dan museum, model kota masa depan, hingga purwarupa solusi permasalahan kota.

Beberapa permainan sebagai contoh di sini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kembali kota melalui budaya pusaka dan kulinernya; (2) mempromosikan bisnis mikro/lokal sekaligus mengangkat isu ekonomi informal dan inklusif; (3) merawat sensitivitas dan empati terhadap kota dengan memanfaatkan TIK dan media sosial; serta (4) menyediakan ruang belajar dan akses keterlibatan sejak dini untuk berkontribusi kepada kota.

Pada kerangka kerja ini (Hexa Helix stakeholders dan tahapan Connect-Collaborate-Commerce/Celebrate), dipetakan prosedur urban games secara umum, yang dapat menjadi rujukan bagi terciptanya permainan-permainan selanjutnya.

Dalam materi presentasi di Thematic Panel UCCN, ditambahkan satu slide berikut, yang memaparkan dampak urban games terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui pembangunan infrastruktur sosial.     

Harapannya, intervensi terhadap kota oleh para kaum muda dalam lintas komunitas/ stakeholders dengan cara yang menyenangkan (playful) dan memikat (engaging) melalui Urban Games dapat terus diaktivasi dan dikembangkan, demi melaksanakan iterasi solusi perkotaan dan menciptakan purwarupa inovatif yang berdampak nyata dan terukur. Sebab inilah esensi sebuah perkembangan kota kreatif sebagai entitas organik, seperti halnya pertumbuhan manusia kreatif: terus bermain, berani mencoba, mencipta dan berbagi solusi bersama.       

=====

Berikut beberapa post dan video urban games di Bandung: Riung Gunung: children as co-designers

 

An Unfortunate Event

So… this occurrence did upset me a bit. Somehow this web page crashed(?), and as a consequence:

  1. My latest post is unretrievable (it’s a note and photos from my Kazakhstan trip to attend Astana International Forum in June 2023)
  2. All photos are gone edit: per 12 Oct 22.00 WIB all photos (at least at the latest checked pages) are back!
  3. My web design setting is ruined; too bad, I like that previous one

Other than those, at least my old writings are saved. Please bear with me in this period when I try to revive my titalarasati.com

CCI Global Agenda: 11 Key Actions

World Conference on Creative Economy (WCCE) kedua diselenggarakan di Dubai, yang sekaligus menjadi tuan rumah World Expo 2020, 7-9 Desember 2021. Seluruh acara yang sedianya berlangsung tahun 2020, terpaksa seluruhnya diundur ke 2021. WCCE mengambil tempat di bangunan Dubai Expo, yang masih berada dalam lokasi World Expo.

Dalam rangkaian acara WCCE, salah satunya adalah sesi Peluncuran Agenda Global untuk Industri Budaya dan Kreatif (Cultural and Creative Industry/ CCI), yang memuat 11 Key Actions. 11 Key Actions ini disusun oleh International Advisory Council for Creative Industries Policy and Evidence Centre (IAC-PEC) UK yang bermitra dengan British Council

Sebelum masa pandemi, IAC-PEC sempat mengadakan pertemuan secara fisik di London dan Edinburgh; setelah itu pertemuan berlangsung beberapa kali secara virtual. Sekian banyak diskusi telah menghasilkan, antara lain, penelitian bersama, rekomendasi kebijakan, dan sebagainya. Dua tahun setelah terbentuk, IAC-PEC bersepakat untuk membuat sebuah dokumen yang bersifat legacy, yang mengkompilasi pemikiran bersama terkait arah optimalisasi potensi sektor ekraf sebagai solusi bagi berbagai tantangan kritis saat kini. Setelah melalui proses yang cukup alot, dengan sekian perubahan format, akhirnya dokumen tersebut terwujud sebagai CCI Global Agenda: 11 Key Actions.

11 Key Actions ini diluncurkan di hari pertama WCCE, 7 Desember 2021, dengan menghadirkan sebagian dari anggota IAC-PEC sebagai narasumber, yaitu Eliza Easton (UK), Avril Joffe (Afrika Selatan), Laura Callanan (USA), serta saya sendiri; dengan moderator John Newbigin (UK) yang mengetuai IAC-PEC. Sesi ini lebih berupa percakapan pendalaman dari 11 butir tersebut, antara lain mengenai pendanaan, perantara, kesetaraan gender, dan ekonomi informal.

Melalui 11 butir ini, yang langsung merepresentasikan butir-butir terkait dari 17 Tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG), IAC-PEC bermaksud memberikan masukan dan rekomendasi bagi pemerintah pusat maupun lokal, untuk mengarusutamakan sektor ekonomi kreatif sebagai salah satu strategi pembangunan.   

Berikut ini ringkasan 11 Key Actions tersebut dalam bahasa Indonesia, sementara selengkapnya (dalam bahasa Inggris, Perancis, Arab, Spanyol) dapat diunduh di tautan ini: https://www.pec.ac.uk/policy-briefings/a-global-agenda-for-the-cultural-and-creative-industries

1. Pendidikan dan Keterampilan Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8, 10): pengakuan terhadap peran seni dan budaya dalam mengembangkan kreativitas individu di semua tingkat pendidikan dan pelatihan, untuk menjamin kreativitas dan keterampilan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja masa depan untuk mengelola disrupsi dan peluang yang terdapat di area seperti virtual reality, desain berwawasan lingkungan dan kecerdasan buatan. Diperlukan integrasi seni dan budaya, di samping keterampilan dalam sains dan teknologi, dalam segala aspek pendidikan dan pelatihan.

2. Kewirausahaan dan Inovasi Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8): pengakuan terhadap nilai model bisnis inovatif yang muncul dari pemanfaatan teknologi digital dalam CCI; juga tantangan tertentu yang dihadapinya, termasuk kebutuhan terhadap pendanaan termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan dukungan bisnis bagi usaha kecil terkait revolusi digital. 

3. Karir Kreatif, Pekerja Lepas Waktu, dan Penghidupan Informal (SDG 1, 3, 5, 8, 10, 11): kebijakan yang mendukung kondisi kerja yang layak dan perlindungan sosial bagi para pelaku CCI; pengakuan terhadap lumrahnya pekerja wiraswasta, pekerja kontrak, dan pekerja informal dalam sektor CCI.

4. Penelitian dan Pengembangan CCI (SDG 4 ,8, 9): revisi penggunaan definisi “Frascati” dalam litbang yang digunakan oleh para pembuat kebijakan di seluruh dunia, sehingga kebijakan terkait investasi insentif pada inovasi dapat secara baik meliputi seluruh domain pengetahuan, termasuk Seni, Humaniora dan Ilmu Sosial, tidak hanya Sains dan Teknologi.   

5. CCI dan Ekonomi Digital (SDG 4, 5, 8, 9): melibatkan CCI dalam pembentukan kerangka kerja bagi peraturan baru dan infrastruktur yang bertujuan mengatasi isu-isu terkait data dan privacy, platform internet, dan penciptaan & perlindungan HKI. 

6. CCI dan Keberlanjutan Lingkungan (SDG 1, 3, 12, 13); pengakuan terhadap kontribusi CCI dalam menjalankan ekonomi sirkular dan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dampak yang relatif kecil terhadap sumber daya alam dan lingkungan secara fisik. 

7. Kota-kota Kreatif dan Klaster-Klaster Regional (SDG 11, 16, 17): investasi pada CCI tidak hanya di kota-kota besar tapi juga pertimbangkan berbagai peluang di klaster-klaster kecil dan lokal.

8. Pembiayaan Alternatif dalam CCI (SDG 1, 9, 12, 17): bekerja dengan kepercayaan dan fondasi untuk mengembangkan insentif dan jaminan, yang mendorong investasi dari sektor swasta untuk berinvestasi dalam infrastruktur terkait, keterampilan, pasar dan platform menuju pertumbuhan dan pemerataan, dan untuk memunculkan produksi budaya jenis baru oleh komunitas-komunitas kreatif.   

9. Kesetaraan Sosial, Keberagaman Budaya dan Inklusivitas dalam CCI (SDG 1, 3, 4, 5, 10, 12, 13, 16): mendukung segala upaya yang berlanjut dan bertumbuh oleh badan-badan internasional dan pembuat kebijakan nasional untuk melestarikan praktik-praktik budaya dan kreatif, bahasa, pengetahuan tradisional, seni dan artifak dan situs-situs serta naskah pusaka.

10. Standar Internasional untuk Mengumpulkan dan Berbagi Data (SDG 16, 17): mengembangkan standar global bagi klasifikasi CCI dan mata pencaharian kreatif untuk menggerakkan pertumbuhan sebuah berbasis-bukti yang dapat diperbandingkan di skala internasional. Termasuk di dalamnya, upaya yang terkoordinasi untuk memastikan revisi terhadap kode-kode internasional seperti Standard Industrial Classification (SIC) dan Standard Occupational Classification (SOC), mencerminkan sifat perubahan CCI.

11. Kerja Sama Internasional untuk Penyelenggaraan CCI (SDG 1, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 17): menentukan standar global untuk kerja sama internasional terkait perkembangan CCI di seluruh dunia. Hukum HKI, regulasi internet, perpajakan dan kebijakan terkait perlu direkalibrasi menjadi konsisten, inklusif, adil dan bermanfaat secara setara bagi industri dan pemerintah.

DI panggung bersama John Newbigin dan Eliza Easton; di layar hadir pula Laura Callanan dan Avril Joffe yang bergabung dari tempat masing-masing (Amerika dan Afrika Selatan).

Dalam sesi ini, sebagai moderator, John menggali berbagai hal dari para nara sumber PEC yang telah memberikan materi dan referensi bagi 11 Key Actions tersebut. Eliza menjelaskan mengenai PEC dan kegiatannya, terutama terkait berbagai penelitian yang dilakukan oleh Nesta terkait ekonomi kreatif dan kontribusinya terhadap kebijakan di UK. Laura membahas mengenai aspek “ekonomi” dalam “ekonomi kreatif”, terkait pendanaan (alternatif) dan keberlangsungan kegiatan ekonomi dalam berbagai sub-sektor industri kreatif dan perkembangannya. Avril mendiskusikan sektor informal sebagai pendukung industri kreatif, terutama di negara-negara belahan bumi selatan, yang sarat dengan fenomena ini. Saya menyampaikan peran intermediary atau perantara – seperti halnya Indonesia Creative Cities Network (ICCN) di tingkat nasional, atau komunitas skala kota seperti Bandung Creative City Forum (BCCF) – yang dapat mengajukan model dan masukan untuk para pembuat kebijakan terkait ekonomi kreatif dan kota kreatif. Harapannya, bila dapat diadopsi oleh negara-negara yang berpotensi kuat dalam sektor ekonomi kreatif, 11 Key Actions ini dapat menjadi panduan aktif dalam penentuan kebijakan/regulasi, untuk menjawab tantangan SDG.

QR code menuju tautan untuk mengunduh dokumen 11 Key Actions ditayangkan pada layar selama sesi berlangsung.

====

Penelitian mengenai Informal Economy yg dilakukan oleh IAC-PEC di 10 negara bisa diakses di tautan ini: The Relationship between the Informal Economy and the Cultural Economy in the Global South

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

Enam Puluh Persen Saja Dulu, Sanggup?

Kesempatan bersama Kak ET kali ini sangat singkat, namun sarat makna. Dalam rangkaian perjalanannya di Bandung, Sabtu 9 Oktober 2021, Simpul Space #4 di Jalan Braga 3 menjadi salah satu tempat yang disinggahi. Gedung Simpul ini, yang merupakan salah satu aset bangunan heritage kelas A milik Kimia Farma, sementara ini sedang dikelola dan ditempati oleh Indonesia Creative Cities Network (ICCN) dan Bandung Creative City Forum (BCCF). 

Kang Fiki Satari, Abah Kiki Adiwilaga, Kak ET, Tita, Kang Galih Sedayu, Kang Adi Panuntun, Kang Mi-ink Panji, dan Kang Yogi, di depan Simpul Space #4 Jalan Braga 3

Dalam konteks aktivitas komunitas dan karakter Bandung sebagai Kota Desain UNESCO, Sabtu sore itu kita menampilkan potensi creativepreneur, dengan beberapa jenama dalam wirausaha yang dibentuk dan dijalankan oleh para lulusan perguruan tinggi seni rupa dan desain. Para pengusaha dalam sektor industri kreatif ini dengan sendirinya membuka peluang lapangan kerja ketika membutuhkan tenaga penjahit, pembuat keramik, pengrajin bambu, tukang kayu, dan sebagainya, dalam proses produksi dan distribusinya. Penciptaan nilai diperoleh dari proses kreatif dan capaian hasil pemikiran, yang berpotensi didaftarkan sebagai hak cipta, dan bahkan paten, bila mengandung nilai inovasi teknologi dan temuan baru lainnya. Jenama yang hadir mencerminkan potensi desain Bandung, yang tahun ini akan ditampilkan kembali dalam acara Bandung Design Biennale (BDB) dengan tema Excavate. Ketua penyelenggara BDB 2021, Ardo, dan salah satu kurator BDB 2021, Panda, turut hadir untuk menyerahkan buku BDB 2019 dan materi BDB 2021 kepada Kak ET. 

Paparan singkat tentang BCCF, yang kemudian menjadi salah satu forum lintas komunitas skala kabupaten/kota menginisiasi pembentukan ICCN, juga mengenai berbagai gerakan serta aktivisme komunitas di ratusan kabupaten/kota se-Indonesia yang berujung pada formulasi model cara kerja dan metriks yang dapat diterapkan bersama, menyertakan juga slide yang memuat skema kolaborasi antara ICCN dengan Kementerian BUMN. Mengenai hal ini, Kak ET menyatakan akan meninjau ulang, agar benar-benar dapat terjadi komitmen yang berdampak nyata.

Selanjutnya, Kak ET menyampaikan bahwa aktivasi dan gerakan komunitas kreatif ini sebenarnya merupakan Ekonomi Komunitas dalam sebuah Ekosistem Kolaborasi. Sebagai pemerintah (“Yang kebetulan menterinya sekarang ya saya ini”, ucapnya), upaya mengakselerasi peningkatan ekonomi komunitas ini adalah dengan menyediakan kebijakan dan fasilitas seperti yang sedang berjalan saat ini, antara lain KUR Himbara yang menyediakan kredit yang sesuai dengan kondisi UMKM, dan PADI UMKM yang membuka peluang belanja negara ke UMKM lokal, sekaligus mendorong UMKM untuk melakukan digital onboarding. “Biasanya, kalau ganti pejabat, program-program yang sudah berjalan baik, bisa dihentikan. Hanya karena ingin terlihat lebih hebat dari pejabat sebelumnya. Padahal tidak perlu demikian; kalau terbukti memang berdampak positif bagi seluas mungkin masyarakat penerima manfaat, seharusnya dipertahankan.”

Kak ET juga menantang, “Coba cek, yang sedang kita kenakan sekarang: baju, celana, sepatu. Apakah paling tidak 60%-nya buatan lokal? Tidak perlu yang terlalu canggih seperti ponsel dan laptop; cukup barang-barang yang mendasar saja dulu. Upayakan agar beli dan pakai produksi lokal, untuk mengangkat kebanggaan terhadap produk Indonesia, agar jangan jadi slogan semu. Bangga Buatan Indonesia, dengan sesungguhnya.”

Tantangannya tidak berhenti sampai di sini. Kak ET langsung bertatap mata, sambil berucap, “Buat ya programnya, akhir tahun ini harus ada”. Nah, kan. Interaksi dengan Kak ET tidak pernah melompong. Selalu ada komitmen dan target yang harus dipenuhi, dan semuanya realistis, asal kita mau kerja. It takes one hard worker to know another. Siap, Kak, akan kami gencarkan!

Terima kasih atas kunjungannya, Kak ET. Juga atas tularan semangatnya, sebagai sosok yang mewakili pemerintah yang mau mendengarmendukung nyata, serta mengerti betul seluk beluk para pelaku industri kreatif, artists- & designer-makers, dan creativepreneurs — sehingga dapat menghasilkan kebijakan, regulasi, serta fasilitas yang benar-benar relevan. Semoga saat Kak ET kembali lagi ke Bandung, sudah dapat kami tampilkan bukti lebih dari 60%!

=====

Terima kasih juga bagi seluruh Tim Simpul yang keren, selalu siap sedia menyiapkan ruang bersama kita ini dengan pertimbangan standar keamanan dan kesehatan. Terima kasih tim penyelenggara Bandung Design Biennale 2021 dan juga untuk seluruh rekan jenama Bandung atas partisipasinya; sangat membanggakan!

Ame Raincoat @ameraincoat

Amygdala Bamboo @amygdala_bamboo

Eldine @eldine_

Goodbelly @goodbelly.bdg

KAR @karjewellery

Kayakayu @kayakayu_id

Package from Venus @packagefromvenus

Pala Nusantara @palanusantara

Tuskbag @tusk.id

*Photo credit: Kementerian BUMN

G20 Culture: Design for Social Change

It is such a great honour to have the opportunity to represent Bandung Creative City Forum (BCCF) and Indonesia Creative Cities Network (ICCN) in G20 Culture Webinar: Building capacity through training and education, themed “Human Capital – The Driver of Culture-led Regeneration” that took place on Tuesday, 13 April 2021.

I was asked to discuss the topic Design for Social Change in Session II – Changing perspectives for cultural heritage. Each speaker was allowed 5 minutes each, with a maximum of 3 slides that illustrate the points. It always takes an extra preparation in order to be so concise. 

Here I’m attaching my slide deck, some have appeared in previous presentations, but with a bit of modifications, and the text that I prepared prior to the session in order to make the 5 minutes duration. The presentation is titled Inclusive Creative Economy for A Resilient Society.

==========

Good afternoon, or evening in my time zone,

It is such a great pleasure to be able to share a bit of thoughts in this prominent forum, about design for social change, within the context of perspectives for cultural heritage. Thank you to G20 for this valuable opportunity.

Most of my viewpoints in this talk would come from the perspectives of communities. 

Please allow me to start with the City of Bandung as an example, to talk about Design and Social Change. Bandung joined UNESCO Creative Cities Network as a City of Design in 2015, by referring to DESIGN not only as a certain aesthetics or functional qualities of an object, service, or system. But as a tool of thinking, applied by citizens and communities to respond to their surrounding problems. 

We use CREATIVITY as a strategy to lessen the gap between people and government, between people and policy. We have been doing interventions in public spaces in the form of urban games, raising many urban issues such as green open space, heritage, local SMEs, and so on. 

We have been making experiments and PROTOTYPES of urban solutions, to show how a city can work better. We create experiences of how a city can be more liveable and loveable.  

IN THE NEXT SLIDE we illustrate that we practice the concept of URBAN ACUPUNCTURE that considers a city as an organic entity, not unlike a human body. It has its centres for thinking, breathing, sensing, and disposing; systems that process and distribute nutritions, energy, and waste. It has memories and hopes for the future.

These urban interventions are within the contexts of CREATIVE ECONOMY ECOSYSTEM, leading to the establishment of Indonesia Creative Cities Network, a hub organisation that connects community members in more than 200 cities from all over Indonesia, each implementing similar methods for its own particular issues and priorities. 

Society becomes an active stakeholder of a city, building social innovations and resilience, to create an inclusive, urban future. In THE NEXT SLIDE, we have a model – taken from our white paper and policy recommendations for U20 Riyadh 2020 – that illustrates how CREATIVE ECONOMY supports a HUMAN-CENTRED DEVELOPMENT to achieve the Sustainable Development Goals. 

Here we discuss how people in Creative Economy sectors are most capable to adapt to future challenges, due to their three main characteristics: (1) High-order cognitive skills, such as originality, which tend to actively seek out new business ideas to enhance various traditional services; (2) Technology savviness in the various aspects of business, the agility in combining or mastering advanced technology that has become indispensable in creative industries products and services; (3) Skills that characterise creative communities; the interpersonal ability that has been co-existing within the creative economy ecosystem, where individuals and communities blend to redefine the conventional concepts of “professions” into the more updated contexts of “roles” and “functions” with higher flexibilities in current and future occupations.

We are convinced that inclusive creative economy lead to wide opportunities for relevant growth of societies that are resilient to answer to the challenges of SDGs; including the preservation and activation of cultural heritage, in choosing what’s relevant, in order to create their own ‘living heritage’ to hand over to the future generations.      

With this, I conclude my talk. Thank you.

==========

The discussion that occurred afterwards was quite engaging. Concerning cultural heritage, both tangible and intangible – sure, some of us are still fighting to “preserve” them, but it’s more or less about perception, too: who decides that something is worth preserving, or erasing? Which narratives – that come along with the cultural heritage – do we want to keep? This has been among the debates around cultural heritage preservation, especially in South East Asia, where not everything conveys messages that people want to retain. Some would even consider that preserving them means retaining the unwelcome ideas.

This is where our urban acupuncture in the forms of public space interventions and urban games play a role. We (re)connect people with their living spaces and activities, using different angles in game scenarios and raising awareness of overlooked local treasures. Design and design thinking are essential in the planning and executing the whole activities; and, as acupunctures go, consistency leads to real impacts: improvements in public facilities, a new bill on creative economy, higher appreciation for local SMEs, and so on.

Back to the subject of heritage. A late professor who attended my doctoral public defence once said, a city without its (cultural) heritage is like a person without his memories: it has no recollection of its identity and journey. Of course not all memories are pleasant, but didn’t the bad ones teach us some lessons, that also made us who we are today?

Inclusive Creative Economy and The Future of Work

Awal tahun 2020 ini, setelah melalui proses seleksi ketat, serta berbekal rekomendasi dari Nicolas Buchoud, salah satu anggota kehormatan Indonesia Creative Cities Network (ICCN), ICCN memulai prosesnya sebagai knowledge partner bagi U20 dalam merumuskan rekomendasi kebijakan bagi para pemimpin G20. Di tahap awal, seluruh kota dan lembaga yang terlibat diminta untuk mengajukan concept note berdasarkan tema yang terdapat pada 3 (tiga) Gugus Tugas yang dibentuk oleh U20. ICCN, yang menjalankan organisasinya dengan merujuk pada 10 Prinsip Kota Kreatif dan memilki Catha Ekadaksa atau 11 Jurus Penerapan 10 Prinsip tersebut, mengajukan concept note yang terfokus pada ekonomi kreatif, sebagai sektor yang berpotensi untuk menyediakan lapangan kerja secara inklusif, termasuk bagi kaum muda yang terampil memanfaatkan teknologi terbaru, sekaligus berpeluang besar sebagai strategi untuk memperoleh solusi inovatif bagi berbagai permasalahan/isu urban dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan. 

Tiga Gugus Tugas (TF) dalam U20: TF1 Circular, Carbon Neutral Economy; TH2 Inclusive Prosperous Community, TF34 Nature-Based Urban Solutions diinisiasi tahun ini untuk memberikan actionable policy recommendations berbasis evidence pada U20 communique. Dalam menggarap masing-masing tema, TF mempertimbangkan Sustainable Urban Finance & Investment, Urban Innovation & Technology, serta Implementing the SDGs.

Concept paper tersebut membawa ICCN menjadi bagian dalam Gugus Tugas 2 (dari 3 Gugus Tugas U20) yang bertema Inclusive Prosperous Communities. Tiap kota dan lembaga knowledge partner kemudian menyusun white paper yang memuat studi dan analisa tentang masing-masing tema yang diajukan dan telah disetujui, sebagai dasar rekomendasi kebijakan yang dipaparkan sebagai simpulan. Dalam Gugus Tugas 2 ini, ICCN berperan sebagai penulis utama untuk rekomendasi kebijakan bertema Inclusive Creative Economy and The Future of Work, didampingi oleh Izmir (kota pengampu Gugus Tugas 2) dan Riyadh (kota tuan rumah markas U20), juga oleh G20 engagement groups W20 (Perempuan) dan Y20 (Kepemudaan).

Gugus Tugas 2 dari U20 yang menampilkan semua knowledge partner dan mitra kota
dalam penyusunan rekomendasi kebijakan.

Tim penulis ICCN terdiri dari Dwinita Larasati Deputi Kemitraan Strategis ICCN, Islaminur Pempasa Plt. Deputi Riset, Edukasi dan Pengembangan ICCN, Deny Willy Junaidy Sekretaris Pengabdian Masyarakat LPPM ITB, juga Direktur Riset ICCN, dan Yogi Suprayogi Direktur Kelembagaan dan Kebijakan Publik di Kedeputian Hukum, Advokasi/Regulasi dan HKI ICCN. Dalam menyusun white paper dan rekomendasi kebijakan ini, tim penulis ICCN juga mendapat masukan dari beberapa kontributor, antara lain Marisa Henderson (Chief of Creative Economy Programme, UNCTAD), Zayd Minty (Director of Creative City South, Johannesburg), John Newbigin (Ambassador for the creative industries, at Mayor of London, UK), dan Ilya Myasnikov (Dean, Faculty of Journalism, Higher School of Journalism, National Research Tomsk State University, Russia). 

Secara bertahap, tim ICCN bekerja sesuai dengan tenggat-tenggat yang ditentukan oleh U20, mulai dari concept note, dilanjutkan dengan white paper dengan beberapa tahapan revisinya, hingga tersusun sebuah policy brief sebagai pijakan perumusan draft rekomendasi kebijakan, yang kemudian juga mendapatkan masukan dari U20, serta W20 dan Y20 sebagai engagement groups yang menambahkan konten terkait hal-hal perempuan dan kepemudaan.

Butir-butir rekomendasi kebijakan, di mana IYCE tertulis sebagai salah satu faktor pendukung utama dalam memunculkan ekonomi kreatif sebagai salah satu sektor yang relevan dengan kebutuhan masa depan.

Setelah melalui seluruh proses, dokumen rekomendasi kebijakan dari U20 pun resmi diserahkan kepada communique G20 dalam acara puncak U20 Mayors Summit yang berlangsung pada tanggal 30 September hingga 2 Oktober 2020 lalu. Karena kondisi saat ini yang hanya memungkinkan penyelenggaraan acara secara daring, serah-terima dilakukan secara virtual, dengan memindai barcode yang memuat dokumen Gugus Tugas U20 yang ditampilkan di layar platform video conference

Barcode pada layar video conference sebagai tautan untuk mengunduh dokumen laporan U20 secara lengkap.

Apa artinya ini untuk para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia? Usulan kebijakan dari ICCN mengenai ekonomi kreatif, bersama dengan rekomendasi lain dari seluruh Gugus Tugas U20, akan tiba di tangan para pemimpin G20 dan menjadi pertimbangan bagi para pemimpin tersebut dalam menentukan arah kebijakan demi menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan. Hal ini menjadi peluang penting, mengingat bahwa Indonesia akan berperan besar sebagai Ketua G20 sekaligus Ketua ASEAN mulai tahun 2023, dengan momentum terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi G20 dan ASEAN Summit di Labuan Bajo. 

Momentum lain adalah disahkannya tahun 2021 oleh Sidang Umum PBB pada akhir 2019 lalu sebagai Tahun Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan (The International Year of Creative Economy for Sustainable Development/IYCE), yang diusulkan oleh Indonesia dan didukung oleh 85 negara yang juga berkomitmen untuk mengaktivasi sektor ekonomi kreatif. Sebagai inisiator, Indonesia akan menjadi perhatian banyak pihak dalam hal ini. Tak ada waktu yang lebih tepat untuk mempromosikan potensi ekonomi kreatif kita ke dunia dalam waktu dekat ini. Masih dalam rangka IYCE, World Conference on Creative Economy (WCCE) yang juga digagas oleh Indonesia dan diselenggarakan untuk pertama kalinya di Bali akhir 2018 lalu, akan kembali digelar pada tanggal 24-30 Mei 2021 di Bali, dengan tema Inclusively Creative: Global Recovery.

Sebagai jejaring komunitas kreatif, yang terdiri dari para penggerak dan penentu arah dinamika kota/kabupaten, yang telah membuktikan dampak nyata dan berkelanjutan yang muncul dari inisiatif bottom-up, ICCN dan seluruh komunitas/pelaku ekraf di Indonesia harus dapat memanfaatkan semua momentum ini. 

Untuk bersiap menyambut seluruh momentum tersebut, Inclusive Creative Economy and The Future of Work memaparkan berbagai peluang dan tantangan dengan bercermin pada ragam kondisi yang terjadi saat ini, serta berbagai upaya sektor ekonomi kreatif dalam menjawab tantangan terkini. Diskusi ini juga memasukkan pertimbangan terhadap kebijakan, konsep, dan strategi yang telah dikembangkan dan dijalankan oleh berbagai lembaga dunia, dengan antisipasi agar tetap berdampak positif bagi para pelakunya hingga di tingkat lokal secara nyata dan berkelanjutan.

Bagan simpulan Challenges & Opportunities dari
Inclusive Economy and The Future of Work.

Pembangunan yang berorientasi pada manusia menjadi pusat bahasan dari perspektif tema dokumen ini, yang juga mempertimbangkan tahapan pemulihan akibat dampak pandemi Covid-19, dengan tetap mengarahkan upaya untuk menjawab tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dipaparkan juga mengenai peran dan saling keterkaitan antara para stakeholders A (akademia), G (pemerintah), B & F (sektor bisnis dan lembaga finansial) dalam mendukung pengembangan C (komunitas/ manusia/ SDM). Dalam perjalanan hidupnya, manusia akan selalu menghadapi perkembangan teknologi, sehingga diperlukan empati dan sikap yang tepat serta keterampilan yang memadai dalam memanfaatkannya untuk kesejahteraan bersama, secara tangguh dan berkelanjutan. Dalam hal ini, ekonomi kreatif muncul sebagai sektor yang paling berpotensi untuk membuka lapangan kerja, sekaligus menyediakan ruang-ruang ekspresi secara inklusif. Sektor ini menjadi yang paling fasih dalam menciptakan pekerjaan di masa mendatang, yang mungkin belum ada sekarang ini. Seperti halnya banyak pekerjaan ‘baru’ masa kini, yang tidak terpikirkan oleh kita di 5-10 tahun sebelumnya, yang sebagian besar mengandalkan. akses dan infrastruktur teknologi termutakhir. Di sinilah terdapat tantangan untuk memperlakukan teknologi sebagai penghubung, dan bukan sebagai hal yang memperlebar kesenjangan, dalam segala aspek kehidupan.

Sebagai simpulan, dinyatakan bahwa para pelaku ekonomi kreatif memiliki tiga karakteristik utama yang menjadi keunggulan mereka, yang menjadikan mereka lebih siap dalam menghadapi tantangan masa depan, yaitu: (1) Keterampilan kognitif yang tinggi, yang mendorong mereka untuk terus menerus mencari orisinalitas serta gagasan bisnis yang baru, untuk memperkuat/memperkaya cara-cara yang selama ini dilakukan, agar dapat menjadi lebih berorientasi pada pengalaman personal, dan dengan narasi yang unik; (2) Pemahaman terhadap teknologi, kelincahan dalam menggabungkan atau menguasai teknologi termutakhir, yang tidak dapat dihindari dalam menciptakan produk (barang & jasa) industri kreatif; (3) Karakter komunitas kreatif, yaitu kemampuan interpersonal dalam ekosistem ekonomi kreatif, di mana individu dan komunitas melebur untuk mendefinisikan ulang konsep terkait “profesi” menjadi “peran” dan “fungsi” dengan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi dalam menjalankan pekerjaan, menciptakan mata pencaharian, kini dan masa depan. Sementara, hingga kini, diketahui bahwa tantangan terbesar bagi perluasan implementasi dan dampak positif dari ekonomi kreatif adalah dukungan sistemik yang memadai, dalam bentuk kebijakan & regulasi pada tingkat kota, berbasis data dan bukti dari wilayah tersebut. 

Rekomendasi Kebijakan Inclusive Creative Economy and The Future of Work dipresentasikan pada salah satu sesi U20 Mayors Summit, sebelum seluruh dokumen rekomendasi kebijakan U20 diserahkan ke Communique G20

White paper “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” selengkapnya dapat diunduh di sini: https://www.urban20riyadh.org/sites/default/files/2020-09/UpskillingForTheFutureOfWork.pdf

Seluruh white paper dari Gugus Tugas U20 dapat diakses di sini: https://www.urban20riyadh.org/

=====

U20 dibentuk pada tahun 2017 saat berlangsungnya One Planet Summit di Paris, atas inisiatif Wali Kota Buenos Aires, Horacio Rodriguez, dan Wali Kota Paris, Anne Hidalgo. Tujuan U20 adalah: (1) Mengangkat isu-isu urban dalam agenda G20, dan (2) Sebagai platform bagi para pemerintah daerah untuk tampil dan bersatu menyuarakan aksi iklim global dan pembangunan berkelanjutan pada para pemimpin pusat. U20 menyelenggarakan pertemuan pertamanya di Buenos Aires, 2018, kemudian di Tokyo, 2019, dan yang baru lalu di Riyadh, 2020. U20 kini berangggotakan 27 kota, dengan total jumlah populasi sebesar 230 juta jiwa (2019).

Buat Apa Masuk UCCN?

Beberapa hari lalu, di acara peluncuran Batam Community Network (BCN), saya mengisi sesi diskusi bertajuk The Benefits of Being in UNESCO Creative Cities Network (UCCN) sebagai focal point Bandung (Kota Desain sejak 2015), bersama dengan dua kota Indonesia lain yang juga telah bergabung dalam UCCN, yaitu Pekalongan (Kota Craft & Folk Arts sejak 2014) dan Ambon (Kota Musik sejak 2019). Sebagian besar peserta acara peluncuran BCN ini berasal dari kota/kabupaten yang telah bergabung di Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang seluruhnya teraspirasi oleh jejaring kota kreatif dunia. Bahasan mengenai pentingnya berjejaring tentu menjadi menarik, ketika kita sekaligus harus mempertanyakan ulang: kalau sudah bergabung, terus ngapain? Apa manfaatnya berada dalam jejaring itu? Selanjutnya gimana? Nah, mari kita bahas sedikit dari sudut pandang dan pengalaman Bandung.

Ketika menyiapkan dossier Bandung untuk UCCN, proses yang awalnya top-down segera berangsur menjadi bottom-up. Kala itu, di tahun 2012, UCCN masih hanya menerima proposal dari kota-kota yang direkomendasikan oleh perwakilan UNESCO di negara pengaju dan kementerian. Namun, bahkan sebelum Bandung masuk dalam rekomendasi Kemenparekraf saat itu, mendiang Mas Tata (Ahmad Rida Soemardi) telah dan selalu mendorong Bandung untuk mengajukan diri masuk ke dalam jejaring tersebut, melalui BCCF. Sebagian besar pemikiran Mas Tata telah menjadi bagian dasar dari tulang punggung dossier Bandung, yang terus kami eksplorasi dan kembangkan hingga menjadi narasi utama. Sayang, Mas Tata keburu berpulang sebelum menikmati hasil buah pemikirannya, ketika perjalanan panjang sejak 2012 ini akhirnya berhasil menghantarkan Bandung bergabung dengan UCCN sebagai Kota Desain di tahun 2015. Ada bahasan lebih detail tentang Kota Kreatif ini di 3 posting tulisan berurutan ini: Kota Kreatif, Untuk Apa?

Sekarang kita fokus ke: setelah masuk jejaring, lalu bagaimana?

UNESCO membentuk UCCN sejak 2004 untuk mempromosikan kemitraan antar kota, yang telah mengidentifikasi kreativitas sebagai faktor strategis untuk pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Kota-kota anggota UCCN dengan sendirinya berkomitmen untuk menjawab tantangan SDG melalui potensi kreativitas dan budaya. Berikut ini komitmen lengkapnya, sesuai dengan yang tertera di website UCCN:

Komitmen kota-kota anggota jejaring adalah untuk berbagi praktik terbaik, dan mengembangkan kemitraan yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, masyarakat umum, dalam rangka: 

  • memperkuat kerja sama internasional di antara kota-kota yang telah mengakui kreativitas sebagai faktor strategis bagi pembangunan berkelanjutan;
  • menstimulasi dan mendorong inisiatif kota-kota jejaring untuk menempatkan kreativitas sebagai komponen penting dalam pembangunan kota, khususnya melalui kemitraan yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat umum;
  • memperkuat penciptaan, produksi, distribusi, dan diseminasi aktivitas, barang dan jasa berbasis budaya; mengembangkan simpul-simpul kreativitas dan inovasi, serta memperluas peluang bagi para pelaku ekonomi kreatif dan profesional dalam sektor budaya;
  • meningkatkan akses dan partisipasi dalam kehidupan berbudaya, khususnya untuk kelompok dan individu yang rentan atau termarjinalisasi;
  • secara penuh mengintegrasikan budaya dan kreativitas dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan.       

Seluruh komitmen ini, bagi Kota Kreatif UCCN, harus diwujudkan dalam sinergi antar seluruh pemangku kepentingan kota, yang belakangam ini sering disebut sebagai Penta Helix stakeholders. Tanpa dukungan salah satu elemennya, atau bila tidak solid atau kurang kompak, maka penyelenggaraan “kota kreatif” akan timpang. Perubahan akan terus terjadi di berbagai sisi dan jenjang, oleh karena itu UCCN mewajibkan seluruh kota anggotanya untuk menyerahkan Membership Monitoring Report (MMR) secara berkala, setiap 4 tahun. Kota yang nirprestasi hingga tiga termin MMR berturut-turut akan dipertimbangkan ulang status keanggotaannya dalam UCCN. Bandung yang masuk tahun 2015 telah menyerahkan MMR pertamanya di akhir 2019 lalu, yang memuat informasi sesuai dengan butir-butir yang disyaratkan oleh Sekretariat UCCN, antara lain: kontribusi pada pengelolaan jejaring di skala global, inisiatif lokal, inisiatif kerja sama antar kota, dan rencana aksi. UCCN juga mementingkan terwujudnya komitmen anggotanya, antara lain, kehadiran di Pertemuan Tahunan UCCN.

=====

Ini kok tampaknya kewajiban semua. Jadi manfaatnya apa? Apakah UCCN memberikan insentif atau dukungan finansial pada kota-kota anggotanya? Jelas tidak. 

Harapan Bandung ketika mengajukan diri adalah — mengutip ketua tim dossier Bandung untuk UCCN Fiki Satari — bila akhirnya Bandung berhasil masuk menjadi anggota UCCN, dapat kita lihat sebagai “bonus”, karena yang terpenting adalah, selama berproses, kita terus belajar mendata, menganalisa, dan menyusun argumen tentang potensi kreativitas kita sendiri, bahkan juga mengkuantifikasi tingkat potensi kreativitas di beragam sektor.   

Manfaat 1: kita belajar mengenali diri sendiri dari sisi potensi kreativitas dalam skala kota dengan segala sumber daya pendukungnya; sekaligus mengeksplorasi berbagai indikator “kota kreatif” yang terus menerus mengalami pembaruan.

Sejak pertama kalinya hadir di pertemuan tahunan UCCN, Bandung selalu berupaya “didengar”, karena belum semua orang tahu ada kota bernama “Bandung” di Indonesia. Bagaimana caranya? Delegasi Bandung sedapat mungkin selalu aktif di sesi-sesi pertemuan; berbagi insights dan/atau menyampaikan pendapat dan pertanyaan di forum besar, menjadi fasilitator di kelompok-kelompok workshop, dan delivering lebih dari yang diharapkan. Di pertemuan di Enghien-les-Bains tahun 2017, Bandung mempresentasikan DesignAction.bdg sebagai salah satu penerapan SDG terbaik pilihan UCCN, sehingga terbuka peluang untuk ngobrol, diskusi dengan banyak pihak. Waktu memandu salah satu sesi workshop di Krakow tahun 2018, Bandung menyerahkan laporannya sebagai fasilitator secara lengkap dan concise. Dengan cara-cara ini, Bandung tidak hanya didengar, tapi juga menjadi dikenal dan bahkan diingat, sehingga selalu dilibatkan dalam berbagai rencana UNESCO dan jejaringnya. 

Manfaat 2: kita berpeluang mempromosikan kota kita di tingkat dunia, bukan hanya potensi kreativitasnya, namun juga kapasitas dan kompetensinya.  

Begitu bergabung dalam kelompok subnetwork dan berkenalan dengan Kota-kota Desain lain, langsung terasa berbagai manfaat langsung terhadap disiplin/ilmu dan profesi desain khususnya, juga sub-sektor industri kreatif lain pada umumnya. Sebagai sesama anggota jejaring, kita bisa mendapatkan informasi terlebih dahulu mengenai kegiatan di tiap kota, seperti konferensi, workshop, pameran, kompetisi, festival dsb. Bahkan di banyak hal, sebagai sesama anggota jejaring, kita mendapatkan penawaran untuk berpartisipasi dengan gratis, atau difasilitasi untuk terlibat, diundang untuk kompetisi desain dengan lingkup terbatas, dan sebagainya. Kegiatan yang bersifat terbuka (tidak hanya bagi anggota UCCN) pun dapat segera didiseminasi, sehingga manfaatnya dapat juga menyentuh pelaku ekonomi kreatif di kota/kabupaten lain di Indonesia. Bahkan tidak eksklusif hanya untuk desain; di tahun 2017 Bandung menyelenggarakan festival film bersama Santos, Kota Film UCCN di Brazil. 

Manfaat 3: kita berpeluang mempromosikan desain dan sub-sektor industri kreatif lain di tingkat dunia, melalui pameran, konferensi, workshop, kompetisi, festival, dsb.           

Tentunya masih banyak lagi manfaat yang bisa diperoleh dari jejaring ini, termasuk juga sebagai pendorong sinergi antar Penta Helix stakeholders secara internal, yang terus berupaya memenuhi komitmen kota terhadap UCCN; menjadi motivasi terselenggaranya berbagai kegiatan desain dengan lebih terstruktur dan berkelanjutan; hingga memberikan ‘tekanan’ pada pemerintah agar menjaga komitmen dalam mempertimbangkan budaya dan kreativitas sebagai strategi pembangunan kota secara proporsional.

Dari pengalaman selama ini, tak terhitung benefit yang bisa kita dapatkan, asal kita juga jeli memanfaatkan segala peluang yang terbuka di depan mata, sambil juga selalu berinisiatif untuk mengambil peran dan berkontribusi secara aktif. 

 

=====

Catatan Tambahan

Nah, sehubungan dengan MMR UCCN yang diserahkan Bandung di akhir tahun 2019 lalu; kebetulan tanggal 24 September kemarin, tepat sehari sebelum ulang tahun Bandung yang ke-201, UCCN mengirimkan hasil evaluasi MMR Bandung City of Design.

Di kolom simpulan akhir, laporan Bandung dinilai sebagai Very Good dan Excellent (entah yang mana seharusnya, karena yang disilang dua-duanya)! Wah, gembira!

Yang dinilai sebagai kinerja utama antara lain adalah komitmen kehadiran di pertemuan tahunan, dan kontribusi kota terhadap jejaring. Di point belakangan ini kelemahan Bandung, karena belum pernah menawarkan diri maupun berlaku sebagai host bagi pertemuan subnetwork atau acara yang melibatkan/mengundang kota-kota sesama anggota jejaring.

Point ini tidak mudah untuk dipenuhi bagi negara seperti Indonesia, yang secara geografis berjarak relatif cukup jauh dari kota-kota anggota lainnya, sehingga tidak terlalu menarik bagi yang hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan perjalanan, kecuali bila dikombinasikan dengan kegiatan lain di wilayah yang berdekatan. Selain itu, penyelenggaraan acara tingkat internasional membutuhkan komitmen dan sumber daya yang memadai, sehingga anggaran kota tidak akan mungkin dapat memenuhi keseluruhannnya, dan memerlukan anggaran dari provinsi dan pusat. Hal-hal lain pun menjadi pertimbangan, seperti kemudahan akses (bandara, jalan bebas hambatan, kereta, dll.), stabilitas keamanan dan politik, fasilitas dan amenities di dalam kota, dsb. Juga ada kebutuhan akan sebuah tim hospitality yang mumpuni, yang harus mampu menawarkan experience yang menyenangkan sejak para delegasi mengatur perjalanan dari kota masing-masing. Tanpa kolaborasi menyeluruh antara pemerintah, dan elemen Penta Helix lainnya, fungsi Bandung sebagai host pertemuan UCCN tidak akan tercapai.

Hal yang disarankan untuk laporan berikutnya adalah kaitan dengan SDG dari seluruh program yang dilaksanakan. Pada laporan ini tertera, namun belum terpetakan secara lengkap pada program-program yang disamapikan.   

Komitmen Kota Bandung yang lain, yang tertulis dalam dossier namun belum terwujud (mis. adanya “taman kota bertema UCCN”), ternyata tidak terlalu berpengaruh pada penliaian, karena nyatanya Bandung mewujudkan lebih banyak inisiatif lain dengan dampak nyata. Laporan Bandung selengkapnya (penyusunannya dibantu oleh tim RupaDesain/ Bandung Design Archive)  dapat diunduh di sini: https://en.unesco.org/creative-cities/sites/creative-cities/files/bandung_311219-report_uccn_2019_final-compresse.pdf

Laporan dari kota-kota UCCN lain dapat diunduh dari situs yang sama: https://en.unesco.org/creative-cities/content/reporting-monitoring

Terima kasih tak terhingga pada rekan-rekan pegiat Desain khususnya, dan pegiat seluruh ekspresi kreativitas dan budaya di Kota Bandung pada umumnya, yang senantiasa menjaga semangat, perjuangan, dan penerapan Desain dan Kreativitas sebagai disiplin ilmu, profesi, cara berpikir, strategi, dan banyak lagi!

Mari kita susun langkah dengan lebih strategis lagi, dengan dampak yang makin terukur, dan antisipasi bagi masa mendatang secara lebih jitu, dengan amunisi kreativitas yang senantiasa membentuk dinamika Kota Bandung.  

Climate Communication Forum #6

CPROCOM CCF6

Sabtu 27 Juni 2020 lalu, saya mengisi salah satu sesi Climate Communication Forum, yang digagas oleh Mbak Emilia Bassar, sesama Climate Reality Leader (CRL). CRL ini adalah sebutan bagi orang-orang yang pernah mendapatkan pelatihan mengenai Perubahan Iklim dari The Climate Reality Project (TCRP) oleh Al Gore. (Saya berkesempatan bergabung saat terseleksi untuk mengikuti pelatihan di Jakarta tahun 2011). TCRP Indonesia dipimpin oleh Bu Amanda Katili, yang juga hadir dan memberikan informasi mengenai TCRPI pada sesi ini. Seluruh CRL berkomiten untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai Perubahan Iklim ini ke komunitas dan jejaring di mana mereka berada, dan sesi Climate Communication Forum ini adalah salah satunya.

Dengan tema Cara Kreatif Kampanye Peduli Lingkungan, sesi kali ini dibuka oleh Wali Kota Bogor, dan dilanjutan dengan paparan dari tiap narasumber. Saya hadir sebagai Bandung Creative City Forum (BCCF), sehingga materi yang disampaikan sebagian besar terkait dengan cara-cara simpul komunitas ini menginisasi dan menggerakkan inisiatif komunitas secara bottom-up, terutama dalam upaya intervensi perbaikan kualitas lingkungan, namun berdampak nyata dalam skala kota hingga nasional.

CPROCOM CCF6 screenshot

Screenshot ruang Zoom dari Mbak Emilia Bassar

Slide di sini menampilkan sebagian dari materi yang saya paparkan pada sesi tersebut: pengenalan tentang BCCF, konsep dan prinsip kerja BCCF, beberapa project terkait lingkungan dan keberlanjutan pada umumnya, dll. “Kampanye lingkungan”, bagi BCCF, akan lebih efektif bila dilaksanakan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang langsung melibatkan segala segmen masyarakat: ibu-ibu, remaja, siswa, dll., dan dikemas dalam format yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.

Kegiatan ini antara lain berupa pengembangan produk lokal, intervensi ruang publik, hingga urban games dan workshop/ praktik design thinking dengan kasus-kasus nyata. Karena kampanye terbaik adalah yang berdampak nyata, dan merupakan hasil bersama.

 

P.S. Artikel mengenai sesi ini: Dorong Kepedulian Lingkungan Melalui Kampanye Tak Biasa

“Masa Cerdas” Kota Bandung

Dalam artikel ini, 5 lessons for smart cities in ASEAN: The example of Bandung, Indonesia* Bandung disebut sebagai termasuk yang terdepan di antara kota-kota di Asia Tenggara dalam hal keterlibatan teknologi dan sistem yang membawanya menjadi “Kota Cerdas”. Hal-hal penentunya adalah, antara lain, komitmen pemimpin daerah, yang didukung oleh seluruh pihak, termasuk komunitas dengan berbagai inisiatifnya yang – walaupun bersifat bottom-up – terus berupaya berdampak luas, hingga skala kota.

Bandung Blog 5

Credits: Yoshi Andrian Amtha (copyright: Future Cities Laboratory, 2020)

Bandung Creative City Forum, salah satu simpul komunitas di Kota Bandung, rutin menyelenggarakan DesignAction.bdg (DA.bdg), sebuah konferensi sekaligus workshop design thinking untuk mendapatkan solusi inovatif bagi berbagai permasalahan mendesak di Kota Bandung, dengan melibatkan Penta Helix stakeholders. DA.bdg 2015 bertema ConnectiCity, dengan fokus pada isu smart city yang kala itu sedang gencar bergaung di mana-mana. Apalagi pemerintah Kota Bandung masa itu mengeluarkan banyak kebijakan dan fasilitasi melalui media internet, aplikasi digital, dan teknologi komunikasi, seperti PPDB online, pajak online, PIPPK, dan sebagainya. Namun permasalahan di lapangan ternyata mencakup bukan sekedar akses masyarakat terhadap teknologi dan piranti yang memadai, namun juga pemahaman terhadap sistem layanan yang lumayan ‘baru’ ini, baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah sebagai operator atau pelaksananya. Sehingga DA.bdg melihat upaya mewujudkan Bandung sebagai smart city bukan hanya dari sudut pandang kecanggihan teknologi atau piranti, namun lebih kepada keterhubungan antara pemerintah dan masyarakat, kebijakan dan implementasinya, serta antar unsur dalam masyarakat itu sendiri, melalui bantuan dan sistem yang tepat guna.

https://youtu.be/7mxYWlAgL3M 

 

Dalam kurun waktu sekian tahun sejak itu, komuntas pun berinsiatif untuk menyusun strategi yang dapat menghubungkan antara gerakan bottom-up dengan penilaian kinerja pemerintah, berdasarkan mindset ekosistem ekonomi kreatif. Dalam upaya ini, Bandung pernah mengalami “masa cerdas” yang cukup menyeluruh. Bukan hanya menjalani keseharian dengan “aman”, tapi juga melakukan berbagai  inovasi pemerintahan dan program-program yang berdampak nyata, dengan melibatkan partisipasi warga/ komunitas secara aktif.

Ayo bikin Bandung lagi!

 

*This article leverages the methodology and the findings of the research project “Translating Smart Cities and Urban Governance in ASEAN” led by the Future Cities Laboratory (FCL) – Singapore ETH Centre and the NUS-Lee Kuan Yew School of Public Policy (2019-2020), focusing on the development of three smart cities in Indonesia: Bandung, Jakarta and Makassar.

It’s Good to Talk, Show 5

Tanggal 10 Juni lalu, saya diajak ngobrol-ngobrol melalui Zoom yang disalurkan juga sebagai program radio, sehingga apa pun yang ditampilkan secara visual, harus disampaikan juga secara verbal. Pembawa acara ini adalah Donald Hyslop, yang terhubung dengan saya melalui jejaring Global Cultural District Network (GCDN), selain juga beliau sebagai Head of Community Partnerships di Tate Modern dan di Better Bankside Cultural District di London; serta Nicole Van Dijk, kurator dan mengepalai program penelitian dan pengembangan di Museum Rotterdam, selain juga Wakil Ketua CAMOC (ICOM Council for City Museums). Selain saya, untuk sesi ke-5 ini, ada juga Paul Howard, kurator di Blackstone Arts Center di NSW, Australia.

Seperti halnya berbagai acara daring lain di musim pandemi ini, It’s Good to Talk juga merupakan upaya agar program-program seni, budaya, dan kreativitas pada umumnya tetap dapat memperoleh saluran ekspresi; dan agar para pelakunya dapat tetap terhubung — bahkan dengan memanfaatkan teknologi yang memungkinkan komunikasi jarak jauh, lintas zona waktu.  

https://youtu.be/tBfGCpW69d8 

Di sesi ini, salah satu yang diangkat adalah Bamboo Dome Project, program kerja sama dengan Prof. Takaaki Bando dari Musashino Art University (Jepang) dengan Program Studi Desain Produk ITB tahun 2012. Gagasan dan konsep tentang hunian masa depan,  pemanfaatan material alam dan perlakuan teknologi dengan lebih bijak dan cerdas, serta cara manusia bertahan dan bertumbuh; semuanya terkandung dalam Bamboo Dome Project ini. Sesi ngobrol-ngobrol ini jadi mengingatkan lagi ke masa itu.

Sesi yang sangat menyegarkan ^_^