Tag Archives: creativity

Aturan Main UCCN

UNESCO Creative Cities Network (UCCN), yang dibentuk pada tahun 2004, kini telah menghubungkan hingga sekitar 300 kota di 90 negara di dunia yang terkategori dalam 7 klaster: Desain, Film, Gastronomi, Kriya & Seni Rakyat, Literatur, Media Art, Musik. Selama 19 tahun perjalanannya, UCCN telah mengalami beberapa kali evaluasi, termasuk upaya perbaikan terhadap operasional dan pengukuran dampaknya, baik bagi kota anggota jejaring maupun bagi organisasi UCCN itu sendiri. Salah satunya adalah yang diselenggarakan pada November 2022 lalu, berupa pertemuan antara para koordinator klaster kota-kota anggota UCCN dengan Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO.

Ernesto Ottone R., Assistant Director-General for Culture, ketika menyampaikan pesan penutup pada event BEYOND URBAN, Road to G20 Indonesia 2022, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network

Pesan-pesan dari Asisten Direktur Jenderal Kebudayaan UNESCO

MONDIACULT 2022

  • Pengantar topik diskusi, mengenai beragam proses terkait Jejaring Kota Kreatif, terutama tentang pelaksanaan Pemantauan & Pelaporan Keanggotaan, juga proses evaluasi bagi penentuan kota-kota baru dan kemungkinan terbentuknya sebuah mekanisme pemberhentian bagi kota-kota yang tidak aktif, atas permintaan kota-kota anggota.
  • Konteks untuk usulan revisi Pemantauan & Laporan Keanggotaan (Membership Monitoring & Reporting) sebagai tindak lanjut dari penerapan Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan – MONDIACULT 2022 oleh 150 menteri, yang mengakui kebudayaan sebagai barang publik global, dan penyusunan peta jalan yang berwawasan ke depan bagi sektor kebudayaan, termasuk elaborasi dari Global Report on Cultural Policies yang akan diluncurkan tahun 2025, yang akan mendukung advokasi global untuk kebudayaan sebagai tujuan yang berdiri sendiri pasca agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
  • UNESCO akan berusaha untuk melakukan tinjauan komprehensif tentang kondisi sektor budaya, baik di tingkat nasional maupun lokal, dengan tujuan memperkuat kebijakan budaya di masa mendatang, serta membangun berbagai mekanisme pelaporan berkala UNESCO di seluruh konvensi, rekomendasi, dan program-program budayanya. Hasil dari analisa ini, termasuk berbagai kemajuan dari negara-negara dan kota-kota anggota dalam mengimplementasikan Deklarasi MONDIACULT 2022, akan dipresentasikan pada Forum Dunia tentang Kebijakan Kebudayaan MONDIACULT oleh UNESCO di tahun 2025, yang selanjutnya akan diselenggarakan setiap empat tahun.
  • Ditekankan bahwa menjelang konferensi internasional ini, akan sangat penting untuk mempertahankan dialog berkala dengan para pembuat keputusanmitra dan praktisi, termasuk melalui Jejaring Kota Kreatif, untuk memberi masukan refleksi dan untuk menguatkan sinergi lintas program, demi memastikan efektivitas dan dampak yang lebih besar.

Revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan UCCN

  • UNESCO mengusulkan untuk merevisi pelaksanaan Laporan Pemantauan Keanggotaan, dengan dukungan dari anggota jejaring, untuk memastikan meningkatnya kesesuaian antara siklus dan mekanisme pelaporan berkala, serta untuk mempertajam formulir pelaporan untuk memastikan peningkatan sinergi dengan program lain, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada prioritas sektor budaya, dan mengenali lebih jauh relevansi tindakan lokal terhadap pembangunan berkelanjutan global, serta menghubungkan dimensi lokal dan global.
  • Mekanisme Pemantauan Keanggotaan akan tetap menjadi kewajiban.

Kontribusi dari Kelompok Koordinator

Penyelenggaraan UCCN

  • Interkonektivitas perlu diperkuat dalam Jejaring, terutama melalui kegiatan dan inisiatif yang dipimpin oleh UNESCO dan kota-kota anggotanya.

MONDIACULT 2022: Laporan Global UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan

  • Perlunya memastikan partisipasi dari Kota-kota Kreatif dalam persiapan Laporan Global, termasuk melalui Laporan Pemantauan Keanggotaan, sejalan dengan pentingnya memasukkan jejaring kota-kota sebagai pelaku yang berperan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan kota di proses MONDIACULT.

Revisi Mekanisme Pemantauan Keanggotaan

  • Adalah penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan pelaporan tetap menjadi kewajiban, termasuk maksud untuk memfasilitasi pelaporan kota ke Komisi Nasional.
  • Usulan revisi disambut baik oleh kota-kota anggota, mengingat adanya kebutuhan untuk menyelaraskan kegiatan dan pelaporan dengan program-program UNESCO yang lain, dan mendukung siklus 4 tahun meskipun dibutuhkan periode transisi. Pendekatan ini dinilai bijak, karena akan memungkinkan jejaring untuk bergabung dalam dialog global dalam agenda pasca-2030.
  • Pelaporan harus bersifat kualitatif dan kuantitatif untuk memperhitungkan skala dan keragaman sumber daya tiap kota. Contoh metodologi yang memungkinkan analisis komparatif yang lebih besar adalah Monitor Kota Kreatif Uni Eropa.
  • Diperlukan struktur yang lebih efektif dari Mekanisme Pemantauan Keanggotaan, untuk meningkatkan jumlah sasaran informasi yang dapat diintegrasikan. Diperlukan juga proses ko-kreasi antar kota dalam merevisi mekanisme tersebut; juga dukungan dari otoritas tingkat pusat (nasional) untuk memfasilitasi persiapan laporan yang berkualitas.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk Mekanisme Pemantauan Keanggotaan.

Mekanisme bagi Kota-kota yang Tidak Aktif

  • UNESCO – berkolaborasi dengan kelompok klaster UCCN – diminta untuk meningkatkan tindakan dalam mendorong partisipasi dari kota-kota yang tidak aktif dan, bila perlu, memberlakukan konsekuensi dari ketidak-aktifan ini.
  • Terdapat usulan untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk mengatasi kota-kota yang tidak aktif.

Proses Evaluasi

  • Terkait proses evaluasi untuk Kota Anggota baru, diangkat pentingnya evaluasi mitra sejawat, juga perlunya menyelaraskan kriteria evaluasi melalui matriks yang disepakati oleh seluruh koordinator dan UNESCO.

Langkah Berikutnya

  • UNESCO akan meluncurkan revisi dari mekanisme evaluasi untuk aplikasi UCCN, bekerja sama dengan kota-kota anggota.
  • Usulan untuk membentuk kelompok-kelompok kerja untuk mengatasi isu kota-kota yang tidak aktif dan revisi Laporan Pemantauan Keanggotaan akan ditindak-lanjuti oleh Sekretariat UCCN bersama dengan Kelompok Koordinasi.

=====

Jadi apa artinya untuk kita?

Bagi kota-kota di Indonesia yang sudah bergabung dalam UCCN, Pekalongan, Bandung, Ambon, Jakarta, antara lain: harus memperhatikan penyusunan Laporan Pemantauan Keanggotaannya. Kota-kota ini sudah ‘terkena peraturan’ penyampaian laporan setiap 4 tahun, jadi tidak akan terkena ‘resiko’ menyerahkan laporannya dua kali berturut-turut dalam jangka waktu di bawah 4 tahun. Selain itu, akan terdapat penajaman konten laporan, yang harus lebih diselaraskan dengan hasil dari MONDIACULT, menitik-beratkan pada hal kebudayaan. Juga, tentang fasilitasi dari otoritas pusat (kementerian) untuk penyusunan laporan, serta penilaian laporan oleh rekan sejawat (meskipun selama ini memang sudah terlaksana demikian, tapi akan ditetapkan matriks yang memuat butir-butir penilaian).

Bagi kota-kota yang hendak bergabung dalam UCCN, antara lain: memperhatikan formulir aplikasi berikutnya, yang saat ini sedang dievaluasi, agar lebih mengarah kepada sektor kebudayaan sebagai implementasi dari Deklarasi Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan.

Masa untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dirancang untuk berakhir pada 2030 – rentang 7 tahun dari sekarang – sementara tidak ada satu pun dari 17 targetnya yang berhasil tercapai dengan tuntas. Dari 17 target tersebut, tidak ada yang secara eksplisit menyebut “Kebudayaan”, sehingga terjadi diskusi tak terhitung terkait the missing goal tersebut. Meskipun terdapat argumen bahwa “Kebudayaan” dianggap telah menyatu (embedded) dalam seluruh target, tapi pada kenyataannya sering ‘dilupakan’ dalam perancangan strategi dan aksi untuk memenuhi SDGs. Oleh karena itu UNESCO, sebagai badan dunia yang terfokus pada kebudayaan dan edukasi, khususnya UCCN yang kota-kota anggotanya berkomitmen untuk memanfaatkan kreativitas dalam strategi pembangunan, berniat untuk menyertakan faktor Kebudayaan secara lebih sistematis dan terukur, melalui evaluasi mekanisme seleksi dan pelaporan kinerjanya.

Sebagai relevansi, cek juga ulasan dari paparan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, yang membawa hasil dari MONDIACULT 2022 di event WCCE 2022: Culture and Creative Economy

Pesan Ernesto Ottone R. pada BEYOND URBAN dapat disimak selengkapnya pada tautan Hari ke-2 Beyond Urban, mulai menit ke 2:02:49.

Seluruh konten event BEYOND URBAN – Road to G20, kerja sama antara UNESCO Cities Platform dan Indonesia Creative Cities Network pada tanggal 28-29 Juli 2022, dapat diakses melalui tautan ini: https://beyondurban.iccn.or.id

Tiap kota/kabupaten harus berani munculkan potensi unggulnya!

Beberapa waktu lalu di media-media sosial tersebar viral cuplikan video pidato Presiden Jokowi yang membesarkan hati para pegiat kota & kabupaten kreatif yang selama ini berupaya mengangkat keunggulan khas daerahnya. Terutama bagi mereka yang bergabung di Indonesia Creative Cities Network (ICCN), yang seluruh anggotanya memiliki komitmen untuk menerapkan 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia, di mana di dalamnya terdapat kata-kata kunci kearifan lokal, inovasi, kreativitas, sains & teknologi, dan pusaka. Terlebih lagi, terdapat panduan untuk mewujudkan 10 Prinsip tersebut, yaitu Catha Ekadasa, yang memuat 11 jurus yang dapat disesuaikan dengan kota/kabupaten yang memerlukan, antara lain Navigasi PembangunanMusrenbang Interaktif (Design Action), Pengelolaan City Branding, dan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat penentu kebijakan bagi pemerintah daerah. 10 Prinsip dan 11 Jurus ini menjadi panduan utama bagi seluruh kota/kabupaten anggota & jejaring ICCN dalam mengidentifikasi potensi kreatif unggulnya, memposisikannya dalam ekosistem ekonomi kreatif, serta mengembangkannya hingga berdampak bagi peningkatan kesejahteraan ko/kab, warga dan komunitasnya.

Dengan berlangsungnya segala upaya yang telah dilakukan secara bottom-up dan sporadis di berbagai kota/kabupaten, bahkan sebelum seluruhnya bersepakat untuk bergabung sebagai ICCN di tahun 2015, maka pernyataan presiden tersebut menjadi semacam validasi bahwa framework ICCN berada pada jalur yang tepat.

Dukungan dan harapan terhadap Kota Kreatif dan sektor Ekonomi Kreatif sebagai solusi di masa mendatang pun telah dipaparkan secara eksplisit di berbagai forum internasional belakangan ini. Salah satunya adalah milestone global terkait rekomendasi kebijakan dan peta jalan Ekonomi Kreatif, yaitu dokumen hasil dari event Connecti:City, Urban 20 Jawa Barat dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 berjudul “People and The Next Economy. — Recovering Together”, yang memuat 7 butir rekomendasi implementasi Sektor Ekonomi Kreatif pada skala kota. Selain itu, sebagai side event G20 200, World Conference on Creative Economy (WCCE) menghasilkan “Bali Creative Economy Roadmap 2022” yang memuat 16 aksi arah Sektor Ekonomi Kreatif di masa mendatang.

Pengarus-utamaan Ekonomi Kreatif makin terasa dengan diakuinya Ekonomi Kreatif dalam G20 Leaders’ Declaration 2022 pada butir 47 sebagai sektor yang “melibatkan ekonomi berbasis pengetahuan, kreativitas manusia, dan hak kekayaan intelektual, berkontribusi pada peningkatan ketangguhan komunitas pariwisata lokal dan UMKM melalui pembangunan modal sumber daya manusia, transformasi digital, inovasi, kemitraan pemerintah-swasta, pelestarian berkelanjutan terhadap pusaka alami dan budaya, dan pembiayaan inovatif yang juga mempertahankan nilai-nilai komersil dan budaya secara signifikan”.

“We further recognize that creative economy, which involve knowledge-based economy, human creativity, and intellectual property rights, contributes to improving the resiliency of tourism local communities and MSMEs through human capital development, digital transformation, innovation, public-private partnerships, sustainable preservation of natural and cultural heritage, and innovative financing while retaining their significant commercial and cultural values”

Saat berlangsungnya APEC 2022, Presiden Jokowi kembali menyatakan pentingnya Ekonomi Kreatif.

“Hal kedua sektor prioritas yang disampaikan Presiden Jokowi yaitu kerja sama industri kreatif sebagai sumber pertumbuhan baruEkonomi kreatif adalah sektor masa depan dan pilar pertumbuhan inklusif karena mendobrak batas geografis, gender, etnis, strata ekonomi dan mendorong pencapaian SDG”*sumber: https://setkab.go.id/dua-sektor-pemulihan-ekonomi-global-rantai-pasok-yang-resilien-dan-industri-kreatif-sebagai-pertumbuhan-baru/

Sampul Buku Putih Kota Kreatif ICCN (2021), yang memuat ulasan mengenai 10 Prinsip Kota Kreatif Indonesia dan Catha Ekadasa/ 11 Jurus untuk Mewujudkan Kota Kreatif Indonesia.

Selain forum-forum tersebut, Ekonomi Kreatif juga mendapatkan perhatian khusus dari ASEAN Creative Economy Business Forum (ACEBF) yang diselenggarakan di Bali tahun 2021, dan Asian Development Bank Institute (ADBI) yang menerbitkan “Creative Economy 2030 Policy Brief” yang didiseminasikan berbarengan dengan T20 2022.

Kembali pada konteks Kota Kreatif. UNESCO membentuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN) sejak 2004, dalam rangka mendorong kota-kota berpotensi kreatif di dunia untuk saling berkolaborasi; memanfaatkan potensinya untuk menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan. Kota-kota di Indonesia yang telah bergabung dalam UCCN adalah Pekalongan (City of Craft and Folk Arts, 2014), Bandung (City of Design, 2015), Ambon (City of Music, 2019), dan Jakarta (City of Literature, 2021). Dalam rangkaian Road to G20 Summit, bersama ICCN, UNESCO Cities Platform menyelenggarakan konferensi daring “Beyond Urban“, yang menghasilkan dokumen “Urban Solutions”, terfokus pada 3 tema prioritas G20 dengan penekanan pada isu Climate Change.

Seluruh rekomendasi tingkat dunia ini tentu akan kembali pada skala lokal, kota/kabupaten, untuk menentukan keberhasilan implementasinya. Pada dasarnya, kebijakan dan rencana strategis pembangunan daerahlah yang menjamin terwujudnya dorongan Presiden Jokowi tersebut, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat para pelaku. Peran pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator menjadi pembuka jalan utama bagi munculnya “keberanian” kota/kabupaten untuk mengakui dan bangga akan potensi khas masing-masing, sehingga eksplorasi terhadap peningkatan kapasitasnya sebagai sumber kesejahteraan pun dapat dikembangkan secara terstruktur dalam skala yang terjangkau dan terukur. Tanpa adanya sinergi dengan pemerintah, segala upaya yang dilaksanakan oleh warga, komunitas, dan pelaku ekonomi kreatif akan tetap berjalan, namun tidak akan memberikan feedback yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang kebijakan dan strategi pembangunan kota/kabupaten.

——————–

Tahun 2023, Indonesia kembali mengampu peran sebagai tuan rumah pertemuan tingkat tinggi, ASEAN. Merujuk pada forum-forum sebelumnya, kali ini seharusnya menjadi saat yang tepat bagi Ekonomi Kreatif untuk memenuhi berbagai rekomendasi kebijakan dan skenario yang telah ditetapkan. Terlebih bagi kota-kota kreatif di Asia Tenggara yang memiliki kemiripan demografi dan karakteristik. Melalui ICCN, Indonesia berinisiatif menampilkan karya-karya kreatif yang membawa nafas Asia Tenggara sebagai suatu wilayah. Kota-kota UCCN di wilayah ASEAN, terutama Kota-kota Desain di Asia Tenggara BandungSingapuraCebuHanoi dan Bangkok, pada pertemuan di Singapore Design Week September 2022, pernah bersepakat untuk melaksanakan semacam co-design project yang dapat menunjukkan kekuatan ekonomi kreatif negara-negara ASEAN. Pesan ini disampaikan kembali saat Bangkok Creative City Dialogue pada Februari 2023, dan rencananya akan dilanjutkan pada event Connecti:City di Bandung, Mei 2023. Upaya ini tidak akan terwujud tanpa kerja sama multi pihak, serta dukungan nyata dari tiap pelakunya. Mari manfaatkan peluang berharga ini untuk exercising cara-cara bekerja sama, mengeksplorasi berbagai skema project penciptaan bersama, menjawab tantangan terbesar kita selama ini sebagai jejaring pelaku dan komunitas (mempraktikkan “sinergi”, “integrasi”) dengan tujuan yang konkrit, yang hasilnya dapat menjadi kebanggaan bersama.

===

Links to related documents/references:

14-15 March 2022 | Policy Brief CONNECTI:CITY 2022 | U20 West Java, G20 Indonesia 2022 | People and The Next Economy – Recovering Together https://drive.google.com/file/d/1KdllzSKN0ZhmeD7jvM6NzRlfP4IDXHKW/view

28-29 July 2022 | UNESCO Cities Platform x Indonesia Creative Cities Network | Road to G20 Summit 2022 | BEYOND URBAN https://beyondurban.iccn.or.id

June 2022 | Asian Development Bank Institute (ADBI) | Creative Economy 2030: Imagining and Delivering a Robust, Creative, Inclusive, and Sustainable Recovery https://www.adb.org/publications/creative-economy-2030-imagining-and-delivering-a-robust-creative-inclusive-and-sustainable-recovery

15-16 Nov 2022 | G20 Leaders’ Declaration https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9TaWFyYW4lMjBQZXJzLzIwMjIvRzIwJTIwQmFsaSUyMExlYWRlcnMlMjclMjBEZWNsYXJhdGlvbiwlMjAxNS0xNiUyME5vdmVtYmVyJTIwMjAyMiwlMjBpbmNsJTIwQW5uZXgucGRm

2023 Projecting Indonesia’s Creative Economy Potential on the Global Stage (download file)

Kemlu-RIs-Book-Final

Bangkok Creative City Dialogue

Berbarengan dengan diselenggarakannya Bangkok Design WeekCreative Economy Agency (CEA) Thailand membuat sesi Creative City Dialogue pada tanggal 10 Februari 2023, dengan mengundang beberapa focal point UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Secara umum mereka mengangkat tema terkait arah pembangunan kota setelah pandemi. Bagaimana budaya dan kreativitas dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan kota, terutama dalam hal ekonomi, taraf hidup, dan ketangguhan (resilience). Salah satu yang juga dieksplorasi dalam sesi ini adalah peluang kolaborasi atau inisiasi peta jalan yang dapat tercapai dalam 4 tahun ke depan.

Pada sesi tersebut, Bandung mengawali paparannya dengan menampilkan linimasa nomenklatur Ekonomi Kreatif di Indonesia, dari sisi pemerintah dan forum/jejaring komunitas. Dari linimasa ini terlihat kesinambungan antara satu momentum dengan yang berikutnya, di mana Ekonomi Kreatif Indonesia terbangun oleh kedua sisi tersebut. Inisiatif pada tingkat komunitas, secara bottom-up menjadi pasokan bagi penentuan kebijakan, kegiatan dan program yang difasilitasi dan diregulasi oleh pemerintah secara top-down. Jadi semacam iterasi “double diamonds” yang dijalankan oleh stakeholders yang saling melengkapi. Pertemuan yang produktif antara bottom-up dengan top-down ini hanya mungkin terjadi jika terdapat ruang-ruang komunikasi yang kondusif bagi seluruh pihak, jika terdapat pihak intermediary yang memahami dan mengakomodasi kepentingan seluruh pihak secara proporsional, dan bila seluruh pihak dapat menyepakati fokus tujuan bersama yang lebih besar dari kepentingan sektoral.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid0bkFQMjBXTdx8RCS8BojNCn2JgsPMBpJ6eVuZcDv9CSamJwxqrDVrTvN4Vd1RzZoNl

Materi paparan dari 9 kota UCCN (Asahikawa, Bandung, Bangkok, Kuching, Nagoya, Perth, Phetchaburi, Seoul, Singapore) dapat diakses di sini: https://drive.google.com/drive/mobile/folders/1dA9SYgfi55wXhP-ITYgtDJ_BbxlKf6jA?usp=share_link

Sesi diskusi dibuka setelah makan siang. Setiap peserta mendapat pertanyaan yang sama secara umum, yaitu rencana 4 (empat) tahun ke depan dalam konteks strategi pembangunan kota kreatif. Bagi Bandung, kondisi dalam 4 tahun mendatang belum dapat diprediksi dengan tenang dengan adanya dinamika sepanjang masa pilkada dan pilpres, yang sangat mungkin akan berpengaruh pada program-program dan pengambilan keputusan secara top-down. Sehingga para pelaku ekonomi kreatif sebaiknya lebih mengandalkan rencana yang diampu oleh pihak-pihak seperti simpul komunitas atau kelompok masyarakat yang kredibel, dan lembaga akademik atau pusat riset, yang operasionalnya tidak tergantung secara langsung pada disrupsi politik pemerintahan. Kesimpulan ini berdasarkan pengalaman Kota Bandung, yang meskipun telah memiliki Perda Ekraf (01/2021), eksekusinya tidak berlangsung sesuai dengan rencana.

Berbagai momentum penting juga dapat kita manfaatkan dalam mempromosikan “kreativitas” dan “ekonomi kreatif” sebagai jawaban bagi beragam tantangan Pembangunan Berkelanjutan; yang terdekat adalah KTT ASEAN 2023 yang diketuai Indonesia. Kita bisa memunculkan diri sebagai “ASEAN” melalui karya-karya kreatif yang dapat berpartisipasi dalam event tersebut, menunjukkan kekuatan potensi ekonomi kreatif di wilayah ASEAN, sekaligus menyatakan bahwa “kreativitas”, melalui proses ko-kreasi, dapat menjadi bahasa bersama di wilayah Asia Tenggara yang sangat kaya keragaman budaya.  

Disampaikan juga, bahwa dalam skala yang lebih luas, Kota Bandung bersama Provinsi Jawa Barat akan terus menyempurnakan Indeks Kota/Kabupaten Kreatif sebagai alat bantu bagi pemerintah kota/kabupaten untuk merancang kebijakan atau membuat keputusan berdasarkan data ekosistem ekonomi kreatif di wilayahnya masing-masing, sekaligus memetakan peluang kolaborasi dengan wilayah lain, melalui identifikasi keunggulan tiap wilayah dalam eksosistem ekraf.

Berikut ini tautan di Facebook Creative Economy Agency Thailand yang memuat risalah dari sesi diskusi tersebut: https://web.facebook.com/larasatita/posts/pfbid02DR1vG6mPQJhu7d6ZhYyQPRaC59GhjHdUkEhnHskXPvoGejMx6QhHaE6fZ8nKKizfl

Tautan untuk press release di situs Creative Economy Agency: https://www.cea.or.th/th/news/bangkok-creative-city-dialogue-eng https://www.cea.or.th/en/single-project/bangkok-creative-city-dialogue

Creative City Dialogue ini diharapkan untuk tidak hanya terjadi sekali ini saja, dan Bangkok menawarkan kota-kota lain untuk menyelenggarakan sesi dialog berikutnya. Nah – sebuah kesempatan yang harus disambut dengan baik. Bandung – dan kota-kota kreatif UNESCO lain di Indonesia: Pekalongan, Ambon, Jakarta – mari kita siapkan diri untuk menjadi tuan rumah di momentum terdekat kita! 

Kota Kreatif, Untuk Apa?

2018 rakornasICCN tita.007.jpg

Gelar untuk Kota

Tulisan ini tentu saja berniat membahas Bandung, kota yang makin hari makin dilekati beragam predikat. Sebut saja, mungkin ada, di antara yang berikut ini: Kota Pelajar, Kota Cerdas, Kota Ramah Anak, Kota Ramah Manula, Kota Berkelanjutan, Kota Bebas Korupsi, dan yang kita angkat sekarang, Kota Kreatif. Label-label itu bukan hal baru, dan tidak untuk dipertentangkan. Tapi mungkin akan berbeda, bila ternyata ada “label” yang bukan diterakan begitu saja sebagai julukan, tanda apresiasi, atau penghargaan; yang (se)sekali diberikan, dibanggakan, masuk arsip, lalu selesai. Tidak ada konsekuensi apa-apa setelahnya, selain publikasi yang baik dan benar. Namun ada juga “label” yang tidak bisa ditunggu dengan berpangku tangan. Untuk memperolehnya, harus melalui proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan ketika berhasil, “label” ini pun bukan menjadi “hadiah di akhir”, melainkan sebuah “komitmen di awal” yang harus ditindak-lanjuti sesuai dengan kesepakatan yang berlaku.

Gelar sebagai “Kota Kreatif” bagi Bandung ini salah satu contohnya. Seperti halnya julukan untuk kota-kota lain, gelar ini pun muncul berdasarkan reputasi dan sejarah perkembangan Kota Bandung. Namun sejak “kreativitas” menjadi buzzword, terutama di era akselerasi peran ekonomi kreatif seperti saat ini, Bandung sebagai “Kota Kreatif”, apalagi sebagai “Kota Desain” dalam Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) pun menjadi hal yang seharusnya dicermati dan ditindak-lanjuti dengan lebih serius.

 

Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO 

Nah, sebelum membahas jauh tentang gelar Kota Desain untuk Bandung, kita ulas dulu sedikit, kenapa UNESCO, sebuah badan dunia yang biasanya fokus pada perkara budaya, pusaka, dan pendidikan, jadi sibuk dengan “kota kreatif”? Secara umum, kota memang menjadi sorotan dunia, sebab:

  • PBB memperkirakan bahwa pada tahun 2050 sekitar 70% warga dunia akan hidup di perkotaan
  • Menurut PBB, kota merupakan sebuah entitas tingkat pemerintahan yang paling fleksibel, yang paling mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan masa kini seperti Perubahan Iklim, Perpindahan Massal Populasi, dsb.
  • Seluruh kota di dunia, di mana pun ia berada dan bagaimana pun bentuknya, telah bersepakat untuk menjawab 17 Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, dan menjalankan New Urban Agenda

Berdasarkan hal-hal tersebut, ditambah dengan kecenderungan kota-kota kini untuk bertahan dan berkembang dengan mengandalkan sumber daya cipta dan potensi kreativitas warganya (beralih dari sumber daya alam dan mineral yang telah menyusut drastis), sejak 2004 UNESCO mencanangkan Jejaring Kota-kota Kreatif (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) untuk mempromosikan kerja sama antara kota-kota yang telah mengidentifikasi kreativitas sebagai faktor strategis untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Saat ini terdapat 180 kota anggota UCCN dari 72 negara, dalam 7 (tujuh) bidang kreatif: Crafts & Folk Art, Desain, Film, Gastronomi, Literatur, Musik, dan Media Arts. Kota-kota ini adalah yang telah memiliki komitmen untuk saling bekerja sama untuk sebuah tujuan bersama: menempatkan kreativitas dan industri berbasis budaya di inti perencanaan pembangunan di tingkat lokal, serta secara aktif bekerja sama di tingkat internasional.

Bandung, yang telah tergabung sebagai Kota Desain UCCN sejak 11 Desember 2015 (setelah berproses selama 3 tahun, sejak 2012), dengan sendirinya juga telah berkomitmen untuk mencapai tujuan bersama tersebut — terutama melalui berbagai program dan kegiatan yang melibatkan seluruh segmen pemangku kepentingan kota: pemerintah, komunitas, sektor swasta, dll.

Informasi lebih lanjut mengenai UCCN dapat diakses di https://en.unesco.org/creative-cities/home.

Menjadi “Kota Kreatif”

Karena sudah pernah dibahas di tulisan-tulisan terdahulu (termasuk beberapa artikel di Harian Pikiran Rakyat) mengenai proses pengajuan Bandung untuk bergabung dalam UCCN, tidak akan kita ulang di sini secara mendetail.

Yang lebih menarik sekarang adalah, kota/kabupaten lain di Indonesia pun sebenarnya sedang menggeliat bangun dan mulai bergerak untuk mengarahkan andalan pembangunannya pada potensi SDM kreatif. Pertanyaannya, apakah pergeseran ini mudah dilakukan? Siapa saja yang harus berperan dalam keputusan ini? Mulai kapan kota/kabupaten memutuskan hal ini?

Hal menarik lain, yang juga tidak boleh luput, adalah gejala bahwa gerakan ini sebagian besar dimotori oleh komunitas, secara bottom-up, dengan skala dukungan yang sangat bervariasi dari pemerintah masing-masing. Tantangannya, bagaimana komunitas dapat meyakinkan pemerintah (sebagai salah satu stakeholder utama kota) bahwa potensi kreativitas dapat menjadi strategi pembangunan kota? Dukungan macam apa yang diperlukan oleh komunitas agar gerakannya berdampak signifikan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan pasti masih jauh lebih banyak lagi, akan menjadi dasar penentuan strategi pembangunan kota/kabupaten, dan akan menampakkan hasil nyata bila terdapat kerja sama yang optimal dan proporsional antara seluruh segmen stakeholders kota.

Di saat tercapainya konsensus mengenai pemanfaatan potensi kreatif sebagai strategi pembangunan ini lah, sebuah kota/kabupaten siap untuk mengeksplorasi lebih lanjut predikatnya sebagai “kota/kabupaten kreatif”. Jangan sampai hanya menjadi sebuah status “kosong” yang kurang sesuai dengan karakter dan kebutuhan kota/kabupaten, namun terpaksa “ada” untuk dapat memenuhi syarat memperoleh fasilitas dari pemerintah pusat.

==========

Berikut ini beberapa point yang menjadi catatan bagi Kota Bandung, yang mungkin juga dapat bermanfaat bagi kota/kabupaten kreatif lain, atau kota/kabupaten yang sedang dalam proses menuju predikat “kreatif”:

1. Kenali diri sendiri

Hal terbaik adalah bila kita dapat mengenali diri sendiri. Di tahun 2008 Bandung memulai dengan identifikasi 2V2P (Values, Vision, Personality, Positioning), yang kemudian menjadi dasar city branding Bandung sebagai kota kreatif, beserta visualisasinya [.bdg] yang kita kenal hingga kini. Hal ini akan memudahkan kita untuk menyatakan keunikan dan keunggulan yang kita miliki, dibandingkan dengan kota/kabupaten lain (bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia dan bahkan dunia) dengan kondisi atau potensi sejenis. Proses ini menyenangkan, biarkan berjalan secara organik, dan akan mencapai hasil yang cukup tajam bila melibatkan orang-orang dengan wawasan luas, visioner, resourceful, dan handal dalam bidang profesinya masing-masing; serta — dan ini yang terpenting — sedapat mungkin kita identifikasi karakter dan potensi kita sendiri, tanpa perlu menunggu diputuskan oleh orang lain. “We have to create our own narration,” mengutip Hammad Albalawi, Outreach Manager of the General Entertainment Authority (GEA) of Saudi Arabia, salah satu narasumber yang saya moderatori dalam World Conference on Creative Economy (WCCE) Preparatory Meeting yang diselenggarakan oleh BEKRAF dan Kemenlu di Jakarta bulan lalu.

2. Data, data, data

Langkah berikutnya tentu saja adalah meyakinkan seluruh pihak pemangku kepentingan kota, bahwa potensi kreatif (unggulan) kota dapat menjadi andalan bagi strategi pembangunan berkelanjutan kota. Yang paling ampuh untuk melakukan hal ini adalah ketersediaan data, disertai analisa yang jitu. Bandung memulai argumennya dalam dossier-nya untuk UCCN dilengkapi dengan berbagai penelitian, lalu dilanjutkan sebagai riset-riset mandiri, antara lain:

  • hasil Studi Input/Output industri kreatif di Bandung atas inisiatif komunitas (data: sub-sektor industri kreatif yang paling berkontribusi pada pendapatan daerah),
  • hasil analisa beragam Indikator Kota Kreatif, termasuk 10 Prinsip Kota Kreatif dari Indonesia Creative Cities Network/ICCN (data: sub-sektor yang paling dominan, kelengkapan elemen ekosistem ekonomi kreatif, dsb.),
  • hasil pemetaan pelaku 16 sub-sektor industri kreatif di 30 kecamatan Kota Bandung dari Bagian Ekonomi Pemkot Bandung (data: sebaran pelaku, rantai nilai, dsb.),
  • hasil identifikasi dan pendalaman pelaku sub-sektor industri kreatif unggulan tingkat kecamatan dari program penelitian di perguruan tinggi (data: overview SWOT sub-sektor, hulu-hilir sub-sektor industri kreatif, dsb.),
  • hasil rumusan Strategi Pengembangan Ekonomi Kreatif oleh Komite Ekraf.bdg (data: peta jalan, program kerja, dsb.),
  • hasil FGD & workshop Bandung Kota Desain 2045 dalam event Bandung Design Biennale (data: rekomendasi dari tiap segmen stakeholder, dsb.),
  • dan lain-lain.

Sejak dimulainya pada sekitar tahun 2012, keseluruhan riset yang saling terkait ini digarap dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun — hingga akhirnya terdapat keputusan dan terjadi pengukuhan terhadap sub-sektor pilihan Kota Bandung, yaitu Desain. Keputusan dan hasil diagnosa ini tidak mungkin diperoleh dalam waktu 2-3 hari saja; tidak bisa secara instan, apalagi jika hasilnya mempengaruhi hajat hidup sebagian besar pelaku industri kreatif dan stakeholders sektor ekonomi kreatif di kota/kabupaten tersebut.

3. Komitmen

UCCN memang bukan satu-satunya pihak yang memiliki indikator kota kreatif; namun indikator UCCN seharusnya telah tervalidasi secara global. Nah, bagaimana Bandung dapat “menonjol” dalam aplikasinya? Karena mengejar kualitas “Desain” seperti yang telah dimiliki oleh Kota-kota Desain yang telah lebih dulu bergabung dalam UCCN adalah mustahil. Bandung kemudian menawarkan sebuah sudut pandang lain mengenai “Kota Desain”, yang lebih sesuai dengan karakter Bandung (selain dengan 2V2P, juga dengan formula People-Place-Ideas), yang ternyata diterima oleh UNESCO, sehingga Bandung dapat bergabung dalam UCCN sebagai satu-satunya kota dari Asia Tenggara (selain Singapura) yang berhasil menjadi Kota Desain UNESCO.

Meskipun bergabung dalam UCCN sebagai Kota Desain, kegiatan dan kolaborasi yang telah dilakukan Bandung tidak hanya dalam bidang desain, namun juga dalam bidang-bidang lain, sesuai dengan UCCN Mission Statement. Bandung telah bekerja sama dengan Santos (Kota Film di Brasil) dalam menyelenggarkaan Santos-Bandung Film Festival; juga dengan Bologna (Kota Musik di Italia) dalam mengampu UNESCO Training Event di World Urban Forum ke-9. Kini, Bandung diminta Kota Casablanca (Maroko) untuk mendampingi mereka dalam proses pengajuan untuk bergabung dalam UCCN.

Hal-hal tersebut terjadi dan berjalan hampir dengan sendirinya, ketika Bandung terus berupaya secara konsisten memenuhi komitmennya untuk berkolaborasi demi mencapai tujuan SDGs 2030 (pertanyaan utamanya adalah: bagaimana kreativitas, khususnya dalam bidang Desain, dapat menjawab 17 isu SDGs?).

Intinya, dengan berpegang teguh pada komitmen bersama dan menjalankannya dengan kesungguhan, peluang akan terus hadir, sehingga kita harus selalu bersiap untuk menyambut dan mengambil manfaat dari semuanya.

 

==========

[catatan samping]

  1. Identifikasi sub-sektor industri kreatif unggulan bagi suatu kota/kabupaten tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan memerlukan penelitian yang menyeluruh, berdasarkan parameter yang jelas dan relevan bagi kota/kabupaten terkait. Penentuannya pun harus melibatkan stakeholders lokal, hingga memperoleh konsensus dan kesepakatan bersama.
  2. Adalah wajar bila dalam menyalurkan fasilitas/ bantuan bagi sebuah kota/kabupaten, pemerintah mensyaratkan adanya identifikasi sub-sektor unggulan terlebih dahulu, agar dapat lebih tepat sasaran dan berdampak efektif. Sehingga memang perlu ada sebuah mekanisme penyaluran fasilitas, dengan prosedur yang benar, teruji dan terukur, dan dapat berlaku bagi berbagai kondisi kota/kabupaten di Indonesia.
  3. Mekanisme tersebut harus memberlakukan proses kajian dalam durasi waktu yang realistis, dengan juga mempersiapkan dukungan selama proses berlangsung, bila diperlukan oleh kota/kabupaten terkait. Mekanisme yang ada sekarang secara umum adalah: (1) pengisian borang (proposal/ formulir data) oleh kota/kabupaten – (2) permohonan uji petik – (3) pelaksanaan uji petik dan assessment – (4) penyusunan berita acara yang memuat hasil diagnosa sub-sektor unggulan untuk kota/kabupaten terkait – (5) kesepakatan berita acara oleh pemda dan stakeholders kota/kabupaten – (6) penyaluran fasilitas/ bantuan sesuai dengan sub-sektor terpilih (sebagai prioritas) dan syarat-syarat lain yang telah dipenuhi.
  4. Adalah tidak wajar apabila yang terjadi berupa: penyaluran fasilitas/ bantuan (6) terlebih dahulu, baru diikuti oleh assessment (3) dan berita acara (4) yang hasil analisanya sengaja dibuat sesuai dengan sub-sektor yang mendapatkan bantuan; apalagi bila identifikasi sub-sektor tersebut ditentukan tanpa konsensus, dan tanpa melalui proses riset/ kajian yang menyeluruh.