Tag Archives: WCCE

Tiap kota/kabupaten harus berani munculkan potensi unggulnya!

Beberapa waktu lalu di media-media sosial tersebar viral cuplikan video pidato Presiden Jokowi yang membesarkan hati para pegiat kota & kabupaten kreatif yang selama ini berupaya mengangkat keunggulan khas daerahnya. Terutama bagi mereka yang bergabung di Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang seluruh anggotanya memiliki komitmen untuk menerapkan 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia, di mana di dalamnya terdapat kata-kata kunci kearifan lokal, inovasi, kreativitas, sains & teknologi, dan pusaka. Terlebih lagi, terdapat panduan untuk mewujudkan 10 Prinsip tersebut, yaitu Catha Ekadasa, yang memuat 11 jurus yang dapat disesuaikan dengan kota/kabupaten yang memerlukan, antara lain Navigasi PembangunanMusrenbang Interaktif (Design Action), Pengelolaan City Branding, dan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat penentu kebijakan bagi pemerintah daerah. 10 Prinsip dan 11 Jurus ini menjadi panduan utama bagi seluruh kota/kabupaten anggota & jejaring ICCN dalam mengidentifikasi potensi kreatif unggulnya, memposisikannya dalam ekosistem ekonomi kreatif, serta mengembangkannya hingga berdampak bagi peningkatan kesejahteraan ko/kab, warga dan komunitasnya.

Dengan berlangsungnya segala upaya yang telah dilakukan secara bottom-up dan sporadis di berbagai kota/kabupaten, bahkan sebelum seluruhnya bersepakat untuk bergabung sebagai ICCN di tahun 2015, maka pernyataan presiden tersebut menjadi semacam validasi bahwa framework ICCN berada pada jalur yang tepat.

Dukungan dan harapan terhadap Kota Kreatif dan sektor Ekonomi Kreatif sebagai solusi di masa mendatang pun telah dipaparkan secara eksplisit di berbagai forum internasional belakangan ini. Salah satunya adalah milestone global terkait rekomendasi kebijakan dan peta jalan Ekonomi Kreatif, yaitu dokumen hasil dari event Connecti:City, Urban 20 Jawa Barat dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 berjudul “People and The Next Economy. — Recovering Together”, yang memuat 7 butir rekomendasi implementasi Sektor Ekonomi Kreatif pada skala kota. Selain itu, sebagai side event G20 200, World Conference on Creative Economy (WCCE) menghasilkan “Bali Creative Economy Roadmap 2022” yang memuat 16 aksi arah Sektor Ekonomi Kreatif di masa mendatang.

Pengarus-utamaan Ekonomi Kreatif makin terasa dengan diakuinya Ekonomi Kreatif dalam G20 Leaders’ Declaration 2022 pada butir 47 sebagai sektor yang “melibatkan ekonomi berbasis pengetahuan, kreativitas manusia, dan hak kekayaan intelektual, berkontribusi pada peningkatan ketangguhan komunitas pariwisata lokal dan UMKM melalui pembangunan modal sumber daya manusia, transformasi digital, inovasi, kemitraan pemerintah-swasta, pelestarian berkelanjutan terhadap pusaka alami dan budaya, dan pembiayaan inovatif yang juga mempertahankan nilai-nilai komersil dan budaya secara signifikan”.

“We further recognize that creative economy, which involve knowledge-based economy, human creativity, and intellectual property rights, contributes to improving the resiliency of tourism local communities and MSMEs through human capital development, digital transformation, innovation, public-private partnerships, sustainable preservation of natural and cultural heritage, and innovative financing while retaining their significant commercial and cultural values”

Saat berlangsungnya APEC 2022, Presiden Jokowi kembali menyatakan pentingnya Ekonomi Kreatif.

“Hal kedua sektor prioritas yang disampaikan Presiden Jokowi yaitu kerja sama industri kreatif sebagai sumber pertumbuhan baruEkonomi kreatif adalah sektor masa depan dan pilar pertumbuhan inklusif karena mendobrak batas geografis, gender, etnis, strata ekonomi dan mendorong pencapaian SDG”*sumber: https://setkab.go.id/dua-sektor-pemulihan-ekonomi-global-rantai-pasok-yang-resilien-dan-industri-kreatif-sebagai-pertumbuhan-baru/

Sampul Buku Putih Kota Kreatif ICCN (2021), yang memuat ulasan mengenai 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia dan Catha Ekadasa/ 11 Jurus untuk Mewujudkan Kota Kreatif Indonesia.

Selain forum-forum tersebut, Ekonomi Kreatif juga mendapatkan perhatian khusus dari ASEAN Creative Economy Business Forum (ACEBF) yang diselenggarakan di Bali tahun 2021, dan Asian Development Bank Institute (ADBI) yang menerbitkan “Creative Economy 2030 Policy Brief” yang didiseminasikan berbarengan dengan T20 2022.

Kembali pada konteks Kota Kreatif. UNESCO membentuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN) sejak 2004, dalam rangka mendorong kota-kota berpotensi kreatif di dunia untuk saling berkolaborasi; memanfaatkan potensinya untuk menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan. Kota-kota di Indonesia yang telah bergabung dalam UCCN adalah Pekalongan (City of Craft and Folk Arts, 2014), Bandung (City of Design, 2015), Ambon (City of Music, 2019), dan Jakarta (City of Literature, 2021). Dalam rangkaian Road to G20 Summit, bersama ICCN, UNESCO Cities Platform menyelenggarakan konferensi daring “Beyond Urban“, yang menghasilkan dokumen “Urban Solutions”, terfokus pada 3 tema prioritas G20 dengan penekanan pada isu Climate Change.

Seluruh rekomendasi tingkat dunia ini tentu akan kembali pada skala lokal, kota/kabupaten, untuk menentukan keberhasilan implementasinya. Pada dasarnya, kebijakan dan rencana strategis pembangunan daerahlah yang menjamin terwujudnya dorongan Presiden Jokowi tersebut, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat para pelaku. Peran pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator menjadi pembuka jalan utama bagi munculnya “keberanian” kota/kabupaten untuk mengakui dan bangga akan potensi khas masing-masing, sehingga eksplorasi terhadap peningkatan kapasitasnya sebagai sumber kesejahteraan pun dapat dikembangkan secara terstruktur dalam skala yang terjangkau dan terukur. Tanpa adanya sinergi dengan pemerintah, segala upaya yang dilaksanakan oleh warga, komunitas, dan pelaku ekonomi kreatif akan tetap berjalan, namun tidak akan memberikan feedback yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang kebijakan dan strategi pembangunan kota/kabupaten.

——————–

Tahun 2023, Indonesia kembali mengampu peran sebagai tuan rumah pertemuan tingkat tinggi, ASEAN. Merujuk pada forum-forum sebelumnya, kali ini seharusnya menjadi saat yang tepat bagi Ekonomi Kreatif untuk memenuhi berbagai rekomendasi kebijakan dan skenario yang telah ditetapkan. Terlebih bagi kota-kota kreatif di Asia Tenggara yang memiliki kemiripan demografi dan karakteristik. Melalui ICCN, Indonesia berinisiatif menampilkan karya-karya kreatif yang membawa nafas Asia Tenggara sebagai suatu wilayah. Kota-kota UCCN di wilayah ASEAN, terutama Kota-kota Desain di Asia Tenggara BandungSingapuraCebuHanoi dan Bangkok, pada pertemuan di Singapore Design Week September 2022, pernah bersepakat untuk melaksanakan semacam co-design project yang dapat menunjukkan kekuatan ekonomi kreatif negara-negara ASEAN. Pesan ini disampaikan kembali saat Bangkok Creative City Dialogue pada Februari 2023, dan rencananya akan dilanjutkan pada event Connecti:City di Bandung, Mei 2023. Upaya ini tidak akan terwujud tanpa kerja sama multi pihak, serta dukungan nyata dari tiap pelakunya. Mari manfaatkan peluang berharga ini untuk exercising cara-cara bekerja sama, mengeksplorasi berbagai skema project penciptaan bersama, menjawab tantangan terbesar kita selama ini sebagai jejaring pelaku dan komunitas (mempraktikkan “sinergi”, “integrasi”) dengan tujuan yang konkrit, yang hasilnya dapat menjadi kebanggaan bersama.

===

Links to related documents/references:

14-15 March 2022 | Policy Brief CONNECTI:CITY 2022 | U20 West Java, G20 Indonesia 2022 | People and The Next Economy – Recovering Together https://drive.google.com/file/d/1KdllzSKN0ZhmeD7jvM6NzRlfP4IDXHKW/view

28-29 July 2022 | UNESCO Cities Platform x Indonesia Creative Cities Network | Road to G20 Summit 2022 | BEYOND URBAN https://beyondurban.iccn.or.id

June 2022 | Asian Development Bank Institute (ADBI) | Creative Economy 2030: Imagining and Delivering a Robust, Creative, Inclusive, and Sustainable Recovery https://www.adb.org/publications/creative-economy-2030-imagining-and-delivering-a-robust-creative-inclusive-and-sustainable-recovery

15-16 Nov 2022 | G20 Leaders’ Declaration https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9TaWFyYW4lMjBQZXJzLzIwMjIvRzIwJTIwQmFsaSUyMExlYWRlcnMlMjclMjBEZWNsYXJhdGlvbiwlMjAxNS0xNiUyME5vdmVtYmVyJTIwMjAyMiwlMjBpbmNsJTIwQW5uZXgucGRm

2023 Projecting Indonesia’s Creative Economy Potential on the Global Stage (download file)

Kemlu-RIs-Book-Final

Culture and Creative Economy

I posted this on my Instagram on Oct 12, 2022 (the event itself was on Oct 7) and I thought some points might need to be referred to in the near future. Photos and the complete speech are posted here as well, for when the day comes.

20221006-WCCE-Speech

The Director General of Culture Hilmar Farid @hilmarfarid delivered his thoughts at the closing session of the World Conference on Creative Economy, titled “Towards a Sustainable Future”. It’s such a pleasure to have him here, since there has always been a dichotomy between “Culture” and “Creative Economy” within the contexts of formality: government regulations and structures. While, in fact, Creative Economy – especially in our region – can’t be separated from Cultural and Creative Industries and the infinite inspiration from (indigenous) culture, tradition, and resources.

Many points are worth highlighting, but here are some particular ones:

“On the policy side, we need to move away from our fixation on economic growth and begin to seriously take the emotional, spiritual, and cultural dimensions into account.”

“I think of the relationship between the cultural sector and the creative economy as complementary, not competitive.”

Direct stakeholders of those sectors commonly (and perhaps subconsciously) retain the mindset of “Cultural Activities” as cost exhaustive and project “Creative Economy” as an income generator. We just have to keep rediscovering a balance mechanism so the two may thrive sustainably in the future.

Thank you for the insights, Bang Fay, looking forward to having further interactions! 

The Director General of Culture Hilmar Farid @hilmarfarid delivered his thoughts at the closing session of the World Conference on Creative Economy, titled “Towards a Sustainable Future”. It’s such a pleasure to have him here, since there has always been a dichotomy between “Culture” and “Creative Economy” within the contexts of formality: government regulations and structures. While, in fact, Creative Economy – especially in our region – can’t be separated from Cultural and Creative Industries and the infinite inspiration from (indigenous) culture, tradition, and resources.

Many points are worth highlighting, but here are some particular ones:

“On the policy side, we need to move away from our fixation on economic growth and begin to seriously take the emotional, spiritual, and cultural dimensions into account.”

“I think of the relationship between the cultural sector and the creative economy as complementary, not competitive.”

Direct stakeholders of those sectors commonly (and perhaps subconsciously) retain the mindset of “Cultural Activities” as cost exhaustive and project “Creative Economy” as an income generator. We just have to keep rediscovering a balance mechanism so the two may thrive sustainably in the future.

Thank you for the insights, Bang Fay, looking forward to having further interactions! 

World Conference on Creative Economy 2021

Masih dari WCCE Dubai. Berikut ini adalah catatan dari sesi pembukaan WCCE, 7 Desember 2021.

Audrey Asoulay, Director General UNESCO

  1. Paparan Audrey dimulai dengan kisah tapak-tapak tangan berusia ribuan tahun di Sulawesi, yang menandakan daya kreativitas manusia sebagai naluri alamiah.
  2. Berkembangnya daya kreativitas menjadi Culture & Creative Industry (CCI) terus menerus menghasilkan inovasi, yang berkontribusi pada rencana pemulihan pasca pandemi.
  3. Strategi Ekonomi Kreatif dapat memperkuat jalinan masyarakat, sekaligus menjawab tantangan masa depan yang berkelanjutan.
  4. Masyarakat yang tangguh dan damai kerap mempraktikkan ekonomi kreatif dalam skala kota, sehingga kolaborasi antar kota-kota yang berkesepahaman mengenai ekonomi kreatif dan potensi kreativitas ini pun dihimpun dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN). 
  5. G20 menjadi salah satu platform kolektif untuk bergerak bersama, dengan dampak pada ketersediaan lapangan kerja untuk pembangunan berkelanjutan.
  6. Terdapat 3 isu utama, yaitu: (1) Data yang lebih baik, terutama untuk memahami kontribusi sektor ekraf terhadap GDP dan dampak pandemi terhadap budaya, serta untuk menentukan kebijakan publik; (2) Perlindungan yang lebih baik terhadap kreator/seniman, terkait regułasi efektif bagi perlindungan status seniman, serta ruang-ruang penting bagi kegiatan berkesenian; (3) Akselerasi digital, terutama sebagai saluran bagi suara semua pihak, serta terkait distribusi dan model-model bisnis yang berkelanjutan.
  7. Perlu adanya sebuah Peta Jalan Internasional untuk Ekonomi Kreatif yang dapat disepakati bersama. G20 di Indonesia dan Mondial Mexico diharapkan dapat menjadi jalan menuju cita-cita ini.  

Noura Bint Mohammed Al Kaabi, Minister of Culture & Youth UAE

  1. Ekonomi Kreatif adalah sebuah sektor yang sering disalah-pahami. Sehingga UAE membuat strategi nasional pengembangan ekonomi kreatif untuk 10 tahun. Karena itu UAE sangat bergembira mendapatkan tongkat estafet kelanjutan WCCE dari Indonesia. 
  2. WCCE kali ini juga menjadi semacam penutup bagi Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan. Di masa mendatang, ekonomi kreatif akan menjadi ekonomi global.
  3. Ekonomi kreatif akan membawa kita untuk melompat lebih kuat melewati pandemi.
  4. Ekonomi kreatif di masa pasca pandemi sangat ditentukan oleh kreativitas manusia, termasuk perkembangannya yang ditunjukkan oleh munculnya beragam istilah seperti CCI, digitalised contents, NFT, dan sebagainya.

Angela Tanoesudibyo, Vice Minister of Tourism & Creative Economy Republic of Indonesia

  1. Tema WCCE 2018 Inclusively Creative, seiring dengan Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembanguan Berkelanjutan, berkembang menjadi Cultivating The Future di WCCE 2021. Di sini sudah ada bahasan mengenai teknologi dan disrupsi digital.
  2. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga akan makin menjadi perhatian. WIPO menekankan 3 hal utama, yaitu: (1) Ekonomi Kreatif sebagai solusi; (2) Kerja sama internasional terkait HKI; (3) Penerapan baru, yaitu HKI bagi komunitas, terutama untuk para pelaku ekonomi kreatif secara inklusif (perempuan, generasi muda, seniman, dsb.).  

Paolo Toschi, G20 Culture Italy 2021

  1. G20 Culture Italy menempatkan budaya sebagai pusat strategi pembangunan.
  2. Budaya mengangkat berbagai nilai, termasuk urban regeneration, dengan butir-butir utama: pemberdayaan usaha berbasis budaya dan kreativitas, pengaruh budaya pada lingkungan dalam konteks perubahan iklim dan perlindungan aset pusaka, serta penguatan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.    

5 konsep G20 yang berasal dari penerapan ekonomi kreatif:

  1. Pemberdayaan masyarakat melalui CCI, yang membuka peluang sinergi antar generasi dan meningkatkan ketangguhan
  2. Dunia digital/virtual dan dunia real akan saling mengisi, terutama untuk menghasilkan karya digital yang unik, yang bahkan dapat merepresentasikan sejarah sekaligus ekspresi kontemporer
  3. Inklusivitas, termasuk kesetaraan gender
  4. Pengembangan CCI lintas sektor, yang selalu menjadi pembelajaran, sekaligus menghibur, dan dapat bertumbuh di masa krisis
  5. Berbagai solusi terhadap perlindungan dan permasalahan lingkungan, sebagai hasil sinergi teknologi dan desain

UNCTAD

  1. Perlu adanya kolaborasi untuk masa depan kreatif ekonomi demi pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
  2. Budaya membuat teknologi digital menjadi manusiawi; juga dalam ranah pemberdayaan perempuan, ketika ia menjadi produk, jasa, dan media.
  3. Teknologi digital memungkinkan terjadinya dialog lintas budaya.

UNESCO CULTURE & WIPO

  1. Ekonomi Kreatif adalah salah satu sektor yang bertumbuh pesat, dan membuka banyak lapangan kerja bagi kaum muda.
  2. CCI di masa mendatang erat hubungannya dengan ekonomi digital.
  3. Simpul-simpul kreatif akan mendorong pengembangan ekonomi lokal.
  4. Budaya sebagai “common good”; berbagai isu kebijakan perlu diarahkan ke hal ini. Presidensi G20 Italia 2021 telah mengangkat aspek budaya. Tahun depan akan berlangsung Mondial 2022 yang akan mengangkat tema kebijakan publik dalam budaya. 
  5. Kenapa ekonomi kreatif penting bagi sebuah wilayah? Karena ia dapat memayungi aspek sosial dan ekonomi masyarakat wilayah tersebut.
  6. Ekonomi kreatif dan dampaknya adalah indikator dinamika sebuah kota.
  7. Kita perlu merumuskan indikator global terkait inovasi sebagai hasil dari sektor ekonomi kreatif.          
  8. “Budaya” tidak secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu dari 17 sasaran dalam SDG, namun sebenarnya telah terdapat dalam seluruh sasaran tersebut. Sehingga indikator pencapaian SDG hendaknya memuat juga aspek budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal.
  9. Untuk menyambut masa depan, “budaya” sebagai sebuah kerangka kerja perlu dilengkapi dengan model pendanaan dan kebijakan yang tepat. 
  10. Pendekatan copyright menghadapi tantangan: (1) dari sisi para pelaku ekraf, yang harus menyadari benar apa saja yang dimiliki, dan apa saja yang dapat dilakukan; (2) dari sisi para pembuat kebijakan dan pemerintah, yang harus menciptakan ekosistem untuk kreativitas. 
  11. Copyright harus lebih disederhanakan agar mudah dimengerti.  

====

WCCE yang berlangsung selama tiga hari di Dubai ini menghasilkan 21 butir UAE WCCE 2021 Agenda; dapat diunduh di wcce.ae

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

“Kreativitas” Menurut Malcolm Gladwell

Salah satu acara puncak dalam rangkaian acara World Conference on Creative Economy (WCCE) adalah sesi Malcolm Gladwell, yang membahas tentang “kreativitas” di hari terakhir WCCE, 9 Desember 2021 di Dubai. Terdapat tiga hal utama yang menjadi bahasan pada sesi ini.

1 Apa yang dapat kita pelajari tentang “kreativitas”?

Untuk menyampaikan gagasannya, Gladwell mengangkat Paul Simon sebagai ilustrasi. Paul Simon, sebagai duo Simon & Garfunkel, sempat mencapai masa jayanya di tahun 70an. Di tahun 80an popularitasnya telah menurun; pada masa depresi ini seseorang mengirimkan Paul sebuah kaset berisi musik Afrika. Paul segera terbang ke Johannesburg, tinggal di sana selama 2 minggu, berkutat dalam studio, hingga menelurkan album Graceland, yang mencapai sukses besar. Saat itu, Paul berusia 45 tahun.

———

Biasanya, kita mengaitkan “kreativitas” dengan “usia muda”, di mana kreativitas seseorang dianggap mencapai puncaknya pada usia 20an. Namun dalam hal Paul ini, tidak demikian. Terdapat sebuah “creative break”, di mana sebelumnya ia berkarya dengan aktif, lalu masuk ke fase terendahnya. Namun kemudian, ia mendapatkan kaset musik Afrika yang menjadi stimulus untuk kembali aktif menciptakan karya, hingga sukses.

Sebagai ilustrasi selingan, Gladwell menghadirkan Picasso dan Cezanne. Terdapat dua jenis Jenius Artistik: (1) Inovator Konseptual, dan (2) Inovator Eksperimental. Pada usia 20an, Picasso menciptakan gaya kubisme dan menjadi sangat sukses karena hal tersebut. Ia masuk dalam kategori (1) yang terus menerus beriterasi hingga mencapai hasil terbaik. Sementara, Cezanne masuk dalam kategori (2), di mana ia terus menerus melakukan proses mencoba dan gagal, dalam upaya menemukan hasil terbaik. Ia baru mencapai “puncak kreatif”nya di usia 50an. [Proses iterasinya tersimpan baik di Museum D’Orsay, Paris]

Sutradara Alfred Hitchcock juga melakukan proses iteratif ini, dan baru mencapai puncak kreatifnya di usia yang tidak lagi muda. Dalam hal ini, Paul Simon memiliki kemiripan dengan Cezanne dan Hitchcock.

2 Ada apa dengan jenis eksperimentasi ini?     

Eksperimentasi dalam berkarya, atau iterasi dalam upaya mencapai hasil terbaik, sangat diperlukan. Ketika kita mulai melakukan eksperimentasi (dengan potensi kreativitas yang kita miliki), pada saat itu juga kita membuka beragam kemungkinan dan skenario yang dapat terwujud. Orang kreatif tidak hanya memikirkan, atau berandai-andai tentang hasil terbaiknya, tapi mereka benar-benar melakukan, berkerasi, dan berupaya, untuk mencapai hasil terbaik tersebut.

3 Mengapa keberagaman dan inklusivitas itu penting?

Ringkasnya: because it’s a just thing to do(!) Tapi juga karena keberagaman adalah kunci menuju kreativitas!

Untuk memberi gambaran bagi pernyataan ini, Gladwell menyajikan contoh teknologi telepon. Di masa awalnya, telepon merupakan sebuah kegagalan komersil. Sebab inventornya berkeras menyatakan bahwa produk teknologi telepon ini hanya dapat dimanfaatkan sebagai alat berbisnis; keperluan lain tidaklah relevan. 

Jelas mereka tidak melakukan pengujian usability yang melibatkan beragam jenis segmen masyarakat. Mereka menutup kemungkinan bahwa para pengguna telepon ini bisa dari kalangan petani, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Keterbatasan pengguna pun membuat pemasaran telepon ini jeblok.

Baru di tahun 1920an, atau 40 tahun setelah ditemukan, teknologi telepon ini mulai disosialisasikan dan dibuka untuk pengguna selain bisnis. Bayangkan, terdapat rentang waktu 40 tahun “kerugian”, yang seharusnya dapat membuat perkembangan tekonlogi telepon ini jauh lebih pesat, dengan adanya pengguna yang jauh lebih beragam. 

Sehubungan dengan ini, menurut Gladwell, orang kreatif adalah mereka yang berani menghadapi hasil yang tak terduga dari eksperimen yang mereka lakukan. Mereka adalah yang selalu siap melakukan proses yang tidak nyaman, karena menghadapi berbagai kontroversi dan kritikan deras. [Seperti yang dihadapi oleh Paul Simon ketika menggarap albumnya di Afrika Selatan]

Orang kreatif harus selalu ditantang dengan pertanyaan, “Apakah Anda bersedia untuk berada dalam kondisi yang tidak nyaman?” – karena kenyamanan adalah musuh dari keberagaman. Kata-kata seperti Kebaruan, Kreatif, dan Imajinatif hanya dapat dicapai oleh mereka yang berani berada dalam kondisi yang tidak nyaman. 

===

Demikian pendekatan Malcolm Gladwell terhadap Kreativitas. Ia memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menjawab beberapa pertanyaan dari yang hadir, yang “tercatat” dalam graphic note terlampir. 

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

2021, Jangan Sampai Lepas!

Dalam Sesi ke-74 General Assembly tanggal 29 November 2019, PBB mendeklarasikan 2021 sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan/ The International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCE), yang diajukan oleh Indonesia dan didukung oleh puluhan negara dari berbagai belahan dunia. Ajuan ini “mengakui perlunya mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, mendorong inovasi dan menyediakan peluang, manfaat dan pemberdayaan bagi semua, dan menghargai hak azasi manusia dan upaya yang sedang berlangsung untuk mendukung negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami masa transisi ekonomi dalam membuat keragaman produksi dan ekspor, termasuk dalam wilayah pertumbuhan berkelanjutan yang baru, termasuk industri kreatif”.

Tentu saja, saat pencanangan 2021 IYCE tersebut, tidak ada yang menyangka adanya pandemi yang mendominasi tahun 2020, yang menyita seluruh energi dan mengubah total kondisi dunia. Masa genting untuk bertahan hidup, menetapkan relevansi langkah berikutnya dalam segala keterbatasan ruang gerak dan interaksi, sambil terus bereksperimen dengan gaya hidup baru. Masa adaptasi ini tidak mudah bagi siapa pun, tapi kehidupan berjalan terus.

Bagaimana kabar sektor ekonomi kreatif selama krisis berlangsung, dan bagaimana posisi sektor ekraf di masa mendatang, terutama dalam menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan?

Inisiatif Komunitas = Modal Dasar Kemandirian

Di awal masa pandemi, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) menjalankan program Aksi Bersama Bantu Sesama (ABBS) dengan 5 satgasnya yang masing-masing cepat tanggap menangani berbagai urgensi. Terutama saat pendataan dan tindakan langsung dari pemerintah (pusat) belum terkoordinasi penuh. Sejalan dengan waktu dan perkembangan yang terjadi, ABBS menyesuaikan kegiatannya dan berkolaborasi dengan berbagai pihak. ABBS berlanjut sebagai program yang berupaya menggerakkan aktivitas ekonomi komunitas dan warga, berbasis potensi kreativitas dan kekayaan budaya. Nilai-nilai solidaritas, empati, inklusivitas, gotong royong, dan semua yang dibutuhkan dalam masa krisis ini, telah tertuang dalam 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN yang telah menjadi komitmen para anggotanya, sehingga konteks “komunitas kreatif”, “ekonomi kreatif” dan “kota/kabupaten kreatif” pun telah menjadi modal dasar kemandirian – dan tengah diuji ketangguhannya – dalam menghadapi (krisis) masa mendatang.

Inclusive Creative Economy and The Future of Work

ICCN menjadi knowledge partner bagi U20 (Urban 20/ kelompok wali kota di negara-negara G20) dalam menyusun white paper dan policy recommendations berjudul Inclusive Creative Economy and The Future of Work. Argumen utama white paper ini adalah bahwa ekonomi kreatif merupakan sektor yang paling membuka peluang bagi penyediaan lapangan kerja secara inklusif di masa mendatang, bagi perempuan, generasi muda, kaum difabel, dan sebagainya, dengan memanfaatkan TI. Hal ini didukung dengan 3 karakteristik utama para pelaku ekraf, yaitu: selalu ingin mencari keunggulan melalui inovasi, cepat menyerap teknologi untuk memperlancar proses dan sistem yang telah berjalan, serta – khususnya bagi yang berkomunitas – cenderung melihat perannya untuk sebuah tujuan/purpose, bukan sekedar mengandalkan jabatannya. 

Andaikan rekomendasi kebijakan ini diterima oleh negara-negara G20, Indonesia termasuk yang harus paling siap dalam membuktikan kontribusi sektor ekraf bagi strategi pembangunan berkelanjutan. Lebih mendetail tentang white paper ini bisa dibaca di tulisan sebelumnya: https://titalarasati.com/inclusive-creative-economy-and-the-future-of-work/

Satu hal lagi. Berhubung Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 Summit di Labuan Bajo tahun 2022, sektor ekonomi kreatif tidak boleh tertinggal untuk menjadi salah satu agenda yang dibahas. Terutama karena terminologi seperti circular economy dan informal economy yang selama ini menjadi bagian dominan dari ekosistem ekraf. akan makin menguat di masa mendatang, atau pasca pandemi, terutama bagi negara-negara global south

Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) 

Ekraf bukan hanya mencakup komersialisasi dan transaksi barang/jasa kreatif; lebih dari itu, ekraf mencakup keseluruhan ekosistem, yang dapat terpetakan dalam lingkup perkotaan. Wilayah kota menjadi perhatian, karena dianggap sebagai entitas yang paling tangkas dan lentur dalam menghadapi permasalahan mendatang, seperti perubahan iklim dan perpindahan manusia dalam jumlah masif. Demikian pula ekosistem ekraf, pemetaannya dalam skala kota akan dapat menunjukkan potensi tiap elemen ekosistem ekraf. 

ICCN masih mengembangkan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) dalam bentuk dashboard digital, yang dapat menjadi alat kerja bagi pemerintah lokal untuk dapat membuat keputusan dan menyusun kebijakan berdasarkan potensi ekraf di wilayahnya dengan dampak yang terukur dan berkelanjutan. Upaya ini juga akan membantu pemerintah daerah dalam mengidentifikasi mitra ko/kab lain dalam memajukan wilayahnya berdasarkan potensi ekraf mereka. Catha Ekadasa, atau 11 Jurus Mewujudkan Ko/Kab Kreatif yang bermuara pada 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN, menjadi salah satu parameter dalam IKK, sehingga para pelaku ekraf, komunitas, dan warga dapat berpartisipasi langsung dalam pemutakhiran dashboard tersebut secara berkala.          

World Conference on Creative Economy (WCCE)

Indonesia akan kembali menyelenggarakan WCCE di Bali, Mei 2021, untuk yang kedua kalinya. Acara ini tentu saja akan menjadi parameter perkembangan ekraf di Indonesia, yang bukan hanya berupa showcase kekayaan budaya dan karya-karya dari sub-sektor industri kreatif Indonesia, tapi juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan betapa sektor ekraf dapat menjawab tantangan masa krisis dan berpeluang menjadi solusi bagi kondisi di masa depan, our near future. Sebagai negara pencetus IYCE, Indonesia tentu akan menjadi perhatian bagi negara-negara lain yang juga telah dan mulai menggairahkan sektor ekraf dalam kondisi penuh keterbatasan. It is crucial to demonstrate the answers and evidences to the “So what?!” question of the creative economy sector.     

Indonesia harus dapat memposisikan diri dengan lebih strategis melalui sektor ekraf ini, baik dalam skala global, maupun pada dampak nyatanya secara internal. Sinergi antar stakeholders perlu segera dicek ulang dan diperkuat di mana perlu, agar dapat benar-benar menunjukkan keunggulan kita dalam sektor ini. Sementara, para pelaku di tengah masyarakat pun, dari akademisi hingga profesional dalam sektor ekonomi kreatif, pun terus bergerak secara dinamis.  Tidak ada momentum yang lebih sempurna lagi dari tahun 2021 untuk membuktikan kekuatan ekraf Indonesia. Ayo tangkap, jangan sampai lepas!