Ekonomi Kreatif ini makhluk yang gampang-gampang susah, apalagi karena statusnya yang masih termasuk bungsu di antara sektor-sektor lain yang sudah lebih mapan. Meskipun sebenarnya kegiatan “ekonomi kreatif”, atau monetisasi daya cipta & daya pikir manusia ini sudah berlangsung sejak berabad lalu, namun begitu ditetapkan dalam struktur resmi pemerintahan, tentu saja diperlukan definisi, parameter dan standar-standar yang harus disepakati bersama. Dan, yang tidak kalah penting, bagaimana menjalankan sektor ini sehingga berdampak dalam konteks kepentingan Indonesia.

Nomenklatur Ekonomi Kreatif di Indonesia
Dalam perjalanannya sebagai sebuah urusan di level kementerian, ekonomi kreatif di Indonesia mengalami dinamika yang cukup seru. Lumayan, sejak memiliki nomenklatur pertama “Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif” di 2011, Indonesia telah berhasil membawa ekonomi kreatif ke skala global; mulai dari perannya sebagai pencetus World Conference on Creative Economy (WCCE) di 2018, hingga sebagai pemrakarsa Resolusi PBB tentang Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan di 2023.
Dengan rekam jejak tersebut, juga dengan makin bergairahnya pergerakan ekraf di tingkat kabupaten/kota dan desa/kampung, sebenarnya perlu dicermati tantangan dalam pelaksanaan sektor ini. Karena, sedahsyat apa pun pamornya, nyatanya dampak ekonomi kreatif kita masih belum sehebat Korea Selatan, Inggris, Singapura, Thailand, dan negara-negara lain yang mengandalkan ekonomi kreatif dalam strategi pembangunan, meskipun sektor ekraf mereka bukan pada level kementerian. Lalu, gimana caranya mengejar proporsi dampak ekraf secara signifikan, seperti di negara-negara itu?
Nah, kini kita sedang berada di persimpangan jalan menuju periode pemerintahan berikutnya. Posisi ekonomi kreatif masih akan ditentukan, dan sifatnya masih sangat dinamis, mengingat besarnya irisan ekraf dengan beberapa sektor lain. Perlu rasanya menitipkan ekonomi kreatif pada para pemimpin negri ini di masa mendatang, agar rekam jejak ekraf kita tetap progresif, relevan dengan kebutuhan dan tantangan masa depan, serta konsisten dalam merespons peta jalan dan berbagai strategi/rekomendasi kebijakan yang pernah kita ajukan di berbagai forum global. Berkut ini beberapa butir titipan ekraf, from my own perspectives.
=====
KELEMBAGAAN | Perlu ditinjau lagi penggabungan antara ekraf dengan pariwisata, karena hasil dari ekraf tidak selalu untuk kepentingan sektor pariwisata. Bisa nggak ya, misalkan, ada badan ekraf tersendiri di bawah koordinasi kemenko, yang personelnya berasal dari K/L yang berurusan langsung dengan ekraf? Lalu, ada sinkronisasi garis koordinasi dari pusat ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga dalam struktur pemda menjadi semacam Bidang Ekraf dalam Bagian Perekonomian, misalkan, atau Bappelitbang, yang berwenang untuk melakukan koordinasi lintas dinas.
KEBIJAKAN | Di tingkat nasional, kita sudah punya UU Ekraf; beberaoa provinsi dan kabupaten/kota juga sudah punya Perda Ekraf, yang kemudian diturunkan menjadi Pergub atau Perbup/Perwal, meskipun belum semua, atau banyak yang masih berproses. Setidaknya, jelas bahwa ada landasan legal yang mendukung berjalannya sektor ekraf. Yang sering menjadi masalah adalah penerapannya di lapangan, di mana adanya segala kebijakan, peraturan, dan fasilitasi ini menjadi percuma. Misalkan, produsen film sudah melengkapi seluruh perizinan resmi untuk syuting di lokasi ruang publik, tapi masih kena pungli dari oknum lokal. Bandingkan dengan negara-negara yang bahkan sudah menawarkan paket syuting di lokasi mereka, yang sangat memudahkan proses produksi dan segala logistiknya.

Beberapa rekomendasi kebijakan yang diajukan Indonesia (antara lain melalui ICCN) di berbagai forum dunia
KOMITE | Sejauh ini peran Komite Ekraf skala provinsi dan kabupaten/kota, dalam beberapa kasus terbukti berhasil sebagai pendamping pemerintah dalam menyelenggarakan sektor ekraf. Kuncinya adalah pada kejelasan kewenangan, kapasitas personel, dan transparansi komunikasi, baik antara komite dengan pemerintah/dinas pengampu ekraf, maupun antara komite dengan tim internalnya & komunitas/pelaku yang menitipkan aspirasinya. Tentang kapasitas personel, tentu harus dipilih yang tepat, karena tanpa pemahaman tentang ekraf, dan tanpa leadership yang baik, “komite” hanya jadi sekedar SK di atas kertas. Komite Ekraf.bdg ini tulisan lawas yang memuat usulan struktur komite berdasarkan Perda Ekraf Kota Bandung No.01 Tahun 2021, tapi tidak terwujud (dan komite yang baru dibentuk, sorry to say, belum terlihat manfaatnya).

Kerangka Kerja Indonesia Creative Cities Network (ICCN); Catha Ekadasa memuat Komite Ekraf sebagai jurus kedua untuk mewujudkan “kota kreatif”

(sumber: KREASI Jabar, PROSPEK 2020)
KABUPATEN/KOTA KREATIF | Penting, memang, untuk dapat mengidentifikasi keunggulan suatu wilayah dalam ekosistem ekonomi kreatif — untuk dapat memetakan peran utamanya dalam rantai nilai aktivitas ekonomi kreatif, dan sub-sub sektor industri kreatif yang menjadi kekuatannya. Identifikasi dan pemetaan ini sebaiknya bukan sekedar memberi label pada kota, tapi juga menindak-lanjutinya dengan program-program sinergis dengan kota-kota lain dalam rantai nilai sub-sektor unggulannya, untuk meningkatkan produktivitas dan dampak berkelanjutan. ICCN telah berupaya merumuskan hal ini dalam bentuk Indeks Kota Kreatif (IKK) sejak 2017; Komite Ekonomi Kreatif & Inovasi (KREASI) Jawa Barat melakukan indexing pada 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat secara berkala sejak 2020, sambil terus mengembangkan/mempertajam variabel pengukurannya setiap tahun. IKK Jawa Barat dimuat dalam PROSPEK 2020 s.d. 2023, dapat diunduh gratis dari website KREASI Jabar. Pola demikian seharusnya dapat diliat sebagai pilot cara mengukur kemajuan sektor ekraf skala kabupaten/kota, sehingga para pemimpin daerahnya dapat menentukan strategi pembangunan berdasarkan data potensi ekraf yang selalu terbarukan. Tulisan Kota Kreatif, untuk Apa? ini mengkritisi predikat “Kota Kreatif” versi Kemenparekraf 2018.

Bali Creative Economy Roadmap, hasil dari WCCE 2022
PETA JALAN | Diperlukan adanya peta jalan ekraf nasional, agar program-program ekraf dapat terencana dan teranggarkan dengan baik, dengan capaian-capaian yang terukur — termasuk rencana strategi, rencana aksi, dan seluruh dokumen pelengkapnya. Dan dikomunikasikan secara meluas, dengan akses informasi yang terbuka, agar seluruh stakeholders, terutama para pelaku ekraf dan masyarakat umum, dapat turut berperan serta dalam mengisi target-target dalam peta jalan tersebut. Hal ini sekaligus membuka peluang untuk mengkaji ulang berbagai rekomendasi kebijakan ekraf yang pernah diajukan Indonesia di forum-forum dunia.

Future SME Lab di SMESCO
LITBANG & INOVASI | Inovasi mutlak diperlukan dalam pengembangan ekraf, tapi diperlukan komitmen serius dari para pihak kunci. Karena, sebenarnya tidak terhitung munculnya solusi berbasis ekraf untuk berbagai jenis perikehidupan di Indonesia yang dihasilkan di kampus-kampus atau pusat-pusat penelitian, namun umumnya hanya dalam skala purwarupa/prototype, atau pilot project dalam lingkup kecil. Diperlukan dukungan dan sumber daya yang signifikan agar berbagai solusi tersebut dapat membawa dampak nyata yang lebih luas, atau dapat direplikasi sesuai konteks wilayah. Diharapkan pula keberpihakan dukungan pada karya inovatif yang didominasi sumber daya lokal, terbarukan, dan sedapat mungkin mengatasi kesenjangan. Panduan tema riset yang “Indonesia banget” salah satunya disusun oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Sains45, yang mendorong eksplorasi kekayaan Indonesia sebagai negara maritim. KemenkopUKM dengan Future SME Lab-nya di SMESCO juga memberikan dukungan nyata terhadap proses litbang, yang umumnya tidak terjangkau oleh UMKM di Indonesia.

Konteks utama Indonesia yang dapat menjadi pertimbangan arah pengembangan sektor ekonomi kreatif
=====
Sebenarnya masih banyak hal lain, tapi mungkin dicukupkan sekian dulu, di hari pertama tahun 2024 ini. Semoga berkenan. Mari, sangat terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut, terutama bila ada yang perlu dikoreksi atau dilengkapi. Selamat memulai 2024!