World Conference on Creative Economy 2021

Masih dari WCCE Dubai. Berikut ini adalah catatan dari sesi pembukaan WCCE, 7 Desember 2021.

Audrey Asoulay, Director General UNESCO

  1. Paparan Audrey dimulai dengan kisah tapak-tapak tangan berusia ribuan tahun di Sulawesi, yang menandakan daya kreativitas manusia sebagai naluri alamiah.
  2. Berkembangnya daya kreativitas menjadi Culture & Creative Industry (CCI) terus menerus menghasilkan inovasi, yang berkontribusi pada rencana pemulihan pasca pandemi.
  3. Strategi Ekonomi Kreatif dapat memperkuat jalinan masyarakat, sekaligus menjawab tantangan masa depan yang berkelanjutan.
  4. Masyarakat yang tangguh dan damai kerap mempraktikkan ekonomi kreatif dalam skala kota, sehingga kolaborasi antar kota-kota yang berkesepahaman mengenai ekonomi kreatif dan potensi kreativitas ini pun dihimpun dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN). 
  5. G20 menjadi salah satu platform kolektif untuk bergerak bersama, dengan dampak pada ketersediaan lapangan kerja untuk pembangunan berkelanjutan.
  6. Terdapat 3 isu utama, yaitu: (1) Data yang lebih baik, terutama untuk memahami kontribusi sektor ekraf terhadap GDP dan dampak pandemi terhadap budaya, serta untuk menentukan kebijakan publik; (2) Perlindungan yang lebih baik terhadap kreator/seniman, terkait regułasi efektif bagi perlindungan status seniman, serta ruang-ruang penting bagi kegiatan berkesenian; (3) Akselerasi digital, terutama sebagai saluran bagi suara semua pihak, serta terkait distribusi dan model-model bisnis yang berkelanjutan.
  7. Perlu adanya sebuah Peta Jalan Internasional untuk Ekonomi Kreatif yang dapat disepakati bersama. G20 di Indonesia dan Mondial Mexico diharapkan dapat menjadi jalan menuju cita-cita ini.  

Noura Bint Mohammed Al Kaabi, Minister of Culture & Youth UAE

  1. Ekonomi Kreatif adalah sebuah sektor yang sering disalah-pahami. Sehingga UAE membuat strategi nasional pengembangan ekonomi kreatif untuk 10 tahun. Karena itu UAE sangat bergembira mendapatkan tongkat estafet kelanjutan WCCE dari Indonesia. 
  2. WCCE kali ini juga menjadi semacam penutup bagi Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan. Di masa mendatang, ekonomi kreatif akan menjadi ekonomi global.
  3. Ekonomi kreatif akan membawa kita untuk melompat lebih kuat melewati pandemi.
  4. Ekonomi kreatif di masa pasca pandemi sangat ditentukan oleh kreativitas manusia, termasuk perkembangannya yang ditunjukkan oleh munculnya beragam istilah seperti CCI, digitalised contents, NFT, dan sebagainya.

Angela Tanoesudibyo, Vice Minister of Tourism & Creative Economy Republic of Indonesia

  1. Tema WCCE 2018 Inclusively Creative, seiring dengan Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembanguan Berkelanjutan, berkembang menjadi Cultivating The Future di WCCE 2021. Di sini sudah ada bahasan mengenai teknologi dan disrupsi digital.
  2. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga akan makin menjadi perhatian. WIPO menekankan 3 hal utama, yaitu: (1) Ekonomi Kreatif sebagai solusi; (2) Kerja sama internasional terkait HKI; (3) Penerapan baru, yaitu HKI bagi komunitas, terutama untuk para pelaku ekonomi kreatif secara inklusif (perempuan, generasi muda, seniman, dsb.).  

Paolo Toschi, G20 Culture Italy 2021

  1. G20 Culture Italy menempatkan budaya sebagai pusat strategi pembangunan.
  2. Budaya mengangkat berbagai nilai, termasuk urban regeneration, dengan butir-butir utama: pemberdayaan usaha berbasis budaya dan kreativitas, pengaruh budaya pada lingkungan dalam konteks perubahan iklim dan perlindungan aset pusaka, serta penguatan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.    

5 konsep G20 yang berasal dari penerapan ekonomi kreatif:

  1. Pemberdayaan masyarakat melalui CCI, yang membuka peluang sinergi antar generasi dan meningkatkan ketangguhan
  2. Dunia digital/virtual dan dunia real akan saling mengisi, terutama untuk menghasilkan karya digital yang unik, yang bahkan dapat merepresentasikan sejarah sekaligus ekspresi kontemporer
  3. Inklusivitas, termasuk kesetaraan gender
  4. Pengembangan CCI lintas sektor, yang selalu menjadi pembelajaran, sekaligus menghibur, dan dapat bertumbuh di masa krisis
  5. Berbagai solusi terhadap perlindungan dan permasalahan lingkungan, sebagai hasil sinergi teknologi dan desain

UNCTAD

  1. Perlu adanya kolaborasi untuk masa depan kreatif ekonomi demi pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
  2. Budaya membuat teknologi digital menjadi manusiawi; juga dalam ranah pemberdayaan perempuan, ketika ia menjadi produk, jasa, dan media.
  3. Teknologi digital memungkinkan terjadinya dialog lintas budaya.

UNESCO CULTURE & WIPO

  1. Ekonomi Kreatif adalah salah satu sektor yang bertumbuh pesat, dan membuka banyak lapangan kerja bagi kaum muda.
  2. CCI di masa mendatang erat hubungannya dengan ekonomi digital.
  3. Simpul-simpul kreatif akan mendorong pengembangan ekonomi lokal.
  4. Budaya sebagai “common good”; berbagai isu kebijakan perlu diarahkan ke hal ini. Presidensi G20 Italia 2021 telah mengangkat aspek budaya. Tahun depan akan berlangsung Mondial 2022 yang akan mengangkat tema kebijakan publik dalam budaya. 
  5. Kenapa ekonomi kreatif penting bagi sebuah wilayah? Karena ia dapat memayungi aspek sosial dan ekonomi masyarakat wilayah tersebut.
  6. Ekonomi kreatif dan dampaknya adalah indikator dinamika sebuah kota.
  7. Kita perlu merumuskan indikator global terkait inovasi sebagai hasil dari sektor ekonomi kreatif.          
  8. “Budaya” tidak secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu dari 17 sasaran dalam SDG, namun sebenarnya telah terdapat dalam seluruh sasaran tersebut. Sehingga indikator pencapaian SDG hendaknya memuat juga aspek budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal.
  9. Untuk menyambut masa depan, “budaya” sebagai sebuah kerangka kerja perlu dilengkapi dengan model pendanaan dan kebijakan yang tepat. 
  10. Pendekatan copyright menghadapi tantangan: (1) dari sisi para pelaku ekraf, yang harus menyadari benar apa saja yang dimiliki, dan apa saja yang dapat dilakukan; (2) dari sisi para pembuat kebijakan dan pemerintah, yang harus menciptakan ekosistem untuk kreativitas. 
  11. Copyright harus lebih disederhanakan agar mudah dimengerti.  

====

WCCE yang berlangsung selama tiga hari di Dubai ini menghasilkan 21 butir UAE WCCE 2021 Agenda; dapat diunduh di wcce.ae

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

CCI Global Agenda: 11 Key Actions

World Conference on Creative Economy (WCCE) kedua diselenggarakan di Dubai, yang sekaligus menjadi tuan rumah World Expo 2020, 7-9 Desember 2021. Seluruh acara yang sedianya berlangsung tahun 2020, terpaksa seluruhnya diundur ke 2021. WCCE mengambil tempat di bangunan Dubai Expo, yang masih berada dalam lokasi World Expo.

Dalam rangkaian acara WCCE, salah satunya adalah sesi Peluncuran Agenda Global untuk Industri Budaya dan Kreatif (Cultural and Creative Industry/ CCI), yang memuat 11 Key Actions. 11 Key Actions ini disusun oleh International Advisory Council for Creative Industries Policy and Evidence Centre (IAC-PEC) UK yang bermitra dengan British Council

Sebelum masa pandemi, IAC-PEC sempat mengadakan pertemuan secara fisik di London dan Edinburgh; setelah itu pertemuan berlangsung beberapa kali secara virtual. Sekian banyak diskusi telah menghasilkan, antara lain, penelitian bersama, rekomendasi kebijakan, dan sebagainya. Dua tahun setelah terbentuk, IAC-PEC bersepakat untuk membuat sebuah dokumen yang bersifat legacy, yang mengkompilasi pemikiran bersama terkait arah optimalisasi potensi sektor ekraf sebagai solusi bagi berbagai tantangan kritis saat kini. Setelah melalui proses yang cukup alot, dengan sekian perubahan format, akhirnya dokumen tersebut terwujud sebagai CCI Global Agenda: 11 Key Actions.

11 Key Actions ini diluncurkan di hari pertama WCCE, 7 Desember 2021, dengan menghadirkan sebagian dari anggota IAC-PEC sebagai narasumber, yaitu Eliza Easton (UK), Avril Joffe (Afrika Selatan), Laura Callanan (USA), serta saya sendiri; dengan moderator John Newbigin (UK) yang mengetuai IAC-PEC. Sesi ini lebih berupa percakapan pendalaman dari 11 butir tersebut, antara lain mengenai pendanaan, perantara, kesetaraan gender, dan ekonomi informal.

Melalui 11 butir ini, yang langsung merepresentasikan butir-butir terkait dari 17 Tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG), IAC-PEC bermaksud memberikan masukan dan rekomendasi bagi pemerintah pusat maupun lokal, untuk mengarusutamakan sektor ekonomi kreatif sebagai salah satu strategi pembangunan.   

Berikut ini ringkasan 11 Key Actions tersebut dalam bahasa Indonesia, sementara selengkapnya (dalam bahasa Inggris, Perancis, Arab, Spanyol) dapat diunduh di tautan ini: https://www.pec.ac.uk/policy-briefings/a-global-agenda-for-the-cultural-and-creative-industries

1. Pendidikan dan Keterampilan Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8, 10): pengakuan terhadap peran seni dan budaya dalam mengembangkan kreativitas individu di semua tingkat pendidikan dan pelatihan, untuk menjamin kreativitas dan keterampilan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja masa depan untuk mengelola disrupsi dan peluang yang terdapat di area seperti virtual reality, desain berwawasan lingkungan dan kecerdasan buatan. Diperlukan integrasi seni dan budaya, di samping keterampilan dalam sains dan teknologi, dalam segala aspek pendidikan dan pelatihan.

2. Kewirausahaan dan Inovasi Kreatif (SDG 1, 4, 5, 8): pengakuan terhadap nilai model bisnis inovatif yang muncul dari pemanfaatan teknologi digital dalam CCI; juga tantangan tertentu yang dihadapinya, termasuk kebutuhan terhadap pendanaan termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan dukungan bisnis bagi usaha kecil terkait revolusi digital. 

3. Karir Kreatif, Pekerja Lepas Waktu, dan Penghidupan Informal (SDG 1, 3, 5, 8, 10, 11): kebijakan yang mendukung kondisi kerja yang layak dan perlindungan sosial bagi para pelaku CCI; pengakuan terhadap lumrahnya pekerja wiraswasta, pekerja kontrak, dan pekerja informal dalam sektor CCI.

4. Penelitian dan Pengembangan CCI (SDG 4 ,8, 9): revisi penggunaan definisi “Frascati” dalam litbang yang digunakan oleh para pembuat kebijakan di seluruh dunia, sehingga kebijakan terkait investasi insentif pada inovasi dapat secara baik meliputi seluruh domain pengetahuan, termasuk Seni, Humaniora dan Ilmu Sosial, tidak hanya Sains dan Teknologi.   

5. CCI dan Ekonomi Digital (SDG 4, 5, 8, 9): melibatkan CCI dalam pembentukan kerangka kerja bagi peraturan baru dan infrastruktur yang bertujuan mengatasi isu-isu terkait data dan privacy, platform internet, dan penciptaan & perlindungan HKI. 

6. CCI dan Keberlanjutan Lingkungan (SDG 1, 3, 12, 13); pengakuan terhadap kontribusi CCI dalam menjalankan ekonomi sirkular dan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dampak yang relatif kecil terhadap sumber daya alam dan lingkungan secara fisik. 

7. Kota-kota Kreatif dan Klaster-Klaster Regional (SDG 11, 16, 17): investasi pada CCI tidak hanya di kota-kota besar tapi juga pertimbangkan berbagai peluang di klaster-klaster kecil dan lokal.

8. Pembiayaan Alternatif dalam CCI (SDG 1, 9, 12, 17): bekerja dengan kepercayaan dan fondasi untuk mengembangkan insentif dan jaminan, yang mendorong investasi dari sektor swasta untuk berinvestasi dalam infrastruktur terkait, keterampilan, pasar dan platform menuju pertumbuhan dan pemerataan, dan untuk memunculkan produksi budaya jenis baru oleh komunitas-komunitas kreatif.   

9. Kesetaraan Sosial, Keberagaman Budaya dan Inklusivitas dalam CCI (SDG 1, 3, 4, 5, 10, 12, 13, 16): mendukung segala upaya yang berlanjut dan bertumbuh oleh badan-badan internasional dan pembuat kebijakan nasional untuk melestarikan praktik-praktik budaya dan kreatif, bahasa, pengetahuan tradisional, seni dan artifak dan situs-situs serta naskah pusaka.

10. Standar Internasional untuk Mengumpulkan dan Berbagi Data (SDG 16, 17): mengembangkan standar global bagi klasifikasi CCI dan mata pencaharian kreatif untuk menggerakkan pertumbuhan sebuah berbasis-bukti yang dapat diperbandingkan di skala internasional. Termasuk di dalamnya, upaya yang terkoordinasi untuk memastikan revisi terhadap kode-kode internasional seperti Standard Industrial Classification (SIC) dan Standard Occupational Classification (SOC), mencerminkan sifat perubahan CCI.

11. Kerja Sama Internasional untuk Penyelenggaraan CCI (SDG 1, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 17): menentukan standar global untuk kerja sama internasional terkait perkembangan CCI di seluruh dunia. Hukum HKI, regulasi internet, perpajakan dan kebijakan terkait perlu direkalibrasi menjadi konsisten, inklusif, adil dan bermanfaat secara setara bagi industri dan pemerintah.

DI panggung bersama John Newbigin dan Eliza Easton; di layar hadir pula Laura Callanan dan Avril Joffe yang bergabung dari tempat masing-masing (Amerika dan Afrika Selatan).

Dalam sesi ini, sebagai moderator, John menggali berbagai hal dari para nara sumber PEC yang telah memberikan materi dan referensi bagi 11 Key Actions tersebut. Eliza menjelaskan mengenai PEC dan kegiatannya, terutama terkait berbagai penelitian yang dilakukan oleh Nesta terkait ekonomi kreatif dan kontribusinya terhadap kebijakan di UK. Laura membahas mengenai aspek “ekonomi” dalam “ekonomi kreatif”, terkait pendanaan (alternatif) dan keberlangsungan kegiatan ekonomi dalam berbagai sub-sektor industri kreatif dan perkembangannya. Avril mendiskusikan sektor informal sebagai pendukung industri kreatif, terutama di negara-negara belahan bumi selatan, yang sarat dengan fenomena ini. Saya menyampaikan peran intermediary atau perantara – seperti halnya Indonesia Creative Cities Network (ICCN) di tingkat nasional, atau komunitas skala kota seperti Bandung Creative City Forum (BCCF) – yang dapat mengajukan model dan masukan untuk para pembuat kebijakan terkait ekonomi kreatif dan kota kreatif. Harapannya, bila dapat diadopsi oleh negara-negara yang berpotensi kuat dalam sektor ekonomi kreatif, 11 Key Actions ini dapat menjadi panduan aktif dalam penentuan kebijakan/regulasi, untuk menjawab tantangan SDG.

QR code menuju tautan untuk mengunduh dokumen 11 Key Actions ditayangkan pada layar selama sesi berlangsung.

====

Penelitian mengenai Informal Economy yg dilakukan oleh IAC-PEC di 10 negara bisa diakses di tautan ini: The Relationship between the Informal Economy and the Cultural Economy in the Global South

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

“Kreativitas” Menurut Malcolm Gladwell

Salah satu acara puncak dalam rangkaian acara World Conference on Creative Economy (WCCE) adalah sesi Malcolm Gladwell, yang membahas tentang “kreativitas” di hari terakhir WCCE, 9 Desember 2021 di Dubai. Terdapat tiga hal utama yang menjadi bahasan pada sesi ini.

1 Apa yang dapat kita pelajari tentang “kreativitas”?

Untuk menyampaikan gagasannya, Gladwell mengangkat Paul Simon sebagai ilustrasi. Paul Simon, sebagai duo Simon & Garfunkel, sempat mencapai masa jayanya di tahun 70an. Di tahun 80an popularitasnya telah menurun; pada masa depresi ini seseorang mengirimkan Paul sebuah kaset berisi musik Afrika. Paul segera terbang ke Johannesburg, tinggal di sana selama 2 minggu, berkutat dalam studio, hingga menelurkan album Graceland, yang mencapai sukses besar. Saat itu, Paul berusia 45 tahun.

———

Biasanya, kita mengaitkan “kreativitas” dengan “usia muda”, di mana kreativitas seseorang dianggap mencapai puncaknya pada usia 20an. Namun dalam hal Paul ini, tidak demikian. Terdapat sebuah “creative break”, di mana sebelumnya ia berkarya dengan aktif, lalu masuk ke fase terendahnya. Namun kemudian, ia mendapatkan kaset musik Afrika yang menjadi stimulus untuk kembali aktif menciptakan karya, hingga sukses.

Sebagai ilustrasi selingan, Gladwell menghadirkan Picasso dan Cezanne. Terdapat dua jenis Jenius Artistik: (1) Inovator Konseptual, dan (2) Inovator Eksperimental. Pada usia 20an, Picasso menciptakan gaya kubisme dan menjadi sangat sukses karena hal tersebut. Ia masuk dalam kategori (1) yang terus menerus beriterasi hingga mencapai hasil terbaik. Sementara, Cezanne masuk dalam kategori (2), di mana ia terus menerus melakukan proses mencoba dan gagal, dalam upaya menemukan hasil terbaik. Ia baru mencapai “puncak kreatif”nya di usia 50an. [Proses iterasinya tersimpan baik di Museum D’Orsay, Paris]

Sutradara Alfred Hitchcock juga melakukan proses iteratif ini, dan baru mencapai puncak kreatifnya di usia yang tidak lagi muda. Dalam hal ini, Paul Simon memiliki kemiripan dengan Cezanne dan Hitchcock.

2 Ada apa dengan jenis eksperimentasi ini?     

Eksperimentasi dalam berkarya, atau iterasi dalam upaya mencapai hasil terbaik, sangat diperlukan. Ketika kita mulai melakukan eksperimentasi (dengan potensi kreativitas yang kita miliki), pada saat itu juga kita membuka beragam kemungkinan dan skenario yang dapat terwujud. Orang kreatif tidak hanya memikirkan, atau berandai-andai tentang hasil terbaiknya, tapi mereka benar-benar melakukan, berkerasi, dan berupaya, untuk mencapai hasil terbaik tersebut.

3 Mengapa keberagaman dan inklusivitas itu penting?

Ringkasnya: because it’s a just thing to do(!) Tapi juga karena keberagaman adalah kunci menuju kreativitas!

Untuk memberi gambaran bagi pernyataan ini, Gladwell menyajikan contoh teknologi telepon. Di masa awalnya, telepon merupakan sebuah kegagalan komersil. Sebab inventornya berkeras menyatakan bahwa produk teknologi telepon ini hanya dapat dimanfaatkan sebagai alat berbisnis; keperluan lain tidaklah relevan. 

Jelas mereka tidak melakukan pengujian usability yang melibatkan beragam jenis segmen masyarakat. Mereka menutup kemungkinan bahwa para pengguna telepon ini bisa dari kalangan petani, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Keterbatasan pengguna pun membuat pemasaran telepon ini jeblok.

Baru di tahun 1920an, atau 40 tahun setelah ditemukan, teknologi telepon ini mulai disosialisasikan dan dibuka untuk pengguna selain bisnis. Bayangkan, terdapat rentang waktu 40 tahun “kerugian”, yang seharusnya dapat membuat perkembangan tekonlogi telepon ini jauh lebih pesat, dengan adanya pengguna yang jauh lebih beragam. 

Sehubungan dengan ini, menurut Gladwell, orang kreatif adalah mereka yang berani menghadapi hasil yang tak terduga dari eksperimen yang mereka lakukan. Mereka adalah yang selalu siap melakukan proses yang tidak nyaman, karena menghadapi berbagai kontroversi dan kritikan deras. [Seperti yang dihadapi oleh Paul Simon ketika menggarap albumnya di Afrika Selatan]

Orang kreatif harus selalu ditantang dengan pertanyaan, “Apakah Anda bersedia untuk berada dalam kondisi yang tidak nyaman?” – karena kenyamanan adalah musuh dari keberagaman. Kata-kata seperti Kebaruan, Kreatif, dan Imajinatif hanya dapat dicapai oleh mereka yang berani berada dalam kondisi yang tidak nyaman. 

===

Demikian pendekatan Malcolm Gladwell terhadap Kreativitas. Ia memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menjawab beberapa pertanyaan dari yang hadir, yang “tercatat” dalam graphic note terlampir. 

====

Tulisan lain terkait WCCE 2021:

Enam Puluh Persen Saja Dulu, Sanggup?

Kesempatan bersama Kak ET kali ini sangat singkat, namun sarat makna. Dalam rangkaian perjalanannya di Bandung, Sabtu 9 Oktober 2021, Simpul Space #4 di Jalan Braga 3 menjadi salah satu tempat yang disinggahi. Gedung Simpul ini, yang merupakan salah satu aset bangunan heritage kelas A milik Kimia Farma, sementara ini sedang dikelola dan ditempati oleh Indonesia Creative Cities Network (ICCN) dan Bandung Creative City Forum (BCCF). 

Kang Fiki Satari, Abah Kiki Adiwilaga, Kak ET, Tita, Kang Galih Sedayu, Kang Adi Panuntun, Kang Mi-ink Panji, dan Kang Yogi, di depan Simpul Space #4 Jalan Braga 3

Dalam konteks aktivitas komunitas dan karakter Bandung sebagai Kota Desain UNESCO, Sabtu sore itu kita menampilkan potensi creativepreneur, dengan beberapa jenama dalam wirausaha yang dibentuk dan dijalankan oleh para lulusan perguruan tinggi seni rupa dan desain. Para pengusaha dalam sektor industri kreatif ini dengan sendirinya membuka peluang lapangan kerja ketika membutuhkan tenaga penjahit, pembuat keramik, pengrajin bambu, tukang kayu, dan sebagainya, dalam proses produksi dan distribusinya. Penciptaan nilai diperoleh dari proses kreatif dan capaian hasil pemikiran, yang berpotensi didaftarkan sebagai hak cipta, dan bahkan paten, bila mengandung nilai inovasi teknologi dan temuan baru lainnya. Jenama yang hadir mencerminkan potensi desain Bandung, yang tahun ini akan ditampilkan kembali dalam acara Bandung Design Biennale (BDB) dengan tema Excavate. Ketua penyelenggara BDB 2021, Ardo, dan salah satu kurator BDB 2021, Panda, turut hadir untuk menyerahkan buku BDB 2019 dan materi BDB 2021 kepada Kak ET. 

Paparan singkat tentang BCCF, yang kemudian menjadi salah satu forum lintas komunitas skala kabupaten/kota menginisiasi pembentukan ICCN, juga mengenai berbagai gerakan serta aktivisme komunitas di ratusan kabupaten/kota se-Indonesia yang berujung pada formulasi model cara kerja dan metriks yang dapat diterapkan bersama, menyertakan juga slide yang memuat skema kolaborasi antara ICCN dengan Kementerian BUMN. Mengenai hal ini, Kak ET menyatakan akan meninjau ulang, agar benar-benar dapat terjadi komitmen yang berdampak nyata.

Selanjutnya, Kak ET menyampaikan bahwa aktivasi dan gerakan komunitas kreatif ini sebenarnya merupakan Ekonomi Komunitas dalam sebuah Ekosistem Kolaborasi. Sebagai pemerintah (“Yang kebetulan menterinya sekarang ya saya ini”, ucapnya), upaya mengakselerasi peningkatan ekonomi komunitas ini adalah dengan menyediakan kebijakan dan fasilitas seperti yang sedang berjalan saat ini, antara lain KUR Himbara yang menyediakan kredit yang sesuai dengan kondisi UMKM, dan PADI UMKM yang membuka peluang belanja negara ke UMKM lokal, sekaligus mendorong UMKM untuk melakukan digital onboarding. “Biasanya, kalau ganti pejabat, program-program yang sudah berjalan baik, bisa dihentikan. Hanya karena ingin terlihat lebih hebat dari pejabat sebelumnya. Padahal tidak perlu demikian; kalau terbukti memang berdampak positif bagi seluas mungkin masyarakat penerima manfaat, seharusnya dipertahankan.”

Kak ET juga menantang, “Coba cek, yang sedang kita kenakan sekarang: baju, celana, sepatu. Apakah paling tidak 60%-nya buatan lokal? Tidak perlu yang terlalu canggih seperti ponsel dan laptop; cukup barang-barang yang mendasar saja dulu. Upayakan agar beli dan pakai produksi lokal, untuk mengangkat kebanggaan terhadap produk Indonesia, agar jangan jadi slogan semu. Bangga Buatan Indonesia, dengan sesungguhnya.”

Tantangannya tidak berhenti sampai di sini. Kak ET langsung bertatap mata, sambil berucap, “Buat ya programnya, akhir tahun ini harus ada”. Nah, kan. Interaksi dengan Kak ET tidak pernah melompong. Selalu ada komitmen dan target yang harus dipenuhi, dan semuanya realistis, asal kita mau kerja. It takes one hard worker to know another. Siap, Kak, akan kami gencarkan!

Terima kasih atas kunjungannya, Kak ET. Juga atas tularan semangatnya, sebagai sosok yang mewakili pemerintah yang mau mendengarmendukung nyata, serta mengerti betul seluk beluk para pelaku industri kreatif, artists- & designer-makers, dan creativepreneurs — sehingga dapat menghasilkan kebijakan, regulasi, serta fasilitas yang benar-benar relevan. Semoga saat Kak ET kembali lagi ke Bandung, sudah dapat kami tampilkan bukti lebih dari 60%!

=====

Terima kasih juga bagi seluruh Tim Simpul yang keren, selalu siap sedia menyiapkan ruang bersama kita ini dengan pertimbangan standar keamanan dan kesehatan. Terima kasih tim penyelenggara Bandung Design Biennale 2021 dan juga untuk seluruh rekan jenama Bandung atas partisipasinya; sangat membanggakan!

Ame Raincoat @ameraincoat

Amygdala Bamboo @amygdala_bamboo

Eldine @eldine_

Goodbelly @goodbelly.bdg

KAR @karjewellery

Kayakayu @kayakayu_id

Package from Venus @packagefromvenus

Pala Nusantara @palanusantara

Tuskbag @tusk.id

*Photo credit: Kementerian BUMN

Seleksi Kota Kreatif Dunia

Ini sedikit catatan dari proses seleksi anggota baru Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO.

Sebelum Bandung bergabung sebagai Kota Desain di akhir tahun 2015, dan juga setelahnya, terdapat beberapa perubahan pada prosedur penerimaan anggota jejaring ini. Di pertemuan tahunan UCCN tahun 2016 di Östersund, Kota Gastronomi Swedia, Charles Landry mengakhiri paparan kuncinya dengan pertanyaan terbuka: Bagaimana kelanjutan jejaring ini, apakah lebih strategis untuk menambah anggota sebanyak-banyaknya, atau justru perlu dilihat dulu, apa yang sudah tercapai dengan jejaring anggota yang sudah ada? Akankah menjadi eksklusif, atau inklusif? Bagaimana arahan “kota kreatif dunia” untuk masa mendatang?

Pertanyaan tersebut sedikit banyak berpengaruh pada kriteria seleksi kota anggota berikutnya. Kota seperti apa yang diharapkan untuk bergabung? Apa kira-kira konsekuensinya, baik bagi UCCN maupun bagi kota-kota tersebut?

Berbagai penyesuaian pun diterapkan pada formulir dan persyaratan pengajuan. Sejak 2017, penerimaan anggota jejaring berlangsung setiap 2 tahun (tadinya, setiap tahun). Sejak 2019, setiap negara hanya diperkenankan mengajukan 2 (dua) kota dengan subnetwork yang berbeda. Formulir pengajuannya pun mengalami penajaman konten, dan terdapat beberapa tenggat proses sejak pengajuan hingga pengumuman penerimaan, yang biasanya dilakukan di penghujung tahun.

Tiap subnetwork dilibatkan dalam proses seleksi ini. Bandung, dalam subnetwork Desain, juga turut mempelajari proposal pengajuan yang masuk, dan memberi penilaian serta pendapat. Subnetwork kemudian melakukan pertemuan untuk merekapitulasi hasil penilaian, sekaligus menampung pendapat, hingga pada akhirnya menyusun rekomendasi kota-kota untuk diterima bergabung dalam UCCN. Dalam seleksi 2021 ini, subnetwork Desain merekomendasikan kota-kota yang dapat diterima, dan menggagas agar kota-kota selebihnya dapat melakukan semacam audiensi terlebih dahulu untuk dapat lebih menjelaskan aspirasi, motivasi, serta argumen mereka untuk bergabung dalam jejaring ini. 

Kami tidak tahu seberapa kuat rekomendasi dari kota-kota subnetwork UCCN ini dapat berpengaruh pada keputusan UCCN tentang diterima atau tidaknya kota-kota pengaju, karena tentu saja UCCN memilik pertimbangan di luar konten formulir pengajuan.

Pertemuan para focal points Kota-kota Desain UNESCO untuk menentukan kota-kota anggota baru 2021

Dari proses di tahun 2021 ini, setidaknya tertangkap beberapa hal. Pertama, formulir pengajuan terdiri dari kolom-kolom yang pada dasarnya memuat berbagai argumen bagi sebuah kota untuk layak disebut sebagai “kota kreatif”: infrastruktur fisik, alokasi anggaran, ruang-ruang ekspresi, strategi pengembangan, dsb. Seluruhnya harus diisi dengan Bahasa Inggris yang tepat dan ringkas (concise), tanpa mengurangi makna dan keunggulan/kekhasan kota tersebut dalam konteks subnetwork pilihannya. Di sini tentu dibutuhkan keterampilan berbahasa dengan baik, bukan hanya secara teknis, namun juga dalam hal membangun narasi. Karena hal ini, saya tahu benar bahwa terdapat kota-kota yang sebenarnya layak dan sangat berkomitmen dalam hal memanfaatkan “desain”/ kreativitas, dengan dampak positif nyata dan meluas, serta keanggotaannya jelas akan dapat berkontribusi pada jejaring ini; namun kurang dapat mengekspresikan hal tersebut dalam proposalnya. Sebaliknya, terdapat pula kota-kota yang sangat fasih dalam mengisi formulir, sehingga tampak “sudah memenuhi kriteria”, meskipun belum terdapat rekam jejak dan/atau strategi pengembangan yang konkrit. 

Kedua, selain hal bahasa, terdapat juga bias budaya. Ada kota-kota yang lebih dapat memahami arah pertanyaan dan konten jawaban yang diharapkan, terutama yang berasal dari negara-negara yang telah terbiasa menerapkan sistem yang teratur dan terukur dengan standar-standar global. Sehingga kota-kota inilah yang biasanya mendominasi proporsi nilai tertinggi.

Ingin tahu juga pengalaman seleksi di subnetwork yang lain. Pekalongan Kota Craft & Folk Art dan Ambon Kota Musik, mungkin dapat berbagi pengalaman juga?        

Jadi bagaimana?

Pada akhirnya, tentu saja keputusan diterimanya kota-kota tertentu untuk bergabung tetap berada di UCCN; subnetwork kota-kota anggota jejaring hanya dapat merekomendasi. Bagi Indonesia, penentu dua kota untuk menyerahkan proposal ke UCCN tiap dua tahun adalah Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU). Kalaupun setiap pengajuan diterima, tidak akan lebih dari 2 kota Indonesia setiap 2 tahun yang bergabung ke UCCN.

Di sela kesempatan berkala ini, pastinya kita tidak tinggal diam. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah bagi jejaring ko/kab kreatif di Indonesia, Indonesia Creative Cities Network (ICCN), untuk menentukan parameternya sendiri, berdasarkan kajian yang menyeluruh terhadap berbagai parameter yang sudah ada dan berlaku secara universal. Ini telah menjadi upaya ICCN melalui penyusunan dashboard Indeks Kota/kabupaten Kreatif Indonesia (IKK), yang diharapkan dapat menjadi alat bagi pemda untuk menentukan kebijakan dan regulasi berdasarkan data potensi ekrafnya. IKK dilandasi juga oleh kesesuaian dengan 10 Prinisp Kota Kreatif Indonesia, dengan kata-kata kunci yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan Indonesia. Selain itu, IKK juga berupaya mengidentifikasi posisi ko/kab dalam Ekosistem Ekonomi Kreatif, serta membantu para pelaku ekraf di ko/kab untuk dapat secara strategis mengarahkan peluang peran dan kontribusinya demi kemajuan daerahnya. 

Sebaiknya mending tetap daftar, atau nggak perlu?

“Berhasil masuk UCCN adalah ‘bonus’, karena justru selama berproses menuju cita-cita itu, kita bisa punya kesempatan untuk terus menerus belajar mencapai standar global, mengkaji data, memperbaiki diri, dan mengasah kemampuan konsolidasi dengan seluruh stakeholders ekraf di kota/kabupaten”, mengutip Ketua Umum ICCN Fiki Satari ketika menjalankan tugasnya sebagai Ketua Manajemen Pengajuan Dossier Bandung, 2012-2015. Proses ini justru akan secara berulang menguji motivasi dan komitmen kita untuk menjadi bagian dari kepemimpinan Indonesia dalam menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan melalui potensi kreativitas.

=====

Artikel terkait: Buat Apa Masuk UCCN? https://titalarasati.com/buat-apa-masuk-uccn/

Buat Apa Masuk UCCN?

Inclusive and Resilient Creative Economy

The complete theme for the Side Event of the High-Level Political Forum on Sustainable Development was Inclusive and Resilient Creative Economy for Sustainable Development, held online on 8 July, 2021. It was a great honour to act as the discussant of this session. Due to the limited duration, there was no time to really go deep into each speaker’s points, nor to have an extensive discussion afterward, but written here are some points worth noting during the session that was hosted by Mr. Royhan Wahab, Deputy-Director for Trade in Services and Trade Facilitation, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia.

H.E. Mr. Dr. Sandiaga S. Uno, Minister of Tourism and Creative Economy of the Republic of Indonesia, in his keynote speech mentioned that we should reconfigure Creative Economy to be a recovery toolThere are two keys of approaches: (1) At Home, (2) Hygiene. At home, we are reconfiguring the way we consume (food, goods), where people prefer more and more personalised experience and convenience. The growing sector, e-commerce and digital technology that provide platforms for contents, should be explored for wider opportunities for the creative economy. Hygiene, related to health issues, would lead us to live safely amidst the virus around us. Business models around this approach should still be developed.   

H.E. Ms. Angelica Mayolo, Minister of Culture, Republic of Colombia, in her keynote speech mentioned culture as an economy pillar, of which ecosystem should be strengthened. The dominating demography of youth is a potential resource for creative industry and along the issues of heritage; it is necessary to have a bill to develop measures in the creative sector. Referring to the Orange Economy, we should work on modernising the cultural sector; create, innovate, inspire.

H.E. Mr. Dr. Agung Firman Sampurna, Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia, made a special remark concerning sustainability and resilience. We should see the current pandemic era as “The Great Reset” that gives us a chance to rebuild and rework our policy for recovery, inducing in tourism and creative economy sectors as among the priorities. He also mentioned the importance of audit and transparency in answering the Sustainable Development Goals challenges.

H.E. Ms. Amalia A. Widyasanti, Ph.D., Deputy for Economic Affairs, Ministry of the Indonesian National Development Planning Agency, during the panel session brought up the subject of economy transformation. The previous ministry-level institution for creative economy (BEKRAF) set three main objectives of the sector: increase of GDP, job creation, and export value. Consequently, the following support should be provided: (1) Focusing policy-making to human resource. Considering the “demographic bonus” and the widening gap of access due to the pandemic, we have to find a swift strategy to open more opportunities for youth and creative economy-related occupations; (2) Bills on the Creative Economy sector that should include the scopes of research, space/hub, incentives, and IP rights. The BBI (Bangga Buatan Indonesia) campaign should be able to become a pull factor; (3) Availability of broadband network and inclusive access to this facility; (4) Access to finance and market. She also mentioned about the leadership of Indonesia in the Creative Economy sector through the first World Conference of Creative Economy (WCCE) in 2018 and the establishment of Friends of Creative Economy (FCE). FCE and BEKRAF proposed the International Year of Creative Economy, that became the UN General Assembly resolution, aiming to mainstream creative economy as a strategy to answer the challenges of SDGs. Again, consequently, these efforts should be supported by international collaboration particularly on digital economy and legal framework

H.E. Mr. Jagdish D. Koonjul GCSK., GOSK., Ambassador of the Republic of Mauritius to the UN, discussed how creative economy sector can be a vehicle to eradicate poverty. The keywords of this discussion include economy transformation, innovation, and thriving performing art, supported by technology. There is also a notion to conduct the tourism business with insights around sustainability and Public-Private Partnership, along with the promotion of creative industries.                       

H.E. Ms. Mgs. Maria Cristina Solis Gallo, Undersecretary of Territorial Competitiveness, MPCEIP of the Republic of Ecuador, mentioned that the Creative Economy is a rapidly growing sector in Ecuador, until the pandemic hit. Responding to this condition, they have been conducting: (1) Recovery Strategy, and (2) National Competitiveness Strategy; all within the context of Creative Industry that involves the main stakeholders: academia, government (ministries), and so on. 

Ms. Natalia Stapran, Director of the Department for Multilateral Economic Cooperation and Special Projects, Ministry of Economic Development of the Russian Federation, discussed about inclusive creative economy in Russia, by integrating creative economy in planning and territorial development.    

Mr. Ernesto O. Ramirez, Assistant Director-General for Culture UNESCO, considered the impacted cultural workers and expressed the importance to integrate culture into development schemes. This is one bold step to strengthen the dignity of cultural professionals, while also recognising the digital transformation of creative industries. He also mentioned about Indonesia leadership in promoting creative economy that lead to the declaration of 2021 as the International Year of Creative Economy for Sustainable Development. He also mentioned the MONDIACULT event in Mexico, 2022, as part of the Creative Mexico Forum in October. This 2022 congress will take place 40 years after the original MONDIACULT, a major milestone in shaping the debate on global cultural policies

==========

Responding to the speakers, and considering the theme of this session, “Inclusive and Resilient Creative Economy”, it is worth paying attention to the recent publication by Global Solutions Network, titled INTERSECTING. This publication collected ideas and best practices related to the efforts of recovery from the pandemic, from many corners of the world, and in many levels. Among them is seen in this page, the Solidarity Act (Aksi Bersama Bantu Sesama) from Indonesia Creative Cities Network (ICCN), a hub organisation that has connected community initiatives in more than 210 cities in Indonesia. This part shows the substantial role of community initiatives in coping with the emergency situations at the beginning of the pandemic, when the government had yet to gather adequate data in order to be able to distribute aids proportionally.

Within the context of creative economy, all ICCN programs are practiced with a framework that has become the consensus and commitment of all its members. This framework includes the 10 Principles of Creative City and Catha Ekadasa, or the 11 Ways to implement the 10 Principles; involving the Hexa Helix Stakeholders of a creative city that follow the 3 path of Connect-Collaborate-Create/Celebrate; and comply with the Creative Economy Ecosystem that comprises four main elements: human resource/creators, products (goods, services, systems), market/users, and R&D. 

Most of the speakers have also mentioned important milestones regarding the Creative Economy Sector at the global level, particularly regarding the leadership of Indonesia within this subject. The timeline shows that the efforts to mainstream creative economy have been built since the first World Conference on Creative Economy (WCCE), followed by the establishment of Friends of Creative Economy (FCE) that drafted the resolution for the International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCEforSD). 2021 as the IYCEforSD was declared in 2019; however, the pandemic that started in 2020 has forced changes of plans. In the mean time, ICCN became the knowledge partner of U20 in publishing a policy recommendation, titled “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” in 2020, then joined T20 in 2021 to formulate another one in the line of “Creative Economy as an Accelerator of Sustainable Recovery”. All these are an effort to promote Creative Economy as among the sectors to be discussed during the G20 Summit in Indonesia, 2022. The pandemic has given the opportunity for creative economy to prove that it is among the most relevant sectors for recovery and to create inclusive resilience. Therefore, it is also worth noting that the Asian Development Bank Institute (ADBI) will hold a conference in Tokyo in November 2021, with the theme “Imagining and Delivering a Robust, Inclusive, and Sustainable Recovery”; that will present cases and practices from around the world regarding similar subject of this event. We are all creating scenarios and keep experimenting on how we could move forward together; what have we learned, what would we bring with us, and what we should leave behind for a sustainable future.  

Lastly, keywords such as culture and heritage have also been widely discussed at the global level. The G20 Culture Webinar, for instance, has brought up the theme of creativity for social change, and changing perspectives for cultural heritage. The human-centred development model that became a part of the U20 white paper (2020) put out an argument about how creative economy would provide inclusive occupations in the future, by the means of access to technology, the involvement of all stakeholders, and the iteration of people working in the sectors whose main characteristics fit the required skills and mindset.

G20 Culture: Design for Social Change

It is such a great honour to have the opportunity to represent Bandung Creative City Forum (BCCF) and Indonesia Creative Cities Network (ICCN) in G20 Culture Webinar: Building capacity through training and education, themed “Human Capital – The Driver of Culture-led Regeneration” that took place on Tuesday, 13 April 2021.

I was asked to discuss the topic Design for Social Change in Session II – Changing perspectives for cultural heritage. Each speaker was allowed 5 minutes each, with a maximum of 3 slides that illustrate the points. It always takes an extra preparation in order to be so concise. 

Here I’m attaching my slide deck, some have appeared in previous presentations, but with a bit of modifications, and the text that I prepared prior to the session in order to make the 5 minutes duration. The presentation is titled Inclusive Creative Economy for A Resilient Society.

==========

Good afternoon, or evening in my time zone,

It is such a great pleasure to be able to share a bit of thoughts in this prominent forum, about design for social change, within the context of perspectives for cultural heritage. Thank you to G20 for this valuable opportunity.

Most of my viewpoints in this talk would come from the perspectives of communities. 

Please allow me to start with the City of Bandung as an example, to talk about Design and Social Change. Bandung joined UNESCO Creative Cities Network as a City of Design in 2015, by referring to DESIGN not only as a certain aesthetics or functional qualities of an object, service, or system. But as a tool of thinking, applied by citizens and communities to respond to their surrounding problems. 

We use CREATIVITY as a strategy to lessen the gap between people and government, between people and policy. We have been doing interventions in public spaces in the form of urban games, raising many urban issues such as green open space, heritage, local SMEs, and so on. 

We have been making experiments and PROTOTYPES of urban solutions, to show how a city can work better. We create experiences of how a city can be more liveable and loveable.  

IN THE NEXT SLIDE we illustrate that we practice the concept of URBAN ACUPUNCTURE that considers a city as an organic entity, not unlike a human body. It has its centres for thinking, breathing, sensing, and disposing; systems that process and distribute nutritions, energy, and waste. It has memories and hopes for the future.

These urban interventions are within the contexts of CREATIVE ECONOMY ECOSYSTEM, leading to the establishment of Indonesia Creative Cities Network, a hub organisation that connects community members in more than 200 cities from all over Indonesia, each implementing similar methods for its own particular issues and priorities. 

Society becomes an active stakeholder of a city, building social innovations and resilience, to create an inclusive, urban future. In THE NEXT SLIDE, we have a model – taken from our white paper and policy recommendations for U20 Riyadh 2020 – that illustrates how CREATIVE ECONOMY supports a HUMAN-CENTRED DEVELOPMENT to achieve the Sustainable Development Goals. 

Here we discuss how people in Creative Economy sectors are most capable to adapt to future challenges, due to their three main characteristics: (1) High-order cognitive skills, such as originality, which tend to actively seek out new business ideas to enhance various traditional services; (2) Technology savviness in the various aspects of business, the agility in combining or mastering advanced technology that has become indispensable in creative industries products and services; (3) Skills that characterise creative communities; the interpersonal ability that has been co-existing within the creative economy ecosystem, where individuals and communities blend to redefine the conventional concepts of “professions” into the more updated contexts of “roles” and “functions” with higher flexibilities in current and future occupations.

We are convinced that inclusive creative economy lead to wide opportunities for relevant growth of societies that are resilient to answer to the challenges of SDGs; including the preservation and activation of cultural heritage, in choosing what’s relevant, in order to create their own ‘living heritage’ to hand over to the future generations.      

With this, I conclude my talk. Thank you.

==========

The discussion that occurred afterwards was quite engaging. Concerning cultural heritage, both tangible and intangible – sure, some of us are still fighting to “preserve” them, but it’s more or less about perception, too: who decides that something is worth preserving, or erasing? Which narratives – that come along with the cultural heritage – do we want to keep? This has been among the debates around cultural heritage preservation, especially in South East Asia, where not everything conveys messages that people want to retain. Some would even consider that preserving them means retaining the unwelcome ideas.

This is where our urban acupuncture in the forms of public space interventions and urban games play a role. We (re)connect people with their living spaces and activities, using different angles in game scenarios and raising awareness of overlooked local treasures. Design and design thinking are essential in the planning and executing the whole activities; and, as acupunctures go, consistency leads to real impacts: improvements in public facilities, a new bill on creative economy, higher appreciation for local SMEs, and so on.

Back to the subject of heritage. A late professor who attended my doctoral public defence once said, a city without its (cultural) heritage is like a person without his memories: it has no recollection of its identity and journey. Of course not all memories are pleasant, but didn’t the bad ones teach us some lessons, that also made us who we are today?

Perlakuan Super untuk Daerah Super

Bagaimana sektor Ekonomi Kreatif mendukung daerah destinasi pariwisata super prioritas?

Baru-baru ini Indonesia Creative Cities Network (ICCN) kembali mendapat kesempatan untuk berinteraksi langsung, secara daring, dengan Mbak Wamenparekraf. Kali ini agendanya mengenai dukungan sektor ekonomi kreatif bagi akselerasi pengembangan lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (5 DPSP): Danau TobaBorobudurMandalikaLabuan BajoLikupang. Dalam pertemuan itu, Mbak Wamen memperkenalkan kami kepada tim kreator konten dan KOL (Key Opinion Leader) yang juga akan berkontribusi bagi pengembangan 5 DPSP tsb.

Mengenai 5 DPSP dan seluruh upaya pengembangannya, baik dari segi infrastruktur fisik, keterlibatan komunitas dan warga lokal, program-program aktivasi, dan sebagainya, tentu saja sudah banyak dibahas oleh berbagai pihak. Paparan ICCN pada kesempatan ini pun mencakup framework atau kerangka kerja ICCN yang dapat diterapkan di 5 DPSP tersebut, yaitu 10 Prinsip Ko/Kab KreatifCatha EkadasaEkosistem Ekraf, dan Hexa Helix Stakeholders. Dilengkapi dengan kontribusi sudut pandang dari tiap kedeputian di ICCN, yang relevan dengan rencana pengembangan 5 DPSP, didukung dengan data, baik mengenai potensi khas tiap daerah (sejarah, budaya, alam, aktivitas, dsb.) maupun mengenai rencana pembangunan yang direncanakan untuk tiap wilayah, jumlah UMKM & koperasi, serta berbagai komunitas lokal yang telah aktif berkarya di wilayahnya. 

Jadi, di sini mungkin tidak akan dibahas hal-hal itu secara langsung. Hanya saja ada beberapa butir pemikiran yang mungkin dapat disematkan pada skenario besar 5 DPSP, maupun daerah-daerah prioritas lain yang mengikutinya.

DATA

Berlangsungnya segala kegiatan di 5 DPSP, baik festival, konferensi, maupun acara lain dalam konteks ekonomi kreatif, terutama di sektor pariwisata, merupakan kesempatan baik untuk melakukan studi seputar dampak seluruh kegiatan tersebut terhadap kondisi ekonomi warga dan UMKM lokal dan penyerapan tenaga kerja yang terlibat, khususnya dalam sub-sektor industri kreatif (penampil/seni pertunjukan, musik, peliput dan penyunting dokumentasi foto & video, desain cenderamata berikut kemasannya, produk interior dan amenities hotel dan restoran/kafe, dan banyak lagi). Studi ini bisa dilakukan oleh kampus atau lembaga riset, bekerja sama dengan pemda setempat. 

Data yang diperoleh, yang akan lebih baik lagi bila dapat diklasifikasi dalam komponen ekosistem ekraf, akan menjadi bekal argumen yang solid mengenai bagaimana ekraf — melalui sektor pariwisata — berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan bahkan mungkin sekaligus menjadi solusi bagi berbagai permasalahan tertentu di wilayah tsb. Data yang akan selalu terbarukan ini juga dapat memperkuat elemen dashboard Indeks Ko/Kab Kreatif ICCN sebagai alat kerja bagi pemda, yang dapat membantu dalam pembuatan regulasi dan penentuan kebijakan berdasarkan potensi parekraf wilayahnya. 

JENAMA KOLEKTIF: TAGAR, SERI MASKOT, PRODUK KEKAYAAN INTELEKTUAL

5 PSDP ini belum semua orang tahu: bahwa lima daerah ini menjadi destinasi pariwisata super prioritas, atau bahwa ada daerah itu di Indonesia. Untuk mempopulerkannya, terutama ke khalayak ramai dan bukan hanya ke pengusaha/ investor/ pemangku kepentingan daerah itu saja, mungkin diperlukan tagar (tanda pagar/ hashtag) yang dapat disepakati setiap kali terdapat bahasan atau liputan mengenai 5 daerah tersebut di media sosial, apa pun platformnya. Dimulai dari lembaga pengampunya, Kemenparekraf, untuk dapat ditularkan ke seluruh warganet.

Akan seru sepertinya kalau 5 DPSP ini masing-masing punya seri maskot, dengan kode visual (warna, bentuk, dll.) yang serupa, sehingga menjadi semacam benda koleksi. Jadi belum lengkap rasanya kalau hanya punya satu, tapi harus punya empat yang lainnya juga. Produk Kekayaan Intelektual (KI) ini tentu saja bisa menjadi beragam produk turunan, mulai dari boneka (ingat, boneka Asian Games 2018 habis terjual, karena event yang sukses?), peralatan pribadi untuk kesehatan (masker dan hand sanitizer), stationary, produk-produk digital, komik dan animasi, serta cenderamata, dari yang paling sederhana dan umum, hingga versi high-end/ eksklusif yang diproduksi dengan kualitas premium dalam jumlah terbatas.

Selain membangun awareness terhadap 5 DPSP, seri maskot ini juga dapat menjadi gerbang masuk ke pemahaman lebih mendalam mengenai potensi wilayah dan kearifan lokal 5 DPSP, sehingga meningkatkan penghargaan atau respect terhadap daerah tersebut dan segala potensinya. Tidak mustahil pula daerah-daerah lain yang juga menjadi destinasi prioritas pariwisata akan menyusul dengan maskot masing-masing, dengan tujuan serupa. 

Untuk mensukseskan hal ini, tentu saja diperlukan tim kurator yang solid, dengan kredibilitas tinggi, dan telah terjamin dalam hal kualitas kinerjanya. Dengan adanya seri maskot ini, mau tidak mau akan terlatih pula para pelaku ekraf kita dalam hal etika berbisnis dengan KI sebagai aset/komoditinya, mulai dari syarat/ prosedur mengurus KI itu sendiri, hingga komersialisasi dan perlindungan KI.

Dengan adanya seri maskot ini juga, tidak hanya para pelaku ekraf dan UMKM di 5 DPSP tersebut yang dapat memproduksi karya-karya turunannya, namun juga para pelaku di daerah lain, dengan penerapan sharing factory & production site untuk dapat memenuhi kebutuhan pengadaan produk-produk turunannya. Ekosistem ekraf akan kembali tampak dalam upaya rantai nilai ini, dan akan terbukti bahwa dengan kekuatannya sendiri, Indonesia bisa bangkit dan pulih kembali.   

PRODUKSI DAN KONSUMSI YANG BERTANGGUNG JAWAB

Pengadaan fasilitas fisik maupun non-fisik selalu berdampak pada lingkungan, baik saat terjadinya ekstraksi sumber daya, saat pemakaian, maupun (dan terlebih lagi!) saat fasilitas selesai dipakai, yang sering menghasilkan limbah.

Gencarnya produksi gimmick dan apa pun amenities nanti hendaknya memperhatikan siklus material tersebut, sehingga tidak menambah beban wilayah yang harus menampung keramaian yang diharapkan terjadi. Limbah kemasan makanan, kemasan berbagai peralatan agar tetap steril, kemasan cendera mata, peralatan kesehatan (masker, botol-botol hand sanitiser) dan sebagainya, harus sudah menjadi perhitungan sejak awal, bahkan sebelum segala fasilitas ini diadakan untuk daerah-daerah tersebut.

PROYEKSI WILAYAH

Tentu saja 5 DPSP ini tidak hanya disiapkan dan diharapkan sebagai one-off event. 2021 memang telah dideklarasikan oleh PBB sebagai Tahun Internasional untuk Ekonomi Kreatif bagi Pembangunan Berkelanjutan, dengan Indonesia sebagai negara pengusul utamanya di tahun 2019, tapi di tahun 2022 dan seterusnya, Indonesia telah berencana menjadi tuan rumah bagi berbagai event penting skala dunia. G20 Summit (Labuan Bajo) 2022, UN Disaster Conference 2022, World Conference on Creative Economy (WCCE) 2022, ASEAN Summit 2023, dan seterusnya, menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memperoleh traffic yang sangat tinggi, baik secara virtual maupun real. Integrasi lintas K/L dalam menyiapkan berbagai daerah tersebut, dalam koordinasi yang kompak dengan pemda, tentunya menjadi hal yang ideal yang harus diupayakan bersama, dalam rangka mencapai pemulihan yang menyeluruh, dengan leadership yang solid.   

Daerah-daerah yang telah ditentukan sebagai “super prioritas” tentu saja memerlukan perhatian, perlakuan, dan aliran sumber daya yang “super” pula. Keberhasilannya pun bergantung pada kolaborasi yang super, dari para kontributor dengan semangat dan kapasitas yang juga luar biasa super. Momentumnya sudah tiba; kita tidak bisa beralih lagi, kecuali untuk memilih: mau menjadi awak yang super sigap untuk membawa kapal Indonesia terus melaju di tengah badai yang terus berlanjut ini, atau hanya menjadi tikus benalu penggerogot instrumen kapal.

*Featured image Labuan Bajo photo by @manggalih

Airborne.bdg | Human City Design Award 2020

Airborne.bdg, salah satu program BCCF di tahun 2017, menjadi salah satu dari 10 finalis Human City Design Award (HCDA) 2020, di mana hanya akan dipilih satu pemenang, yang sedianya akan diumumkan di akhir tahun 2020 lalu, tapi terpaksa ditunda hingga 8 Maret 2021.  

10 finalis HCDA 2020 bisa dilihat di sini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020

Tentang Airborne.bdg di HCDA 2020 ada di laman ini: http://humancitydesignaward.or.kr/en/winners/2020/airborne-bdg

Mengutip dari situsnya (dalam interpretasi bebas), HCDA ini bermula dari dideklarasikannya Kota Seoul sebagai Human City Design Seoul pada tahun 2018, sebagai respons terhadap kebutuhan dunia di masa kini, di mana masyarakat percaya bahwa kita harus mengatasi dampak buruk dari permasalahan berjaraknya manusia, materialisme, dan lingkungan; bahwa kita harus merancang lingkungan perkotaan yang berkelanjutan, sehingga manusia dapat menikmati kehidupan berkreativitas. 

Dengan deklarasi tersebut, Pemerintah Metropolitan Seoul dan Seoul Design Foundation berharap agar dapat menjadi jalur komunikasi dalam membangun ekosistem perkotaan, di mana manusia dan alam dapat hidup berdampingan, juga sekaligus menjadi platform bagi kesejahteraan bersama, yang terus mengupayakan keberlanjutan dan kesejahteraan bagi komunitas yang terus berkembang.  

Harapan ini menjadi dasar ditujukannya HCDA pada para desainer atau pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam meningkatkan hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antar sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan sekelilingnya, dan manusia dengan alam, melalui penanganan berbagai isu lingkungan perkotaan dengan visi yang baru, melalui desain.       

HCDA mengajak kota-kota di seluruh dunia untuk mengajukan karya terbaiknya, terkait dengan tema yang ditentukan. Di tahun 2020 ini, HCDA bertema Desain untuk Kota Berkelanjutan untuk hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan, dengan tujuan:

  • Untuk mewujudkan ekosistem kota yang berkelanjutan bagi hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan melalui desain
  • Untuk mendiskusikan desain sebagai solusi kreatif bagi berbagai permasalahan sosial yang kompleks di kota, dan untuk memperluas efek “khasiat penyembuhan” dari desain di seluruh dunia
  • Untuk mendorong agar sektor desain berkontribusi pada perkembangan umat manusia

Di HCDA 2020 ini, Airborne.bdg lolos seleksi menjadi finalis, berbarengan dengan 9 projects lain dari Brazil, Italia, Jepang, Kolombia, Korea Selatan, Perancis, Singapura, dan Thailand. Airborne.bdg, yang selesai pada tahun 2017 lalu, merupakan puncak dari serangkaian kegiatan yang dilakukan BCCF sejak tahun 2013 di area Kampung Linggawastu, Kecamatan Bandung Wetan, yaitu mural yang digarap di permukaan atap rumah, membentuk citra .bdg berukuran raksasa, yang hanya dapat dilihat secara utuh dari ketinggian 40 meter dari permukaan tanah. 

Cita-cita untuk mewujudkan adanya landmark ini muncul setelah Bandung bergabung dalam Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) sebagai Kota Desain pada 11 Desember 2015. Untuk membuat penanda kota dengan dimensi dan struktur fisik berukuran masif, tentu diperlukan lahan, tenaga, dan biaya yang sangat besar, sehingga harus dicari cara lain untuk mewujudkan cita-cita tersebut. BCCF yang kala itu sedang terlibat dengan berbagai kegiatan, terutama dalam kolaborasi dengan beberapa kampung, menggagas mural atap ini, yang diawali dengan proses panjang. Mulai dari memetakan pihak-pihak yang terlibat, mengupayakan sponsor, koordinasi dengan Komite Ekonomi Kreatif Kota BandungPemerintah Kota Bandung yang juga menjadi pengampu kegiatan ini beserta perangkat setempat (camat, lurah, RW dan RT), komunikasi dengan warga, dan seterusnya. Dimulai dari kegiatan pengembangan produk (sekaligus kemasan, branding, dan narasinya) bersama Desain Produk FSRD ITB dan Bank Sampah Sabilulungan tahun 2013 yang kemudian didukung oleh Dekranasda Kota Bandung, juga program workshop untuk anak di Taman Pulosari dengan tema-tema arts & craftsscience, dan adventure asuhan EcoEthno dan kakak-kakak mahasiswa Magister Desain FSRD ITB, program Riverplay public furniture di bantaran salah satu ruas Cikapundung dengan Karang Taruna dan Desain Produk FSRD ITB, hingga berbagai aktivitas dengan warga (antara lain workshop fotografi Matawarga dengan AirFoto Network) menuju urban game Sasab.bdg tahun 2015 sebagai bagian dari Helarfest 2015, dan banyak lagi; kawasan Kampung Linggawastu ini menjadi cerminan makna “desain” dan “kreativitas” yang menjadi argumen Bandung sehingga berhasil bergabung dalam UCCN.

https://youtube.com/watch?v=vUOsuvgXCYY%3Ffeature%3Doembed

Sehingga mural atap di Linggawastu menjadi semacam “stempel”, cap yang menandai sebuah “kota kreatif” dengan kekhasannya sendiri, di mana warganya terus menerus bereksperimen dan menciptakan purwarupa solusi bagi permasalahan sekitarnya. Di mana inisiatif komunitas dapat bertemu dengan kebijakan dan regulasi pemerintah melalui praktik design thinking, dan di mana sinergi antar pemangku kepentingan selalu dilatih dan dievaluasi.

Mengakhiri catatan ini, berikut kutipan dari materi presentasi saya (prerecorded) untuk keperluan Awarding Event tanggal 8 Maret 2021 nanti. Berhasil atau tidak memenangkan penghargaan ini, setidaknya hal ini menjadi pengingat akan semangat perjuangan dan kerja keras komunitas dalam berkarya dan berdampak nyata.

The paint on the rooftops may not last, but we managed to capture a momentum to deliver a statement about what “design” and “creativity” mean for Bandung as a UNESCO creative city. It gives us an opportunity to think of another artefact, which can prove how agile thinking and action could actually build a resilient urban community. In a way, its ephemeral existence conveys a message for us to keep being relevant in our creative endeavours”

[Cat pada permukaan atap mungkin tidak akan awet, tapi kita berhasil merengkuh sebuah momentum untuk menyampaikan pernyatan tentang makna “desain” dan “kreativitas” bagi Bandung sebagai kota kreatif UNESCO. [Airborne.bdg] membuka peluang bagi kita untuk memikirkan artefak lain, yang dapat membuktikan bagaimana pemikiran dan perbuatan yang tangkas sebenarnya dapat membangun komunitas perkotaan yang tangguh. Dengan cara tertentu, keberadaannya yang sementara justru membawa pesan bagi kita untuk terus menjadi relevan dalam segala upaya kreativitas kita.]         

=====

Berikut ini beberapa tautan ke media/ liputan mengenai Airborne.bdg

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

https://kwriu.kemdikbud.go.id/berita/airborne-bdg-landmark-terbaru-bandung-kota-desain-unesco/embed/#?secret=UTyxdSUwb1

Keren, logo ‘.bdg’ ini dilukis di atas permukaan genteng 132 rumah warga – 15 Desember 2017 

https://m.merdeka.com/bandung/halo-bandung/keren-logo-bdg-ini-dilukis-di-atas-permukaan-genteng-132-rumah-warga-171215l.html

Airborne.bdg Bakal Jadi Landmark Baru di Bandung – 15 Desember 2017

https://ayobandung.com/read/2017/12/15/26520/airbornebdg-bakal-jadi-landmark-baru-di-bandung

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne.bdg Landmark Baru di Bandung, Kota Desain UNESCO

https://www.destinasibandung.co.id/airborne-bdg-landmark-baru-di-bandung-kota-desain-unesco.html/embed#?secret=X1BC8v7GeH

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO – 15 Desember 2017

Airborne “.bdg” Landmark Terbaru Bandung, Kota Desain UNESCO

https://sorotindonesia.com/airborne-bdg-landmark-terbaru-bandung-kota-desain-unesco/embed/#?secret=f84QmUu74W

Bakal Ada Landmark Baru di Bandung – 16 Desember 2017

https://jabarekspres.com/berita/2017/12/16/bakal-ada-landmark-baru-di-bandung/embed/#?secret=swwMi9sdFf

Ikon Baru Kota Bandung “.bdg” – 18 Desember 2017

https://ptbestprofitfuturesbandung.mystrikingly.com/blog/ikon-baru-kota-bandung-bdg

Lewat Pasupati, Jangan Lupa Tengok Lukisan .bdg di Atap Warga – 19 Desember 2017

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3775965/lewat-pasupati-jangan-lupa-tengok-lukisan-bdg-di-atap-warga

Facebook Fiki Satari

https://www.facebook.com/fikisataricom/posts/representasi-skenario-bandung-kota-kreatif-dunia-yg-dinarasikan-dlm-proposal-dos/1792642597424899/

Twitter @infobdg

2021, Jangan Sampai Lepas!

Dalam Sesi ke-74 General Assembly tanggal 29 November 2019, PBB mendeklarasikan 2021 sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan/ The International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCE), yang diajukan oleh Indonesia dan didukung oleh puluhan negara dari berbagai belahan dunia. Ajuan ini “mengakui perlunya mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, mendorong inovasi dan menyediakan peluang, manfaat dan pemberdayaan bagi semua, dan menghargai hak azasi manusia dan upaya yang sedang berlangsung untuk mendukung negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami masa transisi ekonomi dalam membuat keragaman produksi dan ekspor, termasuk dalam wilayah pertumbuhan berkelanjutan yang baru, termasuk industri kreatif”.

Tentu saja, saat pencanangan 2021 IYCE tersebut, tidak ada yang menyangka adanya pandemi yang mendominasi tahun 2020, yang menyita seluruh energi dan mengubah total kondisi dunia. Masa genting untuk bertahan hidup, menetapkan relevansi langkah berikutnya dalam segala keterbatasan ruang gerak dan interaksi, sambil terus bereksperimen dengan gaya hidup baru. Masa adaptasi ini tidak mudah bagi siapa pun, tapi kehidupan berjalan terus.

Bagaimana kabar sektor ekonomi kreatif selama krisis berlangsung, dan bagaimana posisi sektor ekraf di masa mendatang, terutama dalam menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan?

Inisiatif Komunitas = Modal Dasar Kemandirian

Di awal masa pandemi, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) menjalankan program Aksi Bersama Bantu Sesama (ABBS) dengan 5 satgasnya yang masing-masing cepat tanggap menangani berbagai urgensi. Terutama saat pendataan dan tindakan langsung dari pemerintah (pusat) belum terkoordinasi penuh. Sejalan dengan waktu dan perkembangan yang terjadi, ABBS menyesuaikan kegiatannya dan berkolaborasi dengan berbagai pihak. ABBS berlanjut sebagai program yang berupaya menggerakkan aktivitas ekonomi komunitas dan warga, berbasis potensi kreativitas dan kekayaan budaya. Nilai-nilai solidaritas, empati, inklusivitas, gotong royong, dan semua yang dibutuhkan dalam masa krisis ini, telah tertuang dalam 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN yang telah menjadi komitmen para anggotanya, sehingga konteks “komunitas kreatif”, “ekonomi kreatif” dan “kota/kabupaten kreatif” pun telah menjadi modal dasar kemandirian – dan tengah diuji ketangguhannya – dalam menghadapi (krisis) masa mendatang.

Inclusive Creative Economy and The Future of Work

ICCN menjadi knowledge partner bagi U20 (Urban 20/ kelompok wali kota di negara-negara G20) dalam menyusun white paper dan policy recommendations berjudul Inclusive Creative Economy and The Future of Work. Argumen utama white paper ini adalah bahwa ekonomi kreatif merupakan sektor yang paling membuka peluang bagi penyediaan lapangan kerja secara inklusif di masa mendatang, bagi perempuan, generasi muda, kaum difabel, dan sebagainya, dengan memanfaatkan TI. Hal ini didukung dengan 3 karakteristik utama para pelaku ekraf, yaitu: selalu ingin mencari keunggulan melalui inovasi, cepat menyerap teknologi untuk memperlancar proses dan sistem yang telah berjalan, serta – khususnya bagi yang berkomunitas – cenderung melihat perannya untuk sebuah tujuan/purpose, bukan sekedar mengandalkan jabatannya. 

Andaikan rekomendasi kebijakan ini diterima oleh negara-negara G20, Indonesia termasuk yang harus paling siap dalam membuktikan kontribusi sektor ekraf bagi strategi pembangunan berkelanjutan. Lebih mendetail tentang white paper ini bisa dibaca di tulisan sebelumnya: https://titalarasati.com/inclusive-creative-economy-and-the-future-of-work/

Satu hal lagi. Berhubung Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 Summit di Labuan Bajo tahun 2022, sektor ekonomi kreatif tidak boleh tertinggal untuk menjadi salah satu agenda yang dibahas. Terutama karena terminologi seperti circular economy dan informal economy yang selama ini menjadi bagian dominan dari ekosistem ekraf. akan makin menguat di masa mendatang, atau pasca pandemi, terutama bagi negara-negara global south

Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) 

Ekraf bukan hanya mencakup komersialisasi dan transaksi barang/jasa kreatif; lebih dari itu, ekraf mencakup keseluruhan ekosistem, yang dapat terpetakan dalam lingkup perkotaan. Wilayah kota menjadi perhatian, karena dianggap sebagai entitas yang paling tangkas dan lentur dalam menghadapi permasalahan mendatang, seperti perubahan iklim dan perpindahan manusia dalam jumlah masif. Demikian pula ekosistem ekraf, pemetaannya dalam skala kota akan dapat menunjukkan potensi tiap elemen ekosistem ekraf. 

ICCN masih mengembangkan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) dalam bentuk dashboard digital, yang dapat menjadi alat kerja bagi pemerintah lokal untuk dapat membuat keputusan dan menyusun kebijakan berdasarkan potensi ekraf di wilayahnya dengan dampak yang terukur dan berkelanjutan. Upaya ini juga akan membantu pemerintah daerah dalam mengidentifikasi mitra ko/kab lain dalam memajukan wilayahnya berdasarkan potensi ekraf mereka. Catha Ekadasa, atau 11 Jurus Mewujudkan Ko/Kab Kreatif yang bermuara pada 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN, menjadi salah satu parameter dalam IKK, sehingga para pelaku ekraf, komunitas, dan warga dapat berpartisipasi langsung dalam pemutakhiran dashboard tersebut secara berkala.          

World Conference on Creative Economy (WCCE)

Indonesia akan kembali menyelenggarakan WCCE di Bali, Mei 2021, untuk yang kedua kalinya. Acara ini tentu saja akan menjadi parameter perkembangan ekraf di Indonesia, yang bukan hanya berupa showcase kekayaan budaya dan karya-karya dari sub-sektor industri kreatif Indonesia, tapi juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan betapa sektor ekraf dapat menjawab tantangan masa krisis dan berpeluang menjadi solusi bagi kondisi di masa depan, our near future. Sebagai negara pencetus IYCE, Indonesia tentu akan menjadi perhatian bagi negara-negara lain yang juga telah dan mulai menggairahkan sektor ekraf dalam kondisi penuh keterbatasan. It is crucial to demonstrate the answers and evidences to the “So what?!” question of the creative economy sector.     

Indonesia harus dapat memposisikan diri dengan lebih strategis melalui sektor ekraf ini, baik dalam skala global, maupun pada dampak nyatanya secara internal. Sinergi antar stakeholders perlu segera dicek ulang dan diperkuat di mana perlu, agar dapat benar-benar menunjukkan keunggulan kita dalam sektor ini. Sementara, para pelaku di tengah masyarakat pun, dari akademisi hingga profesional dalam sektor ekonomi kreatif, pun terus bergerak secara dinamis.  Tidak ada momentum yang lebih sempurna lagi dari tahun 2021 untuk membuktikan kekuatan ekraf Indonesia. Ayo tangkap, jangan sampai lepas!