Category Archives: Uncategorized

CCI Global Agenda: 11 Key Actions

World Conference on Creative Economy (WCCE) kedua diselenggarakan di Dubai, yang sekaligus menjadi tuan rumah World Expo 2020, 7-9 Desember 2021. Seluruh acara yang sedianya berlangsung tahun 2020, terpaksa seluruhnya diundur ke 2021. WCCE mengambil tempat di bangunan Dubai Expo, yang masih berada dalam lokasi World Expo.

Dalam rangkaian acara WCCE, salah satunya adalah sesi Peluncuran Agenda Global untuk Industri Budaya dan Kreatif (Cultural and Creative Industry/ CCI), yang memuat 11 Key Actions. 11 Key Actions ini disusun oleh International Advisory Council for Creative Industries Policy and Evidence Centre (IAC-PEC) UK yang bermitra dengan British Council

Sebelum masa pandemi, IAC-PEC sempat mengadakan pertemuan secara fisik di London dan Edinburgh; setelah itu pertemuan berlangsung beberapa kali secara virtual. Sekian banyak diskusi telah menghasilkan, antara lain, penelitian bersama, rekomendasi kebijakan, dan sebagainya. Dua tahun setelah terbentuk, IAC-PEC bersepakat untuk membuat sebuah dokumen yang bersifat legacy, yang mengkompilasi pemikiran bersama terkait arah optimalisasi potensi sektor ekraf sebagai solusi bagi berbagai tantangan kritis saat kini. Setelah melalui proses yang cukup alot, dengan sekian perubahan format, akhirnya dokumen tersebut terwujud sebagai CCI Global Agenda: 11 Key Actions.

11 Key Actions ini diluncurkan di hari pertama WCCE, 7 Desember 2021, dengan menghadirkan sebagian dari anggota IAC-PEC sebagai narasumber, yaitu Eliza Easton (UK), Avril Joffe (Afrika Selatan), Laura Callanan (USA), serta saya sendiri; dengan moderator John Newbigin (UK) yang mengetuai IAC-PEC. Sesi ini lebih berupa percakapan pendalaman dari 11 butir tersebut, antara lain mengenai pendanaan, perantara, kesetaraan gender, dan ekonomi informal.

Melalui 11 butir ini, yang langsung merepresentasikan butir-butir terkait dari 17 Tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG), IAC-PEC bermaksud memberikan masukan dan rekomendasi bagi pemerintah pusat maupun lokal, untuk mengarusutamakan sektor ekonomi kreatif sebagai salah satu strategi pembangunan.   

Berikut ini ringkasan 11 Key Actions tersebut dalam bahasa Indonesia, sementara selengkapnya (dalam bahasa Inggris, Perancis, Arab, Spanyol) dapat diunduh di tautan ini: https://www.pec.ac.uk/policy-briefings/a-global-agenda-for-the-cultural-and-creative-industries

1. Pendidikan dan Keterampilan Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8, 10): pengakuan terhadap peran seni dan budaya dalam mengembangkan kreativitas individu di semua tingkat pendidikan dan pelatihan, untuk menjamin kreativitas dan keterampilan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja masa depan untuk mengelola disrupsi dan peluang yang terdapat di area seperti virtual reality, desain berwawasan lingkungan dan kecerdasan buatan. Diperlukan integrasi seni dan budaya, di samping keterampilan dalam sains dan teknologi, dalam segala aspek pendidikan dan pelatihan.

2. Kewirausahaan dan Inovasi Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8): pengakuan terhadap nilai model bisnis inovatif yang muncul dari pemanfaatan teknologi digital dalam CCI; juga tantangan tertentu yang dihadapinya, termasuk kebutuhan terhadap pendanaan termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan dukungan bisnis bagi usaha kecil terkait revolusi digital. 

3. Karir Kreatif, Pekerja Lepas Waktu, dan Penghidupan Informal (SDG 1, 3, 5, 8, 10, 11): kebijakan yang mendukung kondisi kerja yang layak dan perlindungan sosial bagi para pelaku CCI; pengakuan terhadap lumrahnya pekerja wiraswasta, pekerja kontrak, dan pekerja informal dalam sektor CCI.

4. Penelitian dan Pengembangan CCI (SDG 4 ,8, 9): revisi penggunaan definisi “Frascati” dalam litbang yang digunakan oleh para pembuat kebijakan di seluruh dunia, sehingga kebijakan terkait investasi insentif pada inovasi dapat secara baik meliputi seluruh domain pengetahuan, termasuk Seni, Humaniora dan Ilmu Sosial, tidak hanya Sains dan Teknologi.   

5. CCI dan Ekonomi Digital (SDG 4, 5, 8, 9): melibatkan CCI dalam pembentukan kerangka kerja bagi peraturan baru dan infrastruktur yang bertujuan mengatasi isu-isu terkait data dan privacy, platform internet, dan penciptaan & perlindungan HKI. 

6. CCI dan Keberlanjutan Lingkungan (SDG 1, 3, 12, 13); pengakuan terhadap kontribusi CCI dalam menjalankan ekonomi sirkular dan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dampak yang relatif kecil terhadap sumber daya alam dan lingkungan secara fisik. 

7. Kota-kota Kreatif dan Klaster-Klaster Regional (SDG 11, 16, 17): investasi pada CCI tidak hanya di kota-kota besar tapi juga pertimbangkan berbagai peluang di klaster-klaster kecil dan lokal.

8. Pembiayaan Alternatif dalam CCI (SDG 1, 9, 12, 17): bekerja dengan kepercayaan dan fondasi untuk mengembangkan insentif dan jaminan, yang mendorong investasi dari sektor swasta untuk berinvestasi dalam infrastruktur terkait, keterampilan, pasar dan platform menuju pertumbuhan dan pemerataan, dan untuk memunculkan produksi budaya jenis baru oleh komunitas-komunitas kreatif.   

9. Kesetaraan Sosial, Keberagaman Budaya dan Inklusivitas dalam CCI (SDG 1, 3, 4, 5, 10, 12, 13, 16): mendukung segala upaya yang berlanjut dan bertumbuh oleh badan-badan internasional dan pembuat kebijakan nasional untuk melestarikan praktik-praktik budaya dan kreatif, bahasa, pengetahuan tradisional, seni dan artifak dan situs-situs serta naskah pusaka.

10. Standar Internasional untuk Mengumpulkan dan Berbagi Data (SDG 16, 17): mengembangkan standar global bagi klasifikasi CCI dan mata pencaharian kreatif untuk menggerakkan pertumbuhan sebuah berbasis-bukti yang dapat diperbandingkan di skala internasional. Termasuk di dalamnya, upaya yang terkoordinasi untuk memastikan revisi terhadap kode-kode internasional seperti Standard Industrial Classification (SIC) dan Standard Occupational Classification (SOC), mencerminkan sifat perubahan CCI.

11. Kerja Sama Internasional untuk Penyelenggaraan CCI (SDG 1, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 17): menentukan standar global untuk kerja sama internasional terkait perkembangan CCI di seluruh dunia. Hukum HKI, regulasi internet, perpajakan dan kebijakan terkait perlu direkalibrasi menjadi konsisten, inklusif, adil dan bermanfaat secara setara bagi industri dan pemerintah.

DI panggung bersama John Newbigin dan Eliza Easton; di layar hadir pula Laura Callanan dan Avril Joffe yang bergabung dari tempat masing-masing (Amerika dan Afrika Selatan).

Dalam sesi ini, sebagai moderator, John menggali berbagai hal dari para nara sumber PEC yang telah memberikan materi dan referensi bagi 11 Key Actions tersebut. Eliza menjelaskan mengenai PEC dan kegiatannya, terutama terkait berbagai penelitian yang dilakukan oleh Nesta terkait ekonomi kreatif dan kontribusinya terhadap kebijakan di UK. Laura membahas mengenai aspek “ekonomi” dalam “ekonomi kreatif”, terkait pendanaan (alternatif) dan keberlangsungan kegiatan ekonomi dalam berbagai sub-sektor industri kreatif dan perkembangannya. Avril mendiskusikan sektor informal sebagai pendukung industri kreatif, terutama di negara-negara belahan bumi selatan, yang sarat dengan fenomena ini. Saya menyampaikan peran intermediary atau perantara – seperti halnya Indonesia Creative Cities Network (ICCN) di tingkat nasional, atau komunitas skala kota seperti Bandung Creative City Forum (BCCF) – yang dapat mengajukan model dan masukan untuk para pembuat kebijakan terkait ekonomi kreatif dan kota kreatif. Harapannya, bila dapat diadopsi oleh negara-negara yang berpotensi kuat dalam sektor ekonomi kreatif, 11 Key Actions ini dapat menjadi panduan aktif dalam penentuan kebijakan/regulasi, untuk menjawab tantangan SDG.

QR code menuju tautan untuk mengunduh dokumen 11 Key Actions ditayangkan pada layar selama sesi berlangsung.

====

Penelitian mengenai Informal Economy yg dilakukan oleh IAC-PEC di 10 negara bisa diakses di tautan ini: The Relationship between the Informal Economy and the Cultural Economy in the Global South

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

Enam Puluh Persen Saja Dulu, Sanggup?

Kesempatan bersama Kak ET kali ini sangat singkat, namun sarat makna. Dalam rangkaian perjalanannya di Bandung, Sabtu 9 Oktober 2021, Simpul Space #4 di Jalan Braga 3 menjadi salah satu tempat yang disinggahi. Gedung Simpul ini, yang merupakan salah satu aset bangunan heritage kelas A milik Kimia Farma, sementara ini sedang dikelola dan ditempati oleh Indonesia Creative Cities Network (ICCN) dan Bandung Creative City Forum (BCCF). 

Kang Fiki Satari, Abah Kiki Adiwilaga, Kak ET, Tita, Kang Galih Sedayu, Kang Adi Panuntun, Kang Mi-ink Panji, dan Kang Yogi, di depan Simpul Space #4 Jalan Braga 3

Dalam konteks aktivitas komunitas dan karakter Bandung sebagai Kota Desain UNESCO, Sabtu sore itu kita menampilkan potensi creativepreneur, dengan beberapa jenama dalam wirausaha yang dibentuk dan dijalankan oleh para lulusan perguruan tinggi seni rupa dan desain. Para pengusaha dalam sektor industri kreatif ini dengan sendirinya membuka peluang lapangan kerja ketika membutuhkan tenaga penjahit, pembuat keramik, pengrajin bambu, tukang kayu, dan sebagainya, dalam proses produksi dan distribusinya. Penciptaan nilai diperoleh dari proses kreatif dan capaian hasil pemikiran, yang berpotensi didaftarkan sebagai hak cipta, dan bahkan paten, bila mengandung nilai inovasi teknologi dan temuan baru lainnya. Jenama yang hadir mencerminkan potensi desain Bandung, yang tahun ini akan ditampilkan kembali dalam acara Bandung Design Biennale (BDB) dengan tema Excavate. Ketua penyelenggara BDB 2021, Ardo, dan salah satu kurator BDB 2021, Panda, turut hadir untuk menyerahkan buku BDB 2019 dan materi BDB 2021 kepada Kak ET. 

Paparan singkat tentang BCCF, yang kemudian menjadi salah satu forum lintas komunitas skala kabupaten/kota menginisiasi pembentukan ICCN, juga mengenai berbagai gerakan serta aktivisme komunitas di ratusan kabupaten/kota se-Indonesia yang berujung pada formulasi model cara kerja dan metriks yang dapat diterapkan bersama, menyertakan juga slide yang memuat skema kolaborasi antara ICCN dengan Kementerian BUMN. Mengenai hal ini, Kak ET menyatakan akan meninjau ulang, agar benar-benar dapat terjadi komitmen yang berdampak nyata.

Selanjutnya, Kak ET menyampaikan bahwa aktivasi dan gerakan komunitas kreatif ini sebenarnya merupakan Ekonomi Komunitas dalam sebuah Ekosistem Kolaborasi. Sebagai pemerintah (“Yang kebetulan menterinya sekarang ya saya ini”, ucapnya), upaya mengakselerasi peningkatan ekonomi komunitas ini adalah dengan menyediakan kebijakan dan fasilitas seperti yang sedang berjalan saat ini, antara lain KUR Himbara yang menyediakan kredit yang sesuai dengan kondisi UMKM, dan PADI UMKM yang membuka peluang belanja negara ke UMKM lokal, sekaligus mendorong UMKM untuk melakukan digital onboarding. “Biasanya, kalau ganti pejabat, program-program yang sudah berjalan baik, bisa dihentikan. Hanya karena ingin terlihat lebih hebat dari pejabat sebelumnya. Padahal tidak perlu demikian; kalau terbukti memang berdampak positif bagi seluas mungkin masyarakat penerima manfaat, seharusnya dipertahankan.”

Kak ET juga menantang, “Coba cek, yang sedang kita kenakan sekarang: baju, celana, sepatu. Apakah paling tidak 60%-nya buatan lokal? Tidak perlu yang terlalu canggih seperti ponsel dan laptop; cukup barang-barang yang mendasar saja dulu. Upayakan agar beli dan pakai produksi lokal, untuk mengangkat kebanggaan terhadap produk Indonesia, agar jangan jadi slogan semu. Bangga Buatan Indonesia, dengan sesungguhnya.”

Tantangannya tidak berhenti sampai di sini. Kak ET langsung bertatap mata, sambil berucap, “Buat ya programnya, akhir tahun ini harus ada”. Nah, kan. Interaksi dengan Kak ET tidak pernah melompong. Selalu ada komitmen dan target yang harus dipenuhi, dan semuanya realistis, asal kita mau kerja. It takes one hard worker to know another. Siap, Kak, akan kami gencarkan!

Terima kasih atas kunjungannya, Kak ET. Juga atas tularan semangatnya, sebagai sosok yang mewakili pemerintah yang mau mendengar, mendukung nyata, serta mengerti betul seluk beluk para pelaku industri kreatif, artists- & designer-makers, dan creativepreneurs — sehingga dapat menghasilkan kebijakan, regulasi, serta fasilitas yang benar-benar relevan. Semoga saat Kak ET kembali lagi ke Bandung, sudah dapat kami tampilkan bukti lebih dari 60%!

=====

Terima kasih juga bagi seluruh Tim Simpul yang keren, selalu siap sedia menyiapkan ruang bersama kita ini dengan pertimbangan standar keamanan dan kesehatan. Terima kasih tim penyelenggara Bandung Design Biennale 2021 dan juga untuk seluruh rekan jenama Bandung atas partisipasinya; sangat membanggakan!

Ame Raincoat @ameraincoat

Amygdala Bamboo @amygdala_bamboo

Eldine @eldine_

Goodbelly @goodbelly.bdg

KAR @karjewellery

Kayakayu @kayakayu_id

Package from Venus @packagefromvenus

Pala Nusantara @palanusantara

Tuskbag @tusk.id

*Photo credit: Kementerian BUMN

Kerja Konkret (2/2)

Melanjutkan bagian sebelumnya. Selang satu minggu setelah pertemuan di Husein Sastranegara untuk Gerakan Bantu Isoman, Chief ET kembali menyediakan waktu untuk komunitas; kali ini dalam diskusi “Jatim Obah Bareng” dengan Indonesia Creative Cities Network (ICCN). Di awal masa pandemi tahun 2020, ICCN meluncurkan program Aksi Bersama Bantu Sesama (ABBS) dengan lima satgas, Rescue, Damping, Ajar, ICS, dan Pulih. Salah satu upaya Indonesia Pulih 2021 ini diinisiasi oleh Koordinator Daerah (Korda) ICCN untuk Jawa Timur, yang telah berkonsolidasi dengan beberapa stakeholders dalam merancang strategi pemulihan melalui aktivitas ekonomi kreatif. Dipandu oleh Ketua Umum ICCN Kang Fiki Satari, secara bergiliran rekan-rekan jejaring di Jatim menyampaikan berbagai rencana aksinya, hingga pembentukan ekosistem yang paling lengkap: animation & film factory di KEK Singhasari. Mulai dari persiapan SDM bidang animasi, skema pembiayaan, rumah-rumah produksi (Kampung Animasi, Content Garage), hingga agregator dan off taker, dengan proyeksi sekian ratus aset Kekayaan Intelektual dan sekian ribu kreator konten; sebuah sub-sektor yang diyakini terus berkembang dan makin dibutuhkan di masa kini dan masa mendatang.

Mas Wishnutama Kusubandio, Komisaris Utama Telkomsel, Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif 2019-2020, menjembatani sesi berikutnya dengan memperkenalkan Chief Erick Thohir sebagai sosok yang profesional, inklusif, open minded, pekerja keras-cerdas-tuntas, dengan empati yang tinggi. Bukan hanya ini; digital creative pun merupakan bidang yang sangat erat dengan beliau sebelum menjadi pejabat publik. Pemahaman Chief ET terhadap pengembangan usaha berbasis IP rights dan turunannya tidak perlu diragukan lagi.

Chief ET memulai paparannya dengan fakta terkini, bahwa tidak ada satu pun negara di dunia ini yang punya solusi ampuh dalam menghadapi pandemi. G20 bahkan menyatakan bahwa tidak ada peta jalan global dalam menghadapi Covid-19. Negara-negara kecil lah yang paling kesulitan karena keterbatasan sumber daya. Lebih lanjut, berikut beberapa pointers penting:

  1. Hipotesis awal yang memperkirakan vaksin cukup 2x/tahun, nyatanya diperlukan lebih. Virus yang awalnya diperkirakan hanya menyerang yang tua, sekarang justru banyak menggugurkan yang muda. Fakta yang sudah pasti adalah, vaksin mencegah dampak fatal, dan mengenakan masker sejauh ini merupakan cara menjaga diri yang paling efektif.
  2. Tentu saja, kembali, kita pun harus bersiap untuk menghadapi kondisi pasca pandemi. Jangan sampai, begitu kelak pandemi sudah dapat dikendalikan, kita malah gelagapan mencari peluang pekerjaan. Oleh karena itu kita harus mempersiapkan diri, dengan membuat roadmap bersama.
  3. Identifikasi sejak kini, industri apa yang akan tetap hidup dan terus berkembang? Industri konten masih tetap memimpin, juga makanan (jenisnya apa, cara tanamnya bagaimana), serta kegiatan belanja dan turunannya (e-commerce, dsb.). Sejak sekarang kita sudah harus mulai menanam pohon, yang berbuah, sehingga komunitas bisa bernaung hidup di bawahnya.
  4. Potensi kita terletak pada pasar yang sangat besar di dalam negeri, dominasi penduduk usia muda, serta potensi mereka dalam menjadi trend-setter, terutama karena berakar dari kekayaan budaya yang sangat kuat.
  5. Melihat potensi tersebut, seharusnya Indonesia berpeluang menciptakan pop culture yang unggul, beserta turunannya.
  6. Pengembangan ini pun memerlukan pembentukan ekosistem, seperti halnya yang dilakukan di KEK Singhasari, yaitu adanya skema pendanaan, pendampingan untuk menjaga kapasitas dan kualitas sumber daya, serta penciptaan pasar.
  7. Kita perlu melakukan pemetaan potensi dan kapasitas per wilayah, per pulau, per kota; ada wilayah yang utamanya menjadi pusat produksi, ada yang menjadi ranah pasar, dan sebagainya. Dengan demikian, kita bisa menentukan strategi yang tepat bagi pengembangan tiap wilayah.

Mengakhiri paparannya, Chief ET menyatakan bahwa kita ini sudah kerja konkret, tapi masih fragmented; akan lebih berdampak signifikan kalau kita berkolaborasi. Beliau memberikan contoh kerja sama BUMN dengan pihak-pihak seperti TNI dalam menyediakan obat bagi yang melakukan isolasi mandiri, dengan Kementerian Kesehatan dalam mempraktikkan telemedicine, serta terkait UMKM yang difokuskan pada pemakaian masker, penyediaan sembako, serta obat.

==========

Dalam sesi diskusi, saya sampaikan bahwa langkah-langkah ICCN selama ini ternyata lumayan sinkron dengan apa yang dipaparkan oleh Chief ET. Terutama tentang penciptaan ekosistem (dalam konteks ekonomi kreatif), dan pemetaan potensi masing-masing wilayah (indeks ko/kab kreatif sebagai alat pembantu penentu kebijakan sesuai dengan potensi lokal dalam ekosistem ekraf). Banyak hal yang telah menjadi upaya ICCN, namun kita juga perlu meningkatkan program-program tersebut, dengan menyambungkannya dengan lembaga yang berwenang. Misalkan untuk sertifikasi keterampilan (up-/re-skilling) dalam berbagai sub-sektor industri kreatif, penyusunan roadmap ko/kab berdasarkan potensi ekraf wilayah (evidence-based policy), dan sebagainya. Dengan kapasitas tersebut, ICCN selalu terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak, namun tantangan terbesar biasanya justru berasal dari pemerintah daerah. Apa yang sebaiknya kami lakukan untuk levelling up tersebut, apakah harus dengan MoU resmi, atau bagaimana?

Sebelumnya, disebut juga tentang G20. ICCN telah terlibat sebagai knowledge partner U20 dalam merumuskan rekomendasi kebijakan berjudul “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” (2020) dengan argumen bahwa peluang pekerjaan masa depan bagi usia muda adalah dalam sektor ekraf, dengan pemanfaatan teknologi. Di 2021 ini ICCN kembali bermitra dengan T20 untuk menyusun rekomendasi kebijakan terkait peran ekraf sebagai solusi pandemi. Dengan terus didorong melalui dokumen-dokumen ini, harapannya sektor ekonomi kreatif dapat diangkat menjadi salah satu bahasan di G20 Summit, yang akan diselenggarakan di Indonesia tahun 2022.

Menanggapi ini, Chief ET bilang bahwa pertanyaan ini sebenarnya sudah terjawab dengan sendirinya. Satu hal yang harus selalu diingat, fokuskan seluruh kegiatan untuk menolong sesama, berdampak nyata, tanpa harus bergantung pada pihak-pihak yang kontraproduktif.

Terakhir, namun belum sempat disampaikan langsung, adalah tentang positioning Indonesia secara global dalam konteks ekonomi kreatif. Dua momentum penentunya adalah World Expo, Dubai 2021, dan World Conference on Creative Economy (WCCE).

==========

Senang mendapat kesempatan ini, dan menyaksikan sendiri true leadership in action. Tidak hanya benar-benar memperhatikan setiap kami yang hadir melalui layar, satu per satu, namun juga langsung menindak-lanjuti sesi diskusi tadi dengan koordinasi langkah berikutnya untuk langsung mulai, bergerak, bekerja, untuk berdampak dan bermanfaat seluas mungkin. Terima kasih, Chief, telah menunjukkan bahwa kita sesungguhnya berdaya, powerful, dan seharusnya mampu melalui masa krisis dengan baik, dengan pola pikir dan semangat kolaborasi.

==========

Beberapa tautan yang memuat berita pertemuan Chief ET dengan ICCN, 17 Juli 2021:

  1. Perlu Sinergi Menciptakan Kultur Pop ala Indonesia https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/07/17/perlu-sinergi-menciptakan-kultur-pop-ala-indonesia
  2. Erick Thohir Ungkap Mengapa Indonesia Harus Jadi Negara Pop Culture https://ekbis.sindonews.com/read/486530/34/erick-thohir-ungkap-mengapa-indonesia-harus-jadi-negara-pop-culture-1626613623
  3. Wahai Pelaku Industri Konten, Menteri Erick: Jangan Takut, Nanti Uangnya Dicariin https://ekbis.sindonews.com/read/486374/34/wahai-pelaku-industri-konten-menteri-erick-jangan-takut-nanti-uangnya-dicariin-1626599262   
  4. Erick Thohir akan Rumuskan Roadmap Industri Kreatif https://www.republika.co.id/berita/qwe61r320/erick-thohir-akanrumuskan-roadmap-industri-kreatif
  5. Erick Thohir ajak pelaku kreatif buat peta jalan industri pasca-COVID https://m.antaranews.com/amp/berita/2273666/erick-thohir-ajak-pelaku-kreatif-buat-peta-jalan-industri-pasca-covid
  6. Erick Thohir Siap Carikan Dana untuk Industri Ekonomi Kreatif https://www.idxchannel.com/economics/erick-thohir-siap-carikan-dana-untuk-industri-ekonomi-kreatif
  7. Erick Thohir Sebut Industri Kreatif RI Bisa Setara AS-Korea, Caranya? https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5647164/erick-thohir-sebut-industri-kreatif-ri-bisa-setara-as-korea-caranya
  8. Erick Thohir ke Industri Kreatif: Jangan Takut, Nanti Uangnya Dicari https://economy.okezone.com/read/2021/07/17/320/2442203/erick-thohir-ke-industri-kreatif-jangan-takut-nanti-uangnya-dicari
  9. Siap Jadi Negara Pop Culture, Erick Thohir Bakal Bentuk Roadmap Industri Kreatif di Indonesia Pasca Covid-19 https://kuyou.id/homepage/read/23861/siap-jadi-negara-pop-culture-erick-thohir-bakal-bentuk-roadmap-industri-kreatif-di-indonesia-pasca-covid-19
  10. Erick Thohir Ajak Pelaku Kreatif Bikin Peta Jalan Industri Pasca Covid https://www.limapagi.id/detail/CH9KB/erick-thohir-ajak-pelaku-kreatif-bikin-peta-jalan-industri-pasca-covid
  11. Erick Thohir Yakini Tiga Fondasi Ini Bisa Bikin Indonesia Jadi Negara Pop Culture https://www.idxchannel.com/economics/erick-thohir-yakini-tiga-fondasi-ini-bisa-bikin-indonesia-jadi-negara-pop-culture
  12. Merancang Roadmap Industri Kreatif Saat dan Pasca-Pandemi https://monitorindonesia.com/ekonomi/merancang-roadmap-industri-kreatif-saat-dan-pasca-pandemi/

G20 Culture: Design for Social Change

It is such a great honour to have the opportunity to represent Bandung Creative City Forum (BCCF) and Indonesia Creative Cities Network (ICCN) in G20 Culture Webinar: Building capacity through training and education, themed “Human Capital – The Driver of Culture-led Regeneration” that took place on Tuesday, 13 April 2021.

I was asked to discuss the topic Design for Social Change in Session II – Changing perspectives for cultural heritage. Each speaker was allowed 5 minutes each, with a maximum of 3 slides that illustrate the points. It always takes an extra preparation in order to be so concise. 

Here I’m attaching my slide deck, some have appeared in previous presentations, but with a bit of modifications, and the text that I prepared prior to the session in order to make the 5 minutes duration. The presentation is titled Inclusive Creative Economy for A Resilient Society.

==========

Good afternoon, or evening in my time zone,

It is such a great pleasure to be able to share a bit of thoughts in this prominent forum, about design for social change, within the context of perspectives for cultural heritage. Thank you to G20 for this valuable opportunity.

Most of my viewpoints in this talk would come from the perspectives of communities. 

Please allow me to start with the City of Bandung as an example, to talk about Design and Social Change. Bandung joined UNESCO Creative Cities Network as a City of Design in 2015, by referring to DESIGN not only as a certain aesthetics or functional qualities of an object, service, or system. But as a tool of thinking, applied by citizens and communities to respond to their surrounding problems. 

We use CREATIVITY as a strategy to lessen the gap between people and government, between people and policy. We have been doing interventions in public spaces in the form of urban games, raising many urban issues such as green open space, heritage, local SMEs, and so on. 

We have been making experiments and PROTOTYPES of urban solutions, to show how a city can work better. We create experiences of how a city can be more liveable and loveable.  

IN THE NEXT SLIDE we illustrate that we practice the concept of URBAN ACUPUNCTURE that considers a city as an organic entity, not unlike a human body. It has its centres for thinking, breathing, sensing, and disposing; systems that process and distribute nutritions, energy, and waste. It has memories and hopes for the future.

These urban interventions are within the contexts of CREATIVE ECONOMY ECOSYSTEM, leading to the establishment of Indonesia Creative Cities Network, a hub organisation that connects community members in more than 200 cities from all over Indonesia, each implementing similar methods for its own particular issues and priorities. 

Society becomes an active stakeholder of a city, building social innovations and resilience, to create an inclusive, urban future. In THE NEXT SLIDE, we have a model – taken from our white paper and policy recommendations for U20 Riyadh 2020 – that illustrates how CREATIVE ECONOMY supports a HUMAN-CENTRED DEVELOPMENT to achieve the Sustainable Development Goals. 

Here we discuss how people in Creative Economy sectors are most capable to adapt to future challenges, due to their three main characteristics: (1) High-order cognitive skills, such as originality, which tend to actively seek out new business ideas to enhance various traditional services; (2) Technology savviness in the various aspects of business, the agility in combining or mastering advanced technology that has become indispensable in creative industries products and services; (3) Skills that characterise creative communities; the interpersonal ability that has been co-existing within the creative economy ecosystem, where individuals and communities blend to redefine the conventional concepts of “professions” into the more updated contexts of “roles” and “functions” with higher flexibilities in current and future occupations.

We are convinced that inclusive creative economy lead to wide opportunities for relevant growth of societies that are resilient to answer to the challenges of SDGs; including the preservation and activation of cultural heritage, in choosing what’s relevant, in order to create their own ‘living heritage’ to hand over to the future generations.      

With this, I conclude my talk. Thank you.

==========

The discussion that occurred afterwards was quite engaging. Concerning cultural heritage, both tangible and intangible – sure, some of us are still fighting to “preserve” them, but it’s more or less about perception, too: who decides that something is worth preserving, or erasing? Which narratives – that come along with the cultural heritage – do we want to keep? This has been among the debates around cultural heritage preservation, especially in South East Asia, where not everything conveys messages that people want to retain. Some would even consider that preserving them means retaining the unwelcome ideas.

This is where our urban acupuncture in the forms of public space interventions and urban games play a role. We (re)connect people with their living spaces and activities, using different angles in game scenarios and raising awareness of overlooked local treasures. Design and design thinking are essential in the planning and executing the whole activities; and, as acupunctures go, consistency leads to real impacts: improvements in public facilities, a new bill on creative economy, higher appreciation for local SMEs, and so on.

Back to the subject of heritage. A late professor who attended my doctoral public defence once said, a city without its (cultural) heritage is like a person without his memories: it has no recollection of its identity and journey. Of course not all memories are pleasant, but didn’t the bad ones teach us some lessons, that also made us who we are today?

As long as we can point out the relevances of our cultural heritage for the future, it will be maintained, preserved, and even activated. Our choices today, in doing and making things, will create “heritage” for the future generations. Realising this, and perhaps to end this writing with some reflections: what kind of stories and memories do we want to handover to the next generation? What kind of cultural heritage would we like for the next generation to maintain and live in? How would these thoughts determine our choices? 🙂

DS4208

Art, Design, and Environment (SENDAL)

Dear SENDAL participants,

This term we are starting again with Art, Design and Environment (Seni, Desain, Lingkungan/ SENDAL) course. This is an obligatory course for all bachelor students at The Faculty of Art & Design (FSRD), and therefore this class is attended by up to 250 people. Lecturers for this course are from all programs at FSRD ITB: art, craft, interior design, industrial product design, and visual communication design; who are each taking a turn to give an overview about the environmental issues relevant to art and design. As done in previous classes, we will also conduct projects (in groups) in phases; each phase will be graded as assignments, mid-term, and end-term exams.

The theme for this semester is COLLECTIVE IDENTITY (see this post for further explanation). The phases of the assignment, up to the final assignment (screening and exhibition) are as follow:

  1. 14 February 2014 Submission of Ideas/Project Proposals
  2. 28 February 2014 Reviewed Proposals are returned for revision
  3. 21 March 2014 Mid-Term Exam: submission of revised proposals, completed with visualizations and/or additional data
  4. 9 May 2014 Pre-End-Term Exam: submission of assigned documents: reports and (documentary) videos of the projects
  5. 16 May 2014 End-Term Exam: exhibition of all creative intervention documents and results, and screening of the (documentary) videos

Please mind the timing and the preparation of the End-Term Exam, because participants of this class need to arrange everything (the exhibition display, venue, screening set, etc.) themselves, in order to get grades for End-Term Exam. Further questions can be addressed to me directly, or through the lecturer assistants of this class.

Have fun!

My Gaiman Encounters

My little sister is actually the one who discovered Neil Gaiman’s works first, before I did, and sort of introduced them to me, indirectly. In the first years of my living in The Netherlands (early 2000), Lambiek comics shop in Amsterdam also took part in introducing me to more of his works. It didn’t take long until I became absorbed in them. The Internet era was young, then, when Multiply and Yahoo!Messenger were hip, and mailing-lists were insanely active, and, most importantly, when blogs flourished. And I was happy to find that Neil Gaiman keeps a blog, too, and used to be quite diligent in updating it. So, having been converted to a Gaimanite, I accessed his blog as a daily routine. Coming from a generation whose teenage years were filled with writing mails to their idols overseas (as in: with pen on papers, put them in envelopes, glued stamps on them and actually brought them to a post office), and having to wait for weeks until a response came (or none at all), I really feel the magic of the Internet and blogs. Surprises followed afterward…

It was April 2003; I was halfway pregnant with our second child when I read a pamphlet that announced a Gaiman event in Rotterdam, The Netherlands. In those years, I had to commute weekly, by train, from Amsterdam (home) to Delft (campus) for my doctoral research, and Rotterdam is along the way. I was right away determined to get my first star-struck. I told my sister, who lived in Jakarta, about this event, and she asked me to have a book signed for her. No problem. I planned to bring more stuff for him to sign, anyway: my drawing of Dream and Death.

He's browsing my sketchbook!

He’s browsing my sketchbook!

The only photo I have with both of us looking at the camera

Cheers!

Here’s a chronicle of that evening, that used to be up at my Multiply, and now (since Multiply is dead), at my Blogspot: The Day I Met Neil (the links to the photo pages no longer exist). That was my first encounter with Neil Gaiman. The impression stays for years.

Dream and Death in batik

Dream and Death in batik

D-Day 25 April 2003

D-Day 25 April 2003

(facepalm)

(facepalm)

The second encounter was almost invisible. Next to Neil Gaiman’s works, I’m also a fan of Eddie Campbell’s, and as soon as I got my hands on The Fate of The Artist, I like it so much that I had a feeling I should let him know that it is such an amazing work. But how? He hasn’t had any blog then, and there’s no way I could find his email address. So I dared myself to leave a message to him through Neil’s blog, posted a link to my review (at my blog) of The Fate, with the hope that he’d relay the message, considering that they know each other well.

The email that got me jumping out of my chair

The email that got me jumping out of my chair

And then I got my surprise: within a day after I posted that message at Neil’s blog, an email from Eddie Campbell came into my inbox! That was July 2006, he said Neil forwarded him the link to my blog, and signed his email “Richard Siegrist” above an attached photo. I was star-struck again and was too nervous to reply. But I did. I was such a brave girl. (And he’s super nice!) I even drew the moment I almost jumped out of my chair when his email came, and sent the scanned drawing to him.

When I received Eddie's email...

When I received Eddie’s email…

(still star-struck)

(still star-struck)

Couldn't get over it.

Couldn’t get over it.

What happened afterward constituted a series of more surprises: he was willing to endorse my first book (a graphic diary titled Curhat Tita) in 2008, and he and his family hosted me for a weekend at their house in Brisbane, Australia, in 2009. But that’s another story. Now let’s go back to my next encounter with Neil Gaiman…

January 2009. I was back to living in Bandung (West Java, Indonesia), already since the beginning of 2007. My absence from this city comes near to 10 years, so I gradually discovered new establishments, such as a second hand English bookshop that also serves food and drinks, called The Reading Lights. One day I ordered a house-mixed coffee named Neil Gaiman and wrote about it in my Multiply, titled Gaiman is less sensible, compared to Pamuk. I mentioned about it to Neil Gaiman (again, via a posted message in his blog) and thought nothing more of it. Much later, a comment at that article in my blog remarked that Neil mentioned me in his Twitter. What’s a Twitter?! I didn’t know, so I went and checked, and got hooked. [In this case, Neil Gaiman is the one who introduced me to Twitterverse!]

Choose your bev.. er.. author

Choose your bev.. er.. author

My Gaiman peanut-butter coffee

My Gaiman peanut-butter coffee

I got star-struck again, moreover because Neil talked about that coffee in his blog http://journal.neilgaiman.com/2009/01/happy-and-wise-in-our-giant-hologram.html, then a related post followed in April http://journal.neilgaiman.com/2009/04/all-questions-all-time.html. It went viral since The Guardian picked it up and put a piece of article about it: Is Neil Gaiman your cup of novelty coffee? Then drinks with authors’ names went around the Internet for a while, before they died down a couple of weeks (months?) later.

Neil's blog post

Neil’s blog post

The article at The Guardian

The article at The Guardian

Alright, that’s about the end of my story right now. I’m just glad I had the chance to meet a person whose works have accompanied me through most of my commuting trips and journeys, and have succeeded in enticing my thoughts and fantasies. For this small piece of my life, I am eternally grateful.

Story of a City Forest

Not every city has a natural forest, moreover a World City Forest, like we have in Bandung: Babakan Siliwangi (BakSil). Now that we have one, what do we do with it? Merely disrupting it by replacing the trees with massive concrete buildings would be unimaginable, since that is the same as destroying the forest; but this is what seems to be the near future of BakSil City Forest if local people and communities do nothing about it.

Forest Walk at Babakan Siliwangi. (c)GalihSedayu2013

Forest Walk at Babakan Siliwangi. (c)GalihSedayu2013

Therefore, several communities have been holding events in this area to activate the idle space, while inviting more people to interact with the forest. Among the communities is Bandung Creative City Forum (BCCF), an independent organization that has previously hold two events to intervene BakSil. The first one was in 2011, during TUNZA: having BakSil declared as a World City Forest and building a canopy walk, presently called ForestWalk, at the premise. The second one was in 2012, with an event called Lightchestra as the opening of Helarfest2012: a three-days sound- and light-play in the forest, with an open-air concert of local indie bands, painting artists’ live performances, a photography contest, a paper lantern workshop for children, communities that perform best at night such as B.U.L.B. (Barudak Urban Light Bandung, a light graffiti community) and Bandung Urban Jedi; also collaborating with an environmental organization to limit and measure solid waste (food packaging, plastic bags, etc.) produced during the event.

"Al Fresco" forest picnic at Forest Walk during REGIA. (c)GalihSedayu2013

“Al Fresco” forest picnic at Forest Walk during REGIA. (c)GalihSedayu2013

This time, as the first 2013 program, BCCF held “Regia”, which aimed to refresh our relationship with our only city forest. The name “Regia” was taken from a dominant tree species that grows within the area, Delonix Regia, or Flamboyan in local name. During the two days of Regia, 20-21 April 2013, a lot of people gathered for various events, such as “Al-Fresco” or potluck picnic at the ForestWalk, children activities and games, open library, photo exhibition, morning yoga, forest dinner, live blues performance “Blues Leuweung” by several local blues musicians, and a discussion session about urban forest to close the series of event. An infographic, that was especially made for this event and was published in a regional newspaper and online social media, presents a number of facts about BakSil City Forest and how important it is for us.

From time to time, we need to celebrate our public space. Especially in a dense, growing city with substandard infrastructures like Bandung, whose inhabitants often need to take their own initiatives to improve their living environment.

After Regia, it seemed that there is hope that the company who has the developing right over BakSil would postpone its plan to build any commercial entity on the area. But our hope is yet again on trial, due to today’s update that the developer now has possessed permission to actually build a restaurant. Irritated as we are, we shouldn’t lose focus and conduct, within our capacity, smart responses to this issue. Let’s just make sure with all of our might that the story of our city forest continues for generations, onwards.

Related links:

Today’s news: the company is granted a permission to build on that area

Why we should care about our city forest

I wish these trees could stay

BCCF event announcement: REGIA

A photo essay by Galih Sedayu: on REGIA event

A photo essay by Galih Sedayu: about a series of graffiti that protests the commercialization of the city forest

Why we should care about our city forest

Regia Infographic

Regia Infographic by BatasFana (c)2012

Babakan Siliwangi, a Green Open Space in Bandung, is maintained as a preserved area up to today. On September 27, 2011, Babakan Siliwangi was declared as a World City Forest by the United National Environment Program (UNEP) in TUNSA event (an International Children and Youth Conference on Environment). There are not too many people, even those living in Bandung, know about Babakan Siliwangi City Forest, including a number of its interesting facts. Therefore, a wider dissemination is necessary, in order to reintroduce Babakan Siliwangi City Forest, among other by conducting a variety of creative activities in the area, and by spreading the information about the area. Following are a number of facts about Babakan Siliwangi City Forest.

In the earlier days, there were twelve fresh water springs within Babakan Siliwangi City Forest area, but today only one is left. Soil water surface has been reduced from 22,99meter to 14,35meter (data from 1999). If the area of this city forest is reduced, so will the soil water surface, due to the reduction of its absorbing area.

Babakan Siliwangi City Forest is a habitat for 120 plant species and 149 animal species. It is also a transit spot for six species of migrating birds. If this forest area is gone, the migration route of these birds will be cut.

Trees that grow within the area are, among others, Cola (Cola nitida) and Sempur (Dillenia Indica L.), but the dominant one is Flamboyan (Delonix Regia). Plantations in this area function as a buffer for air and noise pollutions. Whoever spends time in the middle of this city forest will feel a sense of serenity, although it is located very near to crowded big roads.

The width of canopy from the trees that grow in the forest reaches up to 5 hectares, while the width of Babakan Siliwangi area itself is only 3.8 hectares. The canopy functions as a shade that can reduce stress in human beings that stand under the area, since the trees also produce Oxygen.

The function of trees in this area as CO2 absorbance reaches up to 13,680 kilograms per day, while releasing O2 up to 9,120 kilograms per day. If the price of pure O2 is up to IDR 25,000 per liter, then the economic value of Babakan Siliwangi reaches up to IDR 148,000,000. From this calculation, it can be figured that if the area of Babakan Siliwangi is reduced even “only” up to 20%, Bandung will have a loss of about IDR 10 billion.

This information is only a few, compared to all the facts around Babakan Siliwangi City Forest, and these are facts that can mostly be observed and measured. However, beyond these facts, there are other evidences such as people’s interaction, communal activities, and social relationships that are established due to the existence of this unique, open urban space, such as this city forest. Such advantages cannot merely be quantified, since their widespread impacts and sustainability cannot be measured in a short, limited time scope. Judging from the height of activities in this area, which shows the crucial role of an urban space that invites its citizens to come out and enjoy their habitat, it can be concluded that Babakan Siliwangi City Forest should be preserved as a qualified Green Open Space that is kept open for all Bandung citizens.

*the Indonesian version of this article was published in Pikiran Rakyat

From Bawet to the World

The League of Change official billboard.

The League of Change official billboard.

As I mentioned in a previous post; I’m a mere supportive onlooker of this community. This time they’re at it again. The League of Change was held again in Bandung, to select Indonesian team for Homeless World Cup (HWC) 2013 in Poland!

Approaching Bawet "soccer field", which is actually an empty space below Pasupati flyover.

Approaching Bawet “soccer field”, which is actually an empty space below Pasupati flyover.

Media exposure, subsequent to their achievement at HWC in Mexico City, has made their reputation reach to a much wider audience, who got inspired as well. Nonetheless, the team stays humble, but still aims for improvement. For, this time, there is also a women team!

The League of Change (LoC) gathered several teams from all over Indonesia, all bearing the stigma as marginalized and/or discriminated groups of society. Through football, their fellowship strengthens, from what I witnessed upon watching the finals of LoC.

The championship was held at a very insignificant venue; an empty, dusty space under a flyover, surrounded by dense urban kampongs, in a district called Bawet (an abbreviation for Bandung Wetan). However simple, this venue holds lots of unbeatable memories of events, such as when the 2012 national team played soccer for 24-hours non-stop as a proof of their vow when their prayer for gathering enough funding to go to HWC in Mexico City was granted. This place contains tears of disappointments and joys, shouts of anger and pride, whispers of sadness and hope. It is Alive with emotions.

The soccer field is determined by four "walls" and high nets.

The soccer field is determined by four fences with high nets.

It is from this Place that LoC formed, once again, national teams (men and women!) for HWC 2013. Congratulations, good people, for you have achieved what not just anyone can, by having the Courage to accept, the Willingness to excel and the Hard Work to prove it all. Take our hopes and inspirations along, show the world that you’re indeed “greater than trophies, more honorable than any title”!

Membeli Kayu Sonokeling, Segoroyoso-Wonosari

Sonokeling merupakan salah satu kayu eksotis Jawa, di mana bagian tengah kayu berwarna hitam gelap dengan urat-urat kayu yang sangat indah. Kayu kehitaman dengan nuansa kehijauan, keunguan, kekuningan, kemerahan, tergantung lokasi dan jenis tanah di mana dia hidup. Wonosari merupakan daerah yg sesuai, ini terlihat dari luas penampang ‘galeh’ kayu yang hampir penuh menutup seluruh penampang melintang batang. Kayu sonokeling ini semakin langka, karena cukup banyak juga industri yang menggunakan bahan yang sama dengan volume yang tinggi, bahkan ada yang diproses hanya dalam bentuk papan dan kemudian diekspor. Kayu ini memiliki kecepatan tumbuh yang lambat, konsumsi nampaknya melebihi kecepatan tanaman ini beregenerasi. Magno dalam 1 tahun hanya membeli maksimum 4 truk atau setara dengan 4x4m3 log (16 btg pohon), mampu menghidupi 35-40 perajin dalam setahun dan terus melakukan penanaman kembali. Saat ini saya telah memiliki 300 batang sonokeling yang saya tanam di lahan sendiri dan ratusan yang ditanam petani di lahan masing-masing secara tersebar.

Singgih S. Kartono, 25 Januari 2013

tanah lereng dipinggir kali kuas ini saya beli murah karena katanya 'wingit' ... setelah dibersihkan dan digarap kembali ternyata menjadi tidak menyeramkan

tanah lereng dipinggir kali kuas ini saya beli murah karena katanya ‘wingit’ … setelah dibersihkan dan digarap kembali ternyata menjadi tidak menyeramkan

setiap membeli pohon ke penebang, saya selalu mengedukasi ke mereka ttg pentingnya melakukan penanaman kembali. dan menyampaikan bahwa saya telah melakukan penanaman kembali. "mas, kalau anda menanam kembali pohon yg anda tebang, rejeki akan terus mengalir"... bhs sederhana semacam ini sering mengena mereka. atau saya juga sering mengajak mereka untuk menjadi pedagang kayu yg berbeda, berbeda karena melakukan upaya penanaman kembali. saya sampaikan ke mereka, menanam kembali tidak membutuhkan biaya besar, hanya perlu niat dan ketekunan menjalankannya.

setiap membeli pohon ke penebang, saya selalu mengedukasi ke mereka ttg pentingnya melakukan penanaman kembali. dan menyampaikan bahwa saya telah melakukan penanaman kembali. “mas, kalau anda menanam kembali pohon yg anda tebang, rejeki akan terus mengalir”… bhs sederhana semacam ini sering mengena mereka. atau saya juga sering mengajak mereka untuk menjadi pedagang kayu yg berbeda, berbeda karena melakukan upaya penanaman kembali. saya sampaikan ke mereka, menanam kembali tidak membutuhkan biaya besar, hanya perlu niat dan ketekunan menjalankannya.

menanam sonokeling, menanam untuk anak cucu kita.. karena kita juga telah dihadiahi oleh kakek buyut kita

menanam sonokeling, menanam untuk anak cucu kita.. karena kita juga telah dihadiahi oleh kakek buyut kita

baru kali ini saya harus melihat sendiri pohon sonokeling yg akan ditebang, ada perasaan sedih dan tidak tega melakukannya... karena pohon ini telah tumbuh puluhan tahun, bisa jadi lebih tua dari umurku sendiri... namun saya bisa merasa sedikit tenang, karena telah lama melakukan penanaman kembali tanaman ini. pohon ini terendam bagian bawah karena baru saja hujan deras sehari sebelumnya. saya sempat khawatir kualitas 'galih'nya kurang bagus, tapi ternyata cukup baik.

baru kali ini saya harus melihat sendiri pohon sonokeling yg akan ditebang, ada perasaan sedih dan tidak tega melakukannya… karena pohon ini telah tumbuh puluhan tahun, bisa jadi lebih tua dari umurku sendiri… namun saya bisa merasa sedikit tenang, karena telah lama melakukan penanaman kembali tanaman ini.
pohon ini terendam bagian bawah karena baru saja hujan deras sehari sebelumnya. saya sempat khawatir kualitas ‘galih’nya kurang bagus, tapi ternyata cukup baik.

keindahannya merupakan rekaman perjalan hidupnya...

keindahannya merupakan rekaman perjalan hidupnya…

harga kayu sonokeling log sekarang ini sekitar Rp. 6 juta/m3, kayu ini semakin langka dan akan semakin mahal. proses penanamannya sebenarnya sederhana, hanya dengan stek akar. namun membutuhkan kesabaran yg luar biasa menanti dia dewasa, bahkan kerelaan ketika kita nanti tidak memanennya. menanam sonokeling adalah menghadiahi generasi penerus kita karena kita telah menerima hadiah tersebut saat ini.

harga kayu sonokeling log sekarang ini sekitar Rp. 6 juta/m3, kayu ini semakin langka dan akan semakin mahal. proses penanamannya sebenarnya sederhana, hanya dengan stek akar. namun membutuhkan kesabaran yg luar biasa menanti dia dewasa, bahkan kerelaan ketika kita nanti tidak memanennya. menanam sonokeling adalah menghadiahi generasi penerus kita karena kita telah menerima hadiah tersebut saat ini.

jumlah lingkaran tahun 23 = umurnya 23 tahun

jumlah lingkaran tahun 23 = umurnya 23 tahun