Tag Archives: ICCN

Perlakuan Super untuk Daerah Super

Bagaimana sektor Ekonomi Kreatif mendukung daerah destinasi pariwisata super prioritas?

Baru-baru ini Indonesia Creative Cities Network (ICCN) kembali mendapat kesempatan untuk berinteraksi langsung, secara daring, dengan Mbak Wamenparekraf. Kali ini agendanya mengenai dukungan sektor ekonomi kreatif bagi akselerasi pengembangan lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (5 DPSP): Danau TobaBorobudurMandalikaLabuan BajoLikupang. Dalam pertemuan itu, Mbak Wamen memperkenalkan kami kepada tim kreator konten dan KOL (Key Opinion Leader) yang juga akan berkontribusi bagi pengembangan 5 DPSP tsb.

Mengenai 5 DPSP dan seluruh upaya pengembangannya, baik dari segi infrastruktur fisik, keterlibatan komunitas dan warga lokal, program-program aktivasi, dan sebagainya, tentu saja sudah banyak dibahas oleh berbagai pihak. Paparan ICCN pada kesempatan ini pun mencakup framework atau kerangka kerja ICCN yang dapat diterapkan di 5 DPSP tersebut, yaitu 10 Prinsip Ko/Kab KreatifCatha EkadasaEkosistem Ekraf, dan Hexa Helix Stakeholders. Dilengkapi dengan kontribusi sudut pandang dari tiap kedeputian di ICCN, yang relevan dengan rencana pengembangan 5 DPSP, didukung dengan data, baik mengenai potensi khas tiap daerah (sejarah, budaya, alam, aktivitas, dsb.) maupun mengenai rencana pembangunan yang direncanakan untuk tiap wilayah, jumlah UMKM & koperasi, serta berbagai komunitas lokal yang telah aktif berkarya di wilayahnya. 

Jadi, di sini mungkin tidak akan dibahas hal-hal itu secara langsung. Hanya saja ada beberapa butir pemikiran yang mungkin dapat disematkan pada skenario besar 5 DPSP, maupun daerah-daerah prioritas lain yang mengikutinya.

DATA

Berlangsungnya segala kegiatan di 5 DPSP, baik festival, konferensi, maupun acara lain dalam konteks ekonomi kreatif, terutama di sektor pariwisata, merupakan kesempatan baik untuk melakukan studi seputar dampak seluruh kegiatan tersebut terhadap kondisi ekonomi warga dan UMKM lokal dan penyerapan tenaga kerja yang terlibat, khususnya dalam sub-sektor industri kreatif (penampil/seni pertunjukan, musik, peliput dan penyunting dokumentasi foto & video, desain cenderamata berikut kemasannya, produk interior dan amenities hotel dan restoran/kafe, dan banyak lagi). Studi ini bisa dilakukan oleh kampus atau lembaga riset, bekerja sama dengan pemda setempat. 

Data yang diperoleh, yang akan lebih baik lagi bila dapat diklasifikasi dalam komponen ekosistem ekraf, akan menjadi bekal argumen yang solid mengenai bagaimana ekraf — melalui sektor pariwisata — berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan bahkan mungkin sekaligus menjadi solusi bagi berbagai permasalahan tertentu di wilayah tsb. Data yang akan selalu terbarukan ini juga dapat memperkuat elemen dashboard Indeks Ko/Kab Kreatif ICCN sebagai alat kerja bagi pemda, yang dapat membantu dalam pembuatan regulasi dan penentuan kebijakan berdasarkan potensi parekraf wilayahnya. 

JENAMA KOLEKTIF: TAGAR, SERI MASKOT, PRODUK KEKAYAAN INTELEKTUAL

5 PSDP ini belum semua orang tahu: bahwa lima daerah ini menjadi destinasi pariwisata super prioritas, atau bahwa ada daerah itu di Indonesia. Untuk mempopulerkannya, terutama ke khalayak ramai dan bukan hanya ke pengusaha/ investor/ pemangku kepentingan daerah itu saja, mungkin diperlukan tagar (tanda pagar/ hashtag) yang dapat disepakati setiap kali terdapat bahasan atau liputan mengenai 5 daerah tersebut di media sosial, apa pun platformnya. Dimulai dari lembaga pengampunya, Kemenparekraf, untuk dapat ditularkan ke seluruh warganet.

Akan seru sepertinya kalau 5 DPSP ini masing-masing punya seri maskot, dengan kode visual (warna, bentuk, dll.) yang serupa, sehingga menjadi semacam benda koleksi. Jadi belum lengkap rasanya kalau hanya punya satu, tapi harus punya empat yang lainnya juga. Produk Kekayaan Intelektual (KI) ini tentu saja bisa menjadi beragam produk turunan, mulai dari boneka (ingat, boneka Asian Games 2018 habis terjual, karena event yang sukses?), peralatan pribadi untuk kesehatan (masker dan hand sanitizer), stationary, produk-produk digital, komik dan animasi, serta cenderamata, dari yang paling sederhana dan umum, hingga versi high-end/ eksklusif yang diproduksi dengan kualitas premium dalam jumlah terbatas.

Selain membangun awareness terhadap 5 DPSP, seri maskot ini juga dapat menjadi gerbang masuk ke pemahaman lebih mendalam mengenai potensi wilayah dan kearifan lokal 5 DPSP, sehingga meningkatkan penghargaan atau respect terhadap daerah tersebut dan segala potensinya. Tidak mustahil pula daerah-daerah lain yang juga menjadi destinasi prioritas pariwisata akan menyusul dengan maskot masing-masing, dengan tujuan serupa. 

Untuk mensukseskan hal ini, tentu saja diperlukan tim kurator yang solid, dengan kredibilitas tinggi, dan telah terjamin dalam hal kualitas kinerjanya. Dengan adanya seri maskot ini, mau tidak mau akan terlatih pula para pelaku ekraf kita dalam hal etika berbisnis dengan KI sebagai aset/komoditinya, mulai dari syarat/ prosedur mengurus KI itu sendiri, hingga komersialisasi dan perlindungan KI.

Dengan adanya seri maskot ini juga, tidak hanya para pelaku ekraf dan UMKM di 5 DPSP tersebut yang dapat memproduksi karya-karya turunannya, namun juga para pelaku di daerah lain, dengan penerapan sharing factory & production site untuk dapat memenuhi kebutuhan pengadaan produk-produk turunannya. Ekosistem ekraf akan kembali tampak dalam upaya rantai nilai ini, dan akan terbukti bahwa dengan kekuatannya sendiri, Indonesia bisa bangkit dan pulih kembali.   

PRODUKSI DAN KONSUMSI YANG BERTANGGUNG JAWAB

Pengadaan fasilitas fisik maupun non-fisik selalu berdampak pada lingkungan, baik saat terjadinya ekstraksi sumber daya, saat pemakaian, maupun (dan terlebih lagi!) saat fasilitas selesai dipakai, yang sering menghasilkan limbah.

Gencarnya produksi gimmick dan apa pun amenities nanti hendaknya memperhatikan siklus material tersebut, sehingga tidak menambah beban wilayah yang harus menampung keramaian yang diharapkan terjadi. Limbah kemasan makanan, kemasan berbagai peralatan agar tetap steril, kemasan cendera mata, peralatan kesehatan (masker, botol-botol hand sanitiser) dan sebagainya, harus sudah menjadi perhitungan sejak awal, bahkan sebelum segala fasilitas ini diadakan untuk daerah-daerah tersebut.

PROYEKSI WILAYAH

Tentu saja 5 DPSP ini tidak hanya disiapkan dan diharapkan sebagai one-off event. 2021 memang telah dideklarasikan oleh PBB sebagai Tahun Internasional untuk Ekonomi Kreatif bagi Pembangunan Berkelanjutan, dengan Indonesia sebagai negara pengusul utamanya di tahun 2019, tapi di tahun 2022 dan seterusnya, Indonesia telah berencana menjadi tuan rumah bagi berbagai event penting skala dunia. G20 Summit (Labuan Bajo) 2022, UN Disaster Conference 2022, World Conference on Creative Economy (WCCE) 2022, ASEAN Summit 2023, dan seterusnya, menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memperoleh traffic yang sangat tinggi, baik secara virtual maupun real. Integrasi lintas K/L dalam menyiapkan berbagai daerah tersebut, dalam koordinasi yang kompak dengan pemda, tentunya menjadi hal yang ideal yang harus diupayakan bersama, dalam rangka mencapai pemulihan yang menyeluruh, dengan leadership yang solid.   

Daerah-daerah yang telah ditentukan sebagai “super prioritas” tentu saja memerlukan perhatian, perlakuan, dan aliran sumber daya yang “super” pula. Keberhasilannya pun bergantung pada kolaborasi yang super, dari para kontributor dengan semangat dan kapasitas yang juga luar biasa super. Momentumnya sudah tiba; kita tidak bisa beralih lagi, kecuali untuk memilih: mau menjadi awak yang super sigap untuk membawa kapal Indonesia terus melaju di tengah badai yang terus berlanjut ini, atau hanya menjadi tikus benalu penggerogot instrumen kapal.

*Featured image Labuan Bajo photo by @manggalih

2021, Jangan Sampai Lepas!

Dalam Sesi ke-74 General Assembly tanggal 29 November 2019, PBB mendeklarasikan 2021 sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan/ The International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCE), yang diajukan oleh Indonesia dan didukung oleh puluhan negara dari berbagai belahan dunia. Ajuan ini “mengakui perlunya mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, mendorong inovasi dan menyediakan peluang, manfaat dan pemberdayaan bagi semua, dan menghargai hak azasi manusia dan upaya yang sedang berlangsung untuk mendukung negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami masa transisi ekonomi dalam membuat keragaman produksi dan ekspor, termasuk dalam wilayah pertumbuhan berkelanjutan yang baru, termasuk industri kreatif”.

Tentu saja, saat pencanangan 2021 IYCE tersebut, tidak ada yang menyangka adanya pandemi yang mendominasi tahun 2020, yang menyita seluruh energi dan mengubah total kondisi dunia. Masa genting untuk bertahan hidup, menetapkan relevansi langkah berikutnya dalam segala keterbatasan ruang gerak dan interaksi, sambil terus bereksperimen dengan gaya hidup baru. Masa adaptasi ini tidak mudah bagi siapa pun, tapi kehidupan berjalan terus.

Bagaimana kabar sektor ekonomi kreatif selama krisis berlangsung, dan bagaimana posisi sektor ekraf di masa mendatang, terutama dalam menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan?

Inisiatif Komunitas = Modal Dasar Kemandirian

Di awal masa pandemi, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) menjalankan program Aksi Bersama Bantu Sesama (ABBS) dengan 5 satgasnya yang masing-masing cepat tanggap menangani berbagai urgensi. Terutama saat pendataan dan tindakan langsung dari pemerintah (pusat) belum terkoordinasi penuh. Sejalan dengan waktu dan perkembangan yang terjadi, ABBS menyesuaikan kegiatannya dan berkolaborasi dengan berbagai pihak. ABBS berlanjut sebagai program yang berupaya menggerakkan aktivitas ekonomi komunitas dan warga, berbasis potensi kreativitas dan kekayaan budaya. Nilai-nilai solidaritas, empati, inklusivitas, gotong royong, dan semua yang dibutuhkan dalam masa krisis ini, telah tertuang dalam 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN yang telah menjadi komitmen para anggotanya, sehingga konteks “komunitas kreatif”, “ekonomi kreatif” dan “kota/kabupaten kreatif” pun telah menjadi modal dasar kemandirian – dan tengah diuji ketangguhannya – dalam menghadapi (krisis) masa mendatang.

Inclusive Creative Economy and The Future of Work

ICCN menjadi knowledge partner bagi U20 (Urban 20/ kelompok wali kota di negara-negara G20) dalam menyusun white paper dan policy recommendations berjudul Inclusive Creative Economy and The Future of Work. Argumen utama white paper ini adalah bahwa ekonomi kreatif merupakan sektor yang paling membuka peluang bagi penyediaan lapangan kerja secara inklusif di masa mendatang, bagi perempuan, generasi muda, kaum difabel, dan sebagainya, dengan memanfaatkan TI. Hal ini didukung dengan 3 karakteristik utama para pelaku ekraf, yaitu: selalu ingin mencari keunggulan melalui inovasi, cepat menyerap teknologi untuk memperlancar proses dan sistem yang telah berjalan, serta – khususnya bagi yang berkomunitas – cenderung melihat perannya untuk sebuah tujuan/purpose, bukan sekedar mengandalkan jabatannya. 

Andaikan rekomendasi kebijakan ini diterima oleh negara-negara G20, Indonesia termasuk yang harus paling siap dalam membuktikan kontribusi sektor ekraf bagi strategi pembangunan berkelanjutan. Lebih mendetail tentang white paper ini bisa dibaca di tulisan sebelumnya: https://titalarasati.com/inclusive-creative-economy-and-the-future-of-work/

Satu hal lagi. Berhubung Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 Summit di Labuan Bajo tahun 2022, sektor ekonomi kreatif tidak boleh tertinggal untuk menjadi salah satu agenda yang dibahas. Terutama karena terminologi seperti circular economy dan informal economy yang selama ini menjadi bagian dominan dari ekosistem ekraf. akan makin menguat di masa mendatang, atau pasca pandemi, terutama bagi negara-negara global south

Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) 

Ekraf bukan hanya mencakup komersialisasi dan transaksi barang/jasa kreatif; lebih dari itu, ekraf mencakup keseluruhan ekosistem, yang dapat terpetakan dalam lingkup perkotaan. Wilayah kota menjadi perhatian, karena dianggap sebagai entitas yang paling tangkas dan lentur dalam menghadapi permasalahan mendatang, seperti perubahan iklim dan perpindahan manusia dalam jumlah masif. Demikian pula ekosistem ekraf, pemetaannya dalam skala kota akan dapat menunjukkan potensi tiap elemen ekosistem ekraf. 

ICCN masih mengembangkan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif (IKK) dalam bentuk dashboard digital, yang dapat menjadi alat kerja bagi pemerintah lokal untuk dapat membuat keputusan dan menyusun kebijakan berdasarkan potensi ekraf di wilayahnya dengan dampak yang terukur dan berkelanjutan. Upaya ini juga akan membantu pemerintah daerah dalam mengidentifikasi mitra ko/kab lain dalam memajukan wilayahnya berdasarkan potensi ekraf mereka. Catha Ekadasa, atau 11 Jurus Mewujudkan Ko/Kab Kreatif yang bermuara pada 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN, menjadi salah satu parameter dalam IKK, sehingga para pelaku ekraf, komunitas, dan warga dapat berpartisipasi langsung dalam pemutakhiran dashboard tersebut secara berkala.          

World Conference on Creative Economy (WCCE)

Indonesia akan kembali menyelenggarakan WCCE di Bali, Mei 2021, untuk yang kedua kalinya. Acara ini tentu saja akan menjadi parameter perkembangan ekraf di Indonesia, yang bukan hanya berupa showcase kekayaan budaya dan karya-karya dari sub-sektor industri kreatif Indonesia, tapi juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan betapa sektor ekraf dapat menjawab tantangan masa krisis dan berpeluang menjadi solusi bagi kondisi di masa depan, our near future. Sebagai negara pencetus IYCE, Indonesia tentu akan menjadi perhatian bagi negara-negara lain yang juga telah dan mulai menggairahkan sektor ekraf dalam kondisi penuh keterbatasan. It is crucial to demonstrate the answers and evidences to the “So what?!” question of the creative economy sector.     

Indonesia harus dapat memposisikan diri dengan lebih strategis melalui sektor ekraf ini, baik dalam skala global, maupun pada dampak nyatanya secara internal. Sinergi antar stakeholders perlu segera dicek ulang dan diperkuat di mana perlu, agar dapat benar-benar menunjukkan keunggulan kita dalam sektor ini. Sementara, para pelaku di tengah masyarakat pun, dari akademisi hingga profesional dalam sektor ekonomi kreatif, pun terus bergerak secara dinamis.  Tidak ada momentum yang lebih sempurna lagi dari tahun 2021 untuk membuktikan kekuatan ekraf Indonesia. Ayo tangkap, jangan sampai lepas!

Peran ICCN dalam Ekraf Global

[Ini catatan yang unggahannya sedikit tertunda, dari Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) di Rumah Sanur, disarikan dari sesi tanggal 26 November 2020, pk.14.30-15.00 WITA]

Dari rangkaian acara Indonesia Creative Cities Festival (ICCF), terdapat satu sesi diskusi dengan narasumber internasional, untuk membahas isu seputar ekonomi kreatif dalam skala global, terutama dalam kaitannya dengan organisasi simpul komunitas seperti ICCN; dan juga membahas peran ICCN ke depannya, terutama dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Narasumber pertama adalah Nicolas Buchoud, yang juga hadir dan berbicara di ICCF 2019 di Ternate sebagai penasehat sekaligus anggota kehormatan ICCN. Nicolas sempat berkunjung ke Rumah Sanur dan berbincang dengan alm. Kang Ayip pada akhir 2018 lalu, seusai acara World Conference on Creative Economy (WCCE) yang pertama, bertempat di Nusa Dua. Kini Nicolas juga menjabat sebagai co-chair dari Gugus Tugas Infrastruktur dari T20 (Think Tank 20/ kelompok think tank bagi G20), penasehat U20 (Urban 20/ kelompok wali kota dari negara-negara G20), dan fellow dari Global Solutions Network. Narasumber kedua, John Newbigin, adalah pendiri dan ketua Creative England (2011-2018), penasehat khusus bagi Menteri Budaya Inggris, duta industri kreatif bagi Wali Kota London, dan juga ketua Dewan Penasehat Internasional untuk Creative Industries Policy & Evidence Centre (PEC).

Berikut ini rangkuman dari sesi diskusi tersebut.

  1. Saat ICCF 2019 di Ternate, Nicolas mengajukan 4 hal untuk meningkatkan kepemimpinan global ICCN melalui beberapa inisiatif. Sejauh ini, yang telah tercapai adalah: (1) Menjadi representatif Indonesia di World Urban Forum (WUF) 10 di Abu Dhabi, Februari 2020, dan (2) Berkontribusi pada U20 dalam menyusun rekomendasi kebijakan, bertajuk “Creative Economy and The Future of Work”. Yang tidak/belum terlaksana adalah (1) Partisipasi ICCN dalam Expo 2020, terutama untuk WCCE di Dubai, karena tertunda hingga Dessember 2021; dan (2) bergabung dengan inisatif think tank UNOSSC/ United Nations Office for South-South Cooperation.  
  2. Ketika pandemi, kondisi kesehatan dan ekonomi memburuk secara global. Dalam kondisi ini, bagaimana aktivitas Ekonomi Kreatif dapat terus didorong? Dalam kondisi ini pula terlihat bahwa modal Sumber Daya Manusia, yang juga menjadi modal utama sektor Ekonomi Kreatif, adalah sumber daya kunci, berbarengan dengan modal finansial.
  3. Kota adalah episentrum bagi segala bentuk krisis, sehingga peran kota menjadi sangat kuat. Baik kegagalan maupun kesuksesan sebuah kota dalam menghadapi krisis tercermin dalam ketangguhan atau resiliensi kota itu sendiri. Oleh karena itu, komunitas independen setingkat kota/kabupaten pun memegang peranan penting dalam menentukan arah serta capaian pembangunan. 
  4. 10 Prinsip Ko/Kab Kreatif ICCN sangat berbeda dari “indikator kota kreatif” yang lain. Kalau indikator lain biasanya langsung mengangkat aspek dan dampak ekonomi, 10 Prinsip ICCN ini justru mendahulukan aspek-aspek welas asih, inklusivitas, solidaritas, dan hak asasi manusia. John telah mencoba menerapkan 10 Prinsip ICCN di berbagai komunitas di Amerika Latin, yang ternyata dapat dengan mudah menerima dan menerapkan prinsip-prinsip ini.   
  5. Pembahasan mengenai kehidupan pasca pandemi mengarah pada betapa modal sosial, seperti halnya berkomunitas, telah terbukti menjadi solusi untuk dapat bertahan, terutama pada skala lokal, di mana sektor budaya dan ekonomi kreatif memiliki irisan sangat besar dengan informal economy.
  6. Informal economy mendominasi unit usaha secara global; di India bahkan 80% unit usaha merupakan sektor informal. Sektor ini memiliki kelincahan dan ketangkasan dalam menyesuaikan bisnisnya, sehingga kerap menjadi penyelamat bagi aktivitas ekonomi lokal. 
  7. Berbagai sumber mata pencaharian yang masuk ke dalam kategori informal economy banyak beririsan dengan sektor creative economy, sehingga tantangannya pun serupa, yaitu perlu adanya alat ukur untuk dapat mengetahui perkembangannya secara konkrit. 
  8. Indonesia, tepatnya di Labuan Bajo, akan menjadi tuan rumah G20 Summit di tahun 2022, bukan 2023 seperti yang direncanakan sebelumnya. Ini akan menjadi the next historical responsibility bagi ICCN, yang harus mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan tersebut dalam 24 bulan. Tapi justru ini yang menjadi peluang pembuktian bahwa ekonomi kreatif merupakan pendekatan pembangunan berbasis manusia, dan tidak bergantung pada “kelas/kaum kreatif”. 
  9. Sustainable Development Goals (SDG) telah menjadi konsensus global, namun tidak ada satu pun dari 17 sasaran tersebut yang menyebutkan “budaya” (culture) secara eksplisit. Budaya, yang selalu bersifat partisipatif, seharusnya tertanam dalam seluruh sasaran SDG.
  10. Ekonomi kreatif umumnya dianggap sebagai sektor yang secara tipikal berada di wilayah perkotaan, melalui penambahan nilai pada suatu produk barang/jasa. Namun konektivitas desa-kota dan pengembangan ekonomi kreatif di pedesaan juga harus menjadi perhatian dan diangkat sebagai potensi yang menjadi kekuatan bangsa dengan sumber daya budaya yang tak terhingga. 
  11. Momentum International Year of Creative Economy (IYCE) for Sustainable Development 2021 dan G20 Summit 2022 di Indonesia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena tidak akan kembali lagi bahkan dalam satu abad mendatang; dalam momentum ini Indonesia berperan untuk menunjukkan bentuk pemulihan dengan fokus pada pengembangan kapasitas SDM.

Di akhir sesi, mereka diminta menyampaikan pertanyaan atau pesan bagi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif seputar hal-hal yang tengah dibahas, berikut ini: SDG kini bertitik berat pada pembentukan pemulihan yang terfokus pada kapasitas dan sumber daya manusia, sehingga pemerintah harus berinvestasi pada kebijakan yang mendorong keterlibatan komunitas, serta menghasilkan dampak yang seusai dengan konteks di mana kebijakan tersebut diterapkan.