Bahasan tentang Urban Games sebenarnya sudah beberapa kali saya angkat dalam beberapa kesempatan. Ulasan tentang Urban Games ini bahkan pernah menjadi bagian dari laporan riset dari negara-negara Brazil, Chile, Kolombia, Ekuador, Mesir, Kenya, India, Indonesia, Afrika Selatan mengenai informal Economy and Culture in The Global South yang dilakukan oleh Global Creative Economy Council di tahun 2021 (mengenai Urban Games, dapat diakses di tautan berikut: https://medium.com/informal-economy-in-the-global-south/the-city-as-a-playground-841aa132ffb7). Tulisan kali ini untuk merekap sedikit, terutama dari forum-forum di tahun 2024 ini: United Cities and Local Governments (UCLG) Leading Cities Workshop di Jinju, Korea, dan pada Panel Tematik di UNESCO Creative Cities Network (UCCN) Annual Conference di Braga, Portugal.
Kegiatan di Jinju, yang adalah juga UCCN City of Crafts & Folk Art sejak 2019, berlangsung pada tanggal 13 Juni, dalam skema Culture 21 PLUS UCLG di mana Jinju menjadi salah satu Leading Cities yang menerapkan toolkit for Cultural Rights in Cities and Communities tsb. Jinju fokus pada pemuda, dan berencana mengaktivasi beberapa agenda pendidikan dan kreativitas bagi pengembangan kota. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan, pejabat dan pendidik di perguruan tinggi, aktivis dalam bidang pendidikan termasuk vokasi, dsb., yang semuanya dikoordinasi oleh Prof. Byung-Hoon Jeong, yang juga focal point Jinju untuk UCCN. Di forum ini, paparan berjudul “The City as A Playground: Urban Games for Regeneration and Resilience” memuat pendekatan dan praktik Bandung sebagai Kota Desain UCCN, lalu fokus pada urban games sebagai salah satu wahana yang mewadahi kebutuhan generasi muda Bandung untuk berinteraksi dan berkontribusi kepada kotanya secara empatik, produktif, sekaligus menyenangkan. Berikut sebagian dari paparan tersebut.
Urban game dapat dirancang sesuai dengan isu perkotaan yang direspons, dan kesesuaian gameplay dengan segmen (peserta/pemain) sasaran. Dalam eksekusinya, permainan memberikan pengalaman bagi para pesertanya, namun sedapat mungkin juga menghasilkan purwarupa solusi dari isu kota yang diangkat. Setelah permainan selesai, hasilnya dapat berlanjut menjadi feedback atau masukan bagi isu tersebut, baik dalam bentuk program lanjutan, bahkan regulasi dan kebijakan.
Beberapa urban games yang pernah dilakukan sebagai kolaborasi Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan beberapa komunitas mitra, seperti EcoEthno, Sahabat Kota, Pustakalana, dan banyak lagi, dengan mengangkat isu tertentu seperti ruang publik, kampung kota, skenario masa depan, dsb. Luaran dari kegiatan ini disesuaikan dengan tujuan awal ketika permainan dirancang, dapat berupa promosi taman dan museum, model kota masa depan, hingga purwarupa solusi permasalahan kota.
Beberapa permainan sebagai contoh di sini bertujuan untuk: (1) memperkenalkan kembali kota melalui budaya pusaka dan kulinernya; (2) mempromosikan bisnis mikro/lokal sekaligus mengangkat isu ekonomi informal dan inklusif; (3) merawat sensitivitas dan empati terhadap kota dengan memanfaatkan TIK dan media sosial; serta (4) menyediakan ruang belajar dan akses keterlibatan sejak dini untuk berkontribusi kepada kota.
Pada kerangka kerja ini (Hexa Helix stakeholders dan tahapan Connect-Collaborate-Commerce/Celebrate), dipetakan prosedur urban games secara umum, yang dapat menjadi rujukan bagi terciptanya permainan-permainan selanjutnya.
Dalam materi presentasi di Thematic Panel UCCN, ditambahkan satu slide berikut, yang memaparkan dampak urban games terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui pembangunan infrastruktur sosial.
Harapannya, intervensi terhadap kota oleh para kaum muda dalam lintas komunitas/ stakeholders dengan cara yang menyenangkan (playful) dan memikat (engaging) melalui Urban Gamesdapat terus diaktivasi dan dikembangkan, demi melaksanakan iterasi solusi perkotaan dan menciptakan purwarupa inovatif yang berdampak nyata dan terukur. Sebab inilah esensi sebuah perkembangan kota kreatif sebagai entitas organik, seperti halnya pertumbuhan manusia kreatif: terus bermain, berani mencoba, mencipta dan berbagi solusi bersama.
Shanghai, Kota Desain UNESCO sejak 2010, melalui Shanghai UNESCO Creative City Promotion Office, kembali menggelar World Design Cities Conference (WDCC) secara luring, setelah sebelumnya dilaksanakan secara bauran di 2022. Dalam rangkaian acara WDCC ini terdapat UNESCO Creative Cities Summit, kali ini dengan tema Design Our Future Cities, yang diadakan pada tanggal 26 September 2023.
Pembicara kunci dalam summit tersebut adalah Denise Bax, Chief of Communication, Cities and Events Unit; UNESCO, Secretary of the UNESCO Creative Cities Network; dilanjutkan dengan tayangan video sambutan dari beberapa wakil/wali Kota Kreatif UCCN: Bilbao, Bangkok, Asahikawa, Braga, Graz, Turin. Setelah itu, masuk ke sesi Expertise Sharing, di mana saya membawa topik “Connectivity Matters: scenarios for future creative cities”. Inti dari paparan ini, kurang lebih adalah, kalau sudah jadi “kota kreatif”, lalu selanjutnya bagaimana? Didahului dengan argumen berupa frameworks “kota kreatif” dan “indeks kota kreatif” versi ICCN, serta implementasi indeks pada 27 kabupaten/kota di Jawa Barat oleh KREASI Jabar sejak 2020, sebagai penutup paparan ini mengajukan tiga preposition terkait skenario kota kreatif di masa mendatang.
Creative City is about connectivity of all relevant resources and stakeholders; an implementation of Creative Economy at the city level. // Kota Kreatif adalah tentang konektivitas dari seluruh sumber daya dan pemangku kepentingan terkait; merupakan implementasi dari Ekonomi Kreatif pada tingkat kota.
Measurable variables are designated to constitute a “creative city”; their values determine the position and roles of the city within the Creative Economy Ecosystem. // Variabel-variabel yang dapat diukur ditujukan untuk mendefinisikan “kota kreatif”; nilai-nilainya menentukan posisi dan peran sebuah kota dalam Ekosistem Ekonomi Kreatif.
Formulating scenarios for Future Creative Cities requires visions of human-centered cities and a comprehension of the Creative City Index. // Merumuskan skenario untuk Kota Kreatif Masa Depan memerlukan visi dari kota yang berpihak pada manusia dan pemahaman terhadap Indeks Kota Kreatif.
Di luar acara summit, kami, delegasi anggota UCCN, berkesempatan untuk mengunjungi venue pameran, yang hampir seluruhnya menampilkan desain produk bermuatan teknologi (digital dan kecerdasan buatan) termutakhir, namun dengan fungsi yang dekat dengan keseharian manusia, sambil masih mengangkat SDA lokal dan budaya. Peserta pameran terdiri dari perusahaan besar maupun kecil, hingga perguruan tinggi dengan karya-karya mahasiswanya.
Dari kunjungan singkat ini, terlihat bahwa sepertinya sekarang Cina bisa berjalan dan berkembang sukses, tanpa tergantung pada negara lain. Seluruh lini kebutuhan hidup tersedia dengan layak. Selama di sana, WhatsApp, GoogleMap, dan apa pun produk piranti lunak yang biasanya kita pakai di sini, tidak bisa berfungsi lancar. Mereka tidak perlu impor teknologi, karena tercukupkan dengan karya bangsanya sendiri. Ini salah satu bukti terbaik tentang kedaulatan negara.
ini Bandung!
Dengan Tipsukon, Focal Point Bangkok
Dengan Denise Bax, UNESCO
Sejak acara pembukaan resmi, summit, pameran, hingga kunjungan ke simpul-simpul kreatif & revitalized heritage spaces, Shanghai menunjukkan kesadaran dan keseriusan pemerintah, lembaga pendidikan dan industri/swasta dalam mendukung proses litbang demi tercapainya inovasi, industrialisasi untuk bersaing, dan apresiasi terhadap “desain” dalam arti solusi, penambahan nilai melalui teknologi dan Kekayaan Intelektual, dan kebanggaan sebagai bangsa pencipta/produsen yang mengejar kemandirian. Kepingin desain Indonesia maju seperti ini? Banget! Syaratnya? Sinergi antar pihak yang diperkuat regulasi, dan benar-benar harus dijalankan dengan komitmen tinggi, tanpa korupsi.
World Design Organization (WDO) held the World Design Assembly in Tokyo, of which included a Design Conference on October 28, 2023. The theme is “Design Beyond“, with the background as quoted from the invitation signed by Kazuo Tanaka, Chairperson, Executive Committee World Design Assembly Tokyo 2023, as follows.
Design has progressed along with the development of the worldʼs industries and economies over the past 100 years. However, it cannot be denied that humanityʼs endless desires have contributed to serious damage to the global environment. In addition, the coronavirus disaster has rapidly accelerated the digitalization of everyday life. Between humanity and digital technology, the role that design is expected to play is facing a major shift. What goal should design aim for in order for humanity to live as human while caring for the global environment? Further, what can design do in order to achieve digital technology that allows humanity to flourish instead of being dehumanized by digital technology? Setting 4 sub themes such as Humanity, Technology, Planet, and Policy, we will explore the role of design “beyond” with various people in the design industry.
I was invited to participate in the Planet x Design session, to give a talk regarding “The Possibility of the Design for Climate change”. Beforehand, all panelists were expected to send a short essay on the subject, and here I share mine.
With Eisuke Tachikawa from WDO and Daijiro Mizuno, the session chair
With Dawn Lim, DesignSingapore Council.
Pak Neil El Himam, Deputy for Digital & Creative Industries, MoTCE, a presenter in the Policy panel.
With the session chair and all panelists.
=====
View from the stage
WORLD DESIGN ASSEMBLY 2023 — PLANET | Dr. Dwinita Larasati, M.A.
Not long ago, but seemingly in another life time, the world suddenly had to come to a pause. The occurrence was unprecedented; therefore, at the beginning, nobody knew how to respond, and chose isolation as the safest solution. Households, cities, and countries had to survive within their own means, while attempting recovery. A couple of years after, the situations are mostly under control. The world is ready to push the “Play” button — but how do we proceed, after such significant experience? What did the circumstances teach us about priorities, and — in the context of this session — how do designers contribute to the new humanity narratives for “normal”?
The scope of this discussion would include the phenomena that raised our awareness about how our surrounding environment could actually “heal”, or change for the better, once human activities were forced to come to a halt; about the acceleration of digital technology as the inevitable means of communication, of maintaining social life, of all essential interaction, including the issues of unequal access in many places; about the core needs of humankind, who were forced to give up their “extras” and live within their basic necessities?
The discussion could continue to the discoveries related to the circumstances, countless businesses have faced their demise due to the drastic change of production and consumption activities, but particular kinds of businesses were identified to be thriving and gaining multiple profits. This may be seen as an indicator for priorities, that are shifted towards, among others, healthy lifestyles, preference to organic food and beverage, physical and mental wellbeing, digital transformation, and all factors that support them.
Another remarks may lead to the issues of a change of attitudes and responds towards daily activities. An obvious one is mobility, when being in a crowd in a public transportation is considered as posing a risk to your own health, you would opt to go back to move around in your private motored vehicle. Another one is eating habit, when the trends of slow food and home cooking become too tedious due to difficulties in shopping and interacting with your usual grocers, you would prefer having cooked meals delivered to your house, It is quite practical to order and pay through a digital application, but it has been causing a sharp increase to the number of food package waste.
If we return to the questions, “How do we proceed?”, and “How do designers contribute?”, perhaps we agree that we would rather not go back to the pre-pandemic conditions. The “Pause” moment actually provided us time and space to redefine how humankind works. Designers are among a few professions who should possess more ability to envision the future, fuelled by their skills and empathy. In doing so, designers realise that they should always synergise with other professions in order to turn their design into reality, and to bring positive impacts.
Therefore, this discussion will also include what designers, particularly in Indonesia, tend to create post-pandemic, and how design is taught with related concerns about a future that can accommodate the wellbeing of all living creatures on earth. Considering the contexts of the part of the world where natural resources are highly diverse, and young people dominate the demography, but with challenges of natural disasters, inequality, and so on, designers should be able to come up with ideas and prototypes that support inclusivity.
Conclusively, a number of design objects and services will be presented as examples of where we would like to go after pressing the “Play” button, along with their enabling and supporting factors, particularly related to the intersection with humanity, environment, and technology.
On October 26, 2023, the Korean National Commission for UNESCO and Seoul Design Foundation held the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum in Seoul, Korea, with the theme “The people power in solidarity through culture”. The following is copied from their invitation:
=====
The Korean National Commission for UNESCO has promoted active exchanges and cooperation among domestic member cities and has widely promoted and developed excellent cases of domestic creative cities at home and abroad.
Seoul Design Foundation (SDF) was initially proposed on November 2008 by the Seoul Metropolitan Government in order to promote design industries in Seoul. Since launched on 2nd March 2009, Seoul Design Foundation has been implementing various design projects running Dongdaemun Design Plaza (DDP), Seoul Upcycling Plaza, and Seoul Design Incubating Centre.
In this situation, the 2023 UNESCO Creative Cities Network Forum will be held to contribute to creatinga comprehensive, safe, and resilient sustainable city and residence by UNESCO’s SDG 11 on the same date as the Seoul Design Conference.
=====
Since I was unable to attend in person, I sent a video presentation. In order to keep with the timing, I prepared the script in advance. So copied below is the deck, and the script as the captions, for the sake of documenting the event. The amazing team in Seoul has also taken photos (attached here as well) during the screening of my video, which I am immensely grateful for.
=====
1 Good afternoon, ladies and gentlemen. I regret for not being able to attend in person, but I am grateful that I get the chance to participate online. I am Tita, the focal point of Bandung, UNESCO City of Design. Today I would like to share our stories concerning community initiatives and how they shape the look of our city.
2 When “Bandung” is mentioned, people are usually reminded of “Bandung Conference”, an historical event in 1955 where 29 Asian and African countries gathered to make a stance. The declaration of the conference contains keywords that have become the spirit of Bandung people up to today: economy, culture, human rights, peace, and International partnership.
3 The city of Bandung itself has a long reputation as a place to go for shopping, fashion and culinary experience. The amount of higher education institutions, research centres and strategic national industries attracts young people, who dominate the demography of Bandung City.
4 There was a momentum when these young people, united in communities, organised under one hub organisation called Bandung Creative City Forum or BCCF, responded to various urban issues by building prototypes of solutions, both tangible and intangible interventions to public spaces and groups of local communities.
5 All programs and activities of BCCF implement Design Thinking method, with Urban Acupuncture concept, where the city is considered an organic entity, not unlike a human body, that has centres for thinking, breathing, memories, waste disposal; facilities for distributions of energy, nutrition, and all. Each urban space intervention is like pinning a needle of creativity in spots of the body that – if conducted consistently at the right spots – is hoped to heal the whole body, or the city, making it function better.
6 This movement, that started in 2007, has shaped the characteristics of Bandung people, who see Design as a way of thinking to solve urban issues, that manages to create values and meanings according to the actual needs and contexts; Creativity as a strategy to lessen the gap between people and government, people and policy, and among all stakeholders; and Prototypes as a driver of Social Innovation, to make rapid improvements that can be conducted by all citizens. With this angle, Bandung joined the UNESCO Creative Cities Network as a City of Design since 2015.
7 Such movement occurs as well in other cities in Indonesia; young people, who are aware that we can no longer rely on economy activities that depends on the extraction of natural resources, shift to economy activities that requires human intelligence and creativity. These young people also formed cross community forums, built networks with each other, conducted programs and events that involve economy activities, and often offered urban solutions that also become social innovations. These forums gathered and established Indonesia Creative Cities Network in 2015. ICCN currently has more than 240 city members from all over Indonesia. All ICCN members are committed to implement the 10 Principles of Indonesia Creative City.
8 Having an organisation with such diverse members require frameworks that can be implemented by all. ICCN refers to the Creative Economy Ecosystem, establishes the 10 Principles of Indonesia Creative Cities that comply with the SDGs, and Catha Ekadasa, or the 11 ways or guide to implement the 10 Principles, and involves Hexa Helix stakeholders in 3C steps – Connect Collaborate Commerce/Celebrate in all its programs. One example is as follows.
9 Fashion Village Lab, an industrial area for multinational fashion labels, located in Cigondewah, the periphery of Bandung City.
10 The project started with a research on the issues of housing for the factory workers, but it turned out that the problems are more complex. What started as housing issues extended into environmental, social and economy issues as well.
11 All stakeholders were being involved, including the multinational brands at their headquarters; local governments down to the neighbourhood levels, the factory workers and local inhabitants. It was discovered that the workers also make a living outside their factory hours, and the villagers have an income from various jobs related to the factory activities.
12 Fashion Village Lab consisted of, among others, experimentations on up cycling the fabric waste into building bricks and other commodities, improvement of public facilities, plans of circular fashion production unit that includes an area for natural-dye plants, and an establishment of a cooperation of local women entrepreneurs.
13 The mapping of the project show supporting factors and stakeholders in Fashion Village Lab, and is used as a reference once the project is ready to be restarted after the pandemic.
14 Another project is Urban Games, of which themes and contents can be modified according to the events and contexts. One game attempts to reintroduce Bandung through its culinary culture and heritage through a “treasure hunt” activity.
15 Another game asks high school students to map environmental issues with an app, which then reveal the findings to the authorities for follow-ups.
16 These kinds of activities have more or less changed the face of the city. Young entrepreneurs have turned idle spaces into studios, workshop, offices and stores, such as this military warehouses.
17 Turning conventional market into a cool place to hang out, such as this one where hundreds of emerging local brands are being displayed.
18 Such as this mixed use of a traditional wet market, when the kiosks that sell vegetables, fruits and meat close at noon, another kiosks open: those that sell coffee and food, and those providing space for various activities, such as movie screening, discussion, poetry reading, and so on.
To conclude, it is important for cities with similar characteristics to Bandung – a growing and dense city – that is dominated by young generations of different backgrounds who are highly motivated to change the city so they have a better place to live, work and play, to have clear directions or frameworks, in order to be able to assess the impacts and plan the next strategic actions – and to maintain the spirit of urban culture in solidarity, inclusivity and partnership. 19 Thank you.
The complete theme for the Side Event of the High-Level Political Forum on Sustainable Development was Inclusive and Resilient Creative Economy for Sustainable Development, held online on 8 July, 2021. It was a great honour to act as the discussant of this session. Due to the limited duration, there was no time to really go deep into each speaker’s points, nor to have an extensive discussion afterward, but written here are some points worth noting during the session that was hosted by Mr.Royhan Wahab, Deputy-Director for Trade in Services and Trade Facilitation, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia.
H.E. Mr. Dr. Sandiaga S. Uno, Minister of Tourism and Creative Economy of the Republic of Indonesia, in his keynote speech mentioned that we should reconfigure Creative Economy to be a recovery tool. There are two keys of approaches: (1) At Home, (2) Hygiene. At home, we are reconfiguring the way we consume (food, goods), where people prefer more and more personalised experience and convenience. The growing sector, e-commerce and digital technology that provide platforms for contents, should be explored for wider opportunities for the creative economy. Hygiene, related to health issues, would lead us to live safely amidst the virus around us. Business models around this approach should still be developed.
H.E. Ms. Angelica Mayolo, Minister of Culture, Republic of Colombia, in her keynote speech mentioned culture as an economy pillar, of which ecosystem should be strengthened. The dominating demography of youth is a potential resource for creative industry and along the issues of heritage; it is necessary to have a bill to develop measures in the creative sector. Referring to the Orange Economy, we should work on modernising the cultural sector; create, innovate, inspire.
H.E. Mr. Dr. Agung Firman Sampurna, Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia, made a special remark concerning sustainability and resilience. We should see the current pandemic era as “The Great Reset” that gives us a chance to rebuild and rework our policy for recovery, inducing in tourism and creative economy sectors as among the priorities. He also mentioned the importance of audit and transparency in answering the Sustainable Development Goals challenges.
H.E. Ms. Amalia A. Widyasanti, Ph.D., Deputy for Economic Affairs, Ministry of the Indonesian National Development Planning Agency, during the panel session brought up the subject of economy transformation. The previous ministry-level institution for creative economy (BEKRAF) set three main objectives of the sector: increase of GDP, job creation, and export value. Consequently, the following support should be provided: (1) Focusing policy-making to human resource. Considering the “demographic bonus” and the widening gap of access due to the pandemic, we have to find a swift strategy to open more opportunities for youth and creative economy-related occupations; (2) Bills on the Creative Economy sector that should include the scopes of research, space/hub, incentives, and IP rights. The BBI (Bangga Buatan Indonesia) campaign should be able to become a pull factor; (3) Availability of broadband network and inclusive access to this facility; (4) Access to finance and market. She also mentioned about the leadership of Indonesia in the Creative Economy sector through the first World Conference of Creative Economy (WCCE) in 2018 and the establishment of Friends of Creative Economy (FCE). FCE and BEKRAF proposed the International Year of Creative Economy, that became the UN General Assembly resolution, aiming to mainstream creative economy as a strategy to answer the challenges of SDGs. Again, consequently, these efforts should be supported by international collaboration particularly on digital economy and legal framework.
H.E. Mr. Jagdish D. Koonjul GCSK., GOSK., Ambassador of the Republic of Mauritius to the UN, discussed how creative economy sector can be a vehicle to eradicate poverty. The keywords of this discussion include economy transformation, innovation, and thriving performing art, supported by technology. There is also a notion to conduct the tourism business with insights around sustainability and Public-Private Partnership, along with the promotion of creative industries.
H.E. Ms. Mgs. Maria Cristina Solis Gallo, Undersecretary of Territorial Competitiveness, MPCEIP of the Republic of Ecuador, mentioned that the Creative Economy is a rapidly growing sector in Ecuador, until the pandemic hit. Responding to this condition, they have been conducting: (1) Recovery Strategy, and (2) National Competitiveness Strategy; all within the context of Creative Industry that involves the main stakeholders: academia, government (ministries), and so on.
Ms. Natalia Stapran, Director of the Department for Multilateral Economic Cooperation and Special Projects, Ministry of Economic Development of the Russian Federation, discussed about inclusive creative economy in Russia, by integrating creative economy in planning and territorial development.
Mr. Ernesto O. Ramirez, Assistant Director-General for Culture UNESCO, considered the impacted cultural workers and expressed the importance to integrate culture into development schemes. This is one bold step to strengthen the dignity of cultural professionals, while also recognising the digital transformation of creative industries. He also mentioned about Indonesia leadership in promoting creative economy that lead to the declaration of 2021 as the International Year of Creative Economy for Sustainable Development. He also mentioned the MONDIACULT event in Mexico, 2022, as part of the Creative Mexico Forum in October. This 2022 congress will take place 40 years after the original MONDIACULT, a major milestone in shaping the debate on global cultural policies.
==========
Responding to the speakers, and considering the theme of this session, “Inclusive and Resilient Creative Economy”, it is worth paying attention to the recent publication by Global Solutions Network, titled INTERSECTING. This publication collected ideas and best practices related to the efforts of recovery from the pandemic, from many corners of the world, and in many levels. Among them is seen in this page, the Solidarity Act (Aksi Bersama Bantu Sesama) from Indonesia Creative Cities Network (ICCN), a hub organisation that has connected community initiatives in more than 210 cities in Indonesia. This part shows the substantial role of community initiatives in coping with the emergency situations at the beginning of the pandemic, when the government had yet to gather adequate data in order to be able to distribute aids proportionally.
Within the context of creative economy, all ICCN programs are practiced with a framework that has become the consensus and commitment of all its members. This framework includes the 10 Principles of Creative City and Catha Ekadasa, or the 11 Ways to implement the 10 Principles; involving the Hexa Helix Stakeholders of a creative city that follow the 3 path of Connect-Collaborate-Create/Celebrate; and comply with the Creative Economy Ecosystem that comprises four main elements: human resource/creators, products (goods, services, systems), market/users, and R&D.
Most of the speakers have also mentioned important milestones regarding the Creative Economy Sector at the global level, particularly regarding the leadership of Indonesia within this subject. The timeline shows that the efforts to mainstream creative economy have been built since the first World Conference on Creative Economy (WCCE), followed by the establishment of Friends of Creative Economy (FCE) that drafted the resolution for the International Year of Creative Economy for Sustainable Development (IYCEforSD). 2021 as the IYCEforSD was declared in 2019; however, the pandemic that started in 2020 has forced changes of plans. In the mean time, ICCN became the knowledge partner of U20 in publishing a policy recommendation, titled “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” in 2020, then joined T20 in 2021 to formulate another one in the line of “Creative Economy as an Accelerator of Sustainable Recovery”. All these are an effort to promote Creative Economy as among the sectors to be discussed during the G20 Summit in Indonesia, 2022. The pandemic has given the opportunity for creative economy to prove that it is among the most relevant sectors for recovery and to create inclusive resilience. Therefore, it is also worth noting that the Asian Development Bank Institute (ADBI) will hold a conference in Tokyo in November 2021, with the theme “Imagining and Delivering a Robust, Inclusive, and Sustainable Recovery”; that will present cases and practices from around the world regarding similar subject of this event. We are all creating scenarios and keep experimenting on how we could move forward together; what have we learned, what would we bring with us, and what we should leave behind for a sustainable future.
Lastly, keywords such as culture and heritage have also been widely discussed at the global level. The G20 Culture Webinar, for instance, has brought up the theme of creativity for social change, and changing perspectives for cultural heritage. The human-centred development model that became a part of the U20 white paper (2020) put out an argument about how creative economy would provide inclusive occupations in the future, by the means of access to technology, the involvement of all stakeholders, and the iteration of people working in the sectors whose main characteristics fit the required skills and mindset.
Ini adalah tulisan bagian ketiga, dan terakhir, melanjutkan dua tulisan sebelumnya: KOTA KREATIF, UNTUK APA? tentang pemberian predikat “Kota Kreatif”, penentuan sub-sektor unggulan dan indikatornya, dan KOTA KREATIF, UNTUK APA? [2] tentang kasus penentuan sub-sektor unggulan Bandung yang baru saja berlalu. Bagian terakhir ini membahas hasil diagnosa untuk Bandung, yang baru disepakati oleh yang berwenang dengan penanda-tanganan Berita Acara Hasil Uji Petik pada Hari Rabu, 23 Mei 2018.
Berita Acara versi pertama memuat keputusan bahwa sub-sektor Fashion merupakan unggulan Kota Bandung, dengan juga menyebutkan sub-sektor Musik, Film, dan Kuliner, tanpa sama sekali menyebutkan sub-sektor Desain. Berita Acara versi kedua (terlampir), adalah yang telah direvisi, dengan juga menyebutkan sub-sektor Desain. Berita Acara versi kedua ini pun masih direvisi lagi, karena mengandung kesalahan dalam pencantuman detail data/ angka-angka, sehingga yang ditanda-tangani mungkin adalah versi ketiga atau kesekian.
Secara umum, penentuan sub-sektor Fashion sebagai unggulan Kota Bandung merupakan hal yang mudah terprediksi, dengan adanya data yang selama ini telah dikompilasi oleh berbagai lembaga dan institusi (Bagian Ekonomi Pemkot Bandung, Bandung Creative City Forum, Komite Ekonomi Kreatif Kota Bandung, dll.). Bandung yang telah lama dikenal sebagai pusat produsen garmen dan apparel, tempat bertumbuhnya factory outlet, dan terkenal sebagai trend-setter fashion, tentu mudah diindikasi sebagai Kota Fashion. Dalam dossier Bandung sebagai Kota Desain dalam UNESCO Creative Cities Network, sub-sektor Fashiontermasuk dalam kategori Desain, seperti halnya Arsitektur, Arsitektur Lansekap, Kriya Baru, dll., selain Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual. Dalam kelengkapan dossier Bandung, disajikan pula data kontribusi industri fashion, penyerapan tenaga kerja, hingga seluruh stakeholders yang terlibat dalam ekosistem industri fashion.
Namun dalam Uji Petik/ Tinjauan Lapangan ini hanya satu pelaku yang terlibat (yang terpilih berdasarkan preferensi pribadi yang berwenang, bukan berdasarkan data/ konsensus para pelaku bidang fashion), sehingga mungkin belum dapat mewakili seluruh dimensi industri fashion di Bandung. Adanya Fashion dalam Program Studi Kriya di FSRD ITB yang telah membentuk kerja sama multitahun bersama KOFICE melalui Young Creator Indonesia Fashion Institute (YCIFI), dan juga telah menghasilkan banyak temuan inovatif dalam bidang fashion dan tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, berbagai brand lokal untuk fashion & apparel, fenomena “distro” yang kental dengan eksistensi sub-kultur di Bandung, pabrik-pabrik manufaktur garmen yang secara signifikan memproduksi sekian brand multinasional namun belum menjamin kelayakan kondisi kesejahteraan buruhnya dan bahkan menjadi sumber polusi utama bagi tanah dan sungai-sungai di Jawa Barat, hingga berbagai upaya masyarakat grassroots dalam berwirausaha dalam bidang fashion; merupakan hal-hal yang seharusnya tidak diabaikan dalam kegiatan Uji Petik/ Tinjauan Lapangan ini. Karena industri fashion bukan hanya berarti gebyar lenggokan di catwalk, tapi juga seluruh ekosistem dan hulu-hilir industri dan para stakeholders-nya. Mudah-mudahan, apa pun implikasi dari Berita Acara ini nanti, seluruh dimensi industri fashion di Bandung benar-benar dapat terlibat dan menghasilkan dampak nyata bagi seluas mungkin masyarakat.
==========
catatan samping:
Hasil dalam Berita Acara PMK3I menjadi penentuan prioritas bagi penyaluran bantuan fasilitas/ dukungan dari pemerintah pusat kepada kota/kabupaten. Sehingga seharusnya kegiatan PMK3I tidak diproses secara terburu-buru, dan tidak bisa diputuskan hanya dalam selang waktu 2-3 hari saja, sementara implikasinya berlaku selama 2 (dua) tahun ke depan bagi kota/kabupaten terkait.
Kabupaten Bandung termasuk yang memperoleh diagnosa dadakan. Penentuannya sebagai Kota Game & Apps kemungkinan besar berdasarkan adanya sebuah universitas berorientasi teknologi yang berlokasi di wilayah ini, sementara belum terdeteksi adanya komunitas/ pelaku dalam bidang Game & Apps yang telah berkiprah atau berkepentingan di kabupaten tersebut.
Penentuan Kabupaten Bandung juga sebagai Kota Seni Rupa adalah sebagai justifikasi disalurkannya fasilitas kepada sebuah galeri seni rupa ternama, yang secara wilayah administratif juga terletak di Kabupaten Bandung. Bukan berdasakan potensi seni rupa di keseluruhan wilayah kabupaten.
Pihak stakeholders yang menanda-tangani Berita Acara tidak semuanya diberi tahu terlebih dahulu mengenai konteks dan dokumen yang ditanda-tangani; sehingga ada yang terpaksa menanda-tangani Berita Acara karena sudah hadir, meskipun namanya salah (bukan nama sebenarnya) dalam dokumen negara tersebut.
Melanjutkan tulisan sebelumnya, Kota Kreatif, Untuk Apa?kini kita fokus pada proses yang terjadi di Bandung.
Saat program Penilaian Mandiri Kota/Kabupaten Kreatif Indonesia (PMK3I) dimulai, Bandung sudah menjadi anggota UCCN sebagai Kota Desain. Namun untuk dapat memperoleh fasilitasi/bantuan dari pemerintah pusat, seperti halnya kota/kabupaten lain, Bandung harus mengikuti mekanisme penyaluran bantuan yang berlaku melalui Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (D3 Bekraf). Tim Bandung yang terdiri dari personil pemerintah kota, komunitas, dan Komite Ekonomi Kreatif berpartisipasi di workshop pengisian borang PMK3I (sebelum tersedia format online form di situs kotakreatif.id). Meskipun sudah menjadi Kota Desain UCCN, Bandung diharuskan memilih 1 (satu) dari 16 (enam belas) sub-sektor industri kreatif menurut nomenklatur Bekraf; jadi harus memilih antara Desain Produk, Desain Komunikasi Visual, atau Desain Interior. Setelah melewati sekian diskusi dan kompromi, dipilihlah Desain Produk untuk melengkapi borang PMK3I secara manual di tahun 2016.
Selang beberapa bulan kemudian, sekitar September 2017, tiba-tiba Pemkot Bandung mendapatkan surat pemberitahuan bahwa proses Uji Petik akan dilakukan oleh Tim Asesor Bekraf berdasarkan permintaan dari salah satu pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan. Catatan:
Menurut prosedur, permintaan Uji Petik dilakukan ketika borang (online) telah terisi. Siapa yang mengisi borang tersebut atas nama Bandung di sub-sektor Seni Pertunjukan?
Pemkot Bandung diminta oleh Tim Asesor Bekraf untuk menghadirkan pula, dalam pertemuan Uji Petik tersebut, para pelaku dari sub-sektor Kriya dan Desain Produk, selain Seni Pertunjukan; juga pelaku dari luar Kota Bandung, seperti dari Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan sekitarnya. Permintaan ini disampaikan sehari sebelum pertemuan, namun tetap disanggupi oleh Pemkot Bandung. Kenapa turut mengundang pelaku dari luar Kota Bandung? Bukankah identifikasi sub-sektor berlaku untuk Kota Bandung saja?
Di awal pertemuan, dipaparkan mengenai PMK3I. Ternyata permintaan Uji Petik datang dari salah satu dari tiga pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya yang akan memperoleh bantuan dari Bekraf saat itu. Tinjauan lapangan kemudian dilakukan ke ketiga tempat pelaku yang akan memperoleh bantuan Bekraf, lalu tim kembali berkumpul pada sore harinya, untuk membahas Berita Acara sebagai hasil kegiatan Uji Petik. Berita Acara ini memuat kesepakatan sub-sektor unggulan kota/kabupaten yang akan ditanda-tangani (disetujui) oleh kepala daerah. Catatan:
Permintaan Uji Petik oleh pelaku tidak meminta rekomendasidari Pemkot Bandung. Pemkot Bandung tidak terinformasikan mengenai hal ini sebelumnya.
Adanya pernyataan di sesi awal, “Bandung akan kita tetapkan sebagai Kota Seni Pertunjukan. Sebab, akan aneh bila Bandung ditetapkan sebagai Kota Desain atau yang lain, sedangkan bantuan ini akan disalurkan ke sub-sektor Seni Pertunjukan. Kalau beda, nanti akan ‘jadi temuan’, kan?” << Jadi, proses “Uji Petik” ini hanya akan menjadi pembenaran penyaluran bantuan ke ketiga pelaku tersebut, dan bukan menjadi bagian dari prosedur yang semestinya.
Adanya tawaran, “Di tingkat internasional, Bandung sudah menjadi Kota Desain UCCN. Bagaimana kalau di tingkat nasional, Bandung menjadi Kota Seni Pertunjukan?” << Hal ini menunjukkan perbedaan pemahaman mengenai karakter/ unggulan sub-sektor industri kreatif sebuah kota/kabupaten, yang seharusnya ditetapkan berdasarkan data nyata terkait kontribusi, daya ungkit, dsb.
Berita Acara yang diterima oleh Bandung masih dalam bentuk draft kasar, di mana masih terdapat kesalahan nama kota, nomor surat, dll., serta memuat pernyataan-pernyataan yang seharusnya masih dapat didiskusikan bersama. Berita Acara juga masih menyisakan beberapa bagian kosong, untuk diisi oleh pemkot.
Berita Acara dijadwalkan untuk ditanda-tangani oleh kepala daerah dalam waktu kurang dari 1 (satu) minggu setelah draft kasar tersebut disampaikan, yaitu sekitar akhir September 2017. Bandung tidak dapat memenuhi undangan penanda-tanganan Berita Acara tersebut di Jakarta, karena — selain undangan yang mendadak — pihak Pemkot Bandung juga belum menerima draft final dari Berita Acara tersebut.
==========
Waktu berlalu; bantuan Bekraf telah lama disalurkan kepada ketiga pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya, dan tidak lagi terdengar update mengenai hasil PMK3I untuk Bandung. Hingga minggu ini, pertengahan Mei 2018. Tiba-tiba ada pemberitahuan ke Pemkot Bandung bahwa akan dilakukan (lagi) Uji Petik untuk Bandung beserta kota/kabupaten di sekitarnya (Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi), ditutup dengan penanda-tanganan Berita Acara yang direncanakan untuk berlangsung di Bandung pada Hari Rabu, 23 Mei 2018. Bagaimana dengan Berita Acara tahun 2017 dulu? Kenapa tiba-tiba dilakukan Uji Petik tanpa pengisian borang terlebih dahulu? Bagaimana kesiapan daerah-daerah lain tersebut?
Untuk persiapannya, Pemkot Bandung meminta agar draft kasar Berita Acara 2017 difinalisasi dan dikirimkan kembali ke Pemkot Bandung untuk dicermati isinya. Jumat, 18 Mei 2018, Pemkot dan Komite Ekraf.bdg merevisi Berita Acara “versi final” tersebut, namun muncul juga pertanyaan-pertanyaan.
Apakah penanda-tanganan Berita Acara 2017 ini ‘dihitung mundur’, yang berarti harus ditanda-tangani oleh Wali Kota Bandung saat itu (bukan oleh pejabat pengganti)?
Atau, apakah Berita Acara ini dianggap dibuat tahun 2018, tapi berarti Uji Petik tidak perlu lagi dilakukan (untuk sub-sektor Seni Pertunjukan dan Desain Produk), karena sudah terjadi, dan bantuan Bekraf sudah disalurkan?
Atau, apakah akan dibuat Berita Acara yang sama sekali baru, versi Mei 2018, dengan penentuan sub-sektor yang sama sekali berbeda — tapi bagaimana justifikasi bantuan Bekraf yang sudah disalurkan tahun lalu ke para pelaku sub-sektor Seni Pertunjukan dan Kriya?
Apakah berarti penentuan sub-sektor tidak lagi berpengaruh pada arah/ prioritas mengalirnya bantuan dari pemerintah pusat?
Terlampir, “draft final” dari Tim Asesor PMK3I untuk Bandung yang disampaikan pada Hari Kamis 17 Mei 2018, dan versi revisi yang diselesaikan oleh Bidang Ekraf Disbudpar Kota Bandung dan Komite Ekraf.bdg pada Hari Jumat 18 Mei 2018. Ternyata kedua dokumen ini sama sekali tidak terpakai. (padahal sudah berapa dana negara yang dikeluarkan untuk proses tersebut tahun lalu?)
Senin pagi, 22 Mei 2018, pertemuan berlangsung di Kantor Disbudpar Kota Bandung; dihadiri oleh personel pemkot, Tim Asesor PMK3I, para pelaku dari sub-sektor Musik, Kuliner, Fashion, Film, Desain — yang dihadirkan bukan berdasarkan pengisian borang sebelumnya, atau data, melainkan berdasarkan preferensi pribadi dari yang berwenang. Catatan:
Disampaikan bahwa “Uji Petik kali ini memang berbeda”. Mekanisme/ prosedur yang ditetapkan sendiri oleh Bekraf, yang seharusnya dipenuhi oleh kota/kabupaten, kali ini tidak berlaku, tanpa alasan yang terlalu jelas. << Kenapa harus dilakukan penentuan sub-sektor sekarang? Kenapa harus berbeda?
Terdapat pernyataan dari Tim Asesor PMK3I bahwa, “Bandung sebagai Kota Desain ditentukan oleh UNESCO, padahal Bandung jelas kaya dengan potensi sub-sektor lain”. << Tanggapan: UNESCO tidak menentukan sub-sektor untuk Bandung. Pilihan “Desain” diperoleh dari konsensus stakeholders Kota Bandung yang mengajukan sub-sektor tersebut setelah melalui beberapa FGD dan sesi diskusi di tahun 2012, yang waktu itu dihadapkan pada pilihan Gastronomi, Musik, dan Desain. Pada akhirnya diraih kesepakatan Desain, mengingat sub-sektor ini adalah yang paling siap dalam segi infrastruktur, ekosistem, pengembangan SDM, dan seterusnya (argumen ada pada dossier Bandung untuk UCCN).
Terdapat pernyataan dari Tim Asesor PMK3I bahwa, “Penentuan sub-sektor unggulan kota/kabupaten ini serius, bukan mainan anak kecil”. << Tanggapan: Setuju; oleh karena itu, penentuan dengan standar internasional (seperti yang dilakukan oleh UCCN) tentunya juga telah dipersiapkan secara matang, tidak main-main, karena harus dapat berlaku di seluruh belahan dunia.
Terdapat pernyataan dari Pemkot Bdg bahwa “Bidang Ekraf baru bergabung di Disbudpar beberapa bulan yang lalu. Masih sangat bayi”. Kesannya, harus ‘tunduk’ pada bidang-bidang lain dalam kedinasan. << Tanggapan: Benar, faktanya memang begitu. Sebelumnya, bidang ekraf bergabung di Bagian Ekonomi Setda. Komite Ekraf Bandung dibentuk berdasarkan SK Perwal 2014, namun personilnya telah menjadi Tenaga Ahli untuk Pengembangan Ekraf di 10 Provinsi (Kementerian Perdagangan, 2010), menjadi Koordinator Pokja Ekraf Rumah Transisi (2014) yang bertugas menyerahkan lembar kerja bidang ekraf pada Pemerintahan RI 2014-2019, dan juga telah menjadi rekanan UNESCO dalam mengembangkan ekonomi kreatif di kota-kota dunia. Komite Ekraf Bandung pun terdiri dari para pelaku ekraf yang berpengalaman, dan telah banyak berkontribusi dalam kegiatan ekraf baik dalam skala nasional (sertifikasi profesi, narsum penentuan kebijakan, dll.) maupun internasional (delegasi Indonesia di workshop & konferensi dunia, penyelenggara event ekraf di luar negeri, dsb.). Benar, secara struktural Bidang Ekraf di Disbudpar memang masih seusia bayi, tapi di baliknya ada kapasitas, kompetensi, dan pengalaman sebagai pelaku ekraf yang jauh melebihi sumber daya yang ada di Disbudpar Kota Bandung.
Setiap perwakilan sub-sektor yang hadir diminta berpendapat, secara bergiliran. << Pengamatan: tidak adanya Term of Reference untuk pertemuan ini berimbas pada konten yang disampaikan, yang sebagian besar pada akhirnya lebih merupakan “curhat” mengenai kondisi sub-sektor masing-masing (kurangnya dukungan, tidak ada peran pemerintah, tidak ada ruang-ruang khusus untuk berekspresi, kurangnya sumber daya yang handal, dsb.). Padahal, sesi Tinjauan Lapangan Uji Petik ini menjadi peluang yang baik untuk menyampaikan upaya perbaikan berbagai kondisi tersebut secara swadaya dalam konteks perkembangan ekraf, dan hal-hal yang diperlukan dari pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan untuk dapat mengakselerasi upaya-upaya tersebut.
Kegiatan hari itu termasuk Tinjauan Lapangan untuk sub-sektor Musik, Fashion, Film, dan Kuliner, namun ternyata belum ada tempat-tempat sasaran; baru hendak dicek kemungkinan peluang kunjungan saat itu juga. “Musik tidak bisa dikunjungi seperti proses produksi manufaktur”; “Di Ujung Berung mungkin bisa?”; “Tidak ada yang produksi makanan di minggu pertama puasa begini”; “Lihat ke outlet-nya saja”; “Sedang tidak ada kegiatan”; “Atau ke BCH saja yuk, baru di-setting”, dst. << Tanggapan: lho, katanya tadi, penentuan sub-sektor ini “bukan mainan anak kecil” dan pendekatannya “tidak bisa main-main”? Kalau serba dadakan, tanpa data/ persiapan, dan pakai “sistem hitung kancing” seperti ini, apakah hasilnya akan valid dan sesuai dengan yang diharapkan? Kan tindak-lanjutnya nanti berupa penyaluran fasilitas/ bantuan pemerintah pusat terhadap sub-sektor sasaran/ unggulan; apakah akan efektif, berdasarkan justifikasi hasil Uji Petik yang dapat dipertanggung-jawabkan?
Disampaikan oleh pemkot beberapa upaya mengembangkan ekonomi kreatif di Kota Bandung, seperti melalui aktivasi warga kampung/ tingkat grassroots, pengembangan desain produk dan kemasan produk lokal, “upaya melibatkan ketertarikan generasi muda melalui berbagai kompetisi bidang ekraf”, dll. << Tanggapan: seluruh upaya pengembangan ekraf yang diungkapkan oleh pihak berwenang ini sebenarnya telah diajukan dalam Strategi Pengembangan Ekraf, sesuai dengan Peta JalanEkraf yang dirancang hingga tahun 2020 oleh Komite Ekraf.bdg bersama Bidang Ekraf. Berbagai program dan kegiatan pun telah dirunut dalam strategi tersebut, dalam lintas sub-sektor industri kreatif (Desain dan Kuliner, Desain dan Musik, Desain dan Seni Pertunjukan, dsb.), bahkan disinergikan juga dengan bidang-bidang lain yang ada dalam kedinasan (seni tradisi, promosi, dsb.). Kerja sama dengan perguruan tinggi pun telah dilakukan; FSRD ITB menyelenggarakan pameran hasil purwarupa/ prototype-nya di Pendopo dalam 3 tahun belakangan ini (kecuali semester ini yang digelar di kampus): setiap kalinya ditampilkan sekitar 50 solusi desain bagi permasalahan kewilayahan, bekerja sama langsung dengan warga dan organisasi lokal seperti Karang Taruna, panti asuhan, PAUD, dll. Pemerintah sebenarnya tinggal memetik hasil/ solusi yang sesuai (dengan mata anggaran, rencana pembangunan, dsb.), dan merealisasikannya secara top-down, agar dampaknya dapat meluas.
Siang hari ini, Selasa 22 Mei 2018, Berita Acara (BA) PMK3I sebagai hasil Uji Petik dan Tinjauan Lapangan akan disusun, untuk ditanda-tangani besok, Rabu 23 Mei 2018. Akan sejauh apa BA PMK3I ini berpengaruh pada pengembangan ekonomi kreatif Kota Bandung?Atau apakah ini hanya akan menjadi formalitas saja, karena tidak ada efeknya bagi aliran fasilitasi/ bantuan dari pemerintah pusat untuk “sub-sektor unggulan” kota/kabupaten? Yang artinya, kecil kemungkinannya bahwa APBN disalurkan tepat sasaran. Atau mungkin, pada akhirnya, tidak akan berdampak apa-apa bagi berbagai upaya bottom-up yang selama ini sudah berjalan secara organik dan swadaya oleh komunitas dan pelaku sektor ekonomi kreatif di Kota Bandung.
Baiklah, kita tunggu saja hasil Berita Acara ini, sub-sektor industri kreatif apa yang ditentukan sebagai “unggulan” Bandung kali ini, sebagai hasil dari proses yang berlangsung seperti ini.
“SENDAL”, begitu julukan mahasiswa pesertanya di awal mata kuliah ini diperkenalkan. Nama sebenarnya adalah Seni, Desain, Lingkungan dan menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB tingkat akhir. Ketika saya kuliah dulu, kami mahasiswa FSRD memang mendapatkan kuliah wajib mengenai lingkungan, dengan nama MK Pengetahuan Lingkungan (lalu disingkat “Pengling”), dengan dosen dari Jurusan Biologi. Yang dipelajari adalah seputar ekosistem lingkungan hidup, secara umum. Ya, seperti pelajaran Biologi di SMA sebelumya. Kemudian terjadi perubahan, sekitar tahun 2012(?) ketika ITB mempersilakan tiap fakultas untuk menyelenggarakan perkuliahan tentang lingkungan, yang langsung terkait dengan bidangnya masing-masing. Saat itu, saya sudah mengajar MK Desain Berkelanjutan sejak sepulang dari S3 di Belanda (dalam bidang design & sustainability) di Program Studi Desain Produk dan Magister Desain, sejak sekitar tahun 2008. Dengan adanya MK SENDAL untuk FSRD ini, saya ditugaskan menjadi koordinatornya, dengan peserta kuliah 1 angkatan mahasiswa FSRD, yang jumlah totalnya mencapai sekitar 250(!).
Pada awalnya, MK SENDAL adalah kuliah yang menginduk ke fakultas, sehingga perangkat pendukungnya pun (petugas daftar hadir, administrasi, peralatan, dll.) dikoordinasikan oleh fakultas. Dosennya berasal dari masing-masing program studi (prodi) yang ada di FSRD: Seni Rupa, Kriya, Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual; yang masuk kelas secara bergiliran di tiap pertemuan. Sehingga tiap prodi mendapat 2x giliran masuk kelas, sebelum dan setelah Ujian Tengah Semester. Sisa waktu pertemuan biasanya dimanfaatkan untuk menampilkan dosen tamu yang dapat memberi pengayaan wawasan bagi peserta MK SENDAL. Oh iya, bobot MK ini 3 SKS, jadi mahasiswa tidak sekedar duduk mendengarkan ceramah dosen, tapi ada deliverables dengan kualitas tertentu.
Pada awalnya, sebagai koordinator saya selalu hadir di kelas, meskipun prodi lain yang sedang mendapatkan giliran mengajar. Ini bukan belaka mengenai tugas, tapi karena memang materinya selalu menarik. Misalkan, Seni Rupa menyampaikan tentang karya-karya yang mengkritisi kondisi lingkungan, Kriya membahas pewarna dan serat alam, Desain Interior mengenai universal design atau inklusivitas dalam merancang ruang, Desain Komunikasi Visual memberi contoh berbagai media komunikasi untuk persuasi gaya hidup yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan, Desain Produk tentang intervensi “keberlanjutan” dari hulu hingga hilir proses penciptaan produk. Dosen tamu? Ini juga seru. Saya pernah mengundang Bu Katrin, dosen Teknik Industri Universitas Parahyangan, untuk membahas Product Service System; Kang Emil, yang saat itu masih aktif mengajar di Arsitektur ITB, untuk diskusi tentang Sustainable Urbanism; hingga Pak Apep penanggung jawab TPA (tempat pembuangan akhir) sampah ITB yang kala itu sudah bertugas selama 30 tahun (“Sampah ITB selesai di ITB, tidak membebani pemkot”, katanya, “Paling susah itu mengolah sampah dari kegiatan Pasar Seni”). Dan banyak lagi.
Selanjutnya, sistem perkuliahan SENDAL sedikit mengalami perubahan. Saya mulai mengaitkannya dengan permasalahan nyata di Kota Bandung. Bagaimana bidang seni rupa, kriya, desain, dan kreativitas pada umumnya dapat menjadi solusi masalah perkotaan? Bagaimana bidang kreatif ini bisa berkontribusi? Setidaknya di tahun atau semester terakhir ini, mahasiswa SENDAL berkesempatan terjun langsung ke masyarakat, dan mendedikasikan ilmu & keterampilan mereka; tentu saja dengan seluruh pertimbangan mengenai “keberlanjutan” yang sudah diperoleh di kelas. Lagi pula – ini catatan khusus saya pribadi – kelas SENDAL ini bisa jadi merupakan satu-satunya kesempatan mahasiswa FSRD untuk bekerja sama lintas prodi sebelum mereka lulus, karena (ini yang bikin agak sedih) bisa jadi mereka tidak tersentuh yang namanya Pasar Seni. Kok bisa? Iya, karena selama berkehidupan di kampus ada angkatan yang belum sempat mengurus perhelatan legendaris ini. Sayang, ya.
Sehingga, kelas SENDAL di tahun-tahun belakangan ini berbentuk tugas kelompok yang dilaksanakan selama satu semester penuh, paralel dengan berjalannya pertemuan di kelas. Kelompoknya boleh lintas prodi, selalu ada tema, selalu harus ber-partner dengan komunitas/warga lokal, dengan Ujian Akhir Semester berbentuk pameran yang menampilkan kegiatan tiap kelompok selama satu semester itu. Lengkap dengan display artefak hasil kegiatan, video dokumenter durasi 3 menit, infografis, katalog, dsb. Rekanan yang sempat terlibat selama ini antara lain Komunitas Riset Indie, Karang Taruna Kota Bandung, dan sebagainya. Harapannya, selain langsung menerapkan konten kuliah pada permasalahan nyata, mahasiswa SENDAL juga dapat belajar mengatur diri, berorganisasi menyelenggarakan pameran bersama (meskipun kadar heboh dan dramanya jauh di bawah Pasar Seni). Hasilnya? Beberapa akan lanjut kita bahas di sini ya, di beberapa posting berikut.
Menjelang Pertemuan Tahunan Jejaring Kota-kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network/ UCCN) yang ke-11 Juli lalu di Enghien-les-Bains, Kota Media Art di Perancis, Bandung dihubungi oleh UNESCO, diminta untuk mempresentasikan salah satu kegiatan rutinnya dalam sesi khusus mengenai Sustainable Development Goal (SDG) dalam rangkaian pertemuan tersebut.
Bagi Bandung, yang bergabung dalam UCCN sebagai Kota Desain pada tanggal 11 Desember 2015, Pertemuan Tahunan yang ke-11 ini merupakan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya diselenggarakan di Östersund, Kota Gastronomi di Swedia. Dalam pertemuan UCCN ke-10 tahun 2016 itu, dalam sesi konferensi Valuing and Evaluating Creativity for Sustainable Regional Development, Bandung mengutarakan prinsip dasarnya sebagai “Kota Desain”, di mana “Desain” bagi Bandung tidaklah terbatas pada kualitas fisik dan estetik suatu obyek/ komoditi, atau sebuah profesi berbasis ilmu-ilmu desain yang diketahui selama ini, namun “Desain” yang juga sebagai cara berpikir warganya dalam mengatasi permasalahan lokal, sebagai cara menciptakan purwarupa solusi berbagai isu perkotaan, dan sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan antara warga dengan pemerintah, kebijakan, dan regulasi. Prinsip inilah yang membawa Bandung diterima masuk ke dalam jejaring tersebut, yang terbukti telah memberikan peluang yang sangat luas untuk mengembangkan potensi ekonomi kreatifnya.
Kali ini, Bandung diminta untuk mempresentasikan DesignAction.bdg, yang dinilai oleh UNESCO sebagai salah satu contoh terbaik penerapan tujuan SDG #11, Sustainable City. Dalam proses persiapan materi presentasinya, dilakukan beberapa kali asistensi, hingga terdapat versi akhirnya, seperti yang ditampilkan sebagai slideshow di sini.
Sekilas karangan bunga terlihat sangat menarik, namun dibalik keindahannya terdapat masalah yang sangat meresahkan. Masalah tersebut timbul dari penggunaan bahan yang tidak lagi 100% berbahan organik. Pada mulanya para pedagang karangan bunga menggunakan bunga asli sebagai bahan utama dalam merangkai karangan bunga pesanannya. Namun para pedagang kini sudah menggantinya dengan bunga imitasi yang dibuat dari bahan styrofoam. Berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup kota Yogyakarta tahun 2008 menyebutkan bahwa, komposisi limbah styrofoam berada pada kategori lain-lain sebesar 25, 83% dari 350 ton jumlah sampah harian. Berarti ada sekitar 90 ton sampah styrofoam dalam sehari. Jumlah tersebut belum mencakup keseluruhan sampah styrofoam yang ada di Indonesia. Angka tersebut sudah pasti sangat mencengangkan bila harus dihubungkan pada niat kebaikan empati terhadap saudara atau teman. Pernahkah kita berpikir bahwa karangan bunga yang kita berikan kepada sanak saudara atau teman itu, sangat merepotkan mereka setelah acara selesai. Mungkin saudara dan teman kita justru tidak bahagia karena harus direpotkan dengan hal-hal yang membuatnya ribet. Mereka harus membereskan tumpukan karangan bunga yang umurnya sangat sebentar. Karangan bunga hanya dipajang pada saat acara berlangsung. Mungkin hanya beberapa orang dari sekian banyak tamu acara yang benar-benar memperhatikan karangan bunga tersebut. Umurnya yang sebentar dan pengaruhnya terhadap acara tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan yang harus ditanggung bumi setelah acara tersebut selesai. Bila dalam satu hari ada banyak acara serupa yang para tamunya juga memberikan karangan bunga serupa sudah bisa dibayangkan betapa banyak sampah styrofoam yang akan ditanggung bumi. Membereskan karangan bunga yang terbuat dari styrofoam itu tidak mudah. Tidak mungkin meraka akan menumpuk lalu membakarnya begitu saja. Karena pasti akan berat hati bila asap yang ditimbulkan mengganggu tetangga mereka. Sampah styrofoam tidak dapat diuraikan oleh tanah, sifatnya yang abadi tidak cukup hanya dengan dikubur di dalam tanah.
Pada tanggal 1 November 2016, bandung melarang adanya penggunaan styrofoam. Pertanyaanya apakah peraturan ini hanya berlaku untuk kemasan makanan atau berlaku pada semua sektor kehidupan dikota bandung. Apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, sudah semestinya masyarakat mulai mengurangi jumlah penggunaan styrofoam. Harusnya pemerintah juga melaranga penggunaan styrofoam pada sektor lain. Mulai sejak dini penggunaan styrofoam pada karangan bunga harus mulai dibatasi. Masyarakat harus bisa aware terhadap kebutuhannya sendiri. Alangkah baiknya perbuatan baik selalu dimulai dengan yang baik. Menyampaikan rasa empati bukanlah hal yang buruk. Namun tanpa disadari masyarakat kurang memeperhatikan secara detail kebutuhan bersosialnya. Sehingga kebaikan sosial yang dilakukan berdampak pada pencemaran lingkungan yang ujungnya akan meresahkan masyarakat itu sendiri. Sudah semestinya masyrakat mencari alternatif lain dalam menyampaikan empatinya terhadap lingkaran sosialnya. Masyrakat harus sudah mulai memilah sendiri material yang akan digunakanya dalam beraktifitas. Bila masyarakat tidak memulainya sudah bisa dipastikan bumi akan menanggung banyak sampah styrofoam yang tidak bisa diurai. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat harus benar-benar berhenti menggunakan styrofoam bila tidak ingin menyaksikan bumi tenggelam dengan tumpukan styrofoam.