Tag Archives: kemenparekraf

Friends of Creative Economy 2023

Friends of Creative Economy (FCE) diinisiasi pada tahun 2018 oleh BEKRAF dan Kemlu, menjelang diselenggarakannya World Conference on Creative Economy (WCCE) yang pertama di Bali, akhir 2018. Sebelum WCCE tersebut berlangsung, dilaksanakan dua Preparatory Meetings, di mana terdapat juga pertemuan FCE yang terdiri dari negara-negara dan lembaga dunia yang telah mempraktikkan, atau bahkan mengandalkan sektor Ekonomi Kreatif sebagai strategi pembangunan, terutama melalui dukungan kebijakan. Karena salah satu tujuan WCCE adalah untuk memperoleh insights & informasi bagaimana Ekonomi Kreatif berjalan di negara-negara yang berbeda, terutama dalam menghubungkan antara kebijakan, pelaku profesional di sub-sub sektor industri kreatif, dan seluruh pihak lain yang terlibat. Sejak itu, meskipun bentuknya non-binding, atau bukan berupa organisasi yang menuntut komitmen penuh dari para anggotanya, FCE Meeting selalu digelar berdampingan dengan WCCE.

Begitu pula baru-baru ini, dalam rangka mempersiapkan WCCE ke-4 di Uzbekistan, yang rencananya akan diselenggarakan pada 2-4 Oktober 2024. Kemenparekraf mengadakan FCE Meeting pada tanggal 4 Oktober 2023 di BSD, dengan tema “Designing and Delivering A Robust Policy Support to Creative Economy“.

Presentasi saya di kesempatan ini berjudul “Bali Creative Economy Roadmap: Towards Concrete and Impactful Actions“, yang bermaksud menggaris-bawahi ketersinambungan topik dan hasil dari satu WCCE ke WCCE yang berikutnya. Agar jangan sampai WCCE ‘mementahkan kembali’ konsep atau gagasan mendasar yang telah didiskusikan di event sebelumnya. Berikut ini deck presentasi bersama penjelasannya, mudah-mudahan dapat menjadi masukan konkrit.

=====

Pada slide awal ini, diperlihatkan hasil dari WCCE ke-3 yang diselenggarakan di Bali sebagai official side-event bagi G20 2022, berupa Bali Creative Economy Roadmap. Hasil dari WCCE diharapkan merupakan langkah berikut dari WCCE sebelumnya; diupayakan tidak mengulang pernyataan yang sama, namun membangun dari yang sebelumnya. Peta jalan ini bermaksud untuk memetakan prioritas arah pengembangan ekonomi kreatif di berbagai negara, yang ditentukan oleh konteks kepentingan dan potensi masing-masing.

Pada bagan, spektrum sumbu y mengarah pada Current State dan Future Landscape; sumbu x pada Conceptual Ideas dan Concrete Action. Bagi Indonesia, isu utama ekonomi kreatif dipetakan di setiap kuadran seperti yang tertulis dalam highlight box kuning di slide 4. Isu-isu ini merujuk pada beberapa white paper dan rekomendasi kebijakan yang telah dirumuskan di berbagai forum global, di mana terdapat kontribusi dan keterlibatan langsung dari Indonesia, seperti G20 (2020, 2021, 2022), ADBI Policy Brief, UCLG Culture Summit, ASEAN Creative Economy Business Forum, Global Solutions Network, Beyond Urban (UNESCO Cities Platform x ICCN), PEC International Advisory Council, dan sebagainya.

Slide berikutnya memuat linimasa hingga tahun 2043, di mana diperkirakan bahwa empat kuadran tersebut dapat dibentangkan dalam kisaran tahun-tahun tertentu. Sehingga isu-isu pada peta jalan pun dapat disusun sesuai dengan skala prioritas dan relevansinya terhadap situasi dan kondisi tertentu.

Slide 6 dan 7 dengan judul inclusivity, informal economy, intermediary, aggregators memuat  contoh isu pada kuadran Current State – Conceptual Ideas, berupa riset yang dilakukan oleh (saat itu bernama) International Advisory Council of Creative Industries Policy and Evidence Centre (PEC) yang berpusat di Inggris dengan tema informal economy. Riset ini mengangkat bagaimana beragam praktik ekonomi kreatif di mana para pekerja sektor informal, termasuk usaha mikro dan rumahan, berkontribusi pada rantai produksi barang/jasa kreatif, terutama di negara-negara bagian Selatan (the Global South). Juga model intermediary atau agregator dalam ekosistem ekonomi kreatif, mengenai metoda keterlibatan sektor informal dalam rantai produksi barang/jasa kreatif, merujuk dari salah satu artikel dalam ADBI Policy Brief (2021), berjudul “How Governments Could Better Engage with The Working Practices of The 21st Century Creative Economy”.

Berikutnya, kuadran Current State – Concrete Action, pada slide 8, 9, 10 dengan judul up-/re-skilling, creativity & innovation in decision making, creative ideas and policy standards, memuat Rekomendasi Kebijakan “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” (G20 Riyadh, 2020) yang memuat argumen bahwa ekonomi kreatif merupakan sektor yang berpeluang besar membuka lapangan kerja secara inklusif di masa mendatang (slide 8); penguatan kelembagaan ekonomi kreatif melalui keberlangsungan diskursus di kalangan akademik terkait ekonomi kreatif dan/atau kreativitas pada umumnya (ICON ARCCADE, FSRD ITB) dan pengesahan kebijakan yang didorong oleh komunitas (Perda Ekraf Kota Bandung No.01/2021) (slide 9); serta DesignAction.bdg, workshop Design Thinking bersama pemerintah untuk menguji kebijakan dan/atau menghasilkan cara-cara inovatif dalam menerapkan kebijakan/regulasi bagi seluruh stakeholder kota (slide 10).

Slide 11 menampilkan contoh penerapan kuadran Future Landscape – Concrete Action dengan cakupan IP, IP marketing & financing in the Global South, mitigation of counterproductive impacts from the digital world. Salah satu model yang sedang berjalan adalah Lokanima, sebuah agregator bagi UMKM konten digital di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singhasari di Jawa Timur, di mana upaya untuk pendanaan berbasis kekayaan intelektual dilakukan, namun belum sepenuhnya berjalan penuh sesuai dengan yang dimaksud oleh undang-undang.

Slide 12-16 mengilustrasikan penerapan kuadran Future Landscape – Conceptual Ideas, dengan tema creative city index, culture-based innovation and future discoveries. Indeks Kota Kreatif (IKK) yang digagas ICCN di sekitar 2016, dan telah melalui FGD lintas K/L dengan dukungan dari Kemenko Ekonomi di tahun 2017 (ketika sektor ekonomi kreatif masih di bawah koordinasi Kemenko Ekonomi), merupakan upaya menyelaraskan antara 10 Prinsip Kota Kreatif ICCN, berbagai existing indexes, dengan indeks kinerja pemerintah Indonesia. Gagasan ini seluruhnya terangkum dalam Buku Putih Kota Kreatif ICCN (2017, 2021), dan menjadi dasar pembuatan dashboard IKK yang dimaksudkan menjadi alat bantu pemda dalam membuat kebijakan.

Di skala nasional, pengembangan dashboard tersebut mengalami tantangan dalam kompilasi/validasi data dan sumber daya, sehingga konsep dasarnya diterapkan pada skala provinsi, di Jawa Barat, oleh Komite Ekonomi Kreatif & Inovasi (KREASI) Jawa Barat dan Pemprov Jabar. Dimulai sejak 2020, hasil indeks ini dimuat dalam PROSPEK – semacam laporan kinerja sektor ekraf di Jawa Barat – yang terbit setiap tahun, dan telah menjadi rujukan bagi pemkot/pemkab dalam menyusun strategi pembangunan di wilayah masing-masing. Setiap tahunnya, indeks ini mengalami perbaikan dan penajaman, dengan menggunakan 10 variabel untuk mengukur potensi ekraf di tiap kota/kabupaten di Jawa Barat, dan dapat diunduh dari website KREASI Jabar.

Penerapan lain menitik-beratkan pada karya-karya inovasi yang menitik-beratkan pada penerapan teknologi yang tepat guna dan kontekstual bagi permasalahan dan potensi Indonesia. Pada slide ini diperlihatkan karya-karya dari Jawa Barat yang telah diseleksi dan dimuat dalam PROSPEK, dengan isu yang berbeda-beda: limbah plastik/upcycling, ketahanan pangan/reduced food waste, responsible fashion, dan transformasi digital untuk kesetaraan. Sebagai negri dengan kekayaan ragam sumber daya alam, sudah seharusnya eksplorasi dan inovasi diarahkan pada karya-karya dan temuan-temuan yang memihak pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan SDM lokal.

Begitu pula yang hendak diperlihatkan pada slide 15, yang memuat karya dari komunitas litbang, perguruan tinggi, dan perusahaan yang mengangkat kekhasan sumber daya budaya dan material lokal. Namun hingga kini tantangan utama kita masih pada peningkatan skala produk, dari laboratorium/studio berupa purwarupa/prototype, atau dapat dijual dalam jumlah sangat terbatas, menjadi produk yang siap dipasarkan dalam skala industri. Sementara, off taker atau konsumen potensial telah terpetakan dengan baik, dan feasibility proses produksi juga telah diperhitungkan; yang diperlukan adalah investasi signifikan hingga produk tersebut dapat memiliki nilai ekonomi yang kompetitif, dengan dampak lingkungan dan sosial yang juga seimbang.

Slide terakhir menampilkan dukungan nyata dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Koperasi & UKM, yang mendirikan laboratorium Future SMEs di basement gedung SMESCO di Jakarta, terdiri dari Future Mobility, Future Fashion, Future Craft dan Future Food yang dimaksudkan menjadi laboratorium bagi UMKM, yang pada umumnya tidak mengalokasikan anggaran untuk proses litbang bagi produk atau proses produksi mereka. Bila sistem ini bekerja dengan baik, idealnya akan dapat meningkatkan kapasitas UMKM di seluruh pelosok Indonesia di hilir, sambil juga membuka peluang eksplorasi dan penelitian terhadap sumber-sumber daya (material, budaya, teknik produksi) khas/asli Indonesia di hulu.

=====