Perbedaan Kebiasaan di Indonesia dan Negara Maju yang Memiliki Pengaruh terhadap Keberlanjutan Lingkungan
Ni Annisa Nur Adha
Pada tahun 2015 diprediksi oleh Bank Dunia bahwa jumlah penduduk Indonesia akan menembus lebih dari 250 juta. Semakin banyak jiwa maka dibutuhkan ketersediaan sumber daya yang dapat mencukupi setiap jiwa selama jangka hidupnya. Kesadaran untuk peduli pada lingkungan di Indonesia masih belum merata. Hal ini disebabkan oleh beberapa kebiasaan yang menyebabkan ketergantungan pada hal-hal yang praktis, orang Indonesia begitu dimanjakan oleh para pelaku bisnis untuk menikmati produk sesuai keinginan mereka, namun para pelaku bisnis tersebut hanya bertanggung jawab hingga pembeli membeli produknya, setelah itu semua terserah kepada konsumen.
Sementara di beberapa negara maju, kebiasaan tersebut sudah jarang dilakukan demi mengelola keberlanjutan lingkungan. Berikut adalah beberapa contoh perbandingan kebiasaan di Indonesia dan negara maju yang dapat berpengaruh kepada keberlanjutan lingkungan. Kebiasaan ini sudah bersifat massal dan kemungkinan sulit untuk diubah, maka dari itu di sini muncul peran desainer untuk mengubah persepsi masyarakat tentang kebiasaan di bawah ini:
1. Kantong untuk berbelanja
Berbelanja merupakan kegiatan wajib sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan. Di Indonesia, hampir seluruh toserba memberikan kantong plastik kepada pelanggan untuk membawa barang belanjaannya. Bahkan tidak jarang satu pelanggan diberikan lebih dari 1 plastik untuk memembungkus beberapa jenis barang yang berbeda. Hal ini bertujuan tak lain untuk kepraktisan pelanggan berbelanja, sehingga mereka dapat berbelanja kapan saja meskipun tidak direncanakan. Plastik juga merupakan material yang kuat untuk melindungi belanjaan dari air, juga terdapat pegangan sehingga orang tidak terganggu apabila mobilitasnya tinggi.
Berbeda dari berbelanja di Amerika, pelanggan cenderung membawa kantong sendiri atau disediakan kantong kertas daur ulang yang tidak memiliki pegangan. Karena kantong kertas merupakan material yang rapuh, kantong tersebut tidak diberikan pegangan agar pelanggan membawanya dengan cara menggendongnya. Apabila belanjaan terlalu banyak, mereka akan menggunakan troli.
Dari kedua perbedaan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelanggan Indonesia lebih dimanjakan dari pelanggan Amerika, namun apabila dikaitkan dengan penjagaan lingkungan, warga Amerika memiliki kesadaran yang lebih tinggi. Sayangnya saat ini hampir seluruh perusahaan retail di Indonesia masih menggunakan plastik untuk membantu pelanggannya. Sehingga masyatakat Indonesia sudah terbiasa akan hal itu dan membutuhkan waktu lama untuk berubah, karena kemungkinan perusahaan tidak ingin kehilangan pelanggan dengan mengubah regulasi pemberian kantong plastik. Konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2014 mencapai sekitar 3 juta ton, namun hal tersebut tidak diseimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik sehingga terdapat banyak sampah plastik yang berceceran di saluran air dan sungai sehingga menyebabkan beberapa daerah terkena banjir.
2. Jumlah rangkaian kemasan dalam satu produk
Contoh yang paling mencolok dan dikonsumsi hampir di 90% warga Indonesia adalah produk mi instan. Terdapat berbagai macam varian mi instan sesuai dengan selera orang Indonesia. Kepedulian perusahaan terhadap selera pelanggan menyebabkan mereka harus memisahkan masing-masing bumbu dalam plastik berbeda, seperti minyak, bawang goreng, bumbu pedas, sayuran kering, dan sebagainya.
Sementara produk mi instan di Jepang, hanya menggunakan dua macam plastik, satu untuk bumbu dan satu lagi untuk sayuran kering. Dari segi pembuatan, tentu kemasan produk Jepang tidak memerlukan energi sebesar pembuatan produk mi instan Indonesia.
3. Kebiasaan dalam pemilahan sampah
Kebutuhan produk yang tinggi dalam kategori consumer goods seperti makanan instan, produk sabun dan sebagainya menghasilkan limbah berupa bekas kemasan produk tersebut dalam jumlah yang masif, hal ini tidak diseimbangi dengan pengolahan sampah yang baik. Berbagai macam material limbah disatukan dalam satu tempat sehingga menyulitkan dan menurunkan nilai jual limbah yang dapat didaur ulang.
Jepang dan Amerika sudah menerapkan sistem pemilahan sampah dan menerapkan sistem denda bagi yang tidak melaksanakannya dengan baik. Sistem hukuman yang tegas membuat masyarakat negara-negara tersebut menjadi terbiasa mengatur sampah mereka meskipun tanpa pengawasan.
4. Ketergantungan transportasi dan tren mobil pribadi
Di Indonesia transportasi angkutan umum utama yang digunakan adalah angkot, di mana mobil dengan berbagai macam jurusan dapat ditemukan di mana saja dan diberhentikan di mana saja sesuai kebutuhan. Hal ini membuat orang Indonesia memiliki ketergantungan untuk menaiki transportasi daripada jalan kaki meskipun dalam jarak dekat. Di Jepang, orang hanya menaiki transportasi apabila akan pergi ke kota lain, selebihnya berjalan kaki atau naik sepeda. Maka dari itu tidak heran apabila turis Jepang mampu berjalan dari satu tempat ke tempat lain di suatu kota di Indonesia walaupun orang Indonesia cenderung harus menggunakan transportasi.
Selain itu, orang Indonesia yang sangat mudah terpengaruh oleh iklan dan keinginan aktualisasi diri yang tinggi, menyebabkan banyak individu ingin memiliki mobil pribadi agar status sosialnya meningkat. Berbeda dengan di Jepang, orang Jepang yang mapan atau menengah ke atas cenderung tidak memiliki mobil dan memilih menggunakan transportasi umum. Orang Jepang yang memiliki mobil justru tinggal di desa-desa karena mereka membutuhkannya untuk membeli kebutuhan di kota. Meskipun sebagian besar perusahaan mobil dan motor berasal dari Jepang, target pasar mereka justru negara-negara berkembang seperti Indonesia, sementara di negara sendiri tidak begitu banyak peminatnya.
5. Ketergantungan pada rokok
Pada tahun 2008 menurut WHO (sumber: http://swa.co.id/) , Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Sebagaimana kita ketahui rokok memberi dampak negatif pada lingkungan dengan asapnya, juga berbahaya bagi kesehatan. Namun, zat adiktif yang terdapat di dalamnya membuat warga Indonesia dari berbagai kalangan sulit untuk berhenti. Sementara di Jepang dan Australia (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/ ) jumlah perokok justru menurun drastis, banyaknya penyakit yang disebabkan oleh rokok menyebabkan pemerintah menaikan pajak tembakau hingga 60%, sehingga satu bungkus rokok dapat berharga 200ribu rupiah. Upaya tersebut telah menurunkan jumlah perokok hingga 20%.
Kesimpulan dari perbedaan kebiasaan di atas adalah di Indonesia peraturan dan sistem cenderung memberi kebebasan dan kepraktisan kepada warganya tetapi tidak didasari oleh keberlanjutan lingkungan. Sementara di negara maju, pemerintah mereka tidak segan untuk membuat warganya repot asalkan keberlanjutan lingkungan dapat dipertahankan. Poin-poin di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat kebiasaan lain di negara maju yang dapat diterapkan di Indonesia. Hal-hal besar tidak dapat diubah secara instan, namun harus secara perlahan melalui kebiasaan sehari-hari. Dewasa ini kita sudah merasakan perubahan iklim yang cukup drastis, dari hujan yang besar hingga panas yang terik. Bencana alam seperti banjir yang terjadi di beberapa kota besar, terutama Jakarta, sebagian besar disebabkan oleh beberapa kebiasaan masyarakat yang sangat sulit untuk diubah karena telah dilakukan sejak lama. Sudah saatnya kita mengubah kebiasaan agar bumi kita dapat bertahan untuk anak cucu kita nanti.