Hasil Penilaian UNESCO untuk Bandung sebagai Kota Kreatif

Semua anggota Jejaring Kota Kreatif UNESCO (UCCN) wajib menyerahkan Membership Monitoring Report (Laporan Pemantauan Keanggotaan) secara berkala, setiap empat tahun. Bandung, yang bergabung sebagai Kota Desain di tahun 2015, telah menyerahkan MMR pertamanya tahun 2019, dengan hasil “Very Good/ Excellent”.

Bandung menyerahkan MMR-nya yang kedua di tahun 2023, yang sedikit berbeda dengan adanya tambahan konten terkait Deklarasi Mondiacult. Perbedaan lainnya lagi adalah, dulu laporan ini diserahkan dalam bentuk PDF, sekarang dalam bentuk borang/ formulir yang dilengkapi secara daring. [Meskipun hanya diwajibkan mengisi borang, Bandung tetap membuat MMR keduanya dalam format PDF]. Juga terdapat dua macam laporan: tentang capaian kota itu sendiri dalam bidangnya, dan tentang penerapan Deklarasi Mondiacult. Sehingga laporan 2023 direvisi untuk dilengkapi, dan akhirnya diserahkan pada tahun 2024. Hasil penilaian laporan Bandung kali ini, yang dikirimkan oleh UNESCO pada akhir Juni 2025, kembali mendapatkan predikat “Very Good/ Excellent” dengan nilai 4,6 (nilai tertinggi 5)!

Hal-hal apa saja yang menjadi faktor penilaian? Antara lain, partisipasi dalam program-program UCCN (terutama yang wajib, yaitu kehadiran di Konferensi Tahunan UCCN); penyelenggaraan pertemuan internasional dengan keterlibatan kota-kota anggota lainnya; inisiatif kolaborasi antar kota, secara kualitas dan kuantitas, yang berkontribusi pada tujuan UCCN; kekuatan dan kelemahan komparatif kota dalam bidang kreatifnya; penerapan terbaik dari kebijakan/ aktivitas/ inisiatif kota dalam bidang kreatifnya; rencana aksi empat tahun ke depan, termasuk relevansinya dengan tujuan UCCN serta pengaruhnya terhadap potensi budaya & kreatif kota.

Beberapa komentar, “Rencana aksi Bandung empat tahun ke depan, yang terfokus pada kreativitas, inovasi dan pembangunan berkelanjutan, sejalan dgn tujuan UCCN dan Agenda 2030”. Bandung dinilai memiliki kekuatan sektor kreatif melalui berbagai inisiatif seperti Indeks Kota Kreatif (oleh ICCN dan KREASI Jabar), Bandung Design Biennale (oleh Bandung Desain Kolektif) dan ICON-ARCCADE (oleh FSRD ITB), yang juga mendorong kolaborasi dengan kota-kota anggota UCCN lainnya. Sebagai penutup, disebutkan bahwa, “Bandung demonstrates a mature and comprehensive approach to its design action plan”.

Penilaian dari sejawat menyebutkan pula beberapa faktor penambah nilai MMR ini, antara lain DesignAction.bdg, atau ‘musrenbang interaktif’ di mana pemerintah berbaur dengan warga dan pelaku ekraf dalam sebuah lokakarya Design Thinking for governance yang secara rutin diselenggarakan setiap tahun oleh Bandung Creative City Forum (BCCF) bersama Pemerintah Kota Bandung. Juga, penyelenggaraan event internasional, seperti Connecti:City (konferensi internasional tentang simpul-simpul kreatif dan pengembangan ekonomi kreatif daerah) oleh KREASI Jabar dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Creative Cities Dialogue yang kerap menjadi bagian dari Connecti:City.

Sebuah tahap sekali lagi terlampaui dengan hasil memuaskan dan, semoga, membanggakan bagi semua profesional dan pelaku bidang kreatif di Kota Bandung, khususnya desain. Terima kasih atas kerja kerasnya selama ini, para penggerak budaya dan kreativitas di Kota Bandung beserta seluruh mitra, yang tidak pernah lelah menghadapi beragam tantangan dalam mengaktivasi Bandung sebagai Kota Kreatif kelas dunia! Tentunya terima kasih juga kepada Pemerintah Kota Bandung atas dukungannya selama ini; semoga dapat lebih konsisten, sinergis dan optimal, sesuai dengan komitmen kota ketika bergabung dengan Jejaring Kota Kreatif UNESCO di tahun 2015.

—–

Terdapat perubahan mekanisme MMR, yang disampaikan pada UCCN Annual Conference 2025 di Enghien-les-Bains, tanggal 24 Juni lalu: seluruh kota anggota UCCN akan menyerahkan laporan berikutnya secara serentak di tahun 2027.

—–

*MMR seluruh anggota UCCN dapat diakses di website UNESCO

Be Like Bamboo

During a session of Culture and Creative Economy Foresight at The International Training Centre of the International Labour Organization in Turin (ITCILO), 23-25 April 2025, I was given this question, “Your early research explored bamboo—an incredibly adaptable, resilient, and regenerative material. If you had to design a learning ecosystem for creative entrepreneurs with the qualities of bamboo, what would it look like in 2035? What are the ‘bamboo-like’ skills we should be nurturing today?”

It was actually fun the make the analogy; big thanks to Stefano Merante for the question! 🙂

1 Resilient | For centuries, bamboo has been considered as a reliable structural material. It has been used as skyfoldings, bridges, towers, houses, and many more; its flexibility enables the bending techniques, its strength retains the forms while holding the burdens, its lightness makes it easy to transport and work with. It grows fast; it can be harvested within months, depending on the kind of products it is aimed for — hence earning its reputation as a renewable, rapidly regenerative material. It withstands new ‘tricks’, or new production processes, which makes it a potential material for the future. | Resilience in creatives should also make them spring back or stand a strain of challenges in their line of work; they should learn (grow) fast and be agile when faced with new ‘tricks’ (system, technology, environment, etc.) that would turn them into future-ready creatives. Creatives should also regenerate their skills, experience and knowledge, particularly considering the rapid acceleration of media and technology development.

The bamboo doodle on my sketchbook, made right after the session

2 Healing | Bamboo has numerous properties that make it welcome by all living beings in any environment. It releases more oxygen compared to average trees, its groves provide shadings and nesting spaces for a variety of small species (birds, insects, snakes); its hollow tubes are used as a cooking ‘pot’ and to hold liquids; its shoot is known as delicacies in many cultures; its roots neutralize the soil from toxic substances. Its positive impacts have been proven, recorded and measured. | Creatives should also spread goodness and heal, or provide solutions to, the issues they are delving in; their works should be impactful and relevant in a long term.                 

3 Binding | It is not directly visible, but the roots of bamboo – being actually a giant grass – connect and tangle beneath the ground. The roots form a network that binds the soil, strengthening its structure, preventing landslides at critical landscapes. The stronger the binds, the more solid the grounds, ensuring a more productive landscape. | Creatives rarely work alone; they would always establish networks in different ecosystems, creating resources and supports, ensuring strong advancements of their works.       

4 Vulnerable | Despite being praised as a “material of the future”, bamboo surely has its vulnerability. Once taken from its groves and unprotected by its silicon-invested skin, bamboo poles are prone to insect and fungi attacks. Therefore it requires proper preservation, appropriate treatments, and the right supports in order to be able to optimally perform. | Creatives often face multiple challenges, ending up in self burn-outs and substandard performance. Their vulnerability should also be addressed and coped with, to maintain productivity and excellence.    

There are a lot more to bamboo than this, of course, but that would take an entire book to write. But as far as creatives are concerned, these are at least the qualities of bamboo that we can relate to.

 

Belajar Mengelola Kota Desain dari Saint Etienne

Tanggal 26-28 Mei 2025 lalu berlangsung kegiatan tahunan UNESCO Cities of Design Subnetwork Meeting, di mana Saint Etienne terpilih menjadi tuan rumah, yang sekaligus sedang menghelat Design Biennale di kota tersebut. Sebagai salah satu ‘kakak tertua’ Kota Desain UNESCO Creative Cities Network (UCCN), pengelolaannya cukup matang dan hasilnya dapat langsung terlihat, meskipun pemerintahan dan personelnya juga berubah-ubah sejalan dengan linimasa politik lokal maupun nasional mereka. Dan, tentu saja, “desain” di sini bukan sekedar obyek atau benda dengan kualitas fungsi dan estetik tertentu, tapi lebih luas lagi: sebagai jasa (service design), sistem dan pola pikir (design thinking), semangat solutif dengan empati, serta ekosistem yang inklusif, sekaligus produktif dan berkelanjutan. Berikut ini beberapa catatan dari St. Etienne.

 

Pengelola Kota Desain | St. Etienne bergabung dalam UNESCO Creative Cities Network sebagai Kota Desain di tahun 2010, namun sebelumnya memang telah memiliki rekam jejak yang signifikan dalam bidang desain; yaitu terselenggaranya International Design Biennale sejak 1998, dan terbentuknya kawasan desain, Cité du Design, sejak 2005. Perguruan tinggi seni & desain memiliki peran besar dalam hal ini, dan Pemerintah Kota St. Etienne adalah otoritas lokal pertama di Perancis yang mengintegrasikan fungsi manajemen desain dalam rancangan dan implementasi kebijakan publik, sejak 2010. Prosesnya selama ini pun tidak mulus-mulus saja, bahkan sampai saat ini. Tapi komitmen untuk terus melibatkan desain & kreativitas dalam mengelola kota tidak pernah ditinggalkan, sehingga dampaknya terlihat nyata dan terukur.

Cité du Design | Kota St. Etienne memutuskan untuk memanfaatkan lahan dan bangunan bekas pabrik senjata menjadi Kawasan Desain, atau Cité du Design. Di tahun 2025 ini, telah rampung digarap bangunan sekolah tinggi seni dan desain yang memuat berbagai bengkel, studio, ruang kerja digital, ruang cetak (mahasiswa harus cetak dan jilid laporan tugas akhir/skripsinya sendiri!), dll.; gedung kantor administrasi sekolah dan Cité du Design, ruang konferensi, serta ruang-ruang yang disewakan untuk pengusaha, baik rintisan (startup) maupun yang lanjutan; berbagai galeri dan studio, termasuk toko cenderamata; taman dalam ruang (green house) yang menuju ke perpustakaan buku dan materiał (ada koleksi material dari Material Library ITB di sana!); serta semacam showroom yang memuat maket dan linimasa rencana pembangunan kawasan, juga display karya dan milestones sejarah desain dunia. Sebuah concept hotel dan restoran juga direncanakan terbangun dalam waktu dekat ini. Sehingga, pantaslah St. Etienne menjadi kiblat Kota Desain di Eropa, bahkan dunia, melalui komitmen dan aksinya dalam melibatkan desain dalam strategi pembangunan kota.

Purwarupa Bangku Taman | Salah satu display dalam rangkaian Design Biennale ini adalah enam purwarupa bangku taman yang dipasang di salah satu taman di tengah kota. Tiap bangku dirancang oleh seorang mahasiswa, yang harus sanggup menerapkan kapasitas teknik produksi dan material dari perusahaan mitra yang memproduksi bangku tersebut; penempatannya pada ruang publik pun disepakati bersama dengan pemerintah kota. Di dekat setiap bangku, terdapat nama bangku, nama desainer, serta nama perusahaan yang dicetak pada stiker, yang ditempel pada pelataran di depan masing-masing bangku. Pengunjung taman, masyarakat umum, siapa pun, dapat memanfaatkan bangku-bangku tersebut, dan memberikan masukan untuk perbaikan desainnya. Diakui oleh dosen pengampunya, bahwa tidak mudah untuk mendapatkan kesepakatan dalam skema Public-Private-Partnership ini, namun keenam purwarupa bangku telah berhasil merepresentasikan kerja sama lintas stakeholder tsb. Project ini langsung mengingatkan pada instalasi Bandung Public Furniture di Helarfest 2008 dan 2009, serta program RekaKota di Semarak Bandung 2010. Kita harus mulai lagi nih!

 

Workshop bersama Design+ | Salah satu rangkaian acara UNESCO Cities of Design Subnetwork Meeting adalah workshop yang dipandu oleh Design+, yaitu perkumpulan desainer muda yang masing-masing memiliki studio, perusahaan atau jenama desain sendiri, dan bergabung dalam Design+ untuk menyelenggarakan berbagai program bersama. Terdapat tiga jenis workshop untuk para focal point Kota Desain; yang pertama menggunakan sticky notes untuk menyelesaikan kalimat, seperti, “Saya sedang memerlukan…”, atau “Tempat saya bekerja terkenal dengan…”, dsb. Notes tsb. kemudian ditempel pada papan, sehingga seluruh peserta dapat saling mengenali dan melihat peluang kerja sama. Workshop kedua mengajak tiap kelompok kecil untuk memilih tema yang dianggap urgent, mendiskusikan, dan menampilkan solusinya dalam model yang menggunakan mainan manusia, hewan, bentuk-bentuk geometris, masking tapes, play dough, dsb. Di workshop ketiga, masing-masing peserta difoto menggunakan Polaroid, lalu menempelkan fotonya di dinding, dilengkapi dengan nama dan afiliasi. Lalu, dengan kapur berwarna, membuat garis-garis yang menghubungkan dengan foto peserta lainnya, sambil menuliskan koneksi atau kolaborasi yang dapat dilakukan. Menyenangkan, dan mungkin perlu dilakukan secara berkala di antara sekian banyak komunitas yang berbeda di Bandung.

 

Material Library | St. Etienne memiliki koleksi material, termasuk “material baru” yang kerap merupakan hasil eksplorasi dalam upaya mendaur-naik (upcycling) material yang dianggap limbah, dan/atau yang belum dianggap berpotensi sebagai pembentuk benda. Perpustakaan material ini sangat bermanqfaat bagi para (calon) desainer yang ingin bereksperimen, mengeksplorasi lebih jauh proses dan penggunaan alternatif material untuk meningkatkan nilainya, atau sebagai bahan baku produk inovatif. Koleksi material yang jauh lebih lengkap dan paripurna sebenarnya adalah yang dimiliki oleh TCDC, sekarang Creative Economy Agency (CEA) Thailand. FSRD ITB mulai punya MatLib kecil-kecilan, di Design Centre CADL, terinspirasi dari St. Etienne dan CEA. Selanjutnya, ITB tengah bekerja sama dengan St. Etienne untuk MatLib ini, saling bertukar koleksi sambil mempromosikan material baru hasil eksplorasi mahasiswa dan peneliti dari masing-masing kampus.

 

Kolaborasi Internasional | Selagi di St. Etienne, kami jadwalkan untuk bertemu dengan tim hubungan internasional dari seluruh kampus St. Etienne, tidak hanya bidang seni rupa dan desain. Diskusi berlangsung singkat, padat, dan bersemangat, karena ketika masing-masing memaparkan tentang kampusnya, ternyata kita memiliki irisan besar dalam berbagai subyek penelitian. Sinergi antara sains, engineering, kreativitas dan bisnis, akan menghasilkan inovasi yang menarik dan berdampak, dan kedua kampus ini memiliki semuanya! Ada peluang besar yang kita bisa garap bersama.

—–

Refleksi. | Sungguh, hal-hal yang patut dicontoh dari St. Etienne sebenarnya bukanlah ‘barang baru’ bagi Bandung. Kita punya semuanya. Kita sudah punya lahan yang siap diadaptasi kegunaannya; kampus desain dengan akademisi, dosen/peneliti dan mahasiswa melimpah; komunitas, akademisi, praktisi desain/ subsektor industri kreatif lainnya yang terbukti unggul di tingkat nasional dan global; inisiatif warga dałam berbagai bentuk perayaan kreativitas; bahkan kebijakan dan peraturan daerah; kelompok berintegritas yang mampu memimpin perubahan hingga membawa keunggulan ekonomi kreatif Bandung hingga ke panggung internasional. Kita masih punya Bandung Design Biennale dan events kreatif lainnya, yang berdampak nyata, sekaligus menjadi panggung bagi pelaku ekonomi kreatif Kota Bandung di segala bidang dan level. Kita pernah punya belasan konsep Bandung Creative Belt, bahkan pernah melakukan piloting salah satunya, dengan menyelaraskan kepentingan warga, pelaku bisnis kreatif, serta pemerintah. Kita pernah punya harapan besar untuk mengakselerasi sektor ekonomi kreatif, demi mewujudkan kota kreatif yang sesungguhnya. Yang kita tidak punya, hanyalah konsistensi dan komitmen berkelanjutan dari pengelola dan otoritas kota.

Melembagakan Ekraf

Di kuartal ketiga tahun 2014, sebuah periode pemerintahan baru sedang dipersiapkan oleh kelompok-kelompok kerja di berbagai bidang di bawah Rumah Transisi. Salah satunya adalah Kelompok Kerja Ekonomi Kreatif (Pokja Ekraf) yang paling belakangan dibentuk, jadi hanya punya waktu sekitar dua bulan untuk menghasilkan sebuah Lembar Kerja. Tulisan ini merunut kembali pemikiran-pemikiran awal sekitar satu dekade lalu, ketika Ekonomi Kreatif menjadi salah satu sektor dalam struktur lembaga pemerintahan. Saat itu kita semua sedang sama-sama belajar dan berproses.

Sebelum masuk ke substansi ekraf, mungkin perlu disinggung dulu mengenai tugas dari tim transisi ini, merujuk dari paparan Yogi Suprayogi Sugandi, Ph.D. berjudul, “Kick-off Rumah Transisi Pokja Ekraf: Elaborasi Ide dalam Kebijakan”. Kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye, adalah, “Whatever the government choose to do or not to do”. Sementara, kebijakan Indonesia yang terkenal sangat rumit dan birokratis, terbagi atas lima keputusan: (1) bersifat ke dalam (internal), (2) bersifat keluar (eksternal), (3) bersifat mengikat seluruh warga tanpa kecuali, (4) bersifat mengikat dengan pengecualian, (5) hybrid. Jadi, Tim Transisi digolongkan sebagai sebuah tim yang merumuskan kebijakan, bukan sebagai implementor kebijakan (terkecuali bila salah satu dari Tim Transisi terpilih dalam kabinet berikutnya), namun ini pun akan rumit ketika berhadapan dengan birokrasi. Tim Transisi Pokja Ekraf mengusung berbagai macam ide tentang Ekraf, namun harus menjadi catatan bahwa tim ini hanya dapat merumuskan, sedangkan menerjemahkan perumusan tersebut ke pemerintah haruslah dengan tepat. Produk dari Tim Transisi disebut dengan produk Teknokrasi yang harus diterjemahkan oleh Birokrasi Pemerintahan.

Tim Pokja Ekraf bertugas membuat Lembar Kerja yang memuat rekomendasi untuk segala sesuatu yang perlu ada, direncanakan, disiapkan dan dilaksanakan bila Sektor Ekonomi Kreatif masuk ke dalam struktur pemerintahan. Termasuk rekomendasi Quick Win 100 Hari Kerja dan usulan bentuk kelembagaan Ekraf. Untuk menerjemahkan hasil Pokja Ekraf ke format dokumen birokrasi, Tim Pokja Ekraf dibantu oleh seorang konsultan ahli, Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.T., QRGP, CGRE, yang sekarang menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Maritim di Kemenkomarves.

Selama dua bulan penuh, secara intensif, tim Pokja Ekraf berdiskusi dengan beragam narasumber of prominent positions in their respective professional fields, merumuskan dan mengujikan berbagai konsep implementasi Sektor Ekraf yang relevan bagi Indonesia, serta menyusun rekomendasi dalam narasi yang dapat dipahami baik oleh pemerintah maupun para pelaku Ekraf di Indonesia. Sesekali tim ini juga memaparkan perkembangannya kepada para Deputi Tim Transisi untuk mendapatkan masukan dan arahan.

Draf Lembar Kerja tertanggal 20 Agustus 2014 yang disusun oleh Kang Tb. Fiki Satari, Kang Gustaff H. Iskandar dan saya ini memuat sembilan bagian, yang kemudian dielaborasi menjadi Lembar Kerja final dalam versi yang lebih lengkap, yang memuat rekomendasi perwujudan Sektor Ekonomi Kreatif di Indonesia.

=====

[I] Janji Kampanye & 9 Piagam. Proses diawali dengan mencermati Janji Kampanye dan 9 Piagam yang menjadi Visi presiden terpilih. Hal-hal seperti Tol Laut, ekonomi rakyat, dan perluasan pasar ekspor dieksplorasi dari sisi relevansinya dengan Ekraf. Arahan ini menunjukkan bahwa pengembangan Ekraf bukan hanya dilakukan secara ‘internal’, atau terbatas pada sub-sub sektor industri kreatif saja, tapi untuk memetakan peran Ekraf dalam sektor-sektor penting lainnya.

[II] Identifikasi Peran Berdasarkan Potensi Kewilayahan. Setiap wilayah tentunya memiliki potensi unggulnya masing-masing dalam Ekosistem Ekraf. Misalkan, ada wilayah dengan kekayaan SDA yang beragam dan melimpah, sehingga menjadi andalan sumber bahan baku sub-sektor Kriya dan Desain. Ada wilayah yang memiliki kawasan industri massal dengan SDM terampil yang dapat menjadi sentra produksi; ada yang sarat dengan perguruan tinggi dan pusat riset sehingga dapat menjadi sentra penelitian dan pengembangan; dst.

[III] Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kota. Dilakukan juga pemetaan di skala kota terkait potensi unggul dalam Ekosistem Ekraf. Wilayah Indonesia sangat luas, kondisi setiap kotanya sangat beragam, sehingga identifikasi potensi unggulan ini akan menjadi asupan bagi penyusunan strategi Ekraf secara bottom up.

[IVa] Strategi. Pengembangan Sektor Ekraf dapat dilakukan dengan strategi Pelaku, Pusat Data, dan Captive Order. Strategi Pelaku mempertimbangkan skala mikro, kecil, menengah dan besar (dengan segala kriterianya); masing-masing disesuaikan dengan kapasitasnya untuk memenuhi permintaan/kebutuhan lingkup kota, provinsi dan nasional. Strategi Pusat Data produk & jasa kreatif meliputi pengembangan portal pemasaran, promosi, dan etalase internasional.

[IVb] Strategi. Strategi Captive Order kurang lebih serupa dengan government procurement, pemerintah sebagai off-taker, di mana dilakukan identifikasi kebutuhan produk oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang dapat dipenuhi oleh para pelaku dan pengusaha di Sektor Ekraf. Untuk itu, perlu dilakukan klasterisasi produk sekaligus profiling sub-sektor industri kreatif yang dapat memenuhi kebutuhan produk-produk tsb.         

[V] Lembaga. Pengampu Sektor Ekraf diusulkan dalam bentuk UKP-Ekraf dengan piloting yang meliputi hal-hal kewilayahan (desa, kota, dst.), juara/unggulan (baik produk, pelaku maupun kebijakan), kurikulum, pusat data dan kebijakan; masing-masing mengampu tugas & target tertentu dalam jangka waktu yang disepakati.

[VI] Daya Dukung. Pelaksanaan Sektor Ekraf membutuhkan dukungan infrastruktur (dasar & penunjang) dan lintas kementerian dalam fungsi-fungsi koordinasi, fasilitasi, dst., sehingga diperlukan pemetaan keterlibatan K/L dan sektor-sektor terkait.

[VII] Pemangku Kepentingan. Di tahun 2014, telah diidentifikasi 6 (enam) unsur pemangku kepentingan (stakeholders) Sektor Ekraf, yang kini kerap disebut sebagai “helix”. Dalam bagan ini, helix ke-6 adalah Financing Institution, baik perbankan maupun non-perbankan, namun disebut sebagai Aggregator ketika mulai dimunculkan di tahun 2020.

[IX] Usulan Koordinasi. UKP-Ekraf (Unit Kerja Presiden Bidang Ekonomi Kreatif) adalah bentuk kelembagaan yang diusulkan sebagai pengampu Sektor Ekraf, melaporkan langsung ke presiden melalui UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).

=====

Semangat Bandung

Konperensi Asia-Afrika 1955, yang disebut-sebut menginspirasi kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika, yang diingat juga sebagai “Bandung Conference” sehingga mengabadikan nama Kota Bandung sebagai “Ibu Kota Asia-Afrika”, dianggap sebagai tonggak sejarah di mana pertama kalinya 29 negara di Asia dan Afrika bertemu untuk menentukan nasibnya sendiri. Arsip KAA (dokumen, foto dan film) telah ditetapkan sebagai UNESCO Memory of The World sejak tahun 2015. Gedung Merdeka/Museum KAA di Bandung dan beragam artifak di dalamnya menjadi saksi bisu peristiwa penting ini. Tapi gentingnya sejarah menjelang dan setelah KAA berlangsung tidak dapat diperoleh dengan hanya mengunjungi museum atau berdiam di Bandung. Untuk bisa mendalami serunya KAA, sepertinya harus menyimak sendiri dari pelakunya langsung.

Belum lama ini, saya sempat bongkar-bongkar perpustakaan mendiang bapak di Jakarta dan menemukan buku yang tipis tapi sarat semangat, berjudul “Sejarah, Cita-cita dan Pengaruhnya: Konperensi Asia-Afrika Bandung” (1977) yang memuat ceramah Dr. H. Roeslan Abdulgani pada tanggal 26 Oktober 1974 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta.

[Buat saya yang waktu SMP & SMA nggak suka pelajaran sejarah karena isinya hapalan melulu, buku-buku semacam inilah yang berhasil membangkitkan keingintahuan soal sejarah dan tokoh-tokohnya.]

Berhubung sekarang kita sedang menjelang peringatan KAA ke-70, ada baiknya mengupas sekelumit sejarahnya. Berikut ini sebagian kutipan yang menjadi catatan pengingat, betapa pentingnya KAA di kancah dunia, terutama bagi negara-negara yang terlibat.

Konperensi Kolombo (Srilanka, April 1954) yang diprakarsai PM Srilanka Sir John Kotelawala adalah saat Indonesia — saat itu diwakili PM Ali Sastroamidjojo — mengajukan gagasan untuk mengadakan konperensi yang lebih luas dari sekedar 5 negara Kolombo saja (Srilanka, Birma, India, Pakistan, Indonesia), yaitu konperensi antar negara di Asia-Afrika. Padahal tadınya Indonesia nggak diundang ke Kolombo, lho. Tapi Sir John Kotelawala bilang, “However, it was pointed out to me, that Indonesia too belonged to the same cultural area, and that she too had shaken off the shackles of colonialism at about the same time as ourselves, although her masters were different from ours”. Indonesia berada di wilayah budaya yang sama, dan juga baru saja membebaskan diri dari kolonialisme. PM Ali mengusulkan diselenggarakannya Konperensi Asia-Afrika tersebut, karena meskipun di PBB sudah ada konsultasi dan kerja sama antar negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, namun di luar forum PBB tidak ada platform penampung dan mesin penggeraknya. Jadi sama sekali tidak bermaksud untuk membuat suatu “blok”.

Usulan Indonesia ditanggapi dengan skeptis oleh PM lainnya, karena rencana-rencana sebelumnya untuk menyelenggarakan  konperensi serupa had proved abortive, atau mati sebelum dilahirkan. Tapi Indonesia bersikeras, sehingga usulan tersebut menjadi salah satu butir Komunike Konperensi Kolombo. Setelah itu, di Bogor pada akhir tahun 1954, dilakukan pertemuan persiapan KAA. Konperensi Bogor inilah yang memutuskan negara mana saja yang akan diundang, dengan segala pertimbangannya, menjadi total 29 negara: 5 negara sponsor, 12 negara Asia lainnnya, 8 negara Arab, dan 4 negara Afrika (waktu itu hanya 4 negara Afrika yang sudah merdeka).

29 negara yang akan hadir, berarti hampir separuh dari anggota PBB yang waktu itu beranggotakan 60 negara, jadi dinamika KAA ini membelah peta dunia politik internasional. Jan Romein, ahli sejarah internasional, di bukunya “The Asian Century” (1956) menulis demikian, “The Bandung Conference marked the end of an era, the era of European ascendancy”. Pernyataan ini merujuk dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, Konperensi Berlin (1884) di mana terjadi pembagian negara-negara Asia Afrika sebagai tanah jajahan, dan Konperensi Brussel (1927) di mana disuarakan cita-cita persatuan dan kemerdekaan Asia Afrika oleh pemuda dan mahasiswa. Bandung menjadi tempat di mana persatuan tersebut dilaksanakan. Dalam pidato pembukaan KAA, Presiden Sukarno mengingatkan tentang Konperensi Brussel, “I recall in this connection the Conference of the League against imperialism and colonialism, which was held in Brussels almost thirty years ago. At that Conference many distinguished Delegates who are present here today met each other and found new strength in their fight for independence. But that was a meeting place thousands miles away, amidst foreign people, in a foreign country, in a foreign continent. It was assembled there not by choice, but by necessity”.

Jadi, Berlin 1884 adalah simbol menanjaknya Eropa kolonialis dan imperialis yang membagi-bagi Asia Afrika; Brussels 1927 adalah simbol pernyataan pemuda Asia Afrika untuk persatuan dan kemerdekaan; maka Bandung 1955 menjadi simbol terlaksanannya solidaritas Asia Afrika dan terhapusnya noda Berlin!

Kebangkitan Asia Afrika melalui Konperensi Bandung ini membuka mata dan hati dunia Barat yang selalu menganggap remeh dunia AA, demikian pendapat Vera Micheles Dean, seorang guru besar di New York University, melalui bukunya “The Nature of the Non Western World” dalam bab “Land of Bandungia”, “Here is the terra incognita of the 20th century, which is yet to be carefully surveyed and properly mapped by the West. Here is the Land of which we know so little — the land that we might call Bandungia in honor of the first Afro-Asian Conference in history held at Bandung, Indonesia, in April 1955. […] This land of Bandungia is peripatetic”. Bandung itu peripatetic, dinamis, berputar-bergerak.

Sebagai hasil dari desakan Konperensi Bandung, antara 1955-1957, tidak kurang dari 20 negara, yang dulunya selalu menjadi korban perang dingin tidak dapat masuk menjadi anggota PBB, semuanya kemudian dapat masuk karena Semangat Bandung. Akibatnya, dominasi Sovyet dengan vetonya di Dewan Keamanan PBB patah, dominasi Amerika di Majelis Umum dengan 2/3 mayoritasnya pun patah; dan PBB menjadi badan yang juga terdiri dari politik bebas Asia-Afrika dan Amerika Latin yang ikut menentukan jalannya sidang.   

Hans J. Morgenthau, seorang profesor ilmu politik, dalam bukunya “Politics among Nations” menyebutkan bahwa, “The compositions of the majority supporting recommendations of the General Assembly underwent a drastic change with the admission of 20 new members in 1956/1957. This date constitutes a turning point in the history of the UN, closing one phase and ushering in a new one.”

Apa perbedaan antara gagasan Konperensi Bandung 1955 (Dasa Sila Bandung) dan Konperensi Beograd 1961 (non-blok)? Keduanya sama-sama bermaksud meredakan kegentingan internasional sebagai akibat meruncingnya perang dingin; dan mendobrak bipolarisasi dunia dari perang dingin ke multipolar dunia, serta mendorong suasana konfrontasi super power ke arah koeksistensi secara damai.

Namun secara detail, terdapat perbedaan dalam butir-butir komunike kedua konperensi tersebut. Dalam Dasa Sila Bandung, dinyatakan, “respect for the right of each nation to defend itself singly or collectively, in conformity with the Charter of the UN”, yang tidak terdapat dalam Komunike Beogard. Juga, “abstention from the use of arrangements of collective defense to serve the particular interest of any of the big powers”, atau tidak akan menggunakan persetujuan pertahanan kolektif untuk mengabdi kepada kepentingan khusus dari setiap negara besar. Ditegaskan di Bandung bahwa freedom and peace are interdependent, oleh karena itu colonialism in all its manifestations is an evil which should be brought to an end.

Dilihat dari negara-negara yang dilibatkan, kriteria Bandung semata-mata adalah geografis, sementara kriteria Beogard adalah sikap politis tertentu, yaitu politik non-aligned militer dengan protagonis perang dingin. Bandung mempunyai corak kelanjutan sebagai non-white, sedangkan Beogard menitikberatkan pada sikap politis dan mengaburkan garis geografis dan garis warna non-white, sambil sebenarnya memberlakukan garis pemisah antara negara-negara Asia-Afrika yang ikut dalam blok militer super power masing-masing.

Dalam buku ini, Roeslan Abdulgani menyatakan bahwa titik tolak pendekatan Beogard adalah pragmatis kontemporer, sementara Bandung lebih historis filosofis. Semangat Bandung turut menggerakkan beberapa rumusan berbagai keputusan KTT non-aligned selanjutnya.

Faktor apa saja yang menyebabkan suksesnya KAA? (1) Kuatnya dan mendalamnya cita-cita solidaritas Asia Afrika dalam menghadapi dominasi Barat dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti kolonialisme, imperialisme, fasisme, komunisme, dsb.; (2) Situasi dan kondisi sekitar tahun 1954-1955 di mana cita-cita tersebut tumbuh dan berkembang; (3) Bangsa Indonesia sendiri sebagai pemrakarsa dan tuan rumah KAA telah membangkitkan suatu pushing power dan organisational skill yang menjamin suasana kondusif bagi berjalannya konperensi.

Meskipun demikian, bukan berarti seluruhnya berjalan mulus. Tidak sedikit halangan masa itu, seperti jatuhnya pesawat terbang Kashmir Princess yang membawa delegasi RRC di Natuna karena sabotase di Hongkong; situași keamanan di Bandung karena gangguan gerombolan Darul Hikam; sampai habisnya persediaan bensin di Jawa Barat, khususnya Bandung.

Peaceful coexistence antar negara-negara dengan sistem politik, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda adalah yang paling baik di dunia, Peaceful coexistence atas dasar persamaan derajat, keadilan dan kemakmuran, dan keuntungan secara timbal balik, bebas dari penindasan dan ketakutan. Peaceful coexistence adalah inti dari Semangat Bandung!

Catching Up

My previous post is dated August 2024. It is now April 2025 and lots of momentous things have been happening! Here’s the rest of 2024.

On 22-23 August 2024 another round of Connecti:City, an annual International Conference on Creative Economy, took place at Gedung Sate, organized by the West Java Creative Economy and Innovation Committee (KREASI), hosted by the West Java Province. Connecti:City was first held in 2019 as a means to convene on creative hubs, creative economy, and creative city. This event commonly comprises a conference, an exhibition, a launching of the latest PROSPEK (a report on Creative Economy development and opportunities in West Java) that contains the much-awaited West Java Creative Cities Index; lately Connecti:City also held Creative City Dialogue that invited the focal points of UNESCO Creative Cities in SouthEast Asia. In 2024, the theme was “Creative Diplomacy: The Role of Creatives in Driving Impactful Regional Development”, and the sessions were divided into People, Place, Policy. Policy Recommendations as the result of Connecti:City 2024 can be accessed here (downloadable for free). 

 

On 27 August 2024, I shared about “Future Workforce in The Creative Economy: Creative Community Network Roles & Impacts” in a Panel Discussion on “Leaving no one behind: Preparing a skilled workforce in the creative economy”, as a part of a Workshop on Promoting Social Inclusion in the Creative Economy Sector to Accelerate SDGs Achievement in Indonesia, held by the UN Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) and The Ministry of Tourism and Creative Economy (Kemenparekraf). Here I got the chance to meet Putri Ariani, who is globally recognized for her participation in AGT 2023. On stage, she delivered her messages on equality, on being consistent in what we choose, and on spreading positivity in every step we take.

On 7 September 2024, I went to Malacca, Malaysia, for a talk and a workshop titled “Placemaking & Identity: City Branding & Placemaking for Community Resilience” as a series of event called “Vibrant Melaka: Creating A People-Centric Living Space“. Happy to hook up again with Jia-Ping and roam about in a city full of heritage and stories! My stay was too short, so I could only get a glimpse of the city, which got me wanting to explore more. The open night market, renewed river bank, revamped old houses and shops, public parks, museums; all adaptive reuse of existing heritage, powered by design, supporting policy, substantial resources, and leaders’ commitment.  Another good practice for our typical SEA cities.

I don’t recall ever having posted about this here: I (assisted by Amira and Qonita) wrote an essay for an IFACCA Report on Culture as a Public Good: Navigating its role in policy debates, that was launched in July 2024. On 23 September 2024, IFACCA hosted an online discussion on that publication. I’ll make a separate post about this.

The next adventure should also be posted separately! The Global Creative Economy Council (GCEC) made a study trip to Central Asia: Bishkek (Kyrgyzstan), Almaty (Kazakhstan) and Tashkent (Uzbekistan) – where we participated in the 3rd edition of the World Conference on Creative Economy (WCCE), 2-4 October 2024. As a member of WCCE International Steering Committee, I was right away occupied with WCCE matters and ‘duties’. But before arriving in Tashkent, I was fully immersed in an amazing experience, witnessing how the creatives in Central Asia, aptly represented by Daniar (a fellow GCEC member) and his Ololo communities & networks in Kyrgyzstan, struggle and thrive. I wish, one day, our creative practitioners could visit Bishkek and Almaty to experience and learn firsthand how they establish their hubs and conduct their businesses.

After the Central Asia trip, there were momentous events, too, such as the National Coordination Meeting of ICCN in Jakarta, 8-9 October 2024; the National Congress of ADPII in Jakarta, 10-12 October 2024; Bandung Creative Week talk show on Bandung Creative Economy Roadmap at The Hallway Space, 14 October 2024. Then come another big trip: UNESCO Cities of Design Subnetwork Meeting at Asahikawa, followed by an extra trip to Kobe and Nagoya, 20-30 October 2024. Which obviously deserves its own post, too.

 

On 4 November 2024, a sudden call brought me to Bali, to speak about “Indonesia Creative Economy Development Strategy” in a Creative Economy Workshop with Organization of African, Caribbean, and Pacific States (OACPS), held by OACPS and the Indonesia Ministry of Industries. Some materials were prepared by the Ministry of Tourism and Creative Economy, since I was filling in for them, so I only added several slides from my viewpoints as a non-ministry personnel, but as an academia and community member. I was excited, noticing that OACPS members were keen to explore the CE sector and pursue its development within their own contexts.

A busy end of the year. On 8 November 2024 I spoke in the Urban Future Leaders Summit on “Livable Cities: Ways to enhance urban living conditions through intelligent infrastructure, inclusive design, and community-centric approaches” at ITB. On 10 November 2024 I went to Malang, attending their annual FM:IX event and talking about “Active Citizens with Powerful Impact make a Creative City: What It Takes for Bandung to Become A Creative City of Design”. On 15 November 2024 there was an online technical training on CE Development for Sukabumi Regency Government, where I delivered the subjects, “Perkembangan Ekonomi Kreatif Global” & “Perkembangan Ekonomi Kreatif Nasional”.

It was such an honor for me to participate in the CREATIVE APEC 1st International Meeting of Creative Economy on 19 November 2024, where I had an opportunity to share online about “Indonesia Creative Economy Development Strategy: Experiences in promoting the development of the Creative Economy in the APEC Economies”. I prepared a video presentation beforehand, to avoid any tech glitch, which was a great idea since there was also a challenge for me to join the event in real time (our time zones are 24 hours apart). We got connected when I talked in the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Forum, with the theme “Technologies, maker movement and tourism Entrepreneurship in Creative Tourism: Innovation and Technologies in Tourism” in Peru, early June 2024.

On 23 November 2024 there was another National Coordination Meeting of ADPII that was held at Dedato, South Tangerang; on 24 November 2024 I attended the launch of Porter Pamphlet vol.2 at Mbloc Jakarta, which was quite exciting because my graphic diary is a part of that zine, along with other works by distinguished Indonesian authors/ poets/ artists! On  1 December 2024 I appeared in a talkshow on “People and Place: Enhancing Space Quality for Creative Communities” of Festival Gaung Bandung with the theme, “Where Creativity Meets Community”, held by GUNADHARMA, the association of architecture students of ITB; on 6-7 December 2024 I went to Malang again to attend two congresses: ALMI and Ilmuwan Muda Indonesia, where I got a chance to participate in ALMI Knowledge Sharing session on “Culture, Art, Science”. On 12 December 2024, I spoke about “Good Practice in Climate Action in Bandung City of Design UCCN” in an event called “Heritage, Creative Crafts and Lifelong Learning Communities” hosted by Sukhothai in Thailand, a city with three UNESCO titles: UNESCO World Heritage Sites, UNESCO Creative Cities Network, and UNESCO Global Network of Learning Cities. Again, it was such an amazing experience; lots to learn on how living culture and traditions can provide added values, if managed properly. On 13-14 December 2024, ICCN gathered in South Tangerang for the annual ICCF. In this occasion, ICCN launched a book “Retrospektif Kota Kreatif” and a manifesto for “Culture-Based Creative Economy Sector Development for Sustainable Development”.

 

There’s a first time for everything. In my case, it’s doing a podcast. On 20 December 2024, I was asked by our (then) Dean of the Faculty of Art & Design, Dr. Rikrik Kusmara, to have a recorded conversation with our elected rector, Prof. Tatacipta Dirgantara. It turned out to be fine; I’ve worked with him and his faculty (Mechanical and Aerospace Engineering), so the talk went smoothly. It even seemed that we needed more time to further explore his stances, ideas, and concrete plans for our campus!

Well, these pretty much summed up the rest of 2024. Will have to update faster for 2025!

Urban Games: The City as A Playground

Bahasan tentang Urban Games sebenarnya sudah beberapa kali saya angkat dalam beberapa kesempatan. Ulasan tentang Urban Games ini bahkan pernah menjadi bagian dari laporan riset dari negara-negara Brazil, Chile, Kolombia, Ekuador, Mesir, Kenya, India, Indonesia, Afrika Selatan mengenai informal Economy and Culture in The Global South  yang dilakukan oleh Global Creative Economy Council di tahun 2021 (mengenai Urban Games, dapat diakses di tautan berikut: https://medium.com/informal-economy-in-the-global-south/the-city-as-a-playground-841aa132ffb7). Tulisan kali ini untuk merekap sedikit, terutama dari forum-forum di tahun 2024 ini: United Cities and Local Governments (UCLG) Leading Cities Workshop di Jinju, Korea, dan pada Panel Tematik di UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Conference di Braga, Portugal.

Kegiatan di Jinju, yang adalah juga UCCN City of Crafts & Folk Art sejak 2019, berlangsung pada tanggal 13 Juni, dalam skema Culture 21 PLUS UCLG di mana Jinju menjadi salah satu Leading Cities yang menerapkan toolkit for Cultural Rights in Cities and Communities tsb. Jinju fokus pada pemuda, dan berencana mengaktivasi beberapa agenda pendidikan dan kreativitas bagi pengembangan kota. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan, pejabat dan pendidik di perguruan tinggi, aktivis dalam bidang pendidikan termasuk vokasi, dsb., yang semuanya dikoordinasi oleh Prof. Byung-Hoon Jeong, yang juga focal point Jinju untuk UCCN. Di forum ini, paparan berjudul “The City as A Playground: Urban Games for Regeneration and Resilience” memuat pendekatan dan praktik Bandung sebagai Kota Desain UCCN, lalu fokus pada urban games sebagai salah satu wahana yang mewadahi kebutuhan generasi muda Bandung untuk berinteraksi dan berkontribusi kepada kotanya secara empatik, produktif, sekaligus menyenangkan. Berikut sebagian dari paparan tersebut.

Urban game dapat dirancang sesuai dengan isu perkotaan yang direspons, dan kesesuaian gameplay dengan segmen (peserta/pemain) sasaran. Dalam eksekusinya, permainan memberikan pengalaman bagi para pesertanya, namun sedapat mungkin juga menghasilkan purwarupa solusi dari isu kota yang diangkat. Setelah permainan selesai, hasilnya dapat berlanjut menjadi feedback atau masukan bagi isu tersebut, baik dalam bentuk program lanjutan, bahkan regulasi dan kebijakan.

Beberapa urban games yang pernah dilakukan sebagai kolaborasi Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan beberapa komunitas mitra, seperti EcoEthno, Sahabat Kota, Pustakalana, dan banyak lagi, dengan mengangkat isu tertentu seperti ruang publik, kampung kota, skenario masa depan, dsb. Luaran dari kegiatan ini disesuaikan dengan tujuan awal ketika permainan dirancang, dapat berupa promosi taman dan museum, model kota masa depan, hingga purwarupa solusi permasalahan kota.

Beberapa permainan sebagai contoh di sini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kembali kota melalui budaya pusaka dan kulinernya; (2) mempromosikan bisnis mikro/lokal sekaligus mengangkat isu ekonomi informal dan inklusif; (3) merawat sensitivitas dan empati terhadap kota dengan memanfaatkan TIK dan media sosial; serta (4) menyediakan ruang belajar dan akses keterlibatan sejak dini untuk berkontribusi kepada kota.

Pada kerangka kerja ini (Hexa Helix stakeholders dan tahapan Connect-Collaborate-Commerce/Celebrate), dipetakan prosedur urban games secara umum, yang dapat menjadi rujukan bagi terciptanya permainan-permainan selanjutnya.

Dalam materi presentasi di Thematic Panel UCCN, ditambahkan satu slide berikut, yang memaparkan dampak urban games terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui pembangunan infrastruktur sosial.     

Harapannya, intervensi terhadap kota oleh para kaum muda dalam lintas komunitas/ stakeholders dengan cara yang menyenangkan (playful) dan memikat (engaging) melalui Urban Games dapat terus diaktivasi dan dikembangkan, demi melaksanakan iterasi solusi perkotaan dan menciptakan purwarupa inovatif yang berdampak nyata dan terukur. Sebab inilah esensi sebuah perkembangan kota kreatif sebagai entitas organik, seperti halnya pertumbuhan manusia kreatif: terus bermain, berani mencoba, mencipta dan berbagi solusi bersama.       

=====

Berikut beberapa post dan video urban games di Bandung: Riung Gunung: children as co-designers

 

Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Regeneratif

Awal Juni lalu, saya mewakili pihak non-pemerintah Indonesia dalam forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) bertema “Technologies, maker movement and tourism Entrepreneurship in Creative Tourism: Innovation and Technologies in Tourism”, Sesi III dalam Co-Creation Forum: Impact of Creative Economies on the Future of Tourism in the APEC region. Kabarnya, ini adalah satu dari sangat sedikit forum APEC yang mengangkat subyek Ekonomi Kreatif dan Pariwisata, diselenggarakan di Cusco, Peru, pada tanggal 5 Juni 2024.

*Semua yang mengikuti Instagram saya mungkin ingat bagian heboh dari perjalanan ke Peru ini: drama koper yang tak kunjung tiba. Bahkan setelah saya kembali ke Indonesia, koper itu baru menyusul pulang beberapa hari setelahnya. Tapi ini cerita untuk di lain kali, sekarang kembali pada Forum APEC…

Berikut ini paparan yang disampaikan dengan durasi 10 menit, mengenai Ekonomi Kreatif dan Pariwisata.

Untuk menjaga relevansi bahasan antara kedua sektor tersebut, di awal disampaikan kutipan Presiden Indonesia dalam APEC Leaders Informal Dialogue di Bangkok, 2022, yang menyebutkan bahwa “Ekonomi Kreatif adalah sektor masa depan dan pilar pertumbuhan inklusif”. 

Untuk menegaskan konteks, disampaikan juga definisi Ekonomi Kreatif menurut UU di Indonesia (2019), sebagai “perwujudan nilai tambah dari Kekayaan Intelektual yang berasal dari kreativitas, berbasis pusaka budaya, ilmu, dan/atau teknologi”; serta referensi dari OECD (2014), “industri kreatif dapat menstimulasi pertumbuhan pariwisata dengan menyediakan konten kreatif bagi tourism experiences, dengan mendukung pendekatan-pendekatan inovatif untuk pengembangan pariwisata”.

Slide ini mencoba menggambarkan spektrum destinasi pariwisata, dari yang bersifat sangat alami/hampir tanpa sentuhan tangan manusia, hingga yang bersifat buatan secara keseluruhan/dalam sebuah lingkungan binaan (built environment). Porsi dan bentuk intervensi sektor Ekraf pun berbeda-beda, namun tentu saja perlu dipertimbangkan dampak dari kegiatan dua sektor tersebut — tidak saja secara berkelanjutan (sustainable), atau menjaga kualitas wilayah sesuai dengan kondisi semula; namun juga secara regeneratif, atau meningkatkan kualitas kondisi wilayah dan seisinya, sehingga membaik dengan adanya intervensi aktivitas pariwisata dan ekonomi kreatif.   

Dalam konteks tersebut, terdapat irisan besar antara Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Regeneratif dalam menjawab tantangan SDG. Kedua sektor tersebut sama-sama memiliki purpose, yang kerap muncul dalam bentuk idealisme sebuah kegiatan; juga berupaya memberi nilai tambah, bahkan penciptaan nilai; melibatkan komunitas, termasuk masyarakat setempat;  menjalin hubungan sinergis dengan para pihak (stakeholders) yang berbeda-beda; serta memiliki kinerja yang terukur, agar dapat selalu mengevaluasi dan melakukan perbaikan di masa mendatang.

Berikut ini disampaikan contoh Ekonomi Kreatif x Pariwisata pada kondisi destinasi yang berbeda. Pertama adalah Samsara Living Museum di Karangasem, Bali, yang sarat kondisi alami dan praktik-praktik tradisional, budaya adat masyarakat setempat. Intervensi Ekraf berbasis budaya tentu mendominasi destinasi tersebut, agar tetap menjaga harmonisasi antara alam dan tradisi yang telah berlangsung selama sekian generasi. Intervensi tersebut hadir dalam bentuk, antara lain, penyediaan paket-paket pengalaman aktivitas tradisi bagi para pengunjung, pengemasan produk/komoditi lokal sehingga mendapatkan konsumen (off taker) yang dapat mengapresiasi secara pantas, dan sebagainya.

Contoh kedua adalah Urban Games oleh Bandung Creative City Forum (BCCF), sebuah kegiatan yang menawarkan destinasi pariwisata alternatif di perkotaan yang minim potensi alami. Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan kota melalui budaya kuliner, (situs) pusaka & bersejarah, serta beragam bisnis mikro/keluarga dalam narasi permainan ‘berburu harta karun’. Permainan ini melibatkan lintas komunitas kreatif, bahkan yang menaungi para difabel berbakat, serta mempromosikan berbagai usaha mikro bidang kuliner dan kriya yang selama ini telah memberi warna dan karakteristik pada Kota Bandung. Permainan ini juga dapat dirancang dengan fokus-fokus tertentu, seperti Ekologi, Ekonomi dan Sosial-Budaya; juga dapat disesuaikan dengan profil para pesertanya (keluarga, mahasiswa, siswa sekolah, dsb.).

HutaNMenyala, sebuah wahana immersive experience di Tahura, Bandung, oleh SembilaNMatahari, merupakan contoh di mana intervensi Ekonomi Kreatif memberi nilai tambah pada sebuah destinasi dalam konteks pariwisata pasca pandemi. Narasi dan visualisasi HutaNMenyala diangkat dari elemen dan tradisi lokal; produksinya dilakukan oleh para pelaku muda dalam subsektor desain, animasi, film, literatur, dsb.; operasionalnya melibatkan masyarakat setempat sebagai pemandu hutan dan usaha kuliner lokal; dan banyak lagi dampak positif dari intervensi ekraf di kawasan ini yang bersifat regeneratif bagi lingkungan dan penduduk lokal, bila mendapatkan dukungan untuk berlanjut secara kondusif.

Pemahaman terhadap spektrum destinasi “alami x binaan” ini oleh para penyusun kebijakan dan otoritas, juga operator dan pengelola destinasi, menjadi kunci untuk terciptanya sektor pariwisata yang tidak hanya berkelanjutan, namun juga regeneratif.      

Sebagai penutup ringkas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Sektor Ekraf berpotensi besar untuk menambah nilai pada sebuah destinasi, melalui dampak-dampak sosial, lingkungan dan ekonomi yang bersifat regeneratif; (2) Sektor Pariwisata mendorong eksplorasi beragam ekspresi produk dan jasa kreatif dalam ekosistem Ekonomi Kreatif; (3) Keberhasilan sinergi antara sektor Ekraf dan Pariwisata memerlukan pemahaman menyeluruh terhadap konteks lokal, dukungan kebijakan dan inovasi, serta kolaborasi erat antar seluruh pihak.

 

The Art of City Making

I came across this link in LinkedIn, a recording of NUS Cities Lecture Series dated 27 March 2024 with Charles Landry, “Where next with the Art of City Making?”. As commonly occurs when I have tight deadlines, of course this kind of distraction successfully diverted my focus as I watched the session right away.

To put in context; Charles came to Bandung, West Java, Indonesia, in 2008 as a keynote speaker in the 2nd Arte-Polis, an international conference on creative communities and the making of place, held biannually by the Architecture Department of Institut Teknologi Bandung (ITB). It’s the same year when (later named) Bandung Creative City Forum (BCCF) held the first Helarfest, a creative communities festival. It was when BCCF launched a community-initiated city branding “.bdg” and slogan, “an emerging creative city”. Helarfest became the first milestone of many that confirmed the significant roles of creative individuals and communities in Bandung as powerful city changers and city shapers. I met Charles again in 2014 at the Bellagio Center, Lake Como, Italy. Together, within a group of city makers & thinkers, we had days-long working sessions on the resilience and livability of complex urban systems. In 2016, we met again in Östersund, Sweden, where Charles delivered a keynote speech during the Annual Meeting of UNESCO Creative Cities Network (UCCN). That was the 1st time for Bandung to attend the Meeting, after joining UCCN as a City of Design in December 2015. Afterwards, there were various occasions: a dialogue on Placemaking in Helarfest 2020, the Creative Bureaucracy conference, and so on.

Every interaction with Charles has always been intriguing; confirming floating thoughts and sparking new ones. Therefore I took no delay in watching this video. Here are a few things that caught my attention.      

  1. Culture matters: it’s like the air we breathe, you forget that it’s there. [It’s very much embedded in the way we conduct our lives that we take it for granted. Culture, with all its assimilation and evolution, should be recognized as a determining factor of how we organize society.]
  2. Creative matters: the first thing on “creativity” is about curiosity. However, no city has a strategy to generate curiosity. [True. A “creative city” should not only brag about its citizens’ achievements in creative fields, but — if it believes that creativity actually drives urban development and innovation — it should be committed to creating an environment that supports such playful yet productive “curiosity”.]
  3. Are we giving young people the opportunity to shape the city? [How much space do we allow them to participate in decision making? How far do we let them influence a cityscape?]
  4. Some cities are OK, some are not. How come? Leaderships! [It does require top-down commitments to establish substantial Changes in a city, to set the priorities.]
  5. Revaluing value beyond GDP. [This notion has been discussed in many platforms, particularly regarding indexes of (creative) cities, and should always be exercised and improved. Indonesia Creative Cities Network (ICCN) has established the “10 Principles of Indonesia Creative Cities” in 2015 and has piloted a Creative City Index dashboard in 2016, the West Java Creative Economy and Innovation Committee (KREASI) has been publishing a Creative City Index annual report for all 27 cities/regencies in West Java Province since 2020; encouraging local governments to improve the 10 determining variables of the index.]

The last part of the lecture offers a list of points, that “Great livable creative resilient culturally vibrant places are:” [We can consider these as a checklist, how do our cities perceive these points? Do we have concrete examples?]

  • Places of anchorage & distinctiveness
  • Places of blending the old & the new
  • Places of nourishment & nurture
  • Places of affordability & access
  • Places of diversity & inclusiveness
  • Places of communication & connection
  • Places of critical thinking & reflection
  • Places of aspiration & inspiration
  • Places of serious fun & celebration
  • Places of bending the market to big picture purposes

The lecture took about 48 minutes, followed by a Q&A session for about an hour. Interesting issues were brought up. Including the one about “brand” for cities: does it encourage superficial labelling, or does it really reflect the personalities of a city? Go on and check it out yourself — you might find different angles, depending on your interests. Thanks, Charles, and thanks to NUS College of Design & Engineering for making the lecture available for public!

Transisi Ekraf Indonesia?

Sektor Ekonomi Kreatif (Ekraf) di Indonesia sedang berada di persimpangan nomenklatur menjelang periode pemerintahan baru di akhir 2024. Adalah satu hal untuk merancang skenario ekraf di masa mendatang, dengan peta jalan berdasarkan seluruh (rekomendasi) kebijakan yang telah dihasilkan sebelumnya; namun adalah hal lain, bila dalam praktiknya nanti, terdapat berbagai penyesuaian menurut struktur pemerintahan yang baru. Apakah Ekraf akan tetap digandeng dengan Pariwisata, atau berdiri sendiri? Atau digabung dengan sektor lain, seperti Budaya, Pendidikan, Ekonomi, bahkan Digital?

19 Maret 2024 lalu, Kemenparekraf menggelar FGD Penyusunan Rancangan Teknokratik Rencana Strategis Kemenparekraf/Baparekraf 2025-2029. Sebagai salah satu narasumber, saya diberi tema “Pengembangan Ekonomi Kreatif melalui Kota Kreatif dan Klaster Kreatif”. O ya, sebelum FGD ini berlangsung, Indonesia Creative Cities Network (ICCN) turut memberikan masukan bagi renstra tsb., sehingga materi ini kurang lebih merupakan elaborasi dari masukan ICCN yang juga dipertajam ke hal-hal seputar Kota Kreatif. Berikut ini beberapa butir paparan yang disampaikan.

1 Kepemimpinan Indonesia dalam Sektor Ekonomi Kreatif Global | Hingga kini, Indonesia masih memegang posisi tawar yang tinggi dalam sektor Ekraf skala global, terutama karena reputasinya sebagai inisiator World Conference on Creative Economy (WCCE), Friends of Creative Economy (FCE), dan Resolusi PBB No. A/78/459 tahun 2023 tentang Promosi Ekraf untuk Pembangunan Berkelanjutan yang berkonsekuensi pada pelaporan kinerja ekraf secara berkala (setiap dua tahun, mulai 2026). Untuk dapat menjaga posisi tersebut, diperlukan kepemimpinan yang komprehensif, serta pemahaman, pengawalan dan keterkaitan isu-isu ekraf dari satu platform/forum ke platform/forum yang berikutnya. Diperlukan juga sebuah Centre of Excellence di Indonesia yang benar-benar berperan/ berfungsi sebagai pusat keunggulan Ekraf terutama dari karakteristik ekraf Indonesia dan perspektif Global South.

2 White Paper & Rekomendasi Kebijakan Ekraf Skala Global | Hingga kini, Indonesia telah banyak terlibat dalam penyusunan white paper dan rekomendasi kebijakan Ekraf skala global dalam berbagai platform/forum (G20, ADBI, WCCE, Connecti:City, dsb.). Dokumen-dokumen tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda, namun semuanya mengangkat kata-kata kunci kepentingan Indonesia, atau sudut pandang Global South, sehubungan dengan Ekraf sebagai strategi pembangunan: SDG, pekerja informal, intermediary/agregator, inklusivitas, transformasi digital, pengukuran/index, inovasi berbasis budaya, dan penemuan masa depan.

3 Roadmap Ekraf Global — Agenda Ekraf Nasional | Dari semua rekomendasi kebijakan, peta jalan, dll. yang telah dihasilkan, seluruhnya menyediakan opsi arahan sesuai dengan prioritas; apakah Indonesia puny agenda Ekraf utama, adakah sudut pandang negara bagian Bumi Selatan, atau isu wilayah ASEAN yang perlu diangkat? Sehingga dipnerlukan adanya peta jalan, rencana strategis, rencana aksi dan indikator kinerja ekonomi kreatif nasional yang dapat menjadi rujukan dan diterapkan secara sistematis oleh pemerintah daerah.

4 Tata Kelola Ekraf di Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota | Saat ini terdapat beberapa K/L yang kewenangannya saling tumpang tindih dengan Kemenparekraf, seperti Kementerian BUMN untuk daerah pariwisata, Kemendikbudristek untuk situs-situs bersejarah, KemenKopUKM untuk hasil kerajinan, dll. Harus ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas agar cakupan sasaran program jadi semakin luas dan indeks kinerja setiap K/L terkait bisa diukur.

5 Ekonomi Kreatif, Kota Kreatif, Klaster Kreatif | kota, ICCN telah memiliki kerangka kerja & panduan program/kegiatan Kota Kreatif, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota/jejaringnya, sehingga tiap kabupaten/kota di Indonesia dapat menerapkannya sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah. Dalam konteks skala kota, komitmen terhadap SDG mengacu pada New Urban Agenda; sementara Ekraf dilihat sebagai sebuah ekosistem, terutama untuk memetakan peran pemerintah, sesuai dengan UU Ekraf dan Perda Ekraf; dan kerangka kerja ICCN (10 Prinsip Kota Kreatif, Catha Ekadasa, Hexa Helix) menjadi acuan sistematika dalam upaya menganalisis data untuk Indeks Kabupaten/Kota Kreatif. Perhitungan indeks ini telah dipraktikkan setiap tahunnya di Provinsi Jawa Barat sejak 2020.

6 Kota Kreatif v 1.0 x Kota Kreatif v 2.0 | Mengutip Prof. Andy Pratt, UNESCO Chair of Global Creative Economy, mengenai Kota Kreatif versi 2.0: kota-kota kreatif versi pertama adalah yang mengangkat konteks globalisasi, place marketing/branding, dan menyelenggarakan aktivitas budaya. Namun kota kreatif versi kedua, adalah yang menjembatani perbedaan-perbedaan, memiliki sistem keterhubungan, serta cenderung berkolaborasi untuk mewujudkan “Kota Kreatif untuk Dunia”. Pergeseran paradigma ini pun berpengaruh pada konsep “Ekonomi Kreatif”, yang tadinya merupakan model Industri Budaya dan Kreativitas dalam ranah ekraf itu sendiri, kini memperluas lingkupnya menjadi perwujudan barang & jasa budaya, serta terjalinnya jejaring berdasarkan makna dan penciptaan nilai dalam konteks Ekonomi Sirkular.

7 Menuju Institusionalisme Baru dalam Tata Kelola Ekonomi Kreatif | Masih berkaitan dengan “kota kreatif versi 2.0”, dengan model kelembagaan yang baru, maka diperlukan pula tata kelola yang sesuai. Antara lain dengan menerapkan perantara (intermediation) dan dukungan untuk para produsen kebudayaan, peningkatan kapasitas dalam hal dukungan strategis, mengembangkan praktik-praktik kerja lintas bidang, dsb.

8 Evaluasi Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UCCN) 2024 | Mengacu pada hasil evaluasi UCCN 2024, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi refleksi bagi kota-kota anggota UCCN di Indonesia, sekaligus perlu diantisipasi dalam penyelenggaraan “kota kreatif” di masa mendatang. Berkut ini butir-butir rekomendasi yang diajukan:

  • Perlu penyelarasan konsepsi Kabupaten/Kota Kreatif ICCN, Kota Kreatif UNESCO, KaTa Kreatif Kemenparekraf
  • Perlu mekanisme pendukungan bagi para focal point UCCN di Indonesia dari kementerian terkait dan KNIU (koordinasi tingkat nasional, mobilisasi, promosi, laporan berkala, dsb.)
  • Perlu benchmarking unit/lembaga pengampu “kota kreatif” dengan merujuk pada existing unit/agency di kota-kota UCCN di luar Indonesia (misalkan: DesignSingapore Council, Creative Economy Agency Thailand)
  • Perlu koordinasi khusus dan skema koleksi & analisis data ekraf Indonesia secara komprehensif; terutama dari perspektif karakteristik ekraf Indonesia/Global South, terkait persiapan laporan berkala mulai 2026 (Resolusi PBB No. A/78/459)
  • Website KNIU perlu dilengkapi dengan laman tentang kota-kota UCCN di Indonesia; seleksi di tingkat nasional belum melibatkan masukan dari para focal point UCCN di Indonesia untuk mendapatkan update terbaru mengenai konten dan proses yang berlaku di UNESCO    

Ekonomi Kreatif adalah sektor yang dinamis, sangat kontekstual, mengikuti perkembangan era yang sarat disrupsi, sehingga transisi nomenklaturnya pun akan selalu terjadi. Paparan ini adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi kondisi mendatang, agar kita selalu siap dengan opsi skenario yang dapat membawa sektor Ekraf untuk tetap relevan dan unggul dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Mari lanjut berkarya!


Tautan ke dokumen Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388996?posInSet=3&queryId=N-eb11463d-4573-442b-b667-ff7fee229946

Tautan ke dokumen Ringkasan Evaluasi UCCN 2024: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000388645