Ungkapan tersebut tentu sudah akrab bagi kita yang pernah membaca atau mendengar mengenai Indonesia Mengajar, termasuk saya sendiri. Telah beberapa kali saya membaca dan mengagumi gerakan ini, dan menganggapnya menjadi sebuah penghiburan yang membesarkan harapan pada Indonesia, “Negri yang pantas dicintai”, kata Kang A’at Soeratin, di tengah-tengah gencarnya berita-berita dari tanah air yang memuakkan. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk mendengarkan Pak Anies Baswedan berbicara mengenai pendidikan, saya langsung mendaftar untuk hadir, terutama karena ingin tertular semangat dan optimismenya terhadap kebangkitan bangsa ini.
Acaranya berlangsung di Rumah Belajar Semi Palar, Bandung, 25 Agustus 2011, mulai pukul 3 sore. Ketika saya datang, acara sudah dimulai dengan pengantar dari Kang A’at (bagi yang belum kenal, coba cek situs Garis Depan Nusantara – beliau termasuk salah satu anggota tim ekspedisi GDN). Setelah itu saya mulai mencatat hal-hal yang disampaikan Pak Anies, dalam sketsa dan tulisan berikut ini (mohon maklum kalau tidak runut dan kurang lengkap, karena mengandalkan sketsa dan ingatan)…
Kalau kita dengar profesi “guru” di Indonesia ini, konotasinya adalah: kurang memadainya kualitas mereka, rendahnya tingkat kesejahteraan, dan kurang meratanya distribusi tenaga pengajar ke seluruh Nusantara. Ini jelas merupakan masalah, janji negri ini pada bangsanya yang belum terlunasi. Indonesia Mengajar mencoba menjawab masalah ini dengan mengirimkan pengajar-pengajar berkualitas tinggi ke pelosok Nusantara, karena pendidikan merupakan tanggung jawab moral semua orang terdidik.
Mengutip Abah Iwan ketika melepas satu angkatan Pengajar Muda, bahwa “(Menjadi pengajar di pelosok tanpa fasilitas yang memadai) bukanlah pengorbanan, tapi merupakan kehormatan”, memang benar. Sebab para Pengajar Muda ini adalah orang-orang muda terpilih, yang telah mengalami proses seleksi ketat dan pelatihan yang sesungguhnya. Rasio jumlah yang terseleksi dibandingkan jumlah pendaftar jauh mengalahkan rasio perebutan bangku perguruan tinggi favorit di negri ini – bedanya, yang ini nyata dan hasilnya benar-benar diuji langsung di daerah penempatan.
Ketika merdeka, penduduk Republik Indonesia sekitar 70 juta jiwa. Jumlah sekolah dasar baru ada 15 ribu, kini ada sekitar 147 ribu, dan mampu menyerap hingga sekitar 94-96% pendaftar. Ketika merdeka, hanya ada segelintir jumlah sekolah menengah dan lanjutan, apalagi perguruan tinggi, sehingga jelas bahwa kualitas SDM kita masih lemah, bahkan sebagian masih buta huruf. Sehingga yang terjadi adalah, ketika membanggakan potensi negri, para pemimpin bangsa ini mengajukan SDA, hasil bumi dan hasil tambang, sebagai yang terunggul. Sekarang seharusnya berbeda: para pemimpin bangsa ini seharusnya kini dapat lebih menghargai SDM kita, dan tidak lagi bergantung pada (eksploitasi) SDA – yang adalah cara berpikir jaman kolonial.
Are we ready to prepare our children to become global citizens? Seharusnya kita sudah menyadari, bahwa letak negara-negara tetangga lebih dekat dan jauh lebih mudah dijangkau ketimbang kota-kota di pulau-pulau lain di Indonesia. Anak-anak di wilayah-wilayah tersebut seharusnya dibekali dengan pengetahuan lebih, terutama keterampilan berbahasanya.
Sebagian besar (20%) dari bangsa Indonesia peraih gelar PhD adalah dalam studi-studi yang berkaitan dengan agama. Setelah itu baru ilmu-ilmu lain: ilmu sosial, ekonomi, sains, engineering, dsb. But we need more than prayers to produce technology.
Berbagai data dan statistik menunjukkan perbandingan jumlah pelajar Indonesia dalam prosentase yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pelajar dari negara-negara lain, yang menempuh pendidikan di negara-negara industri maju. Namun tidak perlu berkecil hati, sebab ternyata sebagian besar dari para pelajar asing ini adalah dalam tingkat vocational, sehingga sekembalinya mereka ke negara masing-masing, mereka akan bekerja di bidang industri manufaktur – yang kurang lebih masih dalam kontrol negara-negara maju tersebut.
Kita seharusnya bisa melakukan loncatan lebih dari mereka, dengan cara mengandalkan, melatih dan menajamkan kreativitas dan daya berpikir kritis.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=Vc1hgMl3uUk]
[Video yang ditayangkan untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya mendidik generasi abad ke-21 dengan tepat. Apakah kita siap?]
Dari data lain, terlihat bahwa sebagian besar pelajar SD di Indonesia tidak dapat melanjutkan ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi. Bila melihat angka jumlah pelajar SMA, para pelajar yang memulai SD pada saat yang bersamaan tidak ‘terangkut’ atau tidak dapat terus ke tahap pendidikan lanjut.
Bila orang-orang seangkatan orang tua kita pada saat seumur kita ditanya, 30 tahun lalu berada di mana, jawabannya sebagian besar adalah di kampung, di daerahnya yang letaknya mungkin sangat jauh dari ibukota. Apa yang membawa mereka berhasil berkehidupan di kota-kota besar, menjadi professional yang sukses di bidangnya, bahkan menduduki berbagai posisi penting? Pendidikan. Apakah pendidikan kini masih dapat mengangkat harkat hidup orang-orang dari pelosok Indonesia seperti masa itu?
Kini, bila kita ditanya, 30 tahun berada di mana, jawabannya hampir dipastikan adalah kota-kota besar di Indonesia, dari kaum menengah ke atas. Bukti bahwa pendidikan belum berhasil menjangkau dan meningkatkan kesejahteraan secara merata.
Perancang sistem pendidikan adalah perancang sistem sosial suatu masyarakat. Manusia terdidik akan mampu meningkatkan tingkat sosial dan ekonominya, dengan pendidikan sebagai ekskalatornya.
- Para Pengajar Muda adalah warga sipil yang kelak dapat mengatakan, “Aku telah membaktikan diri pada negriku”. Mereka ditempatkan di pelosok-pelosok Nusantara untuk tinggal dan mengajar di sana selama satu tahun. Setelah itu mereka harus pulang untuk menjadi professional di bidangnya masing-masing. Posisi mereka di daerah penempatan digantikan oleh Pengajar Muda angkatan berikutnya, dan terus bergantian, hingga lima tahun.
Dengan cara ini, mereka akan memiliki dua ‘rumah’, yaitu daerah asalnya sendiri, dan daerah di mana mereka ditempatkan, yang akan menciptakan keterikatan batin. Empati kebangsaan dan ke-Bhinneka-an mereka terbentuk selama masa penempatan ini. Sehingga akan terbangun dua hal berikut: di satu sisi para Pengajar Muda mendapatkan pengalaman tak ternilai di daerah penempatan masing-masing, sementara di sisi lain daerah penempatan tersebut pasti akan teringat dan terangkat ketika para Pengajar Muda ini kelak berkarya dalam bidangnya masing-masing. Sistem ini menjadikan para Pengajar Muda tersebut leaders with global qualities, with an understanding of their roots.
Acara berlanjut dengan tanya-jawab hingga waktu berbuka puasa tiba, dilanjutkan dengan acara penutupan. Pak Anies diminta menorehkan dengan spontan kata-kata di kanvas yang di bagian atasnya terdapat bendera merah-putih yang dijahit. Bentangan bendera merah-putih dengan robekan yang terjahit juga hadir sebagai latar acara ini, yang menurut Mas Andy Sutioso dari Rumah Belajar Semi Palar, dipakai di acara tujuh belasan yang lalu. Jahitan tersebut merupakan simbol bahwa kita sedang memperbaiki Indonesia, yang tengah mengalami kerusakan. Pada kanvas itu Pak Anies menuliskan, Ibu kita melahirkan pejuang. Hidupi Republik ini dengan gerak maju lewat pendidikan. Masa depan Republik ini akan cemerlang untuk semua!
Relevant links:
Catatan dari acara yang sama (dengan foto):
http://cinnamome37.blogspot.com/2011/08/catatan-diskusi-bersama-pak-anies-1.html
http://cinnamome37.blogspot.com/2011/08/catatan-diskusi-bersama-pak-anies-2.html
http://cinnamome37.blogspot.com/2011/08/catatan-diskusi-bersama-pak-anies-3.html
Situs Rumah Belajar Semi Palar: http://semipalar.blogspot.com/
Situs Indonesia Mengajar: http://indonesiamengajar.org/
Terima kasih Tita. Ulasannya keren! Wah keduluan temen2 bikin tulisan. Tulisanku malah belum tuntas. Jangan2 keburu basi ya. Semoga pertemuan kemarin menginspirasi! Salam!
wah.. keren mbak tita 🙂 makasih sudah melampirkan tautan catatanku juga di sini *tapi masih kalah jauh sama mbak tita nih :p*