Tag Archives: ITB

Karangan Bunga Imitasi: Terlihat Indah Namun Berdampak Buruk pada Bumi

Rahmat Zulfikar (27116049)

Sekilas karangan bunga terlihat sangat menarik, namun dibalik keindahannya terdapat masalah yang sangat meresahkan. Masalah tersebut timbul dari penggunaan bahan yang tidak lagi 100% berbahan organik. Pada mulanya para pedagang karangan bunga menggunakan bunga asli sebagai bahan utama dalam merangkai karangan bunga pesanannya. Namun para pedagang kini sudah menggantinya dengan bunga imitasi yang dibuat dari bahan styrofoam. Berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup kota Yogyakarta tahun 2008 menyebutkan bahwa, komposisi limbah styrofoam berada pada kategori lain-lain sebesar 25, 83% dari 350 ton jumlah sampah harian. Berarti ada sekitar 90 ton sampah styrofoam dalam sehari. Jumlah tersebut belum mencakup keseluruhan sampah styrofoam yang ada di Indonesia. Angka tersebut sudah pasti sangat mencengangkan bila harus dihubungkan pada niat kebaikan empati terhadap saudara atau teman. Pernahkah kita berpikir bahwa karangan bunga yang kita berikan kepada sanak saudara atau teman itu, sangat merepotkan mereka setelah acara selesai. Mungkin saudara dan teman kita justru tidak bahagia karena harus direpotkan dengan hal-hal yang membuatnya ribet. Mereka harus membereskan tumpukan karangan bunga yang umurnya sangat sebentar. Karangan bunga hanya dipajang pada saat acara berlangsung. Mungkin hanya beberapa orang dari sekian banyak tamu acara yang benar-benar memperhatikan karangan bunga tersebut. Umurnya yang sebentar dan pengaruhnya terhadap acara tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan yang harus ditanggung bumi setelah acara tersebut selesai. Bila dalam satu hari ada banyak acara serupa yang para tamunya juga memberikan karangan bunga serupa sudah bisa dibayangkan betapa banyak sampah styrofoam yang akan ditanggung bumi. Membereskan karangan bunga yang terbuat dari styrofoam itu tidak mudah. Tidak mungkin meraka akan menumpuk lalu membakarnya begitu saja. Karena pasti akan berat hati bila asap yang ditimbulkan mengganggu tetangga mereka. Sampah styrofoam tidak dapat diuraikan oleh tanah, sifatnya yang abadi tidak cukup hanya dengan dikubur di dalam tanah.

Pada tanggal 1 November 2016, bandung melarang adanya penggunaan styrofoam. Pertanyaanya apakah peraturan ini hanya berlaku untuk kemasan makanan atau berlaku pada semua sektor kehidupan dikota bandung. Apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, sudah semestinya masyarakat mulai mengurangi jumlah penggunaan styrofoam. Harusnya pemerintah juga melaranga penggunaan styrofoam pada sektor lain. Mulai sejak dini penggunaan styrofoam pada karangan bunga harus mulai dibatasi. Masyarakat harus bisa aware terhadap kebutuhannya sendiri. Alangkah baiknya perbuatan baik selalu dimulai dengan yang baik. Menyampaikan rasa empati bukanlah hal yang buruk. Namun tanpa disadari masyarakat kurang memeperhatikan secara detail kebutuhan bersosialnya. Sehingga kebaikan sosial yang dilakukan berdampak pada pencemaran lingkungan yang ujungnya akan meresahkan masyarakat itu sendiri. Sudah semestinya masyrakat mencari alternatif lain dalam menyampaikan empatinya terhadap lingkaran sosialnya. Masyrakat harus sudah mulai memilah sendiri material yang akan digunakanya dalam beraktifitas. Bila masyarakat tidak memulainya sudah bisa dipastikan bumi akan menanggung banyak sampah styrofoam yang tidak bisa diurai. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat harus benar-benar berhenti menggunakan styrofoam bila tidak ingin menyaksikan bumi tenggelam dengan tumpukan styrofoam. 

Fun with your closet: Reuse, Reduce, Repair and Reconditioning, Recycling of cloth

 

Sari Yuningsih (27116044)

Pakaian tidak dapat terlepas dari kebutuhan setiap individu, namun pernahkah mengalami kebingungan dimana akan menyimpan pakaian yang baru saja dibeli. Apakah anda pernah berhitung berapa jumlah pakaian yang anda miliki? jika ya, berapa dari pakaian tersebut yang sering anda pakai? Menurut anda apakah perlu menambah lemari baru di dalam rumah/ kamar? atau mengurungkan membeli pakaian yang sangat diidamkan, dengan model terbaru dan telah ditunggu lama? Pilihannya ada di tangan anda. Namun sebelum anda putuskan, alangkah lebih baik jika anda menyimak beberapa hal berikut agar lebih bijak dalam memutuskannya.

Konsep 3R (Reuse, Reduce dan Recyling) sudah sangat sering kita dengar, dan identik penerapannya pada benda pakai seperti botol minuman, kantung plastik, limbah kayu, botol kaca dan lainya. Penerapan konsep tersebut sebenarnya cakupannya luas, tidak terbatas pada benda-benda seperti yang telah disebutkan tadi. Fletcher dalam bukunya Sustainable fashion & textiles : Design Journey dapat mengispirasi anda dengan konsep 3R yang dibahas, bahwa “to reuse – not bought new; to reduce–by choosing products made with environmentally friendly production practices; to recycle –making garments from a previously existing item”. Lebih jelasnya mari kita bahas bersama.

  1. Reuse 

Reuse merupakan pemakaian kembali pakaian dari koleksi yang anda miliki dan layak pakai. Dengan menggunakan pakaian dari koleksi yang anda miliki, tentunya akan sangat mengurangi kebutuhan pakaian baru sehingga volume lemari anda akan tetap. Berkaitan dengan reuse ini, akan sangat membantu jika anda memiliki koleksi pakaian yang paling sering anda gunakan seperti pada pakaian kerja atau pakaian sehari-hari lainnya dengan menerapkan mix and match dari koleksi yang ada.

  1. Reduce 

Sistem reduce pada pakaian yaitu dengan mengurangi jumlah pakaian yang anda miliki. Ada baiknya anda melakukan pengecekan secara berkala pada pakaian-pakaian yang sudah tidak ingin anda gunakan lagi. Pakaian tersebut dapat anda berikan pada saudara, adik, atau orang lain yang membutuhkan.  Selain cara tadi dapat juga menerapkan sebuah aturan jika anda menginginkan pakaian baru anda harus mengeluarkan beberapa pakaian lama yang anda miliki, sehingga jumlah pakaian masih dapat terkontrol.

  1. Recycling 

Proses pembaharuan dalam pakaian merupakan proses yang paling sulit, karena membutuhkan biaya yang besar baik dari segi material serta energy. Proses ini tidak dapat dilakukan sendiri memerlukan teknologi dan keterampilan lebih untuk mengubah pakaian menjadi bahan baku kembali. Pada umumnya perusahaan pun lebih memilih untuk membuat bahan baku baru daripada membuatnya dari hasil proses pembaharuan mengingat besarnya materi yang harus dikeluarkan.

  1. Repair dan Reconditioning

Perbaikan dan rekondisi pada pakaian dapat memberikan nilai tambah pada pakaian yang anda miliki. Contohnya anda dapat mempraktekan metode-metode DIY yang sekarang dapat dengan mudah diakses seperti kemeja lama anda yang semula polos tanpa hiasan, anda berikan renda atau contoh lain adalah pakaian yang hangus akibat penyetrikaan jika biasanya anda buang, kali ini cobalah berkreasi dengan memberikan kain lain sebagai aplikasi.

Pemaparan di atas merupakan salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mengelola pakaian. Seperti yang telah dibahas penguraian pakaian menjadi bahan baku memerlukan materi yang banyak, belum lagi terhitung dampaknya terhadap lingkungan dan siklus ekologi. Apapun yang menjadi pilihan anda konsep 3R di atas mengajak kita untuk bijak dalam memilih serta meluangkan ide, imajinasi serta kreatifitas dalam berbusana masa kini. Apakah anda tertarik untuk mencobanya?

SERAGAM OLAHRAGA RECYCLED POLYESTER UNTUK DAN KAITANNYA DALAM MENGURANGI CARBON FOOTPRINT

Juan Vito (27116035)

 

 

Carbon Footprint merupakan jumlah total karbon yang diproduksi untuk mendukung kegiatan manusia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Setiap kegiatan manusia memproduksi karbon yang banyak dapat meningkatkan suhu di bumi, yang dapat mengakibatkan perubahan cuaca. Nilai Carbon Footprint tiap orang berbeda-beda, berdasarkan gaya hidup sehari-harinya. Terdapat aplikasi online untuk menghitung Carbon Footprint, sehingga kita dapat mengetahui kadar karbon yang dihasilkan dihitung dari kegiatan rutin yang kita lakukan. Kalkulasi Carbon Footprint diperlukan sebagai patokan, apakah sudah melebihi batas normal atau tidak.  National Geographic pernah memuat tentang 14 cara sederhana untuk mengurangi carbon footprint, yaitu dengan merubah gaya hidup sehari-hari, mulai dari mengefisiensi pemakaian lampu di rumah, mengurangi perjalanan dengan menggunakan pesawat bila memungkinkan, mengganti peralatan elektronik lama seperti kulkas dan setrika dengan model baru yang lebih ‘pintar’, melakukan daur ulang, menghemat bahan bakar dengan menggunakan bahan bakar elektrik ataupun memakai kendaraan berteknologi hibrida, mengurangi berkendara apalagi masih bisa berjalan kaki atau bersepeda, mengurangi makanan daging terutama daging impor karena mendatangkan daging impor memproduksi karbon yang besar, dan mengurangi minuman berbotol plastik dan minuman berkemasan lainnya.

pastedGraphic.png

Mengurangi makan daging sapi dapat mengurangi Carbon Footprint

Sampah plastik merupakan salah satu yang paling merusak lingkungan karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terurai. Kesadaran manusia akan hal tersebut membuat banyak inovasi dilakukan terkait sampah plastik, mulai dari membuat kemasan dari kertas, memakai tas kain sebagai pengganti plastik ketika berbelanja, menciptakan plastik yang lebih mudah terurai, dll. Untuk menciptakan 1 kg polyethylene, bahan dasar plastik, menggunakan energi dengan membakar setara 2 kg minyak. Sementara membakar 1 kg minyak menciptakan sebanyak 3 kg karbon dioksida. Dengan kata lain, dalam pembuatan 1 kg plastik, tercipta sebanyak 6 kg karbon dioksida.

Salah satu inovasi yang dilakukan oleh perusahaan peralatan olahraga Nike sejak 2010 hingga saat ini adalah pembuatan seragam olahraga dengan menggunakan recycled polyester. Dengan etos Nike Better World, perusahaan ini memproduksi seragam olahraga ramah lingkungan dengan menggunakan limbah botol plastik yang dipotong-potong dan dilelehkan, yang kemudian dijadikan bahan dasar kain untuk membuat seragam. Sekitar 96% dari bahan baku untuk membuat pakaian olahraga menggunakan limbah botol plastik. Dibutuhkan setara 8 botol plastik untuk membuat satu buah T-shirt, dan 5 botol plastik untuk membuat celana olahraga. Dalam pengerjaannya, menggunakan recycled polyester menghemat 30% penggunaaan energi dibandingkan dengan membuat polyester baru. Pembuatan seragam dengan teknik recycled polyester dalam setahun mengkonsumsi setidaknya 13 juta botol plastik, yang jika dihitung seluas 28 lapangan sepakbola, cukup signifikan mengurangi jumlah sampah plastik dari lingkungan.

pastedGraphic_1.png

Seragam tim nasional Brazil dengan menggunakan recycled polyester

pastedGraphic_2.png

Seragam cabang olahraga basket, renang dan sepakbola dengan recycled polyester

Pada Piala Dunia 2010, Euro 2012, semua tim nasional yang menggunakan produk Nike memakai seragam dengan recycled polyester. Bahan yang sama juga dikembangkan Nike untuk cabang olahraga lain. Pada Olimpiade London 2012 dan Olimpiade Rio 2016, seragam basket dan pakaian renang dari Negara yang menggunakan produk Nike menggunakan bahan recycled polyester. Teknologi daur ulang plastik juga digunakan produk perlengkapan olahraga Adidas dan produsen alat olahraga Asia dalam membuat sepatu olahraga dan sneakers. Hal ini memperlihatkan kesadaran manusia untuk menciptakan produk yang tidak hanya untuk mencari keuntungan namun memperhatikan kondisi lingkungan.

 

BIOMATERIAL TEKSTIL

Tetes Annisa Lestari (27116028)

Industri tekstil adalah salah satu penyumbang karbon terbesar di dunia. Produksi bahan pakaian membutuhkan banyak energi. Dalam global industri tekstil memproduksi sekitar 60 juta kilogram bahan pakaian dan bertanggung jawab atas besarnya emisi karbon yang dihasilkan dari beberapa proses seperti proses pewarnaan, bleaching, dan finishing. Bahan pakaian ini kebanyakan diproduksi dari bahan sintetik seperti nilon, polyester dan rayon. Bahan tersebut tidak hanya membutuhkan energi yang cukup besar saat diproduksi, namun juga bahan kimia yang digunakan pada saat proses produksi selalu berakhir sebagai limbah beracun yang mencemari udara, tanah dan air. Yang lebih mengejutkan adalah bahan pakaian dari serat alam seperti katun yang diproses dengan cara konvensional itu menggunakan pestisida, pupuk kimia dan penggunaan air yang banyak. Masalah lain adalah limbah kain yang dihasilkan dari sebelum dan sesudah diproduksi menjadi pakaian siap pakai. Limbah kain merupakan salah satu jenis limbah yang sulit diolah, karena merupakan limbah anorganik yang tidak mudah terurai sehingga tidak dapat dikompos. Industri tekstil adalah salah satu industri yang sangat besar, begitu pula polusi dan limbah yang dihasilkan setiap harinya.

Dengan latar belakang industri tekstil yang kurang ramah terhadap lingkungan karena penggunaan bahan kimia pada proses manufaktur dan proses-proses setelahnya sehingga menghasilkan karbon yang tidak terkontrol, maka kebutuhan pencarian beberapa biomaterial tekstil sebagai material alternatif dan bersifat biodegradable dalam dunia tekstil yang diharapkan ideal untuk segala aspek khususnya ramah terhadap lingkungan.

National Geography memuat artikel tentang material tekstil biodegradable. Young-A Lee seorang profesor dari Universitas Iowa, menciptakan rompi, sepatu dan tas dari limbah produksi teh fermentasi: kombucha. Material ini diciptakan dari campuran simbiotik dari ragi dan bakteri. Proses fermentasi dari kedua bahan itu akhirnya menumbuhkan selulosa bakteri dan dapat diproses menjadi pakaian siap pakai atau aksesori fashion. Ketika material ini kering sempurna, tekstur dan kelenturannya mirip dengan karakter kulit binatang. Tetapi kelebihan dari material ini adalah seratnya mudah terurai dengan cepat, tidak seperti katun organik atau serat alam lainnya. Setelah materialnya sudah tidak layak dipakai sebagai pakaian atau aksesori fashion, maka material tersebut dapat digunakan sebagai kompos.

pastedGraphic.png

(sumber: http://www.nationalgeographic.com/people-and-culture/food/the-plate/2016/05/turning-food-waste-into-a-fashion-statement/ diakses pada tanggal 12 Maret 2017)

Berikut beberapa contoh biomaterial lain yang telah dikembangkan untuk menjadi material alternatif yang lebih ramah lingkungan:

Istilah Muskin diambil dari ‘mushroom-skin’, 100% biodegradable kulit yang terbuat dari nabati diekstrak dari jamur dan proses pewarnaan menggunakan bahan bebas kimia, lembut, lentur, anti-air secara natural, dan tidak berbahaya ketika bersentuhan dengan kulit manusia, mudah untuk dibentuk (contohnya untuk diproduksi sebagai tas, sepatu dll), dan tes laboratorium menyatakan bahwa material ini higienis karena dapat membantu menghentikan perkembangan bakteri.

pastedGraphic_1.png

(sumber: http://www.ecouterre.com/muskin-a-vegan-leather-made-entirely-from-mushrooms/muskin-mushroom-leather-5/ diakses pada tanggal 12 Maret 2017)

XXLab dari Yogyakarta menciptakan biomaterial tekstil terbuat dari limbah produksi tahu. Proses pembuatannya dengan cara direbus dengan cuka, gula, diberi penyubur, ditambahkan bakteri, diendapkan selama 10 hari sampai membentuk selulosa mikrobia dan ditunggu sampai kering. Material dari limbah produksi tahu ini adalah biomaterial dengan biaya murah dengan zero waste.

pastedGraphic_2.png

(sumber: http://xxlab.honfablab.org, diakses pada tanggal 12 Maret 2017)

Semoga material-material biodegradable seperti telah dijabarkan diatas dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengurangi emisi karbon dan limbah dari industri tekstil.

 

Ruang Hunian Vertikal dan Green Design

Ciptakan Rumah Susun Yang Lebih Liveable Untuk Hunian Masyarakat Kalangan Bawah di Perkotaan

Rosiana Izzul Azmi (27116021)

 

Di Indonesia warga pinggiran perkotaan yang dianggap bermasalah direlokasi ke rumah susun, sepertinya sudah menjadi pola umum solusi atas permasalahan perumahan perkotaan di Indonesia saat ini. Sedangkan di sisi lain masalah-masalah psikologis selalu muncul ketika masyarakat secara tiba-tiba dipindah dari lingkungan hunian lama (rumah konvensional) ke hunian baru (bangunan vertikal/rumah susun). Kondisi keterasingan ini oleh Aston Bachelard (1958) dalam The Poetics of Space di bahas sebagai fenomena manusia urban yang kehilangan “rumahnya”. Sejumlah rumah susun yang dibangun di kota-kota besar seringkali dilakukan tanpa pertimbangan kondisi iklim setempat yang tropis-lembab, serta tuntutan kenyamanan fisik yang dikesampingkan. Selain itu, menurunnya kualitas lingkungan tempat tinggal warga saat ini membuat pemerintah mengeluarkan peraturan Gubernur DKI yang mewajibkan bangunan yang akan dibangun harus memenuhi persyaratan dasar sebuah bangunan hijau dan ramah lingkungan, peraturan ini secara tidak langsung akan mendukung upaya dalam mengaplikasikan konsep-konsep green design pada bangunan vertikal di kota-kota besar, khususnya di ruang hunian vertikal (rumah susun). Dikatakan oleh David Harvey (2008) hak atas kota adalah sejatinya bukan hanya hak warga atas sumber daya kota (transportasi, kesehatan, pendidikan dll) akan tetapi hak bagaimana dan seperti apa mereka tinggal, hak bagi kaum miskin untuk memiliki tempat tinggal yang tidak hanya sekedar layak huni, tetapi juga tempat tinggal yang memenuhi kenyamanan fisik dan psikis penghuni.

Foto perspektif keadaaan rumah susun di Batam, sebagai rumah susun terbaik menurut menteri pemukiman rakyat pada tahun 2010.

Kehidupan warga pemukiman kumuh di Bantaran Waduk Pluit ini merupakan sekelumit potret kemiskinan di Indonesia, Jakarta, (10/9/14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam hitungan tahun terjadi pergeseran dan perubahan pola dan tatanan kehidupan secara mencolok di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia modern. Kehidupan tradisional yang selaras dengan alam yang terbukti telah mampu menjaga kelestarian alam hingga berabad-abad lamanya kini telah bergeser (Frick dan Mulyani, 2006). Dalam kehidupan tradisional, manusia membangun rumah, perkampungan dan jalur pergerakan selaras dengan alam. Rumah tinggal di dalam suatu komunitas ditata sesuai dengan tata laku anggota komunitas tersebut. Dalam perkembangannya, pergeseran tatanan kehidupan dari tatanan tradisional kepada cara hidup yang modern. Seiring dengan perubahan tatanan dalam masyarakat modern, tuntutan pengadaan rumah di kota-kota besar semakin tinggi namun tidak diiringi dengan ketersediaan lahan. Akibatnya rumah susun/ vertikal house dianggap solusi yang paling tepat untuk masalah pemukiman di perkotaan saat ini.

Permasalahan yang ditimbulkan sektor pemukiman terhadap penurunan kualitas lingkungan di Indonesia semakin menghawatirkan, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap pemukiman yang layak semakin diabaikan. Para pelaku pengembang baik dari pihak swasta maupun pemerintah melakukan pembangunan tanpa memikirkan kepentingan kenyamanan fisik dan menyampingkan pertimbangan kondisi iklim alam setempat yang tropis lembab (banyaknya unit rumah susun yang mangkrak dan tidak dihuni). Padahal sejatinya rumah tinggal bukan hanya sekedar bangunan struktural, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat.

Sudah saatnya hunian vertikal/rumah susun di perkotaan dibangun dengan gagasan desain yang dapat meminimalkan dampak negative rancangan bangunan terhadap alam, memunculkan desain hunian yang layak dan ramah terhadap kenyamanan penghuni, baik dari segi kesehatan, lingkungan, suhu, serta penggunaan energy dan dampak spikologis yang timbul ketika berada di ruang hunian vertikal.

  • Desain berkelanjutan dalam bentuk partisipasi warga.

Proyek pelibatan warga dalam rancangan membangun perumahan dan lingkungan akan menghasilkan rancangan yang berkelanjutan (sustainable), bukan hanya secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosial terpenuhi. Aspek keruangan yang diinginkan akan muncul dalam rancangan pembaruan perumahan yang akan mereka huni sehingga menumbuhkan rasa bangga dan antusiasme untuk merawat lingkungan hunian mereka kedepannya. Seperti halnya yang dialami warga di kampung Akuarium Jakarta Utara yang mengalami penggusuran, awal tahun ini warga bersama arsitek dari Rujak Center for Urban Studies, Andesha Hermintomo merancang lingkungan yang telah digusur dengan konsep yang baru, desain kampung dibuat lebih padat secara vertikal, agar lebih banyak ruang terbuka hijau dan ruang terbuka komunitas. Konsep rancangan desain dibuat selama 2 bulan terakhir untuk menghadirkan lingkungan yang lebih layak huni dengan melibatkan warga setempat.

Desain rancangan Andesha H untuk warga di perkampungan Aquarium Jakarta Utara

  • Green design sebagai salah satu solusi terhadap menurunnya kualitas lingkungan

Rancangan yang mengacu pada konsep green design seperti banyaknya bukaan alami pada elemen dinding, memperbanyak akses sirkulasi angin sebagai penghawaan alami, penempatan kaca sebagai pencahayaan alami dapat mengurangi penggunaan energy di siang hari, meminimalisir penggunaan energy, memperlambat dampak negative pada alam,  lingkungan, dan manusia, tanpa harus mengorbankan tuntutan kualitas hidup manusia yang sehat, aman, dan nyaman. Serta banyaknya pengaplikasian tanaman hijau pada area dalam dan luar hunian dapat memperbaiki kualitas hidup penghuni. Menampilkan keharmonisan antara bangunan buatan manusia dengan alam sekitarnya, konsep yang berkelanjutan dan ramah lingkungan ini di gagas juga oleh John Hardy (2007) pada project mengembangan Green School di Bali.

Ilustrasi, Thinkstockphotos

Untuk itu fenomena sosial budaya ini perlu disikapi dengan pembaruan ide-ide dari para desainer dan pengembang kota. Salah satunya dengan melalui pendekatan desain partisipatif (desain berkelanjutan) dan penerapan konsep green design yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan masyarakat pada ruang hunian vertikal.

SUMBER

http://kependudukan.lipi.go.id/en/population-study/human-ecology/363-jakarta-kampung-dan-penggusuran, diakses 4 maret 2017

https://indoprogress.com/2016/07/keterasingan-warga-di-dalam-ruang-kota/ , diakses 15 november 2016

https://malikalkarim.wordpress.com/2011/12/05/kota-berkelanjutan/, diakses 10 november 2017

http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/10/tidak-mudah-menemukan-solusi-dalam-masalah-lingkungan-hidup, diakses 5 november 2017

http://properti.kompas.com/read/2017/01/10/210000821/konsep.rumah.tinggal.pemerintah.dianggap.tidak.sesuai.kebutuhan.warga, diakses 5 november 2017

Karyono, Tri Harsono (2010), Green Arsitekture : Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau Di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers

Roaf, Sue., Fuentes, M., Thomas, S., (2001), Ecohouse 2 : a Design Guide, Italy, Architectural Press.

ECOLOGICAL FOOTPRINT

Riono Aulia Abdullah (27116017)

Ecological footprint yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah jejak ekologi. Definisikan jejak ekologi adalah dampak aktifitas manusia yang diukur dari area biologis baik daratan atau lautan yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang yang dikonsumsi dan untuk mengasimilasi limbah yang dihasilkan, untuk lebih sederhananya ialah jumlah dari lingkungan yang diperlukan untuk memproduksi barang dan jasa yang diperlukan untuk mendukung gaya hidup tertentu.

Pendekatan popular jejak ekologi merupakan alat ukur yang mengkaji tingkat komsumsi manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Konsep “Jejak Ekologis” (Ecological Footprint) diperkenalkan pada tahun 1990-an oleh William Rees dan Mathjis Wackernagel (Wackernagel and Rees, 1996).

Salah satu contoh ialah seperti sewaktu kita memakan telor ayam yang ternyata bila ditelusuri dari awal telor itu dikirim dari peternak hingga pengepul menggunakan kendaraan tentu saja mengeluarkan emisi karbon dioksida yang berasal dari kendaraa, lalu sesampainya di pengepul telor, pengepul akan membungkus telor tersebut menggunakan tray yang berbahan karton yang berasal dari kayu, setelah dari pengepul telor didistribusikan ke toko-toko yang pengirimannya menggunakan kendaraan yang lebih besar seperti truk yang mengeluarkan emisi karbon dioksia yang bisa merusak lapisan ozon. Pembelian telor di toko-toko akan dikemas menggunakan kantong plastik, yang kita ketahui bahwa kantong plastik akan terurai sangat lama, untuk memasak telor baik digoreng maupun direbus tentunya kita membutuhkan api yang berasal dari gas, gas tersebut merupakan hasil dari fosil-fosil yang sudah terkubur lama.

Memang mengejutkan bila kita telusuri dampak dari aktifitas yang kita lakukan, akan tetapi kita bisa menguranginya dengan merubah gaya hidup kita yang lebih efektif, salah satunya adalah mengurangi sampah yang kita produksi.

Menurut National Geographic berikut beberapa contoh yang bisa dilakukan:

  • Reduce, reuse, recycle | Reduce atau mengurangi yang dibuang, reuse atau memakai kembali yang telah dipakai dan recycle atau mendaur ulang sebanyak mungkin.
  • Membeli barang sedikit | Belilah barang yang hanya dibutuhkan.
  • Lebih berhati-hati pada kemasan | Melihat kemasan apakah bisa di daur ulang atau tidak.
  • Membeli barang daur ulang | Memilih barang terbuat dari bahan daur ulang, seperti kertas daur ulang.
  • Membeli barang yang bisa di daur ulang | Dan tentu saja coba untuk didaur ulang.
  • Donasikan barang-barang yang telah dipakai | Mengurangi jumlah sampah yang kita buang dan bisa bermanfaat untuk orang lain.

Ada juga yang dinamakan dengan Carbon Footprint yaitu seberapa besar gas karbon yang dikeluarkan secara langsung atau tidak langsung mendukung aktivitas manuasia, biasanya dinyatakan dalam ton setara karbon dioksida (CO2). Semakin banyak karbon dioksida yang dikeluarkan akan semakin merusak lapisa ozon, seperti contoh untuk 1 liter diesel sama dengan 2,7 kg CO2. Selain dari kendaraan karbon dioksida bisa berasal dari listrik yang dikonsumsi, produksi kantong plastik, produksi botol plastik, hingga produksi cheese burger bisa mengeluarkan karbon dioksida.

Ada beberapa hal untuk menurangi carbon footprint, seperti:

  • Mengurangi energi dari rumah | Rumah bisa membuat dua kali lebih besar dari efek rumah kaca, menggunakan barang hemat energi dan mengatur efisiensi energi akan memperkecil energi yang dipakai.
  • Kurangi berkendara | Menggunakan kendaraan umum akan lebih efisien disbanding dengan menggunakan kendaraan pribadi karena bila seseorang menggunakan kendaraan pribadi karbon yang dihasilkan akan lebih besar. Lebih baik menggunakan kendaraan yang tidak menggunakan bahan bakar seperti bersepeda atau bisa berjalan kaki.
  • Membeli bahan bakar yang lebih tinggi | Mobil berkontribusi 20% dari efek rumah kaca, semakin tinggi membeli bahan bakar ber- oktan tinggi maka lebih kecil emisi yang dikeluarkan.
  • Membeli peralatan hemat daya | Dengan mengganti peralatan hemat daya akan mengurangi setidaknya 10% hingga 50% energi yang dikeluarkan.
  • Daur ulang | Membuat produk dari material daur ulang bisa menghemat hingga 98% energi dibandingkan dengan material baru.
  • Membeli makanan lokal | Makanan yang berasal dari luar daerah dikirim dengan kendaraan yang mengeluarkan emisi, dengan membeli makanan lokal secara tidak langsung kita mengurangi emisi yang dikeluarkan.
  • Mengurangi  daging merah | Memproduksi daging sapi memerlukan energi dan sumber daya yang tinggi. Mengganti dengan daging ikan, ayam dan telor akan mengurangi jejak karbon 29%, bahkan bila vegetarian akan mengurangi 50%.

Daftar Pustaka

http://wwf.panda.org/about_our_earth/teacher_resources/webfieldtrips/ecological_balance/eco_footprint/ (diakses 11 Maret 2017)

http://channel.nationalgeographic.com/channel/human-footprint/trash-talk.html (diakses 11 Maret 2017)

http://timeforchange.org/what-is-a-carbon-footprint-definition (diakses 11 Maret 2017)

Dominasi Fast Fashion sebagai Pemicu Peningkatan Karbon

Amelinda Alysia Anette (27116016)

Banyak dari kita menyadari runtuhnya Rana Plaza pada tahun 2013 di Bangladesh menewaskan hampir 1134 nyawa. Keruntuhan kondisi kerja pabrik dan industri ‘fast fashion’ memicu perhatian dan menjadi sorotan media secara global. Upah dan kondisi kerja bagi buruh yang membuat pakaian masyarakat luas adalah salah satu dari factor motivasi terbesar dalam berbelanja secara lebih etis. Namun, masalah etika yang penting untuk diperhatikan adalah pertimbangan terhadap carbon footprint yang berdampak besar pada lingkungan.

Persebaran kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang diimplementasikan secara global saat ini telah memlahirkan sebuah fenomena yang memicu melesatnya peningkatan carbon footprint dunia. Kapitalisme mengkonstruksikan paradigma dunia terhadap budaya konsumerisme sebagai suatu hal yang lumrah. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk membeli barang-barang yang mereka tidak butuhkan, terutama dalam sektor pakaian yang terus mengalami pergantian tren dan gaya.

Akan tetapi, budaya konsumerisme terhadap aspek pakaian di masa kini banyak dikritisi oleh para aktivis buruh sebagai suatu fenomena “fast fashion”, di mana tren pakaian yang terus berganti memicu masyarakat untuk lebih konsumtif dan terus membeli pakaian, meski di saat mereka tidak membutuhkannya sekalipun. Mayoritas pola konsumerisme para pecinta gaya pakaian pun hanya mementingkan tren dan harga pakaian yang semurah mungkin.

Apa yang kita kenakan menampakkan salah satu faktor dampak terbesar pada lingkungan dan industri global dan dapat dinyatakan bahwa fashion merupakan salah satu pencemar terbesar di dunia. Keberadaan beragam rantai pasokan bahan baku, produksi, manufaktur, pengiriman, dan ritel yang ikut berkontribusi dalam pembentukan pakaian. Besarnya rantai yang saling terkait ini melaksanakan persebaran terhadap banyak garmen, hampir mustahil untuk menghitung ulang carbon footprint yang tepat dalam kasus ini. Namun dampak dari industri fashion terhadap lingkungan yang sebegitu besar, hal ini sulit untuk diabaikan.

Dalam produksi pakaian, bahkan katun organik yang sering dipandang sebagai salah satu pilihan yang paling etis dapat memerlukan lebih dari 5000 galon air dalam pengolahan kapas sehingga cukup untuk memproduksi sepasang t-shirt dan celana. Walaupun serat sintetis dapat intensif untuk menanggulangi permasalahan konsumsi air secara berlebihan, namun material ini serta proses pencelupan warna secara kimiawi menyebabkan polusi selama proses manufaktur.

Globalisasi juga menyimpulkan bahwa pakaian cenderung melakukan perjalanan di seluruh dunia pada kapal yang didukung oleh bahan bakar fosil, juga adanya dampak pada lingkungan dari proses pencucian yang berujung disposal dari pakaian-pakaian tersebut. Dengan kecepatan yang berlebih pada produksi pakaian sekali pakai, fast fashion menyediakan tren runway dalam harga yang rendah diikuti dengan meningkatnya demand pasar juga tentunya mempercepat emisi karbon. Hal ini memicu perekonomian yang tidak seimbang dan peningkatan pemanasan global karena tingkat produksi yang dihasilkan.

Akhir kata, meskipun industri fashion tidak dapat diperbaiki secara instan, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam memperbaiki dan mengurangi perputaran siklus carbon footprint yang sedang mendominasi di dunia masa kini. Hanya dengan memperpanjang umur pakaian selama 3 bulan aktif dapat membantu mengurangi limbah, pemanfaatan air, dan carbon footprint hingga paling banyaknya 10% dari apa yang sedang terjadi. Salah satu hal sederhana yang juga bisa kita lakukan untuk mencegah ketidakadilan pada buruh industri pakaian ini terjadi adalah dengan mengasah kepekaan kita terhadap latar belakang perusahaan dari pakaian bermerek yang akan kita beli.

Banyak merek slow fashion yang membuat pakaian etis yang lebih terjangkau yang juga menjaga kesejahteraan para buruh pekerja. Lebih dari sekedar mengikuti tren, pakaian yang digunakan harus dipandang sebagai perwujudan prinsip setiap individu. Sebagai konsumen, masyarakat mampu membangun kesadaran yang lebih baik terhadap masalah ini dengan menyesuaikan pilihan konsumsi dengan pengetahuan mengenai realitas kesejahteraan buruh industri dan peningkatan karbon di seluruh dunia. Dengan harapan masyarakat dapat lebih peka dalam menciptakan dampak postif kepada dunia.

Jam Tangan Ramah Lingkungan dari Limbah Kayu

Reny Maryani (27115046)

Indonesia merupakan negara dengan memiliki berbagai macam kekayaan sumber daya alam, salah satunya kayu. Kayu merupakan salah satu sumber daya alam yang di manfaatkan oleh manusia selama berjuta-juta tahun lamanya. Pemanfaatannya berawal dari kayu bakar, kemudian berkembang menjadi bermacam-macam kegunaan seperti tempat tinggal, kendaraan, alat musik, rumah lampu, furniture, peralatan rumah tangga, alas kaki, mainan hingga aksesoris. Dalam proses pengolahannya tidak jarang menghasilkan limbah kayu dengan jumlah yang tidak sedikit, ditambah apabila produk yang dihasilkan dibuat secara mass production maka semakin banyak pula limbah kayu yang dihasilkan. Kayu adalah salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan kembali meskipun sudah menjadi limbah. Di Indonesia, limbah kayu sudah dimanfaatkan menjadi produk dengan fungsi yang sama atau baru. Mulai dari yang bernilai ekonomi rendah seperti arang sampai yang bernilai ekonomi tinggi seperti peralatan rumah tangga hingga aksesoris. Selain kenaikan nilai ekonomi dari limbah kayu yang diolah yaitu kita dapat memaksimalkan dan memperpanjang usia kayu tersebut karena seperti yang kita ketahui kayu (contohnya kayu jati) baru dapat dipanen setelah usia pohon minimal 5 – 10 tahun. 

Melimpahnya limbah kayu dari workshop interior-furniture yang tidak termanfaatkan dengan baik menjadikan ide bagi para industri kreatif untuk menggunakan limbah kayu sebagai bahan baku dalam pembuatan produk baru. Peluang pengolahan limbah kayu ini sudah banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kreatif dari seluruh dunia. Salah satunya adalah Matoa, brand jam tangan pertama yang menggunakan limbah kayu sebagai bahan baku utamanya dan merupakan hasil karya anak bangsa dengan mengambil konsep urban, simplicity and nature menjadikan produk ini terasa eksklusif karena dibuat oleh para pengrajin dengan keahlian tinggi yang detail oriented dan tentu saja di desain dengan cukup apik oleh para desainernya. Ditambah dengan menggunakan limbah kayu berkualitas baik yaitu Maple dan Ebony Makasar menjadikan kualitas jam tangannya sangat baik.

Secara tidak langsung Matoa mengajak para konsumen menjadi bagian dari orang-orang yang peduli tentang penggunaan limbah kayu dengan memakai produk yang ramah lingkungan dan bahan baku yang berkelanjutan. Dan menegaskan bahwa pengolahan limbah kayu yang dilakukan secara professional dalam arti secara konsep desain dan proses pengerjaannya matang serta di dukung dengan packaging yang menarik dapat menghasilkan suatu karya atau produk yang bernilai ekonomi tinggi.

Tren sustainability design yang sedang digembar-gemborkan oleh para komunitas, pelaku industri, desainer dan pelaku yang lainnya juga bisa menjadikan pengolahan limbah kayu menjadi salah satu fokus utama dalam pengembangan desain yang berkelanjutan. Potensi pengolahan limbah kayu menjadi produk dengan nilai ekonomi masih terbuka lebar bagi para pelaku industri kreatif, karena masih banyak peluang produk-produk lain yang belum di ciptakan atau diciptakan kembali dengan menggunakan bahan baku utama dari limbah kayu. Selain itu dengan memanfaatkan atau menggunakan produk dari limbah kayu juga membuat kita turut berpartisipasi atas keberlanjutan usia produktif kayu. Karena tidak dapat dipungkiri, dengan meningkatnya permintaan pasar akan kebutuhan kayu sebagai bahan baku utama untuk di olah menjadi berbagai macam produk menjadikan pasokan kayu semakin berlimpah di pasaran, ini berakibat semakin banyak pula limbah kayu yang dihasilkan. Setidaknya dengan memanfaatkan limbah kayu yang ada menjadi salah satu solusi untuk mengurangi limbah kayu, namun lebih baik lagi apabila kita dapat memanfaatkan limbah kayu menjadi zero waste.

SUMBER :

http://www.trubus-online.co.id/panen-jati-lima-tahun/ di akses 10 Maret 2017

https://www.matoa-indonesia.com/ di akses 10 Maret 2017

 

RumputAlunAlun.bdg

logo itb 1920Di awal kuliah Desain Berkelanjutan di Magister Desain ITB, seperti biasa mahasiswa peserta kuliah, dalam kelompok, diminta untuk mempresentasikan secara ringkas pemahaman mereka mengenai isu ekologi, keberlanjutan, dan kontribusi Desain terhadap isu tersebut, baik positif maupun negatif. Kali ini, ada beberapa topik yang diangkat, mulai dari limbah medis, energi, gawai, hingga polusi, dan ada juga mengenai lingkungan kota yang membahas rumput sintetis di Alun-Alun Kota Bandung. Rumput sintetis di Alun-Alun Bandung ini memang lumayan hangat dibicarakan, terutama di media sosial, sejak baru terpasang. Bagaimana tanggapan sekelompok mahasiswa S2 Desain mengenai hal tersebut?

Bahasan mengenai rumput sintetis ini dimulai dengan asal material itu sendiri.

Slide1Slide2Rumput sintetis yang diimpor telah sarat jejak beban ekologi akibat berlangsungnya proses distribusi, transportasi, dan sebagainya. Ada hal-hal positif dan negatif seputar penggunaan rumput sintetis di Alun-Alun Bandung ini. Kelebihannya adalah dalam hal perawatan, daya tahan (durability), dan harga. Kekurangannya adalah ketidak-mampuannya menghasilkan oksigen seperti halnya rumput hidup, adanya substansi berbahaya yang dikeluarkan material tersebut, dan tidak dapat hancur secara biologis (non-biodegradable).

Slide3Slide4Perawatan rumput sintetis ini pada dasarnya berupa pembersihan dari sisa-sisa makanan/minuman, dan sampah-sampah lain, termasuk kotoran hewan dan permen karet(!) yang paling sulit dilakukan. Perawatan lanjutan memerlukan peralatan khusus, seperti sikat untuk meluruskan tekstur rumput, penghawaan, dan lain-lain. Lalu ada pula bahan pembersih yang biasa digunakan untuk memelihara rumput sintetis ini, seperti cairan penghilang minyak dan jamur, sekaligus pewangi.

Slide5Slide6Berbagai jenis perawatan ini memang tidak mudah, tapi Pemerintah Kota Bandung memang memiliki alasan tersendiri untuk menerapkan rumput sintetis, bukan rumput hidup, di Alun-Alun Bandung; antara lain adalah karena adanya basement di bawahnya. Pertimbangan ini tidak dibahas lebih lanjut dalam sesi ini, karena yang lebih menarik adalah adalah berbagai skenario perlakuan rumput sintetis ini bila masa pakainya telah berakhir. Keputusan menjadikannya material daur-ulang maupun pakai-ulang tentu tergantung kualitasnya di akhir siklus pakainya nanti. Tentu saja, makin ia dipergunakan dan dirawat dengan baik, makin tahan lama.

Dalam diskusi, disepakati bahwa perilaku pengguna warga Bandung terhadap rumput sintetis ini juga sangat penting. Minimal dengan tidak meninggalkan sisa makanan/minuman pada permukaan rumput ini, dan menjaga kebersihannya dari kotoran lain seperti lumpur/tanah pada sepatu, dan lain-lain. Karena, sebagus apa pun fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Kota, tidak akan bisa bertahan bila warga tidak turut aktif dalam mempergunakan berbagai fasilitas tersebut secara wajar dan turut memeliharanya.

 

Tautan terkait:

 

tempatsampah.bdg

Tempat sampah baru di Bandung

Tempat sampah baru di Bandung

Semester ini, MK Desain Berkelanjutan di Program Studi Magister Desain diselenggarakan lagi. Seperti biasanya, di minggu pertama pertemuan, mahasiswa diminta untuk menyampaikan permasalahan lingkungan yang (dapat) dipengaruhi oleh desain, baik sebagai penyebab maupun solusi.

Salah satu kelompok membahas tempat sampah umum yang baru dimiliki Bandung beberapa minggu belakangan ini. Diskusi mengenai tempat sampah yang terbuat dari plastik biodegradable ini mencakup hal-hal pro dan kontra terhadap jenis material biodegradable itu sendiri, namun dalam sesi ini lebih banyak dibahas juga dari segi Desain. “Desain” di sini bukan hanya berarti penampilan visual, bentuk, dimensi, dan warna, tapi juga dalam hal usability, operasional penggunaan, persepsi pengguna terhadap obyek itu sendiri, penempatan, dan sebagainya.

RK hadir lagi di kelas ini, kali ini bukan sebagai dosen tamu seperti biasanya, tapi secara virtual sebagai wali kota di cuplikan berita mengenai tempat sampah Bandung

RK hadir lagi di kelas ini, kali ini bukan sebagai dosen tamu seperti biasanya, tapi secara virtual, sebagai wali kota dalam cuplikan berita mengenai tempat sampah Bandung

Salah satu segi desain yang dibahas di sini adalah operasional membuka-tutup tempat sampah tersebut. Pada tempat sampah ini, orang harus memegang dan mengangkat handle yang terlekat pada tutup tempat sampah bila hendak memasukkan sampah ke dalamnya. Hal ini tidak biasa, karena desain tempat sampah pada umumnya tidak menuntut penggunanya untuk menyentuh tutup atau lubang buangannya secara langsung. Sebab, biasanya, mulut tempat sampah umum cenderung kotor karena tumpahan sampah yang dibuang, atau karena bekas bakaran puntung rokok yang dimatikan di sana. Sehingga, ketika menghadapi tempat sampah Bandung ini, orang yang merasa jijik cenderung harus menciptakan “sampah baru”, dengan cara menggunakan selembar tissue bersih untuk mengangkat handle tersebut sebelum cepat-cepat memasukkan sampah yang akan dibuang (sekaligus lembaran tissue pemegang handle itu) ke dalam tempat sampah tersebut. Akan lebih manusiawi bila terdapat perbaikan desain yang tidak mengharuskan orang untuk bersentuhan langsung dengan handle atau mulut tempat sampah umum.

Hal lain yang dibahas dari segi desain adalah penggunaan kode warna jenis sampah dan icon/ simbol pada tempat sampah tersebut. Bila akan dilakukan perbaikan desain pada tempat sampah ini, kelompok ini mengusulkan agar terdapat perubahan pada grafisnya, yang didahului dengan studi mengenai kode warna dan icon/simbol yang umum dipakai dan dimengerti sebagai kode pemilahan jenis-jenis sampah, namun juga sekaligus lebih akrab dengan masyarakat umum di Bandung/Indonesia sehingga dapat dimengerti dengan lebih tepat, sesuai dengan konteks lokal.

Jadi bagaimana peran tempat sampah ini terhadap isu keberlanjutan? Sebagai langkah awal, tersedianya tempat-tempat sampah di ruang-ruang publik ini mungkin cukup dapat mengajak warga untuk tidak lagi sembarangan membuang sampah ke jalan, taman dan selokan. Sebagai solusi sementara, tempat-tempat sampah ini mungkin ampuh, namun masih ada permasalahan-permasalahan seputar daya tahan, usability, dan visual pada fasilitas ini, yang berpotensi untuk mengurangi daya gunanya di masa mendatang. Artinya, ada banyak peluang dan kontribusi dari segi desain untuk membuat fasilitas ini lebih berkelanjutan.

[youtube http://www.youtube.com/watch?v=–mToeCkCjc]