Pagi ini kelas Seni, Desain dan Lingkungan (SENDAL) diisi oleh Pak Apep, yang telah lebih dari 30 tahun malang-melintang di sekitar bengkel, divisi teknologi tepat-guna dan pengolahan sampah ITB. Saya (selaku koordinator dosen kelas SENDAL) mengundang Pak Apep agar para mahasiswa mendapat masukan mengenai pengolahan sampah di skala yang paling dekat dengan mereka: dalam kampus. Hal ini penting untuk diketahui sebelum mereka mencoba memecahkan masalah lingkungan yang lebih kompleks, dalam skala yang lebih luas, dalam kapasitas mereka sebagai pekarya dan pekerja kreatif. Berikut ini adalah beberapa hal yang sempat tercatat dari penyampaian Pak Apep.
Usaha ITB untuk mengelola sampahnya sendiri sudah dimulai tahun 2000, tapi baru tahun 2005 melakukan pengomposan. ITB sudah tidak membebani TPA mana pun karena sudah dapat mengelola sampahnya sendiri. Sampah yang masuk ke ITB diolah habis pada hari yang sama sehingga tidak menimbulkan polusi bau di area pengolahan sampah ITB. (Pengolahan sampah di ITB belum bekerja 24 jam/hari, baru 12 jam/hari)
Volume sampah yang dihasilkan ITB sekitar 20m kubik per hari, jika ada hajatan bisa mencapai 30m kubik. Sampah yang masuk ke pusat pengolahan sampah ITB adalah selain limbah B3 atau bahan-bahan beracun yang merupakan limbah dari berbagai laboratorium (limbah jenis ini diolah sendiri di lab masing-masing). Jumlah sampah yang paling signifikan adalah seusai event Pasar Seni tgl 10.10.10 lalu, para petugas kebersihan harus mengolahnya selama satu minggu penuh, siang dan malam, hingga semuanya beres.
Sampah organik yang sebagian besar dihasilkan oleh kantin-kantin di ITB diolah menjadi pupuk, dan bisa dijual atau diberikan ke penduduk setempat. Sampah anorganik dipisahkan menurut jenisnya (plastik, kertas, kayu, dsb), dan yang tidak bisa dimanfaatkan kembali dibakar menjadi abu. Abu ini lalu dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai bahan bangunan (campuran untuk membuat batako). Styrofoam termasuk bahan yang dilarang masuk ke pengolahan sampah ITB, oleh karena itu ada kebijakan melarang pemesanan makanan siap-saji yang dikemas dalam material ini (untuk konsumsi rapat/pertemuan dosen, dsb). Meskipun hal ini belum bisa dicegah total, tapi jumlahnya sudah sangat berkurang.
Yang dapat menjadi peluang bisnis adalah limbah panas (hingga 800 C) yang dihasilkan oleh boiler (air pendingin yang digunakan untuk meredam asap bakaran incinerator). Beberapa ide yang muncul mencakup motor turbin sebagai generator listrik (tapi signifikansi efektifitasnya masih harus ditinjau ulang), sebagai media penumbuh jamur, atau bahkan bisa sebagai spa dan sauna.
Pak Apep sudah sering ngobrol dengan dosen yang menggagas PLTSA Gedebage. Mengutip beliau, “Saya bukan orang pintar atau peneliti, saya hanya pekerja lapangan. Tapi kalau dilaksanakan PLTSA ini, artinya satu wilayah – dalam hal ini Gedebage – akan menjadi pusat penimbunan sampah yang dibawa dari berbagai daerah. Selain akan membebani biaya transportasi (pengangkutan sampah memerlukan biaya besar), juga akan menimbulkan masalah sosial. Sebab, siapa yang suka daerahnya menjadi timbunan sampah? Sampah orang lain, pula? Sehingga usul saya waktu itu adalah pengolahan sampah per wilayah saja. Saya yakin penduduk pun tidak akan keberatan sebab itu sampah mereka sendiri. Juga tentu akan menghemat biaya angkut, karena cukup dilakukan dengan gerobak beroda saja.”
“Tahun 1992 saya sempat membantu pengolahan sampah di DKI, mencoba di lima wilayah kota. Salah satu TPS waktu itu membuang sampah ke TPA Bantar Gebang sejumlah 2 kontainer per hari. Setelah ada pengolahan sampah skala TPS (pengomposan, pemilahan, dll), sampah yang dibuang ke Bantar Gebang berkurang, jadi 2 kontainer per minggu. Di satu sisi, suksesnya adalah pengurangan sampah sejak di TPS masing-masing, juga pengurangan volume sampah di Bantar Gebang. Di sisi lain, muncul keluhan dari petugas angkut Dinas Kebersihan karena berkurangnya penghasilan mereka. Tadinya mereka mengantar 2x/hari, yang berarti mendapat uang saku, uang transport, dll, sekarang mereka hanya mengangkut 1x/minggu. Seharusnya ada mekanisme yang mengatur atau mengalihkan pekerjaan mereka sehingga tidak timbul masalah ini”.
Pak Apep juga telah berhasil mengelola sampah untuk Taman Margasatwa (TM) Ragunan di Jakarta. Bagaimana dengan TM di sebelah ITB? “Nah ini anehnya”, kata Pak Apep, “ITB sudah bekerja sama dengan berbagai pihak luar, tapi dengan wilayah Bandungnya sendiri tidak ada. Saya juga nggak ngerti kenapa. Mungkin harus ada mediatornya. Padahal prospek pengolahan sampah di TM sangat positif karena pupuk kandangnya bisa dikemas menarik. Misalkan diberi cap Pupuk Kandang Singa, karena memang diambil dari kotoran singa, atau beruang, atau gajah. Kualitasnya pasti sangat baik. Sayang kalau tidak digarap”. Tambahnya lagi, “Banyak orang mengira bahwa lokalisasi sampah di depan TM, atau di seberang BNI Taman Sari itu, adalah sampah ITB. Padahal bukan. Kita sudah mempertimbangkan untuk mengolahnya juga, tapi belum tuntas diputuskan”.
Peluang lain dari sampah, yang disampaikan oleh Pak Apep, adalah menjadikan pakan ternak dari limbah organik. “Bandung itu kota kuliner”, lanjutnya, “Kalau semua sampahnya dibiarkan mengotori tanah, nantinya akan mempengaruhi kualitas air tanah juga. Tidak baik. Jadi, ini sudah saya coba sendiri, saya alihkan menjadi pakan ternak. Saya coba memelihara 100 ekor bebek. Siapa pun yang pernah beternak tahu, biaya operasional terbesar adalah untuk penyediaan pakan ternak, hingga 70%. Ketika saya memakai limbah makanan, biaya tersebut tertekan menjadi sangat rendah. Pengolahannya pun tidak sulit. Hanya tinggal memisahkan plastik atau kemasan dari sisa-sisa makanan, lalu simpan sisa makanan itu dalam tong. Bebek itu omnivora, pemakan segala, jadi tidak masalah apa pun jenis makanannya. Sisa makanan dalam tong ini juga sengaja dibiarkan busuk di permukaannya, sehingga menimbulkan belatung. Nah belatung ini juga baik untuk bebek, karena kandungan proteinnya hingga 70%, baik juga untuk pakan lele. Hingga sekarang bebek-bebek saya tetap sehat, bahkan sangat produktif bertelur, hingga 50 butir/hari. Saya tidak perlu keluar banyak biaya, malah saya bisa mendapat untung dari usaha ini”.
Pusat pengolahan sampah ITB, yang letaknya berdekatan dengan penduduk bantaran Sungai Cikapundung, tidak menjadi masalah. Pada awalnya, tentu saja penduduk kuatir bila wilayahnya menjadi kotor dan bau. Nyatanya, hingga kini tidak ada dampak negatif tersebut. Bahkan penduduk dapat memperoleh penghasilan sebagai tenaga kerja di pusat pengolahan sampah tersebut, selain juga dapat memanfaatkan produk-produk yang dihasilkan. Sebuah peluang lain yang belum dilaksanakan adalah pengolahan limbah kertas. Sebagai sebuah kampus, tentu saja ITB menghasilkan limbah kertas dalam jumlah yang cukup signifikan, namun tidak dapat dibuang sembarangan (atau langsung dijadikan pembungkus makanan ringan/jajanan di jalan), karena hal-hal confidential yang mungkin tertera pada kertas bekas tersebut. Akan sangat baik bila ada semacam pusat pengolahan bubur kertas, yang kemudian memproduksi kertas-kertas daur ulang, yang – tentunya dengan sentuhan kreatifitas – dapat menjadi produk-produk yang bernilai komersil. Bila ada yang hendak memulai, saatnya sekarang sudah sangat tepat!
Sebagai penutup, Pak Apep mengundang semuanya untuk mampir dan melihat-lihat kantor dan lingkungan kerjanya, untuk membuktikan sendiri betapa tempat pengolahan sampah itu tidak harus selalu bau dan jorok. “Unit kami adalah unit pelaksanaan”, tambahnya, “Bukan fakultas atau sekolah atau apa pun itu. Jadi kami tidak punya peneliti. Kami hanya punya pekerja. Padahal kami perlu pengembangan, inovasi, dan ide-ide baru untuk mengatasi persoalan sampah. Yang kami harapkan memang kehadiran, perhatian dan keterlibatan saudara-saudara sekalian dalam hal persampahan ini”.