Sadar Lingkungan di Perempatan

Sadar Lingkungan di Perempatan

Ilhamsyah | 27111018

 

Sebuah Perempatan di Bandung

Sepeda Motor Sebuah Efesiensi Kehancuran

Tulisan ini berawal dari pengalaman penulis ketika memutuskan beralih  mempergunakan roda dua (sepeda motor) dari sebelumnya menggunakan kendaraan umum (Angkutan Kota). Dengan aktifitas dan mobilitas yang tinggi penulis berasumsi menggunakan sepeda motor dapat mencapai waktu tujuan dengan cepat. Selain itu berdasarkan pengalaman, satu liter bensin dapat dipergunakan untuk beraktifitas dalam satu hari dengan 3-4 tujuan, bisa dibayangkan jumlah rupiah yang di hemat mencapai Rp.15.000,-/hari. Namun tanpa disadari keefesienan tersebut berbanding terbalik dengan aktifitas yang meninggi. Dalam penjelasan lain, dengan waktu yang tersisa dari aktifitas yang sebelumnya menggunakan kendaraan umum, dimanfaatkan untuk aktifitas tambahan yang berarti jarak yang ditempuh bertambah banyak. Fakta di lapangan menunjukan ternyata jumlah sepeda motor di Indonesia telah menembus lebih dari 50 juta unit di tahun 2010 (Tempo.co), menempatkan negara Indonesia di posisi pertama se-Asia Tenggara. Bahkan di DKI Jakarta populasi sepeda motor hampir melewati jumlah penduduknya. Berarti tujuan efesiensi ternyata menimbulkan problem lingkungan lain, yaitu hampir setiap individu pengguna jalan raya turut berperan menghasilkan karbondioksida dari pembakaran bahan bakar fosil melalui sepeda motor.

Pembahasan ini akan lebih difokuskan di Kota Bandung saja, dimana aktifitas sehari-hari penulis menggunakan sepeda motor. Di Kota Bandung kendaraan umum yang paling populer adalah angkutan umum atau kadang masyarakat Kota Bandung menyingkatnya menjadi Angkot. Dari beberapa pembicaraan dengan pengemudi angkot mereka mengeluhkan turunnya jumlah penumpang karena telah beralih menggunakan sepeda motor. Diasumsikan dengan satu angkutan umum yang dapat membawa penumpang 12 orang, terpecah menjadi 10 orang menggunakan sepeda motor. Perbandingan ini akan tidak fair karena angkutan umum (mobil) memiliki kapasitas mesin kurang lebih 1500cc, sedangkan motor pada umumnya berkisar 100cc hingga 115cc. Namun bagaimana pembicaraan ini dapat dikaitkan dengan isu lingkungan dalam mencari solusi desain yang berwawasan lingkungan?

Desain Berkelanjutan

Desain berkelanjutan berdasarkan kutipan dari Wikipedia adalah filosofi perancangan obyek fisik, lingkungan binaan dan layanan untuk mematuhi prinsip-prinsip berkelanjutan ekonomi, sosial dan ekologi. Jadi kurang lebih desain berkelanjutan hadir sebagai respon terhadap krisis lingkungan global, pesatnya pertumbuhan ekonomi seiring pesatnya perkembangan populasi manusia, menyusutnya sumberdaya alam, kerusakan ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati. Jadi desain berkelanjutan adalah konsep dimana perancangan desain ditekankan untuk lebih bertanggung jawab terhadap warisan bagi masa depan kita dan kehidupan yang lebih baik bagi penerus (keturunan) kita. Salah satu prinsip yang ditekankan dalam desain berkelanjutan adalah menekan penggunaan bahan bakar atau energi yang tidak dapat diperbaharui, dalam hal ini bahan bakar fosil (bensin). Disinilah letak keterkaitan antara paparan tentang penggunaan sepeda motor dengan desain yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Penulis akan lebih menekankan desain sebagai sebuah sistem dalam menganalisa permasalahan diatas.

Fakta di Jalan Raya

Dari pengalaman yang dirasakan penulis saat mengendarai sepeda motor, sering terjebak di perempatan yang memiliki durasi lampu merahnya lumayan lama, terkadang ada yang sampai 250 detik atau setara 2 menit 10 detik. Sebagai contoh perempatan Jalan R.E. Martadinata dan Ahmad Yani yang durasinya bisa mencapai 240 detik (3 menit), atau perempatan Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Kiaracondong yang mencapai 250 menit (4 menit 10 detik). Sebuah waktu yang cukup lama untuk membakar bensin secara percuma, karena jarak tempuhnya hanya 0 kilometer. Menurut data yang didapat, mesin dengan kapasitas 100 hingga 115cc akan menghabiskan 2 hingga 5cc bensin dalam kondisi diam (jpmautomotive.blogspot.com). Tidak besar sih, tapi bila dijumlahkan dengan populasi motor yang ada serta mobilitas yang tinggi bisa dibayangkan berapa ribu liter bensin per hari terbuang percuma hanya untuk kondisi diam. Hal ini sering mengganggu penulis ketika terjebak pada setiap perempatan, maka solusi sederhana dari penulis yaitu dengan mematikan mesin motor sambil menunggu saatnya lampu hijau. Proses ini selalu dilakukan disaat berhenti di setiap perempatan, namun disesuaikan dengan kondisi durasi lampu lalu lintas saat merah, apabila terlalu singkat tidak memaksakan mematikan mesin. Keberadaan penunjuk waktu di setiap lampu lalu lintas cukup membantu penulis untuk ancang-ancang menyalakan mesin kendaraan, jadi tidak terjebak lampu hijau sedangkan mesin motor masih dalam kondisi mati, ini akan sangat mengganggu pengguna jalan lain. Selain itu sebagian besar sepeda motor yang ada, terutama model terbaru, sudah dilengkapi dengan electric starter dengan menggunakan baterai kering, jadi proses menyalakan mesin tidak perlu repot-repot menggunakan kick starter (manual).

Namun sistem ini menjadi percuma apabila dilakukan oleh penulis seorang diri, tidak ada efeknya bagi lingkungan secara nyata, hanya memenuhi rasa tanggungjawab penulis terhadap lingkungan. Lalu bagaimana cara untuk menggerakan para pengguna sepeda motor lainnya untuk memiliki kesadaran yang sama yaitu mematikan mesin kendaraannya di setiap lampu merah perempatan tersebut. Penulis melihat peluang dengan memanfaatkan fenomena sticker lucu yang sering ditempatkan bagian belakang (spatbor) sepeda motor. Berbagai macam kata-kata menarik digunakan untuk hanya menarik perhatian pengguna motor lain, yang terkadang kata-katanya menggunakan bahasa daerah (sunda). Penulis berasumsi sticker tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ambient media untuk menyebarkan ajakan mematikan mesin motor di saat lampu merah. Selain itu dapat dilanjutkan dengan pembagian selebaran atau brosur di setiap perempatan yang isinya menyampaikan kesadaran berkendara sepeda motor yang tetap peduli pada lingkungan. Atau bisa bentuk lain yaitu dengan memanfaatkan pengeras suara di beberapa perempatan untuk menyampaikan informasi yang sama pula.

Bagaimana dengan mobil? Adakah usaha sama untuk mengurangi pembakaran bensin yang percuma, karena faktanya mobil pun terjebak dalam kondisi yang sama. Penulis menemukan sebuah artikel menarik dari mobil.otomotifnet.com yang mengulas sistem Auto Start/Stop pada mobil BMW terbaru. Prinsipnya komputer yang ditanam dalam mobil akan memerintahkan mesin mobil untuk mati sementara pada kondisi berhenti (dengan mekanisme waktu tertentu), dan perannya akan digantikan oleh baterai untuk menyalakan komponen mobil lainnya (seperti Air Conditioner, Radio, klakson, dan lain-lain). Pada BMW ini merupakan salah satu dari serangkaian teknologi effeciency dynamic yang bertujuan mengurangi emisi gas buang pada kendaraan bermotor. Cukup menarik bila sistem ini benar-benar diterapkan pada setiap kendaraan roda empat di seluruh Indonesia atau bahkan seluruh dunia. Kita tidak akan menjadi paranoid karena membakar bahan bakar bensin untuk sesuatu yang tidak bergerak.

Sumber:

http://www.tempo.co/read/news/2011/08/19/124352572/Kendaraan-Bermotor-di-Indonesia-Terbanyak-di-ASEAN (13 Maret 2012)

www.wikipedia.com/sustainable design (13 Maret 2012)

http://jpmautomotive.blogspot.com/p/eco-drive-way-to-drive-efficienly.html

(13 Maret 2012)

http://www.otomotifnet.com/otonet/index.php/read_tekno/2011/12/17/326390/15/5/Mengenal-Auto-StartStop-Mesin-Mati-Malah-Happy (13 Maret 2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *