Tag Archives: creative city

Urban Games: The City as A Playground

Bahasan tentang Urban Games sebenarnya sudah beberapa kali saya angkat dalam beberapa kesempatan. Ulasan tentang Urban Games ini bahkan pernah menjadi bagian dari laporan riset dari negara-negara Brazil, Chile, Kolombia, Ekuador, Mesir, Kenya, India, Indonesia, Afrika Selatan mengenai informal Economy and Culture in The Global South  yang dilakukan oleh Global Creative Economy Council di tahun 2021 (mengenai Urban Games, dapat diakses di tautan berikut: https://medium.com/informal-economy-in-the-global-south/the-city-as-a-playground-841aa132ffb7). Tulisan kali ini untuk merekap sedikit, terutama dari forum-forum di tahun 2024 ini: United Cities and Local Governments (UCLG) Leading Cities Workshop di Jinju, Korea, dan pada Panel Tematik di UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Conference di Braga, Portugal.

Kegiatan di Jinju, yang adalah juga UCCN City of Crafts & Folk Art sejak 2019, berlangsung pada tanggal 13 Juni, dalam skema Culture 21 PLUS UCLG di mana Jinju menjadi salah satu Leading Cities yang menerapkan toolkit for Cultural Rights in Cities and Communities tsb. Jinju fokus pada pemuda, dan berencana mengaktivasi beberapa agenda pendidikan dan kreativitas bagi pengembangan kota. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan, pejabat dan pendidik di perguruan tinggi, aktivis dalam bidang pendidikan termasuk vokasi, dsb., yang semuanya dikoordinasi oleh Prof. Byung-Hoon Jeong, yang juga focal point Jinju untuk UCCN. Di forum ini, paparan berjudul “The City as A Playground: Urban Games for Regeneration and Resilience” memuat pendekatan dan praktik Bandung sebagai Kota Desain UCCN, lalu fokus pada urban games sebagai salah satu wahana yang mewadahi kebutuhan generasi muda Bandung untuk berinteraksi dan berkontribusi kepada kotanya secara empatik, produktif, sekaligus menyenangkan. Berikut sebagian dari paparan tersebut.

Urban game dapat dirancang sesuai dengan isu perkotaan yang direspons, dan kesesuaian gameplay dengan segmen (peserta/pemain) sasaran. Dalam eksekusinya, permainan memberikan pengalaman bagi para pesertanya, namun sedapat mungkin juga menghasilkan purwarupa solusi dari isu kota yang diangkat. Setelah permainan selesai, hasilnya dapat berlanjut menjadi feedback atau masukan bagi isu tersebut, baik dalam bentuk program lanjutan, bahkan regulasi dan kebijakan.

Beberapa urban games yang pernah dilakukan sebagai kolaborasi Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan beberapa komunitas mitra, seperti EcoEthno, Sahabat Kota, Pustakalana, dan banyak lagi, dengan mengangkat isu tertentu seperti ruang publik, kampung kota, skenario masa depan, dsb. Luaran dari kegiatan ini disesuaikan dengan tujuan awal ketika permainan dirancang, dapat berupa promosi taman dan museum, model kota masa depan, hingga purwarupa solusi permasalahan kota.

Beberapa permainan sebagai contoh di sini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kembali kota melalui budaya pusaka dan kulinernya; (2) mempromosikan bisnis mikro/lokal sekaligus mengangkat isu ekonomi informal dan inklusif; (3) merawat sensitivitas dan empati terhadap kota dengan memanfaatkan TIK dan media sosial; serta (4) menyediakan ruang belajar dan akses keterlibatan sejak dini untuk berkontribusi kepada kota.

Pada kerangka kerja ini (Hexa Helix stakeholders dan tahapan Connect-Collaborate-Commerce/Celebrate), dipetakan prosedur urban games secara umum, yang dapat menjadi rujukan bagi terciptanya permainan-permainan selanjutnya.

Dalam materi presentasi di Thematic Panel UCCN, ditambahkan satu slide berikut, yang memaparkan dampak urban games terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui pembangunan infrastruktur sosial.     

Harapannya, intervensi terhadap kota oleh para kaum muda dalam lintas komunitas/ stakeholders dengan cara yang menyenangkan (playful) dan memikat (engaging) melalui Urban Games dapat terus diaktivasi dan dikembangkan, demi melaksanakan iterasi solusi perkotaan dan menciptakan purwarupa inovatif yang berdampak nyata dan terukur. Sebab inilah esensi sebuah perkembangan kota kreatif sebagai entitas organik, seperti halnya pertumbuhan manusia kreatif: terus bermain, berani mencoba, mencipta dan berbagi solusi bersama.       

=====

Berikut beberapa post dan video urban games di Bandung: Riung Gunung: children as co-designers

 

The Art of City Making

I came across this link in LinkedIn, a recording of NUS Cities Lecture Series dated 27 March 2024 with Charles Landry, “Where next with the Art of City Making?”. As commonly occurs when I have tight deadlines, of course this kind of distraction successfully diverted my focus as I watched the session right away.

To put in context; Charles came to Bandung, West Java, Indonesia, in 2008 as a keynote speaker in the 2nd Arte-Polis, an international conference on creative communities and the making of place, held biannually by the Architecture Department of Institut Teknologi Bandung (ITB). It’s the same year when (later named) Bandung Creative City Forum (BCCF) held the first Helarfest, a creative communities festival. It was when BCCF launched a community-initiated city branding “.bdg” and slogan, “an emerging creative city”. Helarfest became the first milestone of many that confirmed the significant roles of creative individuals and communities in Bandung as powerful city changers and city shapers. I met Charles again in 2014 at the Bellagio Center, Lake Como, Italy. Together, within a group of city makers & thinkers, we had days-long working sessions on the resilience and livability of complex urban systems. In 2016, we met again in Östersund, Sweden, where Charles delivered a keynote speech during the Annual Meeting of UNESCO Creative Cities Network (UCCN). That was the 1st time for Bandung to attend the Meeting, after joining UCCN as a City of Design in December 2015. Afterwards, there were various occasions: a dialogue on Placemaking in Helarfest 2020, the Creative Bureaucracy conference, and so on.

Every interaction with Charles has always been intriguing; confirming floating thoughts and sparking new ones. Therefore I took no delay in watching this video. Here are a few things that caught my attention.      

  1. Culture matters: it’s like the air we breathe, you forget that it’s there. [It’s very much embedded in the way we conduct our lives that we take it for granted. Culture, with all its assimilation and evolution, should be recognized as a determining factor of how we organize society.]
  2. Creative matters: the first thing on “creativity” is about curiosity. However, no city has a strategy to generate curiosity. [True. A “creative city” should not only brag about its citizens’ achievements in creative fields, but — if it believes that creativity actually drives urban development and innovation — it should be committed to creating an environment that supports such playful yet productive “curiosity”.]
  3. Are we giving young people the opportunity to shape the city? [How much space do we allow them to participate in decision making? How far do we let them influence a cityscape?]
  4. Some cities are OK, some are not. How come? Leaderships! [It does require top-down commitments to establish substantial Changes in a city, to set the priorities.]
  5. Revaluing value beyond GDP. [This notion has been discussed in many platforms, particularly regarding indexes of (creative) cities, and should always be exercised and improved. Indonesia Creative Cities Network (ICCN) has established the “10 Principles of Indonesia Creative Cities” in 2015 and has piloted a Creative City Index dashboard in 2016, the West Java Creative Economy and Innovation Committee (KREASI) has been publishing a Creative City Index annual report for all 27 cities/regencies in West Java Province since 2020; encouraging local governments to improve the 10 determining variables of the index.]

The last part of the lecture offers a list of points, that “Great livable creative resilient culturally vibrant places are:” [We can consider these as a checklist, how do our cities perceive these points? Do we have concrete examples?]

  • Places of anchorage & distinctiveness
  • Places of blending the old & the new
  • Places of nourishment & nurture
  • Places of affordability & access
  • Places of diversity & inclusiveness
  • Places of communication & connection
  • Places of critical thinking & reflection
  • Places of aspiration & inspiration
  • Places of serious fun & celebration
  • Places of bending the market to big picture purposes

The lecture took about 48 minutes, followed by a Q&A session for about an hour. Interesting issues were brought up. Including the one about “brand” for cities: does it encourage superficial labelling, or does it really reflect the personalities of a city? Go on and check it out yourself — you might find different angles, depending on your interests. Thanks, Charles, and thanks to NUS College of Design & Engineering for making the lecture available for public!

Transisi Ekraf Indonesia?

Sektor Ekonomi Kreatif (Ekraf) di Indonesia sedang berada di persimpangan nomenklatur menjelang periode pemerintahan baru di akhir 2024. Adalah satu hal untuk merancang skenario ekraf di masa mendatang, dengan peta jalan berdasarkan seluruh (rekomendasi) kebijakan yang telah dihasilkan sebelumnya; namun adalah hal lain, bila dalam praktiknya nanti, terdapat berbagai penyesuaian menurut struktur pemerintahan yang baru. Apakah Ekraf akan tetap digandeng dengan Pariwisata, atau berdiri sendiri? Atau digabung dengan sektor lain, seperti Budaya, Pendidikan, Ekonomi, bahkan Digital?

19 Maret 2024 lalu, Kemenparekraf menggelar FGD Penyusunan Rancangan Teknokratik Rencana Strategis Kemenparekraf/Baparekraf 2025-2029. Sebagai salah satu narasumber, saya diberi tema “Pengembangan Ekonomi Kreatif melalui Kota Kreatif dan Klaster Kreatif”. O ya, sebelum FGD ini berlangsung, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) turut memberikan masukan bagi renstra tsb., sehingga materi ini kurang lebih merupakan elaborasi dari masukan ICCN yang juga dipertajam ke hal-hal seputar Kota Kreatif. Berikut ini beberapa butir paparan yang disampaikan.

1 Kepemimpinan Indonesia dalam Sektor Ekonomi Kreatif Global | Hingga kini, Indonesia masih memegang posisi tawar yang tinggi dalam sektor Ekraf skala global, terutama karena reputasinya sebagai inisiator World Conference on Creative Economy (WCCE), Friends of Creative Economy (FCE), dan Resolusi PBB No. A/78/459 tahun 2023 tentang Promosi Ekraf untuk Pembangunan Berkelanjutan yang berkonsekuensi pada pelaporan kinerja ekraf secara berkala (setiap dua tahun, mulai 2026). Untuk dapat menjaga posisi tersebut, diperlukan kepemimpinan yang komprehensif, serta pemahaman, pengawalan dan keterkaitan isu-isu ekraf dari satu platform/forum ke platform/forum yang berikutnya. Diperlukan juga sebuah Centre of Excellence di Indonesia yang benar-benar berperan/ berfungsi sebagai pusat keunggulan Ekraf terutama dari karakteristik ekraf Indonesia dan perspektif Global South.

2 White Paper & Rekomendasi Kebijakan Ekraf Skala Global | Hingga kini, Indonesia telah banyak terlibat dalam penyusunan white paper dan rekomendasi kebijakan Ekraf skala global dalam berbagai platform/forum (G20, ADBI, WCCE, Connecti:City, dsb.). Dokumen-dokumen tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda, namun semuanya mengangkat kata-kata kunci kepentingan Indonesia, atau sudut pandang Global South, sehubungan dengan Ekraf sebagai strategi pembangunan: SDG, pekerja informal, intermediary/agregator, inklusivitas, transformasi digital, pengukuran/index, inovasi berbasis budaya, dan penemuan masa depan.

3 Roadmap Ekraf Global — Agenda Ekraf Nasional | Dari semua rekomendasi kebijakan, peta jalan, dll. yang telah dihasilkan, seluruhnya menyediakan opsi arahan sesuai dengan prioritas; apakah Indonesia puny agenda Ekraf utama, adakah sudut pandang negara bagian Bumi Selatan, atau isu wilayah ASEAN yang perlu diangkat? Sehingga dipnerlukan adanya peta jalan, rencana strategis, rencana aksi dan indikator kinerja ekonomi kreatif nasional yang dapat menjadi rujukan dan diterapkan secara sistematis oleh pemerintah daerah.

4 Tata Kelola Ekraf di Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota | Saat ini terdapat beberapa K/L yang kewenangannya saling tumpang tindih dengan Kemenparekraf, seperti Kementerian BUMN untuk daerah pariwisata, Kemendikbudristek untuk situs-situs bersejarah, KemenKopUKM untuk hasil kerajinan, dll. Harus ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas agar cakupan sasaran program jadi semakin luas dan indeks kinerja setiap K/L terkait bisa diukur.

5 Ekonomi Kreatif, Kota Kreatif, Klaster Kreatif | kota, ICCN telah memiliki kerangka kerja & panduan program/kegiatan Kota Kreatif, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota/jejaringnya, sehingga tiap kabupaten/kota di Indonesia dapat menerapkannya sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah. Dalam konteks skala kota, komitmen terhadap SDG mengacu pada New Urban Agenda; sementara Ekraf dilihat sebagai sebuah ekosistem, terutama untuk memetakan peran pemerintah, sesuai dengan UU Ekraf dan Perda Ekraf; dan kerangka kerja ICCN (10 Prinsip Kota Kreatif, Catha Ekadasa, Hexa Helix) menjadi acuan sistematika dalam upaya menganalisis data untuk Indeks Kabupaten/Kota Kreatif. Perhitungan indeks ini telah dipraktikkan setiap tahunnya di Provinsi Jawa Barat sejak 2020.

6 Kota Kreatif v 1.0 x Kota Kreatif v 2.0 | Mengutip Prof. Andy Pratt, UNESCO Chair of Global Creative Economy, mengenai Kota Kreatif versi 2.0: kota-kota kreatif versi pertama adalah yang mengangkat konteks globalisasi, place marketing/branding, dan menyelenggarakan aktivitas budaya. Namun kota kreatif versi kedua, adalah yang menjembatani perbedaan-perbedaan, memiliki sistem keterhubungan, serta cenderung berkolaborasi untuk mewujudkan “Kota Kreatif untuk Dunia”. Pergeseran paradigma ini pun berpengaruh pada konsep “Ekonomi Kreatif”, yang tadinya merupakan model Industri Budaya dan Kreativitas dalam ranah ekraf itu sendiri, kini memperluas lingkupnya menjadi perwujudan barang & jasa budaya, serta terjalinnya jejaring berdasarkan makna dan penciptaan nilai dalam konteks Ekonomi Sirkular.

7 Menuju Institusionalisme Baru dalam Tata Kelola Ekonomi Kreatif | Masih berkaitan dengan “kota kreatif versi 2.0”, dengan model kelembagaan yang baru, maka diperlukan pula tata kelola yang sesuai. Antara lain dengan menerapkan perantara (intermediation) dan dukungan untuk para produsen kebudayaan, peningkatan kapasitas dalam hal dukungan strategis, mengembangkan praktik-praktik kerja lintas bidang, dsb.

8 Evaluasi Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UCCN) 2024 | Mengacu pada hasil evaluasi UCCN 2024, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi refleksi bagi kota-kota anggota UCCN di Indonesia, sekaligus perlu diantisipasi dalam penyelenggaraan “kota kreatif” di masa mendatang. Berkut ini butir-butir rekomendasi yang diajukan:

  • Perlu penyelarasan konsepsi Kabupaten/Kota Kreatif ICCN, Kota Kreatif UNESCO, KaTa Kreatif Kemenparekraf
  • Perlu mekanisme pendukungan bagi para focal point UCCN di Indonesia dari kementerian terkait dan KNIU (koordinasi tingkat nasional, mobilisasi, promosi, laporan berkala, dsb.)
  • Perlu benchmarking unit/lembaga pengampu “kota kreatif” dengan merujuk pada existing unit/agency di kota-kota UCCN di luar Indonesia (misalkan: DesignSingapore Council, Creative Economy Agency Thailand)
  • Perlu koordinasi khusus dan skema koleksi & analisis data ekraf Indonesia secara komprehensif; terutama dari perspektif karakteristik ekraf Indonesia/Global South, terkait persiapan laporan berkala mulai 2026 (Resolusi PBB No. A/78/459)
  • Website KNIU perlu dilengkapi dengan laman tentang kota-kota UCCN di Indonesia; seleksi di tingkat nasional belum melibatkan masukan dari para focal point UCCN di Indonesia untuk mendapatkan update terbaru mengenai konten dan proses yang berlaku di UNESCO    

Ekonomi Kreatif adalah sektor yang dinamis, sangat kontekstual, mengikuti perkembangan era yang sarat disrupsi, sehingga transisi nomenklaturnya pun akan selalu terjadi. Paparan ini adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi kondisi mendatang, agar kita selalu siap dengan opsi skenario yang dapat membawa sektor Ekraf untuk tetap relevan dan unggul dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Mari lanjut berkarya!


Tautan ke dokumen Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388996?posInSet=3&queryId=N-eb11463d-4573-442b-b667-ff7fee229946

Tautan ke dokumen Ringkasan Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388645

 

Borang Mondiacult 2024

Secara berkala, setiap 4 tahun, semua kota anggota UCCN (UNESCO Creative Cities Network) wajib menyerahkan Laporan Pemantauan Keanggotaan (Membership Monitoring Report/MMR). Kota Desain Bandung telah menyerahkan laporan pertamanya di tahun 2019, dan juga telah menyelesaikan yang kedua di tahun 2023 (meskipun baru dapat diunggah di tahun 2024). Namun di tahun 2024 ini, ada kewajiban lain yang harus diserahkan.

Sebagai tindak lanjut dari Mondiacult (UNESCO World Conference on Cultural Policies and Sustainable Development) yang diselenggarakan di Mexico, September 2022, UCCN mengarahkan seluruh kota anggotanya (yang bergabung sebelum 2023) untuk melengkapi kuesioner terkait “kontribusi sektor budaya dan kreatif dalam pembangunan berkelanjutan”.  Hasil dari kuesioner ini diharapkan dapat mengidentifikasi peran kota kreatif dalam menjawab tantangan SDG, sejalan dengan Deklarasi Mondiacult 2022, Pernyataan Misi UCCN dan prioritas Sektor Budaya di UNESCO.

Koordinasi awal pengisian borang Mondiacult: focal point Bandung UCCN dengan Bappelitbang Kota Bandung, 28 Maret 2024

Kuesioner ini disebarkan akhir Februari 2024 lalu, untuk diisi dan dikirimkan kembali selambat-lambatnya pada Juni 2024. Seluruh pertanyaannya secara umum terkait Budaya, Kreativitas dan Kota, meliputi kebijakan dan program kota dalam hal-hal berikut: (1) Menjamin hak-hak budaya, (2) Mengangkat teknologi digital dalam sektor budaya, (3) Memupuk pendidikan kebudayaan dan seni, (4) Memungkinkan sistem ekonomi berkelanjutan untuk budaya, (5) Melindungi dan mempromosikan budaya dalam menghadapi perubahan iklim, dan (6) Melindungi seniman dan budaya dalam bahaya.

Dengan sendirinya, diperlukan masukan dari pemerintah kota untuk melengkapi jawaban di borang ini. Setelah bersurat ke Pj Wali Kota Bandung, terdapat disposisi bagi Bappelitbang untuk mengkoordinasi OPD terkait, membagi tugas untuk menanggapi butir-butir yang relevan dengan tugas dan fungsi di kedinasan.

Pertanyaan-pertanyaan di borang yang panjangnya kurang lebih 10 halaman ini ternyata perlu dirembug oleh dinas-dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pendidikan, Lingkungan Hidup, Komunikasi dan Informatika, Pemuda dan Olah Raga, dll., termasuk juga yang membidangi infrastruktur fisik, ekonomi, hukum/regulasi, dan sebagainya. Terutama karena sering terdapatnya regulasi yang saling terkait, yang dapat saling mengisi dalam menanggapi suatu pertanyaan. Borang ini sekarang masih dalam proses penyelesaian, namun iterasi yang telah dilakukan dengan lintas OPD ini makin mengkonfirmasi beberapa hal:

  1. Budaya”, meskipun nomenklaturnya hanya terdapat dalam salah satu struktur pemerintahan (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata), sebenarnya adalah urusan bagi beberapa dinas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa pertanyaan pada borang Mondiacult ini memerlukan jawaban inti dari lebih dari satu kedinasan.
  2. “Budaya” bukanlah sekedar tradisi atau pertunjukan seperti yang biasanya dipersepsikan dalam arti sempit, namun merasuk ke seluruh lini kehidupan, yang dipraktikkan dalam keseharian, dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, dsb., yang berpusat pada pengembangan Sumber Daya Manusia.
  3. “Budaya” dalam strategi pembangunan daerah biasanya menjadi urusan sekunder, bahkan tersier, sehingga alokasi anggarannya pun tidak sebesar urusan primer. Namun bila tidak dirawat dan dipraktikkan dengan benar, peradaban akan terkikis, sehingga seluruh “urusan primer” pun akan menjadi sia-sia. Mengutip Charles Landry (2020), “Not ‘what is the value of culture’, but ‘what is the cost of NOT valuing arts/culture’”.
  4. Dalam lingkup kota, perlu adanya kepemimpinan yang paham benar bahwa potensi budaya dan kreativitas harus dikelola dengan layak, serta diberi akses dan peluang yang setara, agar dapat menjadi bahan bakar terbarukan bagi pembangunan yang inovatif, inklusif dan berkelanjutan.

Seusai iterasi pertama pengisian borang Mondiacult bersama lintas OPD Kota Bandung, 4 April 2024

Dengan adanya borang Mondiacult ini, setidaknya kita di Kota Bandung jadi dapat mengetahui dan mengukur sendiri, seberapa jauh perhatian dan keberpihakan kita terhadap sektor budaya dan kreativitas, sampai dengan bercermin pada berbagai hal yang telah dihasilkan dari aktivasi sektor budaya dan kreativitas. Sambil terus bersama-sama belajar, tidak hanya tentang konten borang, namun juga tentang jalinan komunikasi yang membaik dan semoga terus terjaga baik – antar dinas, antar personel, dan antar pihak hexa helix – demi tujuan yang sama: dampak nyata Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia. Terima kasih, jajaran Pemerintah Kota Bandung, mari kita lanjutkan dulu kewajiban yang satu ini, sebelum berangkat ke program-program seru berikutnya.

Menuju Kota Kreatif versi 2.0

Pertengahan Januari 2024 lalu, National Art Council (NAC) Singapura kembali menyelenggarakan Art Thought Leadership Forum, berbarengan dengan berlangsungnya Singapore Art Week (SAW). Forum dengan tema “Creative Regions, Creative Economies” ini mengundang Prof. Andy Pratt [UNESCO Chair of Global Creative Economy, Director of the Centre of Culture and the Creative Industries, and Professor of Cultural Economy, City, University of London] sebagai pembicara kunci. Berikut ini ringkasan dari paparan Prof. Pratt.

=====

Prof. Pratt membahas mengenai Kota Kreatif versi 1.0 yang sedang bergeser menuju versi 0.2. Penjelasannya dimulai dengan membahas Kota Kreatif versi 1.0 di mana kota-kota menjenamakan diri untuk keperluan promosi (place marketing/branding), dalam konteks globalisasi, serta mengaktivasinya dengan beragam kegiatan budaya. Sementara, Kota Kreatif versi 2.0 adalah di mana kota-kota ini mulai menjembatani perbedaan-perbedaan, melalui sistem yang saling terhubung (misalkan, identifikasi sub-sektor unggul di tiap kota), serta berkolaborasi antar “kota-kota kreatif dunia”.

Beliau melanjutkan dengan paparan mengenai pergeseran konsep Ekonomi Kreatif 1.0, yang mempengaruhi perkembangan kota-kota kreatif. Ketimpangan menjadi salah satu penyebab pergeseran tersebut, antara lain dalam hal terpisahnya pelaku seni/kreator dari produksi dan masyarakat; terlalu terfokusnya konsep romantika (barat) terhadap pelaku seni/kreator; dan pembagian secara hirarkis terhadap nilai budaya (barat). Sementara, terjadi pula konsep-konsep keterhubungan pada proses budaya/kreatif, aliran-aliran lintas-lokalitas sebagai komponen utama ruang dan budaya, serta ekosistem budaya yang  bersiklus, heuristis, dan rekursif.

Dalam sebuah bagan “Lingkaran Konsentris” sebagai permodelan Industri Budaya dan Kreatif, beliau menunjukkan lingkaran terdalam sebagai Inti Ekspresi Budaya (literatur, musik, seni pertunjukan, seni rupa), yang dilapisi oleh Inti Industri Kreatif Lainnya (film, fotografi, museum, galeri, perpustakaan), kemudian terdapat lapisan Industri Budaya yang Lebih Luas (jasa heritage, penerbitan dan media cetak, televisi dan radio, reman suara, video dan game komputer), dan lapisan terakhir Industri Terkait (periklanan, arsitektur, desain).

Dalam perkembangannya, perluasan bidang-bidang Industri Budaya dan Kreatif tersebut membentuk Ekonomi Kreatif 2.0, yang meliputi hal-hal berikut: obyek dan jasa budaya; jejaring yang terjalin antara penciptaan makna dan nilai; justifikasi, terhubung dan tersematnya nilai-nilai; serta ekonomi sirkular. Di bagian ini beliau menyebutkan rantai nilai ekonomi kreatif [Ide/gagasan -> produksi -> distribusi -> pertukaran -> pengarsipan -> (kembali ke ide/gagasan)], serta bagaimana kota-kota kreatif memiliki kapasitas yang berbeda dalam menangani elemen-elemen tersebut. Prof. Pratt melanjutkan, Ekonomi Kreatif berjalan secara bauran (hybrid), bukan secara rangkap (dualism). Hal ini dapat dilihat dari kecepatan pergantian ide/ produk/ fashion; beberapa platform/ perusahaan besar; pentingnya reputasi (integrasi horisontal); perbedaan antar industri (kreatif); serta perlintasan (antar pelaku, subsektor, dsb.).

Dinamika Ekonomi Kreatif ini berujung pada konsekuensi di mana solusinya bukanlah sekedar berupa perusahaan skala menengah, namun lebih kepada keberadaan “perantara” (intermediation). Perantara ini berperan mengkoordinasi hal-hal berikut: desain, ide pasar, atau proses produksi, teknologi, kecakapan teknis; dan komunitas pelaku. Ia juga berperan mengkoordinasi pengetahuan dan gagasan, mencakup ‘kaum berpengetahuan’ ‘dalam lingkaran’; kritik dan diferensiasi perbedaan mikro; memutuskan pengetahuan mana yang ‘baik’; serta menandai pengetahuan dengan berkolaborasi atau bekerja secara paralel.

Ning (FOFA), Prof. Andy Pratt, me, Edwin Tong (Singapore Minister of Community, Culture and Youth), Reem Fadda, Daehyung Lee

Sehingga, dalam pra-penjelasan tentang Ekonomi Kreatif, yang terlihat adalah pertumbuhan perdagangan dari jaringan produksi budaya yang bersifat lintas-lokalitas. Hal ini tertanam dalam reproduksi ‘keterampilan’ dan ‘nilai’ secara sosial dan ekonomi; dimensi dari fasilitasi lingkungan yang unik; (batas) ‘distribusibudaya bersama (cultural commons); serta pembelajaran/ pemahaman non-verbal (tacit) dan nilai-nilai yang kompleks.

Untuk menanggapi tantangan terhadap ‘kenyataan baru’ dengan pendekatan-pendekatan baru terhadap tata kelola Ekonomi Kreatif, Prof. Pratt menawarkan hal-hal berikut: memperhatikan bentuk organisasi, penyematan dan artikulasi lintas-lokalitas; melihat harga dan nilai kesatuan (pasar atau sosial) sebagai hasil, bukan penyebab; mempertahankan dan memelihara lembaga dan jejaring.

Paparan ini ditutup dengan tema menuju kelembagaan baru untuk tata kelola Ekonomi Kreatif; yang meliputi pasar (baik yang bercabang maupun monopolistik) dan struktur organisasi, seperti halnya sistem berbasis proyek.

  • Membutuhkan respons organisasi dan tata kelola alternatif yang cerdas
  • Memerlukan peran perantara dan dukungan bagi produsen budaya
  • Memerlukan dukungan arahan strategis, dan analisis data
  • Meningkatkan kapasitas dalam keterampilan dan pelatihan untuk menawarkan dukungan strategis
  • Membangun praktik-praktik kerja lintas (bidang, pihak, dsb.)
  • Mempertimbangkan juga hal-hal selain pelaku seni/ kreator
  • Mempertimbangkan bentuk-bentuk kelembagaan bagi pertukaran pengetahuan (lintas-lokalitas)

Dari atas panggung, dalam sesi panel bersama Reem Fadda dan Daehyung Lee, dimoderatori oleh Ning Chong

=====

Refleksi singkat terhadap materi ini: pergeseran Kota Kreatif versi 0.1 ke versi 2.0 sangat relevan dengan kegiatan Indonesia Creative Cities Network (ICCN) di periode ini. Versi 0.1 yang mencakup penjenamaan kota, atau city branding, sebagai upaya mempromosikan tempat/destinasi melalui narasi, slogan, logo dan berbagai strategi pengelolaannya, memang telah dan akan selalu dilakukan. Versi 0.1 mencakup juga identifikasi potensi unggul/ dominan di tiap kota dalam kategori sub-sektor industri kreatif, dengan hasil predikat yang melekat pada kota tersebut. “Pengelolaan penjenamaan kota” ini telah menjadi bagian dari Catha Ekadasa, sebagai jurus ke-9.

Bersama Prof. Andy Pratt dan dua narsum lainnya, Reem Fadda dan Daehyung Lee, dan host kita dari FOFA (Family Office For Art)

Versi 0.2 ternyatakan dalam peta jalan ICCN 2022-2025, di tahun pertama, “KOTABORASI/ UNICITIES”, di mana kota-kota anggota/ jejaring didorong untuk melakukan kolaborasi, dan untuk mengidentifikasi di mana mereka dapat saling melengkapi dalam konteks ekonomi kreatif.

Selebihnya, pesan pembicara kunci tersebut berhubungan erat dengan tata kelola sektor ekonomi kreatif dalam skala lokal (kabupaten/kota), yang mendorong kerja sama “lintas-lokalitas” (“gerakan kalcer”!), yang juga diekspresikan di ruang-ruang kota (“cipta ruang”!), di mana perhatian tidak hanya dipusatkan pada pelaku seni/kreator, namun juga pada pihak-pihak lain (“hexa helix”!) dalam ekosistem ekonomi kreatif. Termasuk juga kegiatan pendataan dan peningkatan kapasitas, yang juga secara umum telah tercantum dalam haluan Catha Ekadasa dan peta jalan ICCN di tahun kedua, “KOMUNITANGGUH/ COMMUNITYPOWER“.

Memperhatikan keselarasan konten ini, teman-teman, rasanya makin yakin bahwa kita sedang berada di jalur yang tepat. Mari lanjutkan dengan tetap bersemangat dan bergembira! Padamu negeri, kami berkolaborasi; bagimu negeri, kreativitas kami!

BEYOND Conference 2023 London

BEYOND adalah sebuah konferensi terkemuka mengenai penelitian dan pengembangan untuk industri kreatif, dan telah tiba pada tahun ke-6 penyelenggaraannya. Kali ini, BEYOND yang berlangsung pada 21-22 November di The Royal Institution, London, bermitra strategis dengan British Council, berkolaborasi dalam menentukan tema Global Creative Economies. Konferensi ini mempertemukan audience dari beragam latar belakang (pimpinan bisnis, kreatif, peneliti, pembuat kebijakan, jurnalis dan penyandang dana), dan juga sekitar 30 delegasi internasional (Turki, Ukraina, Uzbekistan, Filipina, Mesir, Maroko dan Jepang). Informasi lebih lengkap mengenai BEYOND dapat diakses di sini: https://beyondconference.org/

Pada BEYOND, terdapat sesi dengan format TEDTalk, dan sesi panel. Saya ditempatkan dalam sesi panel dengan tema “Emerging Trends in The Creative Economy: Perspectives from The Global South”, bersama Daniar Amanaliev (Co-founder and Band Master, ololo Group) dan John Newbigin (Chair, PEC International Council), dan Samira Ahmed (Broadcaster and Journalist, BBC) sebagai pemandu diskusi. Dalam durasi yang terbatas, tidak disarankan menggunakan materi tayangan, tapi Daniar dan saya punya beberapa slide untuk memberi gambaran konteks “The Global South” dengan lebih jelas bagi audience yang mayoritas berasal dari belahan bumi utara. Dan tampaknya memang perlu, melihat dari tanggapan positif terhadap berjalannya sesi tersebut dan konten-konten yang disampaikan.

Inti dari paparan saya adalah tren ekonomi kreatif di pasca pandemi, ketika orang telah menentukan prioritas baru. Di Indonesia, dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya, terdapat hal-hal yang menjadi karakteristik dan potensi umum, sehingga Ekonomi Kreatif pun mengarah ke sana, untuk memenuhi kebutuhan dengan lebih relevan, dengan sensitivitas terhadap isu-isu global. Hal-hal tersebut meliputi: keberagaman sumber daya alam dan budaya, dominasi usia muda/produktif, teknologi tepat guna, padat karya, usaha mikro & kecil, dan scale & balance (dalam konteks lingkup usaha, proporsi konsumsi sumber daya, dsb.). Diikuti dengan contoh-contoh kecenderungan karya produk kreatif (yang membawa kata-kata kunci upcycling, food security, responsible fashion, digital for equality, dan material culture technology), Laboratorium UKM Masa Depan, indeks kota kreatif, serta tema-tema utama dari rekomendasi kebijakan yang selama ini diajukan oleh Indonesia di forum-forum global (SDG, informal workers, intermediary, inclusivity, digital transformation, measurement/index, culture-based innovative experiments & future discoveries).

Video dari sesi tersebut dapat diakses di sini:

Video dari sesi-sesi lain dari BEYOND 2023 dapat diakses di sini: https://beyondconference.org/b23/ondemand/

Dari acara itu, yang membuat agak deg-degan bukan berbicara di dalam ruangan yang dipadati audience dari kalangan terpilih, tapi karena ruang auditorium/teater The Royal Institution (Ri) yang didirikan tahun 1799 itu adalah di mana para ilmuwan terkemuka menyampaikan gagasan-gagasannya dan mendemonstrasikan temuan-temuannya, seperti Jane Goodall dan David Attenborough (yang kabarnya juga berkantor di situ). Di ruang masuk utama, terdapat patung Michael Faraday, yang pernah menjadi Direktur Laboratorium Ri pada tahun 1852. Gedung ini dipenuhi koleksi buku, berbagai sampel dan alat peraga, dan foto-foto para tokoh ilmuwan pendahulunya; ruangan-ruangannya ditata dengan setting seminar atau diskusi, langsung mengundang rasa hormat, curious dan eksploratif terhadap siapa pun yang masuk. Rasa keingintahuan yang tinggi, namun dengan kerendahan hati; a humbling scientific attitude. Sangat sesuai dengan tagline The Royal Institution: Science Lives Here. Respect.

World Design Cities Conference Shanghai

Shanghai, Kota Desain UNESCO sejak 2010, melalui Shanghai UNESCO Creative City Promotion Office, kembali menggelar World Design Cities Conference (WDCC) secara luring, setelah sebelumnya dilaksanakan secara bauran di 2022. Dalam rangkaian acara WDCC ini terdapat UNESCO Creative Cities Summit, kali ini dengan tema Design Our Future Cities, yang diadakan pada tanggal 26 September 2023.

Pembicara kunci dalam summit tersebut adalah Denise Bax, Chief of Communication, Cities and Events Unit; UNESCO, Secretary of the UNESCO Creative Cities Network; dilanjutkan dengan tayangan video sambutan dari beberapa wakil/wali Kota Kreatif UCCN: Bilbao, Bangkok, Asahikawa, Braga, Graz, Turin. Setelah itu, masuk ke sesi Expertise Sharing, di mana saya membawa topik “Connectivity Matters: scenarios for future creative cities”. Inti dari paparan ini, kurang lebih adalah, kalau sudah jadi “kota kreatif”, lalu selanjutnya bagaimana? Didahului dengan argumen berupa frameworks “kota kreatif” dan “indeks kota kreatif” versi ICCN, serta implementasi indeks pada 27 kabupaten/kota di Jawa Barat oleh KREASI Jabar sejak 2020, sebagai penutup paparan ini mengajukan tiga preposition terkait skenario kota kreatif di masa mendatang.

Creative City is about connectivity of all relevant resources and stakeholders; an implementation of Creative Economy at the city level. // Kota Kreatif adalah tentang konektivitas dari seluruh sumber daya dan pemangku kepentingan terkait; merupakan implementasi dari Ekonomi Kreatif pada tingkat kota.

Measurable variables are designated to constitute a “creative city”; their values determine the position and roles of the city within the Creative Economy Ecosystem. // Variabel-variabel yang dapat diukur ditujukan untuk mendefinisikan “kota kreatif”; nilai-nilainya menentukan posisi dan peran sebuah kota dalam Ekosistem Ekonomi Kreatif.

Formulating scenarios for Future Creative Cities requires visions of human-centered cities and a comprehension of the Creative City Index. // Merumuskan skenario untuk Kota Kreatif Masa Depan memerlukan visi dari kota yang berpihak pada manusia dan pemahaman terhadap Indeks Kota Kreatif.

Di luar acara summit, kami, delegasi anggota UCCN, berkesempatan untuk mengunjungi venue pameran, yang hampir seluruhnya menampilkan desain produk bermuatan teknologi (digital dan kecerdasan buatan) termutakhir, namun dengan fungsi yang dekat dengan keseharian manusia, sambil masih mengangkat SDA lokal dan budaya. Peserta pameran terdiri dari perusahaan besar maupun kecil, hingga perguruan tinggi dengan karya-karya mahasiswanya.

Dari kunjungan singkat ini, terlihat bahwa sepertinya sekarang Cina bisa berjalan dan berkembang sukses, tanpa tergantung pada negara lain. Seluruh lini kebutuhan hidup tersedia dengan layak. Selama di sana, WhatsApp, GoogleMap, dan apa pun produk piranti lunak yang biasanya kita pakai di sini, tidak bisa berfungsi lancar. Mereka tidak perlu impor teknologi, karena tercukupkan dengan karya bangsanya sendiri. Ini salah satu bukti terbaik tentang kedaulatan negara.

Sejak acara pembukaan resmi, summit, pameran, hingga kunjungan ke simpul-simpul kreatif & revitalized heritage spaces, Shanghai menunjukkan kesadaran dan keseriusan pemerintah, lembaga pendidikan dan industri/swasta dalam mendukung proses litbang demi tercapainya inovasi, industrialisasi untuk bersaing, dan apresiasi terhadap “desain” dalam arti solusi, penambahan nilai melalui teknologi dan Kekayaan Intelektual, dan kebanggaan sebagai bangsa pencipta/produsen yang mengejar kemandirian. Kepingin desain Indonesia maju seperti ini? Banget! Syaratnya? Sinergi antar pihak yang diperkuat regulasi, dan benar-benar harus dijalankan dengan komitmen tinggi, tanpa korupsi.

=====

UNITAR CIFAL Jeju Workshop

Juli 2023 lalu, saya kembali menginjakkan kaki di Jeju, sejak pertama kalinya mengunjungi pulau itu di tahun 2014 sebagai salah satu pembicara di pertemuan PAN Asia Network. Selang sekian tahun, terlihat banyak perubahan di Jeju; dulu sepertinya fasilitas akomodasi dan transportasi terbatas, tidak seperti sekarang, banyak pilihan hotel dan tempat-tempat makan, museum, dan destinasi lainnya. Meskipun merupakan bagian dari negara Korea Selatan, Jeju tidak mensyaratkan visa bagi WNI. Proses persiapan perjalanan pun menjadi jauh lebih mudah.

Tujuan ke Jeju kali ini adalah untuk memenuhi undangan sebagai dosen tamu di rangkaian workshop dengan tema “Culture as Powerful Fuel for Building a Sustainable City”, terjadwal pada tanggal 1 Agustus 2023. Workshop ini diselenggarakan oleh the United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) CIFAL Jeju/Jeju International Training Center (JITC), disponsori oleh Jeju Special Self-Governing Province, berkolaborasi dengan the United Cities and Local Governments (UCLG) Asia Pacific. Berikut kutipan dari undangan mengenai UNITAR CIFAL Jeju:

UNITAR CIFAL Jeju is a part of CIFAL Global Network (International Training Center for Local Authorities/Actors) of UNITAR, a training arm of the UN system. The Center was established in 2010 under the agreement of UNITAR, Jeju Special Self-Governing Province and the International Peace Foundation based in Korea. The center provides local actors including government officials and civil society leaders in the Asia-Pacific region with various capacity-building training programs to exchange strategies, best practices and lessons learned in support of the UN Sustainable Development Goals.

Topik materi yang disampaikan adalah: Power of culture in urban settings: place, identity, and a sense of belonging. Pesertanya, sekitar 30 orang, berasal dari bidang budaya dan pembangunan perkotaan di wilayah Asia Pasifik. Tujuan workshop ini adalah untuk mengeksplorasi sinergi yang mempertemukan kedua bidang tersebut, sambil mengumpulkan peran budaya dalam membangun kota yang inklusif dan berpusat pada manusia, dalam memperkuat kualitas lingkungan binaan dan alami dalam perkotaan. Yang pada akhirnya mengintegrasikan budaya dalam pembuatan kebijakan perkotaan, untuk mempromosikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.   

Dengan topik ini, paparan saya memuat sekilas tentang konsep Bandung sebagai Kota Kreatif UNESCO, bahwa semuanya berlangsung karena inisiatif komunitas dan warga secara bottom-up, dengan frameworks Design Thinking, Urban Acupuncture dan People-Place-Ideas, merujuk pada SDG dan New Urban Agenda, serta referensi Culture Urban Future dari UNESCO. Fashion Village Lab, Airborne.bdg dan Urban Games ditampilkan sebagai control konkrit untuk memudahkan penyampaian pesan, juga dalam konteks Cipta Ruang/Placemaking sebagai konsekuensi dari berbagai program tersebut. Kasus-kasus empirik dari kekuatan budaya dalam ranah perkotaan ini dirangkum dan dirumuskan menjadi berbagai rekomendasi kebijakan yang telah disampaikan di beberapa forum dunia terkait ekonomi kreatif.     

 Dalam workshop ini, ada 5 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tersebar berbaur dalam kelompok-kelompok yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Di sesi terakhir hari itu, tiap kelompok mempresentasikan kasus/pilot dari tempat asal masing-masing sesuai tema workshop, yang kemudian berkembang menjadi diskusi yang menarik, terutama karena bisa saling berefleksi, belajar dan bertukar pikiran. Senang mendapat peluang ini. Terima kasih untuk UCLG yang telah merekomendasikan, dan tim UNITAR CIFAL yang sangat resourceful!

DESIGN BEYOND

World Design Organization (WDO) held the World Design Assembly in Tokyo, of which included a Design Conference on October 28, 2023. The theme is “Design Beyond“, with the background as quoted from the invitation signed by Kazuo Tanaka, Chairperson, Executive Committee World Design Assembly Tokyo 2023, as follows.

Design has progressed along with the development of the worldʼs industries and economies over the past 100 years. However, it cannot be denied that humanityʼs endless desires have contributed to serious damage to the global environment. In addition, the coronavirus disaster has rapidly accelerated the digitalization of everyday life. Between humanity and digital technology, the role that design is expected to play is facing a major shift. What goal should design aim for in order for humanity to live as human while caring for the global environment? Further, what can design do in order to achieve digital technology that allows humanity to flourish instead of being dehumanized by digital technology? Setting 4 sub themes such as Humanity, Technology, Planet, and Policy, we will explore the role of design “beyond” with various people in the design industry.

I was invited to participate in the Planet x Design session, to give a talk regarding “The Possibility of the Design for Climate change”. Beforehand, all panelists were expected to send a short essay on the subject, and here I share mine.

With Eisuke Tachikawa from WDO and Daijiro Mizuno, the session chair

With Dawn Lim, DesignSingapore Council.

Pak Neil El Himam, Deputy for Digital & Creative Industries, MoTCE, a presenter in the Policy panel.

With the session chair and all panelists.

 

=====

View from the stage

WORLD DESIGN ASSEMBLY 2023 — PLANET | Dr. Dwinita Larasati, M.A.

Not long ago, but seemingly in another life time, the world suddenly had to come to a pause. The occurrence was unprecedented; therefore, at the beginning, nobody knew how to respond, and chose isolation as the safest solution. Households, cities, and countries had to survive within their own means, while attempting recovery. A couple of years after, the situations are mostly under control. The world is ready to push the “Play” button — but how do we proceed, after such significant experience? What did the circumstances teach us about priorities, and — in the context of this session — how do designers contribute to the new humanity narratives for “normal”?

The scope of this discussion would include the phenomena that raised our awareness about how our surrounding environment could actually “heal”, or change for the better, once human activities were forced to come to a halt; about the acceleration of digital technology as the inevitable means of communication, of maintaining social life, of all essential interaction, including the issues of unequal access in many places; about the core needs of humankind, who were forced to give up their “extras” and live within their basic necessities?

The discussion could continue to the discoveries related to the circumstances, countless businesses have faced their demise due to the drastic change of production and consumption activities, but particular kinds of businesses were identified to be thriving and gaining multiple profits. This may be seen as an indicator for priorities, that are shifted towards, among others, healthy lifestyles, preference to organic food and beverage, physical and mental wellbeing, digital transformation, and all factors that support them.

Another remarks may lead to the issues of a change of attitudes and responds towards daily activities. An obvious one is mobility, when being in a crowd in a public transportation is considered as posing a risk to your own health, you would opt to go back to move around in your private motored vehicle. Another one is eating habit, when the trends of slow food and home cooking become too tedious due to difficulties in shopping and interacting with your usual grocers, you would prefer having cooked meals delivered to your house, It is quite practical to order and pay through a digital application, but it has been causing a sharp increase to the number of food package waste.

If we return to the questions, “How do we proceed?”, and “How do designers contribute?”, perhaps we agree that we would rather not go back to the pre-pandemic conditions. The “Pause” moment actually provided us time and space to redefine how humankind works. Designers are among a few professions who should possess more ability to envision the future, fuelled by their skills and empathy. In doing so, designers realise that they should always synergise with other professions in order to turn their design into reality, and to bring positive impacts.

Therefore, this discussion will also include what designers, particularly in Indonesia, tend to create post-pandemic, and how design is taught with related concerns about a future that can accommodate the wellbeing of all living creatures on earth. Considering the contexts of the part of the world where natural resources are highly diverse, and young people dominate the demography, but with challenges of natural disasters, inequality, and so on, designers should be able to come up with ideas and prototypes that support inclusivity.

Conclusively, a number of design objects and services will be presented as examples of where we would like to go after pressing the “Play” button, along with their enabling and supporting factors, particularly related to the intersection with humanity, environment, and technology.

=====

 

UCCN Forum Seoul

On October 26, 2023, the Korean National Commission for UNESCO and Seoul Design Foundation held the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum in Seoul, Korea, with the theme “The people power in solidarity through culture”. The following is copied from their invitation:

=====

The Korean National Commission for UNESCO has promoted active exchanges and cooperation among domestic member cities and has widely promoted and developed excellent cases of domestic creative cities at home and abroad.

Seoul Design Foundation (SDF) was initially proposed on November 2008 by the Seoul Metropolitan Government in order to promote design industries in Seoul. Since launched on 2nd March 2009, Seoul Design Foundation has been implementing various design projects running Dongdaemun Design Plaza (DDP), Seoul Upcycling Plaza, and Seoul Design Incubating Centre.

In this situation, the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum will be held to contribute to creating a comprehensive, safe, and resilient sustainable city and residence by UNESCO’s SDG 11 on the same date as the Seoul Design Conference.

=====

Since I was unable to attend in person, I sent a video presentation. In order to keep with the timing, I prepared the script in advance. So copied below is the deck, and the script as the captions, for the sake of documenting the event. The amazing team in Seoul has also taken photos (attached here as well) during the screening of my video, which I am immensely grateful for.

=====

1
Good afternoon, ladies and gentlemen. I regret for not being able to attend in person, but I am grateful that I get the chance to participate online. I am Tita, the focal point of Bandung, UNESCO City of Design. Today I would like to share our stories concerning community initiatives and how they shape the look of our city.

2
When “Bandung” is mentioned, people are usually reminded of “Bandung Conference”, an historical event in 1955 where 29 Asian and African countries gathered to make a stance. The declaration of the conference contains keywords that have become the spirit of Bandung people up to today: economy, culture, human rights, peace, and International partnership.

3
The city of Bandung itself has a long reputation as a place to go for shopping, fashion and culinary experience. The amount of higher education institutions, research centres and strategic national industries attracts young people, who dominate the demography of Bandung City.

4
There was a momentum when these young people, united in communities, organised under one hub organisation called Bandung Creative City Forum or BCCF, responded to various urban issues by building prototypes of solutions, both tangible and intangible interventions to public spaces and groups of local communities.

5
All programs and activities of BCCF implement Design Thinking method, with Urban Acupuncture concept, where the city is considered an organic entity, not unlike a human body, that has centres for thinking, breathing, memories, waste disposal; facilities for distributions of energy, nutrition, and all.
Each urban space intervention is like pinning a needle of creativity in spots of the body that – if conducted consistently at the right spots – is hoped to heal the whole body, or the city, making it function better.

6
This movement, that started in 2007, has shaped the characteristics of Bandung people, who see Design as a way of thinking to solve urban issues, that manages to create values and meanings according to the actual needs and contexts; Creativity as a strategy to lessen the gap between people and government, people and policy, and among all stakeholders; and Prototypes as a driver of Social Innovation, to make rapid improvements that can be conducted by all citizens.
With this angle, Bandung joined the UNESCO Creative Cities Network as a City of Design since 2015.

7
Such movement occurs as well in other cities in Indonesia; young people, who are aware that we can no longer rely on economy activities that depends on the extraction of natural resources, shift to economy activities that requires human intelligence and creativity.
These young people also formed cross community forums, built networks with each other, conducted programs and events that involve economy activities, and often offered urban solutions that also become social innovations.
These forums gathered and established Indonesia Creative Cities Network in 2015. ICCN currently has more than 240 city members from all over Indonesia. All ICCN members are committed to implement the 10 Principles of Indonesia Creative City.

8
Having an organisation with such diverse members require frameworks that can be implemented by all. ICCN refers to the Creative Economy Ecosystem, establishes the 10 Principles of Indonesia Creative Cities that comply with the SDGs, and Catha Ekadasa, or the 11 ways or guide to implement the 10 Principles, and involves Hexa Helix stakeholders in 3C steps – Connect Collaborate Commerce/Celebrate in all its programs.
One example is as follows.

9
Fashion Village Lab, an industrial area for multinational fashion labels, located in Cigondewah, the periphery of Bandung City.

10
The project started with a research on the issues of housing for the factory workers, but it turned out that the problems are more complex. What started as housing issues extended into environmental, social and economy issues as well.

11
All stakeholders were being involved, including the multinational brands at their headquarters; local governments down to the neighbourhood levels, the factory workers and local inhabitants. It was discovered that the workers also make a living outside their factory hours, and the villagers have an income from various jobs related to the factory activities.

12
Fashion Village Lab consisted of, among others, experimentations on up cycling the fabric waste into building bricks and other commodities, improvement of public facilities, plans of circular fashion production unit that includes an area for natural-dye plants, and an establishment of a cooperation of local women entrepreneurs.

13
The mapping of the project show supporting factors and stakeholders in Fashion Village Lab, and is used as a reference once the project is ready to be restarted after the pandemic.

14
Another project is Urban Games, of which themes and contents can be modified according to the events and contexts. One game attempts to reintroduce Bandung through its culinary culture and heritage through a “treasure hunt” activity.

15
Another game asks high school students to map environmental issues with an app, which then reveal the findings to the authorities for follow-ups.

16
These kinds of activities have more or less changed the face of the city. Young entrepreneurs have turned idle spaces into studios, workshop, offices and stores, such as this military warehouses.

17
Turning conventional market into a cool place to hang out, such as this one where hundreds of emerging local brands are being displayed.

18
Such as this mixed use of a traditional wet market, when the kiosks that sell vegetables, fruits and meat close at noon, another kiosks open: those that sell coffee and food, and those providing space for various activities, such as movie screening, discussion, poetry reading, and so on.

 

 

To conclude, it is important for cities with similar characteristics to Bandung – a growing and dense city – that is dominated by young generations of different backgrounds who are highly motivated to change the city so they have a better place to live, work and play, to have clear directions or frameworks, in order to be able to assess the impacts and plan the next strategic actions – and to maintain the spirit of urban culture in solidarity, inclusivity and partnership.
19
Thank you.