Di awal kuliah Desain Berkelanjutan di Magister Desain ITB, seperti biasa mahasiswa peserta kuliah, dalam kelompok, diminta untuk mempresentasikan secara ringkas pemahaman mereka mengenai isu ekologi, keberlanjutan, dan kontribusi Desain terhadap isu tersebut, baik positif maupun negatif. Kali ini, ada beberapa topik yang diangkat, mulai dari limbah medis, energi, gawai, hingga polusi, dan ada juga mengenai lingkungan kota yang membahas rumput sintetis di Alun-Alun Kota Bandung. Rumput sintetis di Alun-Alun Bandung ini memang lumayan hangat dibicarakan, terutama di media sosial, sejak baru terpasang. Bagaimana tanggapan sekelompok mahasiswa S2 Desain mengenai hal tersebut?
Bahasan mengenai rumput sintetis ini dimulai dengan asal material itu sendiri.
Rumput sintetis yang diimpor telah sarat jejak beban ekologi akibat berlangsungnya proses distribusi, transportasi, dan sebagainya. Ada hal-hal positif dan negatif seputar penggunaan rumput sintetis di Alun-Alun Bandung ini. Kelebihannya adalah dalam hal perawatan, daya tahan (durability), dan harga. Kekurangannya adalah ketidak-mampuannya menghasilkan oksigen seperti halnya rumput hidup, adanya substansi berbahaya yang dikeluarkan material tersebut, dan tidak dapat hancur secara biologis (non-biodegradable).
Perawatan rumput sintetis ini pada dasarnya berupa pembersihan dari sisa-sisa makanan/minuman, dan sampah-sampah lain, termasuk kotoran hewan dan permen karet(!) yang paling sulit dilakukan. Perawatan lanjutan memerlukan peralatan khusus, seperti sikat untuk meluruskan tekstur rumput, penghawaan, dan lain-lain. Lalu ada pula bahan pembersih yang biasa digunakan untuk memelihara rumput sintetis ini, seperti cairan penghilang minyak dan jamur, sekaligus pewangi.
Berbagai jenis perawatan ini memang tidak mudah, tapi Pemerintah Kota Bandung memang memiliki alasan tersendiri untuk menerapkan rumput sintetis, bukan rumput hidup, di Alun-Alun Bandung; antara lain adalah karena adanya basement di bawahnya. Pertimbangan ini tidak dibahas lebih lanjut dalam sesi ini, karena yang lebih menarik adalah adalah berbagai skenario perlakuan rumput sintetis ini bila masa pakainya telah berakhir. Keputusan menjadikannya material daur-ulang maupun pakai-ulang tentu tergantung kualitasnya di akhir siklus pakainya nanti. Tentu saja, makin ia dipergunakan dan dirawat dengan baik, makin tahan lama.
Dalam diskusi, disepakati bahwa perilaku pengguna warga Bandung terhadap rumput sintetis ini juga sangat penting. Minimal dengan tidak meninggalkan sisa makanan/minuman pada permukaan rumput ini, dan menjaga kebersihannya dari kotoran lain seperti lumpur/tanah pada sepatu, dan lain-lain. Karena, sebagus apa pun fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Kota, tidak akan bisa bertahan bila warga tidak turut aktif dalam mempergunakan berbagai fasilitas tersebut secara wajar dan turut memeliharanya.
Tautan terkait:
- Jawaban Ridwan Kamil Soal Rumput Sintetis Alun-alun Bandung http://regional.kompas.com/read/2014/12/27/12395761/Ini.Jawaban.Ridwan.Kamil.soal.Rumput.Sintetis.Alun-alun.Bandung
- Kenapa Ridwan Kamil Tanam Rumput Palsu di Alun-alun? http://www.tempo.co/read/news/2014/12/27/058631232/Kenapa-Ridwan-Kamil-Tanam-Rumput-Palsu-di-Alun-alun