DxCC [1/2]

DxCC1Mungkin pernah dengar, ya, ungkapan ini, “Kalau kita menjadi orang yang paling cerdas di sebuah ruangan, berarti kita berada di ruangan yang salah”. Nah, pertemuan di Bangkok yang baru lalu ini membuat lega, karena saya pasti berada di ruangan yang benar. Kesibukan selama ini dalam membangun organisasi, metodologi dan konsep, serta program-program selama ini dalam konteks ekonomi kreatif, design thinking, pengembangan komunitas, dan sebagainya, meskipun nampaknya bergerak ke arah yang benar, akan selalu membutuhkan kritik (termasuk self criticism), masukan, dan referensi. Sehingga undangan untuk berpartisipasi dalam seminar DxCC dan workshop Design for Collaborative Cities ini pun dirasa tepat waktu, di tengah-tengah laju aktivitas yang sepertinya ‘seru sendiri’. Tiba saatnya jeda sebentar untuk belajar. Mari, simak sejenak, apa yang dipikirkan dan sudah dilakukan oleh orang-orang, komunitas, dengan pengetahuan, keahlian, dan semangat serupa.     

Kita, warga dunia ini, sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang seluruhnya membutuhkan penanganan mendesak. Bagi Asia Tenggara, kawasan yang umumnya beriklim tropis dengan kepadatan penduduk yang terus bertambah, juga sebagai lahan lumbung keanekaragaman bahan makanan dan rempah dunia, adalah wajar bila hal-hal utama yang diangkat terkait soal ketahanan pangan dan kesehatan. Dampak Perubahan Iklim telah sangat terasa, ketika panen tidak lagi stabil, pasokan air bersih makin langka, udara makin panas dan kotor, serta menciptakan kondisi yang subur bagi berbiaknya berbagai penyakit. Sebagai yang menekuni bidang desain dan kreativitas pada umumnya, solusi apa yang bisa kita tawarkan dalam menghadapi tantangan ini? 

DxCC2Ezio Manzini, pendiri DESIS (Design for Social Innovation and Sustainability) Network, menginisiasi sebuah program bernama DxCCDesign for Collaborative Cities: cultivating communities in sustainable and healthy city making, yang telah dilaksanakan di Shanghai, Bogota, dan Beijing, dan kini di Bangkok, bekerja sama dengan Universitas Chulalongkorn. 

  1. Salah satu pertanyaan yang mengemuka adalah, “Bagaimana makanan menjadi bagian dari desain sebuah kota?”, karena rantai pasokan pangan yang lengkap, di mana bahan makanan ditanam/ diternakkan kemudian dipanen, diolah menjadi bahan baku, didistribusikan, hingga dimasak dan mencapai konsumen, pada akhirnya menjadi pertimbangan penataan sebuah ruang kota. 
  2. Makanan juga telah menjadi penggerak yang baik dalam sebuah komunitas; kegiatan keseharian di kota padat penduduk tentunya tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan akses yang cepat dan terjangkau ke makanan, yang seringkali muncul di kota-kota Asia Tenggara dalam bentuk kaki lima. Tentu saja kegiatan ini berimbasnya terhadap pengelolaan limbah dan persoalan higienis lainnya.            
  3. Ezio Manzini menegaskan bahwa DxCC bukan hanya untuk arsitek dan perancang kota, tapi juga desainer, dan berbagai lapisan pihak yang terlibat dalam perputaran produk dan jasa. Program ini bermaksud menemukan komunitas bentuk baru, yang menentukan “how a city could be” dalam korteks antara Kota dan Sistem Pangan.  
  4. Apakah Inovasi Sosial dapat berkontribusi dalam fokus kepada Kota (City) dan Pereka-Kota (City-Making)? Terutama dalam menemukan hubungan baru antara manusia dengan alamnya, dan, dalam skala yang lebih luas: antara perkotaan dengan lahan tumbuh makanannya. Hal ini tidak terlepas dari upaya menghubungkan kembali antara perkotaan dengan pedesaan. 
  5. Darurat Iklim bukan hanya menyangkut kepedulian terhadap lingkungan, tapi juga pada perilaku dan keterhubungan antara manusia dalam perannya yang beragam. 
  6. Tentu saja kita tidak bisa kembali ke masa lalu, di mana kota yang multifungsi dan agrikultur yang juga multifungsi masih berfungsi dengan baik dan efektif. Kini kita harus membangun “komunitas pangan yang baru”. Berbagai upaya telah dilakukan terkait hal ini di kota-kota dunia dalam skala yang berbeda-beda, seperti peri-urban farms, urban farms, neighbourhood farms, rooftop farms, balcony vegetable gardens, dll. yang pada akhirnya membentuk sebuah sistem rural-urban baru, dan menciptakan social gardeners.      
  7. Bagaimana sistem rural-urban baru ini dapat terus berlanjut? Karena warga dan komunitas terus menerus melakukannya, untuk membentuk “komunitas pangan yang baru” tersebut. Komunitas inilah yang menghasilkan koperasi pangan, dan kemitraan antara petani dan warga (kota). 
  8. Dari segi Inovasi Sosial, telah diketahui bahwa bila sebuah “komunitas masa lalu”, yang mempraktikkan perilaku, aktivitas, dan cara-cara kerja konvensional, mengalami bentrokan dengan “komunitas kontemporer”, yang mempraktikkan perilaku, aktivitas dan cara-cara kerja termutakhir, termasuk dengan pemanfaatan media dan teknologi canggih, biasanya “komunitas masa lalu” ini akan lenyap.  
  9. Kita memerlukan light, place-related communities, yang memiliki kekuatan, pengetahuan, dan juga pengetahuan desain. We should grow a new sense of care.
  10. Kita harus menciptakan enabling ecosystems, yang relevan dengan tempat, keahlian, peralatan dan dukungan, dilengkapi dengan visi bersama, kemampuan co-design, dan rancangan yang terarah.     

 

*Di bagian kedua nanti, paparan tentang penelitian di kota-kota Asia Tenggara, dan  workshop yang menggunakan 3 Horizons Framework

 

DxCC3

DxCC4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *