Dalam Singapore Design Week yang diselenggarakan pada tanggal 6-10 Maret 2019, penyelenggaranya, DesignSingapore Council, mengundang sesama Kota-kota Desain yang tergabung dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN) untuk turut berpartisipasi. Sebagai tuan rumah, mereka memfasilitasi dua orang perwakilan dari tiap kota dengan akomodasi 4 malam, akses khusus ke berbagai sub-event, acara makan siang/malam, dsb. Tiap delegasi hanya harus menanggung tiket pesawatnya sendiri.
Tidak sulit bagi Bandung, Kota Desain yang terdekat, untuk memenuhi undangan tersebut. Sebagai focal point Bandung untuk UCCN, saya sangat mengusahakan hadir, karena ingin mengambil kesempatan untuk berkumpul kembali dengan rekan-rekan dari sesama Kota Desain UCCN yang datang dari jauh, untuk dapat mengkoordinasikan berbagai hal lain. Tiap delegasi Kota Desain UCCN yang hadir akan menampilkan kasus di kotanya di UNESCO Cities of Design Public Forum, yang sesi-sesinya terbagi sesuai dengan pokja Kota Desain UCCN: kebijakan, bisnis, edukasi, komunikasi. Berikut ini adalah hal-hal yang memberikan kesan terdalam selama menghadiri Singapore Design Week 2019.
Brainstorm Design: Measuring the ROI of Design Thinking
Sebuah rangkaian acara seri konferensi bertajuk Brainstorm Design diselenggarakan selama 3 hari, tapi kami, delegasi Kota Desain UCCN, hanya mengikuti sesi di hari terakhir. Sesi pagi merupakan workshop/ diskusi dalam kelompok kecil, di mana peserta dapat memilih satu dari sekian tema yang ditawarkan. Saya memilih ruang dengan judul Measuring the ROI of Design Thinking. Menarik, karena selama ini kita melakukan Design Thinking (DT) untuk berbagai hal di luar profesi desain (bisnis, IT, pemerintahan, dll.), namun jarang memperhitungkan efektivitasnya. Apakah benar DT menjadi metodologi yang paling optimal? Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk dapat mengukur keberhasilan DT? Prof. Jeanne Liedtka, University of Virginia Darden School dan Prof. Kristina Jaskyte, University of Georgia, mengembangkan penelitian terkait hal ini dan membuat sebuah toolkit dalam format check list dengan Skala Likert, yang membantu kita untuk mengukur efektivitas DT. Dalam workshop ini, peserta mencoba menggarap toolkit tersebut dalam versi “permukaan”. Tentu saja, bila ingin pendalaman, harus berupa konsultasi dan/atau kasus khusus, namun workshop ini cukup memberi gambaran mengenai seberapa jauh DT dapat diterapkan sebagai cara berpikir/bekerja yang optimal.
DesignSingapore Council: Perpindahan Kementerian Induk
DesignSingapore Council, yang dibentuk oleh Pemerintah Singapura pada tahun 2003 atas kesadaran pentingnya sumber daya kreasi, daya cipta, kreativitas dan teknologi sebagai elemen strategi pembangunan Singapura yang minim SDA, menjadi salah satu andalan Singapura dalam memajukan kesejahteraan bangsanya. DesignSingapore Council kini masih bernaung di bawah Kementerian Kominfo, namun per 1 April 2019 nanti akan berinduk pada Kementerian Industri dan Perdagangan. Kebetulan saat welcome dinner saya didudukkan dengan Menteri Indag ini, sehingga dapat langsung bertanya, “Saat perpindahan kementerian induk nanti, apa yang akan berubah (dari Council)?” Jawabnya, “Kita akan lebih titik-beratkan dukungan bagi karya-karya desain Singapura pada faktor industrinya, akan lebih digenjot sisi ekonominya, untuk dapat lebih berdampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan para pelaku industri desain dan seluruh stakeholders-nya.” Sekarang saja mereka sudah rapih sekali cara kerja dan tata kelolanya, badan-badan pemerintahnya kompak menjalankan tugas sesuai petajalan; apalagi dengan fokus pada industri, perdagangan, dan peningkatan aktivitas ekonomi berbasis desain dan kreativitas ini, pasti Singapura akan jauh melesat.
Design Orchard
Reputasi Singapura tidak akan lepas dari Orchard Road, kawasan niaga utama yang sangat ramai dilalui orang. Tepat di tengah keramaian inilah Singapore Tourism Board membuka sebuah tempat bernama Design Orchard. Berusia baru beberapa bulan namun sudah operasional, Design Orchard memuat ruang-ruang coworking, pelatihan/ kelas, auditorium mini dan perlengkapannya. Karena diutamakan untuk sub-sektor fashion, Design Orchard ini dilengkapi pula dengan mesin-mesin jahit dengan berbagai teknik produksi, dari yang full manual, masinal, hingga digital print. Terdapat juga koleksi beragam material garmen dan contoh hasil pengolahannya. Dua lantai paling atas didedikasikan untuk belajar, berproses, bertemu, bereksperimen, dll., sementara lantai dasar menjadi etalase bagi produk & brand unggulan Singapura, terutama bagi pengusaha pemula. Tidak hanya untuk produk fashion dan aparel, tapi juga pernik perhiasan, cendera mata, hingga makanan. Disediakan juga ruang untuk pop-up cafe, dengan tema yang berganti-ganti (tema saat itu: Food & Fashion, dengan jenis makanan mulai dari sejenis ‘jajan pasar’, gulali, hingga cup cake). Khusus untuk produk fashion, terdapat fasilitas canggih: cermin tegak yang tersebar di sekitar display bukan hanya dapat memantulkan citra orang yang berdiri di depannya, namun juga dapat menjadi semacam ‘papan informasi’ digital di mana pengunjung dapat memindai kode baju yang dipegangnya untuk mencari ukuran atau warna lain, sekaligus juga untuk dapat melihat varian baju dengan model serupa. Seluruh produk yang ada di outlet ini telah melalui proses kurasi yang sangat ketat, baik dari segi kualitas material/ produk, konten, hingga kemasannya.
Tiga hal tersebut memberi kesan terdalam selama hadir di Singapura Design Week kali ini. Di akhir kunjungan, saya diminta memberikan komentar mengenai partisipasi dalam event ini. Pertanyaan yang diajukan pada saya adalah, apa persamaan dan perbedaan antara Singapura dan Bandung sebagai Kota Desain? Jawaban saya di depan kamera waktu itu harus diulang hingga 3-4 kali, jadi pasti ada frasa atau kata-kata yang tertinggal (dan entah akan disunting di bagian mana saja); lagi pula saya bukan tipe yang bisa tenang bicara versi live coverage. Untuk lebih jelasnya, begini: Singapura dan Bandung tentu saja memiliki kesamaan dalam hal kondisi cuaca dan iklim secara umum, karena sama-sama berada di wilayah tropis basah. Kedua kota ini sama-sama memiliki tantangan perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan kepadatan penduduk. Yang menjadi pembeda adalah, sebagai Kota Desain, Singapura secara formal jauh lebih terstruktur, karena pemerintahnya sadar betul bahwa Desain dan kreativitas pada umumnya telah menjadi penggerak aktivitas ekonomi dan telah menjadi strategi yang krusial untuk meningkatkan pendapatan. Secara top down, Singapura jauh lebih rapih dalam menerapkan kebijakan terkait potensi Desain dan penerapannya, sehingga dampaknya dapat terukur dengan lebih valid. “Desain” di Singapura telah berhasil mewujudkan polesan negrinya luar-dalam: tampak pantas di permukaan dengan segala gegap-gempitanya, namun juga berlaku pantas di lapisan dalamnya, baik dari segi tata kelola, maupun penguatan dan penerapan kebijakan terkait pengembangan desain. Sedangkan di Bandung, inisiatif dan gerakan bottom up lebih dominan, di mana stakeholders kota – selain pemerintah – memanfaatkan desain dan daya kreativitas sebagai cara untuk mencari solusi bagi berbagai isu lokal. Aktivitas desain di Kota Bandung belum didukung kebijakan dan fasilitas yang memadai, sehingga upayanya belum terasa secara masif, apalagi dampaknya secara ekonomi. Jelas, PR Bandung sebagai Kota Desain masih banyak, untuk memperjuangkan peran Desain yang dapat berdampak luar-dalam seperti halnya di Singapura. Mari, lanjut berjuang!
Pingback: Singapura, Kota Desain Luar-Dalam – Bandung Creative City Forum