Magno merupakan brand dari produk kayu yang saat ini telah mendunia. Produk ini didesain dan diproduksi di Kandangan, sebuah desa di Jawa Tengah, Indonesia. Singgih S. Kartono desainer produk kelahiran desa tersebut merupakan kreator dan pendiri Magno. Singgih memutuskan kembali ke desanya karena merasa hal itulah yang seharusnya dilakukan setelah melihat kenyataan desanya telah kehilangan banyak para pemikirnya
Magno is a brand of wood products which has achieved global recognition. This line of products is designed and manufactured in Kandangan, a village in Central Java, Indonesia. Singgih S. Kartono, a product designer who was born in the village, is the creator and founder of Magno. Singgih decided to return to his village after graduating from ITB, since he felt that it was the right thing to do, considering the situation that the village has lost most of its thinkers.
Pada tahun 2008 Magno memperoleh Good Design Award di Jepang. Penghargaan ini sangat berarti, karena tidak diberikan semata pada produknya namun juga pada aktivitas pengembangan komunitasnya. Produk-produk Magno saat ini telah tersebar luas dan dijual di toko-toko desain terkemuka di dunia, di MoMA New York dan Design Museum London.
In 2008 Magno received the Good Design Award from Japan. This award meant a lot, since it was not just dedicated to the product, but also to the related community development activities. The Magno products at the moment have been distributed widely and are available on the shelves of prominent design shops around the world such as MoMA in New York and Design Museum London.
Kecintaan Singgih pada kayu dan kehidupan masyarakat desa pada satu sisi dan sikap kritisnya pada perkembangan teknologi dan industrialisasi pada sisi lain telah melahirkan pendekatan baru dalam desain. A perfect design should be an imperfect one. Ketidaksempurnaan yang disengaja ini memberikan ruang pada user untuk membangun hubungan user-product yang lebih dekat, hal ini akan menghindarkan sikap pakai buang sebagai ekses dari industrialisasi.
Singgih’s love for wood, also the lives of the villagers on one hand and his criticism of technology and industrialization on the other hand, brought forward a new approach in design. A perfect design should be an imperfect one. This imperfection that is created on purpose provides a space for the user to build a closer user-product relation, and this will avoid wasteful attitude, which is an excess of industrialization.
Singgih memilih untuk hanya membuat produk kayu berdimensi kecil dengan teknologi craft. Produk ini lebih sedikit menggunakan kayu dan menciptakan lebih banyak peluang kerja. Dalam 1 tahun kegiatan produksi hanya menebang kurang dari 75 pohon, memberikan lapangan kerja secara kontinyu 35 perajin dan menanam lebih dari 8000 pohon/tahun. Permasalahan lingkungan pada dasarnya adalah permasalahan ekonomi, aktivitas ekonomi yang benar akan berakibat positif pada alam.
Singgih chose to focus on small-sized wooden products, produced with craft technology. This kind of product will use less wood and create more job opportunities. Within one year, its production process only consumed less than 75 trees, and provides continual job opportunity for 35 craftsmen/women and planted more than 8000 trees/year. The environmental problem is at the core of economic problem, therefore the right economic activities will bring positive impacts to the environment.
Singgih menyadari bahwa kayu yang digunakan dalam produksi bukanlah yang dia tanam. “Kami memanen kayu yang ditanam generasi sebelum kami, sehingga kami berpikir harus menyediakan hal yang sama untuk generasi berikutnya“. Singgih membangun tree nursery di sekeliling workshop produksinya dan melibatkan perajin dalam proses pemeliharaannya. Singgih ingin menanamkan kesadaran pada mereka bahwa menanam dan menumbuhkan kayu membutuhkan kesabaran, ketekunan dan waktu yang panjang.
Singgih realizes that the wood he uses in production is not the variation that he planted. “We harvest wood that our previous generations planted, therefore we think that we have to provide the same thing for the generations after us.” Singgih established a tree nursery around his production workshop and involved craftspeople in maintaining the nursery. Singgih wanted to teach them the idea that planting and growing wood need patience, determination, and a long time.
Tahun 2008 Magno membagikan gratis 8000 bibit pohon, tahun 2009 sebanyak lebih dari 10000 bibit. Bibit tanaman tersebut berasal dari bibit yang dipelihara sendiri dan dibeli dari para pembibit di luar untuk menambah jumlah. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan secara periodik, tingkat hidup bibit yang dibagikan mencapai lebih dari 75%.
In 2008 Magno distributes 8000 tree saplings for free, and in 2009 over 10000 trees. These were from their own nursery plus the ones bought from outside sources to add to the sum. Periodic monitoring indicates that the life expectancy of these trees reaches 75%.
Bibit dibagikan ke masyarakat sekitar untuk ditanam di lahan mereka sendiri. Masyarakat di sekitar desa memanfaatkan lahan non sawah untuk menanam kopi. Mereka juga menanam pohon2 untuk diambil kayunya. Tanaman kopi merupakan jenis tanaman yang membutuhkan teduhan, sehingga kami tidak menemui kesulitan dalam membagikan bibit pohon ke wilayah ini.
The trees are being distributed to the local communities to be planted in their land. The surrounding village communities use the non-rice field land to grow coffee. They also planted trees for the wood. Coffee trees is the kind of plant that can only thrive in the shades, so we don’t encounter any problem in distributing these tree saplings to be planted around the area.
Singgih menghadapi hambatan ketika membagikan bibit tanaman untuk wilayah lereng gunung. Wilayah ini sebagian besar digunakan untuk menanam tembakau, dan jenis tanaman ini membutuhkan paparan sinar matahari yang maksimal. Pohon2 yang rindang ditebang. Pertanian tembakau telah menjadikan wilayah ini mengalami kerusakan yang cukup parah.
Singgih faced a challenge when distributing the trees to the mountainside areas. These areas are largely used to plant tobacco, and this kind of plants needs maximum sunlight. The shady trees are being felled. The tobacco industry has rendered the areas severely damaged.
Tembakau temanggung dikenal dengan jenis tembakau berkualitas tinggi dan banyak dibutuhkan oleh para produsen rokok. Harga tembakau sesungguhnya tidak stabil, namun kadang harganya demikian tinggi sehingga membuat petani selalu ingin menanam. Kegiatan penanaman tembakau telah berlangsung demikian lama, sehingga telah menjadi tradisi.
Temanggung tobacco is famous for its high quality and it is most sought after by cigarette companies. The price of tobacco is unstable, but occasionally the price is so high that farmers always want to grow it. The tobacco growing activity has been going on for so long that it has become a part of the tradition.
Pada tahun 2008 dilakukan kerjasama pembibitan pohon dengan sebuah SMP di lereng Gunung Sumbing. Pada saat itu kami menyiapkan bibit pohon Mahoni. Pada tahun 2009 atas masukan dari masyarakat sekitar kami menyiapkan bibit kopi. Beberapa orang di wilayah pertanian tembakau berniat untuk beralih ke tanaman kopi. Progam ini berhasil menyiapkan 900 bibit dan telah ditanam di lahan.
In 2008 tree nursery activities are conducted in a partnership with a secondary school on the mountainside of Mount Sumbing. At that time, Magno prepared Mahogany saplings. In 2009, several people around the area suggested to prepare coffee saplings. Some people wanted to change their tobacco plantation to coffee. We succeeded in providing 900 coffee saplings, which are already planted in the area.