Monthly Archives: September 2019

Ada Apa di Ternate?

Ada apa di Ternate?

[34.000 DPL, antara Manado dan Jakarta, 8 September 2019]

PHOTO-2019-09-08-06-56-29

Catatan ini mulai ditulis dalam pesawat yang sedang terbang menuju Jakarta, dari Manado, dalam rangkaian perjalanan pulang menuju Bandung dari Ternate. Iya, seharusnya pagi tadi sudah tiba di Jakarta dengan pesawat yang terbang langsung dari Ternate, lalu langsung sambung jalan darat ke Bandung. Tapi pesawat pagi tadi batal berangkat, ada masalah teknis, lalu kami jadinya harus pindah maskapai. Anyway, yang penting akhirnya ada kepastian bisa berangkat pulang dengan aman. Agak-agak loncat dari satu pulau ke yang lain, tapi pasti pulang. 

Ada apa di Ternate? Ada hal-hal menakjubkan beberapa hari belakangan ini. Ada banyak hal yang menjadi pelajaran berharga, yang seharusnya bisa menjadi modal untuk memilih arah langkah selanjutnya. Dari mana ya memulai ceritanya. Oke, mungkin dari adanya sebuah organisasi bernama Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang tidak ada pembandingnya di Indonesia ini. 

Seperti namanya, ICCN ini adalah sebuah wadah di mana “kabupaten dan kota kreatif” bertemu untuk menjalin hubungan yang sinergis. Kabupaten/kota yang tergabung dalam ICCN ini masing-masing diwakili oleh komunitas yang telah menggerakkan aktivitas ekonomi kreatif di wilayahnya. Tak jarang, mereka juga sekaligus berperan dalam arah pembangunan wilayahnya, dengan mengandalkan daya cipta dan potensi kreativitas para anggotanya. Birds of a feather flock together. Berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta gencarnya pemakaian media sosial, terutama di kalangan muda, tidak suit bagi komunitas-komunitas ini untuk saling menemukan satu sama lain, kaumnya yang serupa, baik secara fisik maupun virtual. Satu demi satu hubungan dengan niat baik mulai dirajut, titik-titik produktif dihubungkan sesuai porsinya, sehingga terbentuklah sebuah jaringan yang hidup, aktif, dan bersemangat. Sejak diinisasinya pada awal tahun 2015, hingga di paruh tahun 2019 ini, ICCN telah menghubungkan komunitas kreatif di lebih dari 200 kabupaten/kota se-Indonesia.                

Ketika sebuah kumpulan bertumbuh menjadi semakin besar, dengan sendirinya sebuah sistem governance untuk mengatur diri harus disepakati dan diberlakukan. Diawali dengan komitmen untuk mengamalkan 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia, yang difinalisasi dan dideklarasikan di Kota Bandung, 27 April 2015. Organisasi ini secara bertahap memperkuat fondasinya melalui pengesahan bentuk legal yang paling sesuai dengan sifat alaminya: Perkumpulan. Dalam upaya pengukuhan fondasi ini, dilakukan pula pembenahan organisasi agar lebih solid, kredibel, dan bermakna bagi seluruh anggotanya. Ia juga diniatkan untuk berdampak positif bagi seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat luas di tiap kabupaten/kota yang terpapar langsung oleh seluruh program dan kegiatannya. Tentu saja ada sekelompok individu, para pengurus organisasi, yang mengeksekusi hal-hal ini, secara sukarela. Mereka umumnya adalah pemimpin forum lintas komunitas di daerahnya masing-masing, namun juga profesional handal pada bidangnya sebagai sumber penghasilan utama bagi diri dan keluarganya. Sehingga, bayangkan, dedikasi dan energi yang diperlukan untuk dapat membagi waktu dan pikiran demi menumbuhkan dan mewujudkan sebuah idealisme kolektif yang dibungkus dalam sebentuk ICCN.

Sejak 2015 pula, dalam kurun waktu empat tahun, telah dilakukan lima kali konferensi (di Solo 2015, Malang 2016, Makassar 2017, Sleman 2018, dan baru-baru ini, Ternate 2019), tiga kali rapat koordinasi nasional (di Bandung, Padang, dan Surabaya), serta, tak terhitung, rapat-rapat koordinasi di berbagai provinsi, yang dimotori oleh para koordinator daerah, demi menjaring titik-titik energi serupa yang tersebar di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Mobilisasi dan militansi komunitas-komunitas ini luar biasa; dan pasti diperjuangkan tengan gigih, karena masing-masing individunya percaya pada nilai-nilai yang diusung, dan percaya bahwa segala upaya bersama ini dapat membawa perubahan yang lebih baik.

Sebelum kembali ke pertanyaan, “Ada apa di Ternate?”, mungkin akan lebih membantu bila sebelumnya ada pertanyaan, “Jadi ICCN itu ngapain aja?” (dan mungkin akan memancing sayap-sayap pertanyaan berikutnya). Untuk mempersingkat cerita, sepanjang perjalanan berorganisasi dan berinteraksi secara intensif dengan rekan-rekan seperjuangan di berbagai wilayah di Indonesia, ICCN menemukan dinamika dan tantangan yang khas yang terjadi di seluruh wilayah, terkait komunitas kreatif dan pemerintah daerah. Yang semuanya sebenarnya berujung pada satu kata kunci: komunikasi. Yang pada umumnya terungkap adalah: 

      • komunitas merasa tidak pernah memperoleh dukungan yang semestinya dari pemerintah, baik dalam bentuk akses fasiiltas maupun pendanaan; 
      • komunitas sering dikecewakan dengan kerap terjadinya perubahan arah pembangunan kabupaten/kota setiap kali terjadi pergantian individu pimpinan daerah; 
      • komunitas mengalami kesulitan dalam berkegiatan dan berekspresi, karena adanya kebijakan atau regulasi tertentu yang diberlakukan di wilayahnya;         
      • dan sebagainya.

Tentu saja entitas komunitas, yang bersifat sangat organik, kadang spontan dan bahkan penuh improvisasi demi menghadapi dinamika yang sangat cepat, tidak bisa dibenturkan dengan entitas pemerintahan atau birokrasi yang sifatnya sangat rigid, kaku, serta sarat prosedur dan perhitungan dalam melaksanakan kegiatannya. Sehingga ICCN pun mencari cara agar berbagai tantangan khas tadi dapat teratasi dengan baik. Apa urusannya? Karena kemajuan dan pengelolaan sebuah wilayah bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga warganya yang aktif dan kritis, dan selalu berupaya untuk menjadi bagian dari solusi. Katanya komunitas “independen”, kok mau-maunya akur dengan pemerintah? Lho, “independen” kan bukan selalu berarti menentang. Dalam hal ini, kemandirian ICCN bahkan terbukti dengan memposisikan pemerintah pada porsinya, yaitu sebagai pihak pengelola wilayah, perancang peraturan, demi perikehidupan dan kesejahteraan seluruh warganya. Dalam upaya ini, ICCN menyadari adanya momentum “bonus demografi”, “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” (Sustainable Development Goals), “Agenda Perkotaan Baru” (New Urban Agenda), serta “Revolusi Industri 4.0”; sehingga ICCN memandang pemerintah sebagai mitra strategis, terutama dalam hal mengarahkan potensi ekonomi kreatif, yang menjadi kekuatan besar di masa kini dan mendatang.

Jadi ICCN itu ngapain aja? Nah, dari 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia yang telah menjadi komitmen bersama untuk diwujudkan, dirincilah pokok-pokok pikiran dan kata-kata kunci yang menjadi esensinya, sebagai berikut: welas asih (compassion), inklusif, HAM, kreativitas, lingkungan, sejarah dan pusaka, transparansi dan kejujuran, kebutuhan dasar, energi terbarukan, dan fasilitas publik. 

Sekarang. Bagaimana caranya mengukur compassion dan inklusivitas, misalnya, pada sebuah daerah, sehingga menjadi sebuah indikator yang kredibel bagi sebuah kabupaten/kota? Di sinilah ICCN dapat berperan aktif, sebagai organisasi tingkat nasional yang dapat menjangkau hingga level grassroots. Melalui Buku Putih Kota Kreatif Indonesia yang telah disusun dan diterbitkan oleh ICCN dengan dukungan dari Kemenko Perekonomian dan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf), ICCN menyampaikan gagasannya mengenai “kabupaten/kota kreatif”. Bahwa indikator perkembangan sebuah wilayah bukanlah untuk ‘menghakimi’ atau memberi label pada sebuah kabupaten/kota sebagai dominasi sub-sektor industri kreatif tertentu, atau untuk berkompetisi dengan kabupaten/kota lainnya. Bagi ICCN, indikator kabupaten/kota kreatif lebih berfungsi untuk memetakan posisi wilayah tersebut dalam sebuah ekosistem ekonomi kreatif, dan untuk mengidentifikasi potensi utama wilayah dalam ekosistem tersebut (misalkan, sebagai pemasok bahan baku, atau sumber daya terampil/ pengrajin, atau pusat penelitian & pengembangan, dll.), sehingga tiap daerah dapat mengetahui adanya daerah-daerah lain dengan potensi serupa, atau dengan sumber daya/potensi yang diperlukan/ dapat dikolaborasikan, untuk dapat mengakselerasi perkembangan wilayahnya melalui kegiatan berbasis komoditi industri kreatif tertentu. Misalkan, rotan. Secara umum, Cirebon memiliki reputasi sebagai pusat pengrajin dan sentra rotan; namun pasokan material rotannya sebagian besar diperoleh dari Palu, sedangkan litbang desain produknya berasal dari kampus-kampus berjurusan Desain di Bandung, dan penjualannya disalurkan melalui Jakarta dan Bali. Dari runutan ini, dan dari informasi seluruh titik wilayah yang terlibat dalam industri kreatif berbasis material rotan, dapat digambarkan sebuah peta ekosistem ekonomi kreatif yang elemen-elemennya dapat saling mengisi/melengkapi, untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas industri. Hal serupa dapat diterapkan untuk berbagai jenis industri kreatif lainnya, termasuk bagi komoditi takbenda.     

Lalu, harus mulai dari mana untuk melibatkan peran komunitas, dalam sinerginya dengan unsur Penta Helix yang lainnya? Nah, dari sinilah ICCN menawarkan 11 Jurus Kabupaten/Kota Kreatif, yang dipaparkan selama konferensi berlangsung pada tanggal 4-5 September lalu, berbentuk “meja-meja konsultasi” di mana siapa pun, terutama pemda dari seluruh penjuru Indonesia, bisa mampir dan ngobrol santai mengenai jurus-jurus tertentu, yang sebenarnya saling terkait satu sama lain. 

PHOTO-2019-09-03-16-25-30

Ini adalah salah satu jawaban dari “Ada apa di Ternate?”, yaitu eksperimen sebuah konferensi di mana penyampaian konten tidak hanya berlangsung satu arah, dari pembicara ke peserta; atau dibatasi dalam sesi tanya-jawab; tapi juga berlangsung secara interaktif, di mana konten dapat disampaikan dalam format bahasan yang lebih mendalam dan spesifik sesuai dengan kebutuhan khas masing-masing wilayah; dilayani oleh para personel ICCN yang menguasai konten-konten tersebut.

Ada apa lagi di Ternate? Sebuah konferensi mengenai kabupaten/kota kreatif, dilengkapi dengan forum konsultasi 11 jurus kabupaten/kota kreatif, yang dihadiri oleh tidak kurang dari tiga gubernur, dua belas bupati dan wali kota, perwakilan negara-negara asing, pengusaha terkemuka, ratusan pemerintah daerah, dan lain-lain. Ini satu hal.

Hal lain adalah sebuah festival yang berlangsung sejak tanggal 2 hingga 7 September,  bertempat di Fort Oranje, benteng peninggalan masa kolonial di tengah kota, yang kini menjadi ruang publik yang sangat inspiratif. Puncaknya adalah Coho Gia Kololi Kie, saat 42.000 warga berdiri mengelilingi Gunung Gamalama dengan saling berpegangan tangan selama tujuh menit, memecahkan rekor MURI versi dunia karena belum pernah dilakukan sebelumnya di belahan bumi mana pun. Di sekeliling gunung, warga dari berbagai usia dan kalangan, berjajar dengan riang, siap meramaikan acara ini dengan penuh rasa bangga. Bendera merah-putih dibawa berkeliling, dikawal oleh kaum muda Ternate, secara estafet disampaikan termasuk melalui Ketua Umum ICCN, hingga tiba di tangan Wali Kota Ternate, yang kemudian menancapkan bendera tersebut di tengah Fort Oranje, sebagai lambang persatuan dan perdamaian bagi Indonesia, sekaligus merayakan keberagamannya. Semua yang hadir terbawa haru, menyanyikan Indonesia Raya, Padamu Negeri, diiringi gelegar puisi, dan seruan-seruan bersemangat. Pecah! Setelah itu, spontan, para pasukan pengibar bendera menari bersama, bercampur dengan warga dan  delegasi ICCN. 

PHOTO-2019-09-06-15-22-36

Semua keramaian ini; intinya apa? Lihat, kalau seluruh warga bisa kompak dengan pemerintahnya. Lihat, kalau semua pihak bersedia turun tangan untuk mewujudkan cita-cita bersama. Lihat, kalau pengelola daerah mampu dengan tepat mengakomodasi kebutuhan dan keinginan warganya tanpa terkecuali. Lihat, kalau tradisi tetap dijaga tanpa menafikkan kebaruan-kebaruan yang seharusnya dapat disesuaikan dengan kondisi nyata. Maka tercapailah tujuan bersama, tahap demi tahap, diiringi buncahan rasa bangga!

Tentu saja semua ini tidak berlangsung tanpa tantangan. Jalan tidak selalu mulus. Kembali pada satu kata kunci: komunikasi. “Ada apa di Ternate?” punya hal lain yang dapat menjadi pelajaran. Acara satu minggu penuh ini tentu saja telah disiapkan jauh hari sebelumnya, dimulai ketika Ternate terpilih sebagai tuan rumah saat berlangsungnya ICCF 2018 di Sleman. Pihak pengampu utama penyelenggaraan tentu saja Komunitas Jarkot, sebagai bagian dari ICCN; selain juga pihak-pihak pendukung, seperti pemerintah kota, pemerintah provinsi, sponsor, dan lain-lain. Dengan latar belakang yang sangat berbeda-beda, seluruh pihak yang terlibat dalam persiapan acara ini tentu berupaya mendapatkan titik temu untuk beragam pengambilan keputusan. Penentuan prioritas. Pemilihan konten. Alokasi pendanaan dan sumber-sumber daya lain. Strategi media exposure. Mekanisme tindak-lanjutnya. Dan sebagainya. Drama? Tentu saja ada, selayaknya dinamika komunitas. Gegar budaya? Pasti juga terjadi, di semua pihak, dan dalam beragam spektrum. “Toleransi” bukanlah sekedar basa-basi. Dari semua ini, makin terbukti bahwa komunikasi yang terbuka seharusnya menjadi kunci solusi bagi berbagai permasalahan yang timbul, dan untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi. Dan justru di sinilah kedewasaan dalam berkomunitas dan mengorganisasi diri menjadi teruji. Semua yang terlibat di sini, jelas sudah ‘naik kelas’ dalam jenjang pengalaman berjejaring. Yang penting, setelah semuanya reda, dan permasalahan dapat teratasi, kita semua dapat mengapresiasi hal-hal positif yang terjadi, dan hasil bermanfaat yang dapat dinikmati bersama. Dari sini juga terbukti bahwa leadership yang tangguh, yang berani dan mampu mengambil keputusan terbaik dalam kondisi genting, hingga meredam letupan yang kontraproduktif, dapat mengembalikan kondusivitas dan optimisme bersama.     

Ada apa di Ternate? Kekayaan alamnya yang khas dan melimpah, narasi sejarahnya yang luar biasa, artefak pusaka, budaya, serta tradisinya yang terjaga baik — semua ini hanyalah seujung kuku dari sekujur tubuh potensi Ternate. Kini, sejarah di Pulau Rempah kembali ditorehkan; momentum yang kembali membawa Ternate dan segala kekuatannya ke panggung dunia, dalam kedaulatan anak-anak bangsanya sendiri. Dengan semangat kolaborasi dan jejaring, kita eratkan persaudaraan, dan rajut kembali kebhinnekaan; Karena Kita Indonesia. Semangat!   

PHOTO-2019-09-07-18-32-09

*tautan berita mengenai Indonesia Creative Cities Festival 2019 di media bisa dicari dengan kata-kata kunci “Ternate” dan “ICCF”

*sumber foto: ICCN