*sambungan dari bagian sebelumnya
Maka, begitu perda ini disahkan, harus segera diturunkan menjadi perwal yang akan mendetailkan secara teknis hal-hal tersebut. Misalkan, persyaratan menjadi personel Komite Ekraf, tata kelola Pusat Kreasi, dan sebagainya. Dalam kesempatan workshop ini, para peserta pun menyampaikan aspirasinya, dalam rangka mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi dengan adanya perda tersebut. Berikut ini beberapa hal yang menarik untuk dicatat dari rangkuman hasil workshop:
- Pelaku Ekonomi Kreatif. Harapannya, pelaku ekraf dapat lebih sadar terhadap peraturan yang ada demi peningkatan peran/kontribusinya bagi kota; terjadi multi-perspektif lintas bidang usaha dan keahlian terkait (finance, marketing, desain, dll.); akademisi hendaknya membantu litbang pelaku ekraf. Tantangannya, masih terasanya hirarki (senior/junior) di antara pelaku ekraf; pertemuan antara karakter ekraf sebagai ekosistem yang cair dengan birokrasi yang rendering rigid/kaku; anggapan “sebelah mata” terhadap profesi ekraf; lambatnya proses legalisasi dan akses teknologi; pelaku ekraf yang rentan sebagai pekerja, umumnya karena tidak memiliki sertifikat/hukum yang melindungi agar tidak bersifat eksplotatif. Solusinya, hendaknya terdapat forum atau platform komunikasi intensif; perkuat sinergi antara pemerintah dengan asosiasi profesi dan akademisi; penentuan standar remunerasi para pekerja ekraf; komite ekraf diisi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh asosiasi masing-masing bidang; tersedianya support system yang mengefisiensi operational cost di awal usaha (mis. konsultasi akunting, pemasaran, SDM, dsb., di luar produk & proses kreatif), agar ekraf bisa mengarahkan energi dan fokusnya ke ide-ide baru.
- Penataan Ekonomi Kreatif. Harapannya, memudahkan akses terhadap urusan legal dan administrasi seperti perizinan; meningkatnya pemahaman mengenai HKI; elemen & pekerjaan di pemerintahan agar dipercayakan pada pelaku ekraf di bidangnya (mis. pembuatan buku oleh desainer grafis); tersedianya sistem daring yang baik. Tantangannya, proses perlindungan HKI bagi pelaku ekraf; pendanaan dari APBD untuk boosting pengusaha ekraf perintis; gentrification sebagai resiko “kawasan ekraf”; perlu prosedur sinkronisasi data antara pelaku (asosiasi/komunitas) dengan pemerintah; sistem online pemerintah yang sering berubah dan kurang user friendly. Solusinya, adanya galeri Bandung Kota Desain yang dikelola oleh komunitas; upgrade kanal online; kelonggaran impor untuk mempercepat akses ke teknologi baru; adanya layanan chat 24/7 yang suportif dan jam buka yang fleksibel (hingga di luar hari/jam kerja).
- Pengembangan Ekonomi Kreatif. Harapannya, adanya edukasi HKI yang mendasar sejak pendidikan dini melalui apresiasi karya, sebelum masuk ke teknis; keterlibatan pelaku ekraf dalam pengembangan sektor dan disiplin ilmu selain ekraf untuk dapat saling bersinergi; adanya pusat riset bidang ekraf terbesar di Indonesia; peningkatan kepekaan terhadap perubahan sosial budaya melalui ruang diskusi antar stakeholders; adanya ekosistem yang mendukung serendipity co-creation dan co-learning. Tantangannya, keterbatasan akses untuk pengembangan kreativitas di masa pandemi; keterbatasan pendidikan & pengembangan pemrograman di platform tertentu yang sulit diakses; belum adanya hub/simpul yang merepresentasikan 16 sub-sektor; masih banyak sektor yang belum paham peran pelaku ekraf dalam pengembangan sektornya; regenerasi talent sebagai komoditi ekraf; eksekusi program yang belum selalu berkelanjutan; komunikasi lintas sub-sektor. Solusinya, kurikulum terkait HKI sejak SD, SMP, SMA hingga kuliah; harus ada pihak penengah (intermediary) yang menjaga ekosistem dan sebagai penghubung antar stakeholders; adanya FGD lintas (sub)sektor untuk saling update perkembangan masing-masing, juga untuk membuka mindset dan memicu kolaborasi; adanya wadah untuk pembelajiran pemrograman (Stackoverflow Bahasa Indonesia); adanya indikator yang jelas dalam mendata dan mengukur kinerja kontribusi ekraf terhadap ekonomi.
- Pusat Kreasi dan Kota Kreatif. Harapannya, akses yang terbuka namun disertai konsep yang jelas dan terukur; adanya pusat layanan HKI yang melakukan pendekatan “jemput bola” ke pelaku ekraf; BCH yang berfungsi penuh dan terbuka/akomodatif bagi seluruh sub-sektor. Tantangannya, BCH yang belum nyaman sebagai ruang kreasi; pembangunan infrastruktur yg belum tepat guna; sulitnya akses sumber informasi market/trend; perawatan (pra)sarana oleh para pelakunya sendiri. Solusinya, FGD lintas sub-sektor untuk mendefinisikan tujuan dan “why factor” sebuah pusat kreasi sekaligus mengevaluasi sistem dan bentuk akomodasi BCH; inkubasi ekraf dan kewirausahaan bagi seluruh warga secara inklusif.
- Komite Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif. Harapannya, melibatkan asosiasi profesi; dikelola secara profesional 7 hari/minggu; komite berkelas dunia; terbukanya kolaborasi dengan seluruh sub-sektor untuk memperluas peluang; kolaborasi penta helix yang inklusif dan berkapasitas mendorong co-creation, bukan memaksakan agenda masing-masing; program berbasis permasalahan nyata, bottom-up. Tantangannya, berjejaring lintas bidang; komite harus mampu menemukan ribuan “ekraf hidden gems” di Bandung; regenerasi; ego; legalisasi yang lebih lambat dari perkembangan & penerapan teknologi baru. Solusinya, perlu simpul interdisiplin; filter kandidat dan regenerasi “rising star” setiap tahun; adanya lembaga/komite ekraf yang lebih cair untuk akses pendanaan; adanya kebebasan akses jaringan rekomendasi bagi para akademisi untuk pengembangan ekraf; berjejaring dengan institusi internasional; tim penta helix yang difasilitasi oleh kemampuan co-create service design profesional.
- Pendanaan. Harapannya, adanya bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana untuk regenerasi dan inkubasi pendukung ekosistem ekraf; adanya informasi mengenai pendanaan yang dapat diakses dengan mudah; penyaluran pendanaan yang lebih terarah; kerja sama dengan BUMN/swasta terkait peluang pendanaan dan peluang kerja sama yang transparan. Tantangannya, informasi terkait akses penggunaan APBD dan sumber pendanaan lain untuk ekraf. Solusinya, pemanfaatan aset negara (BUMN, pemda, swasta) yang idle, yang dapat dioptimalkan sebagai sarana pendukung ekraf; adanya lembaga yang mengelola dana khusus ekraf; mekanisme transparansi pengelolaan dana; pembentukan konsortium dana CSR khusus untuk ekraf; kolaborasi dengan KBRI dan berbagai institusi budaya asing, yang dapat menjadi sumber informasi terkait peluang pendanaan (grant, funding, dsb.) dari luar negeri.
- Sistem Informasi Ekonomi Kreatif. Harapannya, adanya sosialisasi yang lebih friendly sejak awal/ sekelum menetapkan rencana tahunan, dengan mengajak perwakilan pelaku ekraf, sehingga dapat diverifikasi di akhir tahun; adanya sosialisasi mengenai sistem informasi secara lebih menyeluruh, dengan interface yang lebih terfokus pada pengenalan platform Patrakomala dan manfaatnya; data dibuat lebih transparan dan accessible, baik bagi asosiasi maupun non asosiasi. Tantangannya, belum seluruh stakeholders mengetahui informasi ini; informasi dari pemda yang cenderung kaku/bersifat satu arah; website yang operasionalnya belum ramah pengguna. Solusinya, sosialisasi sekaligus user testing berhadiah bagi target users melalui undangan personal; website-nya harus keren; ada tips & tricks dari KOL/ content creator pelaku yang reliable, sesuai bidangnya.
- Pengawasan dan Pengendalian. Harapannya, pemerataan fasilitasi/bantuan ke seluruh sub-sektor, dan adanya akses database yang mudah dan responsif. Tantangannya, kecenderungan penyaluran fasilitasi/bantuan karena adanya kedekatan; kurangnya transparansi performa ekraf di Kota Bandung. Solusinya, pengawasan oleh tim gabungan lintas sub-sektor; adanya portal informasi yang memuat dinamika ekraf di Bandung dan tersedianya database yang terukur.
Tentu saja masukan yang diperoleh dari 2x workshop lebih dari yang tertulis di sini, tapi semoga dapat memberikan gambaran mengenai tanggapan para pelaku terhadap adanya perda ekraf. Awareness awal di kalangan masyarakat pelaku terhadap adanya perda ini diperlukan, bahkan harus terus menerus disosialisasikan, agar Perda Ekraf tidak hanya disahkan, tapi menjadi alat yang ‘hidup’ dan benar-benar dapat dimanfaatkan oleh para pelaku ekraf, terutama di Kota Bandung.
Pingback: Kalau Sudah Punya Perda, Terus Gimana? (1) – Tita Larasati