“SENDAL”, begitu julukan mahasiswa pesertanya di awal mata kuliah ini diperkenalkan. Nama sebenarnya adalah Seni, Desain, Lingkungan dan menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB tingkat akhir. Ketika saya kuliah dulu, kami mahasiswa FSRD memang mendapatkan kuliah wajib mengenai lingkungan, dengan nama MK Pengetahuan Lingkungan (lalu disingkat “Pengling”), dengan dosen dari Jurusan Biologi. Yang dipelajari adalah seputar ekosistem lingkungan hidup, secara umum. Ya, seperti pelajaran Biologi di SMA sebelumya. Kemudian terjadi perubahan, sekitar tahun 2012(?) ketika ITB mempersilakan tiap fakultas untuk menyelenggarakan perkuliahan tentang lingkungan, yang langsung terkait dengan bidangnya masing-masing. Saat itu, saya sudah mengajar MK Desain Berkelanjutan sejak sepulang dari S3 di Belanda (dalam bidang design & sustainability) di Program Studi Desain Produk dan Magister Desain, sejak sekitar tahun 2008. Dengan adanya MK SENDAL untuk FSRD ini, saya ditugaskan menjadi koordinatornya, dengan peserta kuliah 1 angkatan mahasiswa FSRD, yang jumlah totalnya mencapai sekitar 250(!).
Pada awalnya, MK SENDAL adalah kuliah yang menginduk ke fakultas, sehingga perangkat pendukungnya pun (petugas daftar hadir, administrasi, peralatan, dll.) dikoordinasikan oleh fakultas. Dosennya berasal dari masing-masing program studi (prodi) yang ada di FSRD: Seni Rupa, Kriya, Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual; yang masuk kelas secara bergiliran di tiap pertemuan. Sehingga tiap prodi mendapat 2x giliran masuk kelas, sebelum dan setelah Ujian Tengah Semester. Sisa waktu pertemuan biasanya dimanfaatkan untuk menampilkan dosen tamu yang dapat memberi pengayaan wawasan bagi peserta MK SENDAL. Oh iya, bobot MK ini 3 SKS, jadi mahasiswa tidak sekedar duduk mendengarkan ceramah dosen, tapi ada deliverables dengan kualitas tertentu.
Pada awalnya, sebagai koordinator saya selalu hadir di kelas, meskipun prodi lain yang sedang mendapatkan giliran mengajar. Ini bukan belaka mengenai tugas, tapi karena memang materinya selalu menarik. Misalkan, Seni Rupa menyampaikan tentang karya-karya yang mengkritisi kondisi lingkungan, Kriya membahas pewarna dan serat alam, Desain Interior mengenai universal design atau inklusivitas dalam merancang ruang, Desain Komunikasi Visual memberi contoh berbagai media komunikasi untuk persuasi gaya hidup yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan, Desain Produk tentang intervensi “keberlanjutan” dari hulu hingga hilir proses penciptaan produk. Dosen tamu? Ini juga seru. Saya pernah mengundang Bu Katrin, dosen Teknik Industri Universitas Parahyangan, untuk membahas Product Service System; Kang Emil, yang saat itu masih aktif mengajar di Arsitektur ITB, untuk diskusi tentang Sustainable Urbanism; hingga Pak Apep penanggung jawab TPA (tempat pembuangan akhir) sampah ITB yang kala itu sudah bertugas selama 30 tahun (“Sampah ITB selesai di ITB, tidak membebani pemkot”, katanya, “Paling susah itu mengolah sampah dari kegiatan Pasar Seni”). Dan banyak lagi.
Selanjutnya, sistem perkuliahan SENDAL sedikit mengalami perubahan. Saya mulai mengaitkannya dengan permasalahan nyata di Kota Bandung. Bagaimana bidang seni rupa, kriya, desain, dan kreativitas pada umumnya dapat menjadi solusi masalah perkotaan? Bagaimana bidang kreatif ini bisa berkontribusi? Setidaknya di tahun atau semester terakhir ini, mahasiswa SENDAL berkesempatan terjun langsung ke masyarakat, dan mendedikasikan ilmu & keterampilan mereka; tentu saja dengan seluruh pertimbangan mengenai “keberlanjutan” yang sudah diperoleh di kelas. Lagi pula – ini catatan khusus saya pribadi – kelas SENDAL ini bisa jadi merupakan satu-satunya kesempatan mahasiswa FSRD untuk bekerja sama lintas prodi sebelum mereka lulus, karena (ini yang bikin agak sedih) bisa jadi mereka tidak tersentuh yang namanya Pasar Seni. Kok bisa? Iya, karena selama berkehidupan di kampus ada angkatan yang belum sempat mengurus perhelatan legendaris ini. Sayang, ya.
Sehingga, kelas SENDAL di tahun-tahun belakangan ini berbentuk tugas kelompok yang dilaksanakan selama satu semester penuh, paralel dengan berjalannya pertemuan di kelas. Kelompoknya boleh lintas prodi, selalu ada tema, selalu harus ber-partner dengan komunitas/warga lokal, dengan Ujian Akhir Semester berbentuk pameran yang menampilkan kegiatan tiap kelompok selama satu semester itu. Lengkap dengan display artefak hasil kegiatan, video dokumenter durasi 3 menit, infografis, katalog, dsb. Rekanan yang sempat terlibat selama ini antara lain Komunitas Riset Indie, Karang Taruna Kota Bandung, dan sebagainya. Harapannya, selain langsung menerapkan konten kuliah pada permasalahan nyata, mahasiswa SENDAL juga dapat belajar mengatur diri, berorganisasi menyelenggarakan pameran bersama (meskipun kadar heboh dan dramanya jauh di bawah Pasar Seni). Hasilnya? Beberapa akan lanjut kita bahas di sini ya, di beberapa posting berikut.
Pingback: SENDAL: Toponimi | o2 Indonesia