Sektor Ekonomi Kreatif (Ekraf) di Indonesia sedang berada di persimpangan nomenklatur menjelang periode pemerintahan baru di akhir 2024. Adalah satu hal untuk merancang skenario ekraf di masa mendatang, dengan peta jalan berdasarkan seluruh (rekomendasi) kebijakan yang telah dihasilkan sebelumnya; namun adalah hal lain, bila dalam praktiknya nanti, terdapat berbagai penyesuaian menurut struktur pemerintahan yang baru. Apakah Ekraf akan tetap digandeng dengan Pariwisata, atau berdiri sendiri? Atau digabung dengan sektor lain, seperti Budaya, Pendidikan, Ekonomi, bahkan Digital?
19 Maret 2024 lalu, Kemenparekraf menggelar FGD Penyusunan Rancangan Teknokratik Rencana Strategis Kemenparekraf/Baparekraf 2025-2029. Sebagai salah satu narasumber, saya diberi tema “Pengembangan Ekonomi Kreatif melalui Kota Kreatif dan Klaster Kreatif”. O ya, sebelum FGD ini berlangsung, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) turut memberikan masukan bagi renstra tsb., sehingga materi ini kurang lebih merupakan elaborasi dari masukan ICCN yang juga dipertajam ke hal-hal seputar Kota Kreatif. Berikut ini beberapa butir paparan yang disampaikan.
1 Kepemimpinan Indonesia dalam Sektor Ekonomi Kreatif Global | Hingga kini, Indonesia masih memegang posisi tawar yang tinggi dalam sektor Ekraf skala global, terutama karena reputasinya sebagai inisiator World Conference on Creative Economy (WCCE), Friends of Creative Economy (FCE), dan Resolusi PBB No. A/78/459 tahun 2023 tentang Promosi Ekraf untuk Pembangunan Berkelanjutan yang berkonsekuensi pada pelaporan kinerja ekraf secara berkala (setiap dua tahun, mulai 2026). Untuk dapat menjaga posisi tersebut, diperlukan kepemimpinan yang komprehensif, serta pemahaman, pengawalan dan keterkaitan isu-isu ekraf dari satu platform/forum ke platform/forum yang berikutnya. Diperlukan juga sebuah Centre of Excellence di Indonesia yang benar-benar berperan/ berfungsi sebagai pusat keunggulan Ekraf terutama dari karakteristik ekraf Indonesia dan perspektif Global South.
2 White Paper & Rekomendasi Kebijakan Ekraf Skala Global | Hingga kini, Indonesia telah banyak terlibat dalam penyusunan white paper dan rekomendasi kebijakan Ekraf skala global dalam berbagai platform/forum (G20, ADBI, WCCE, Connecti:City, dsb.). Dokumen-dokumen tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda, namun semuanya mengangkat kata-kata kunci kepentingan Indonesia, atau sudut pandang Global South, sehubungan dengan Ekraf sebagai strategi pembangunan: SDG, pekerja informal, intermediary/agregator, inklusivitas, transformasi digital, pengukuran/index, inovasi berbasis budaya, dan penemuan masa depan.
3 Roadmap Ekraf Global — Agenda Ekraf Nasional | Dari semua rekomendasi kebijakan, peta jalan, dll. yang telah dihasilkan, seluruhnya menyediakan opsi arahan sesuai dengan prioritas; apakah Indonesia puny agenda Ekraf utama, adakah sudut pandang negara bagian Bumi Selatan, atau isu wilayah ASEAN yang perlu diangkat? Sehingga dipnerlukan adanya peta jalan, rencana strategis, rencana aksi dan indikator kinerja ekonomi kreatif nasional yang dapat menjadi rujukan dan diterapkan secara sistematis oleh pemerintah daerah.
4 Tata Kelola Ekraf di Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota | Saat ini terdapat beberapa K/L yang kewenangannya saling tumpang tindih dengan Kemenparekraf, seperti Kementerian BUMN untuk daerah pariwisata, Kemendikbudristek untuk situs-situs bersejarah, KemenKopUKM untuk hasil kerajinan, dll. Harus ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas agar cakupan sasaran program jadi semakin luas dan indeks kinerja setiap K/L terkait bisa diukur.
5 Ekonomi Kreatif, Kota Kreatif, Klaster Kreatif | kota, ICCN telah memiliki kerangka kerja & panduan program/kegiatan Kota Kreatif, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota/jejaringnya, sehingga tiap kabupaten/kota di Indonesia dapat menerapkannya sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah. Dalam konteks skala kota, komitmen terhadap SDG mengacu pada New Urban Agenda; sementara Ekraf dilihat sebagai sebuah ekosistem, terutama untuk memetakan peran pemerintah, sesuai dengan UU Ekraf dan Perda Ekraf; dan kerangka kerja ICCN (10 Prinsip Kota Kreatif, Catha Ekadasa, Hexa Helix) menjadi acuan sistematika dalam upaya menganalisis data untuk Indeks Kabupaten/Kota Kreatif. Perhitungan indeks ini telah dipraktikkan setiap tahunnya di Provinsi Jawa Barat sejak 2020.
6 Kota Kreatif v 1.0 x Kota Kreatif v 2.0 | Mengutip Prof. Andy Pratt, UNESCO Chair of Global Creative Economy, mengenai Kota Kreatif versi 2.0: kota-kota kreatif versi pertama adalah yang mengangkat konteks globalisasi, place marketing/branding, dan menyelenggarakan aktivitas budaya. Namun kota kreatif versi kedua, adalah yang menjembatani perbedaan-perbedaan, memiliki sistem keterhubungan, serta cenderung berkolaborasi untuk mewujudkan “Kota Kreatif untuk Dunia”. Pergeseran paradigma ini pun berpengaruh pada konsep “Ekonomi Kreatif”, yang tadinya merupakan model Industri Budaya dan Kreativitas dalam ranah ekraf itu sendiri, kini memperluas lingkupnya menjadi perwujudan barang & jasa budaya, serta terjalinnya jejaring berdasarkan makna dan penciptaan nilai dalam konteks Ekonomi Sirkular.
7 Menuju Institusionalisme Baru dalam Tata Kelola Ekonomi Kreatif | Masih berkaitan dengan “kota kreatif versi 2.0”, dengan model kelembagaan yang baru, maka diperlukan pula tata kelola yang sesuai. Antara lain dengan menerapkan perantara (intermediation) dan dukungan untuk para produsen kebudayaan, peningkatan kapasitas dalam hal dukungan strategis, mengembangkan praktik-praktik kerja lintas bidang, dsb.
8 Evaluasi Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UCCN) 2024 | Mengacu pada hasil evaluasi UCCN 2024, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi refleksi bagi kota-kota anggota UCCN di Indonesia, sekaligus perlu diantisipasi dalam penyelenggaraan “kota kreatif” di masa mendatang. Berkut ini butir-butir rekomendasi yang diajukan:
- Perlu penyelarasan konsepsi Kabupaten/Kota Kreatif ICCN, Kota Kreatif UNESCO, KaTa Kreatif Kemenparekraf
- Perlu mekanisme pendukungan bagi para focal point UCCN di Indonesia dari kementerian terkait dan KNIU (koordinasi tingkat nasional, mobilisasi, promosi, laporan berkala, dsb.)
- Perlu benchmarking unit/lembaga pengampu “kota kreatif” dengan merujuk pada existing unit/agency di kota-kota UCCN di luar Indonesia (misalkan: DesignSingapore Council, Creative Economy Agency Thailand)
- Perlu koordinasi khusus dan skema koleksi & analisis data ekraf Indonesia secara komprehensif; terutama dari perspektif karakteristik ekraf Indonesia/Global South, terkait persiapan laporan berkala mulai 2026 (Resolusi PBB No. A/78/459)
- Website KNIU perlu dilengkapi dengan laman tentang kota-kota UCCN di Indonesia; seleksi di tingkat nasional belum melibatkan masukan dari para focal point UCCN di Indonesia untuk mendapatkan update terbaru mengenai konten dan proses yang berlaku di UNESCO
Ekonomi Kreatif adalah sektor yang dinamis, sangat kontekstual, mengikuti perkembangan era yang sarat disrupsi, sehingga transisi nomenklaturnya pun akan selalu terjadi. Paparan ini adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi kondisi mendatang, agar kita selalu siap dengan opsi skenario yang dapat membawa sektor Ekraf untuk tetap relevan dan unggul dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Mari lanjut berkarya!
Tautan ke dokumen Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388996?posInSet=3&queryId=N-eb11463d-4573-442b-b667-ff7fee229946
Tautan ke dokumen Ringkasan Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388645