Secara berkala, setiap 4 tahun, semua kota anggota UCCN (UNESCO Creative Cities Network) wajib menyerahkan Laporan Pemantauan Keanggotaan (Membership Monitoring Report/MMR). Kota Desain Bandung telah menyerahkan laporan pertamanya di tahun 2019, dan juga telah menyelesaikan yang kedua di tahun 2023 (meskipun baru dapat diunggah di tahun 2024). Namun di tahun 2024 ini, ada kewajiban lain yang harus diserahkan.
Sebagai tindak lanjut dari Mondiacult (UNESCO World Conference on Cultural Policies and Sustainable Development) yang diselenggarakan di Mexico, September 2022, UCCN mengarahkan seluruh kota anggotanya (yang bergabung sebelum 2023) untuk melengkapi kuesioner terkait “kontribusi sektor budaya dan kreatif dalam pembangunan berkelanjutan”. Hasil dari kuesioner ini diharapkan dapat mengidentifikasi peran kota kreatif dalam menjawab tantangan SDG, sejalan dengan Deklarasi Mondiacult 2022, Pernyataan Misi UCCN dan prioritas Sektor Budaya di UNESCO.

Koordinasi awal pengisian borang Mondiacult: focal point Bandung UCCN dengan Bappelitbang Kota Bandung, 28 Maret 2024
Kuesioner ini disebarkan akhir Februari 2024 lalu, untuk diisi dan dikirimkan kembali selambat-lambatnya pada Juni 2024. Seluruh pertanyaannya secara umum terkait Budaya, Kreativitas dan Kota, meliputi kebijakan dan program kota dalam hal-hal berikut: (1) Menjamin hak-hak budaya, (2) Mengangkat teknologi digital dalam sektor budaya, (3) Memupuk pendidikan kebudayaan dan seni, (4) Memungkinkan sistem ekonomi berkelanjutan untuk budaya, (5) Melindungi dan mempromosikan budaya dalam menghadapi perubahan iklim, dan (6) Melindungi seniman dan budaya dalam bahaya.
Dengan sendirinya, diperlukan masukan dari pemerintah kota untuk melengkapi jawaban di borang ini. Setelah bersurat ke Pj Wali Kota Bandung, terdapat disposisi bagi Bappelitbang untuk mengkoordinasi OPD terkait, membagi tugas untuk menanggapi butir-butir yang relevan dengan tugas dan fungsi di kedinasan.
Pertanyaan-pertanyaan di borang yang panjangnya kurang lebih 10 halaman ini ternyata perlu dirembug oleh dinas-dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pendidikan, Lingkungan Hidup, Komunikasi dan Informatika, Pemuda dan Olah Raga, dll., termasuk juga yang membidangi infrastruktur fisik, ekonomi, hukum/regulasi, dan sebagainya. Terutama karena sering terdapatnya regulasi yang saling terkait, yang dapat saling mengisi dalam menanggapi suatu pertanyaan. Borang ini sekarang masih dalam proses penyelesaian, namun iterasi yang telah dilakukan dengan lintas OPD ini makin mengkonfirmasi beberapa hal:
- “Budaya”, meskipun nomenklaturnya hanya terdapat dalam salah satu struktur pemerintahan (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata), sebenarnya adalah urusan bagi beberapa dinas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa pertanyaan pada borang Mondiacult ini memerlukan jawaban inti dari lebih dari satu kedinasan.
- “Budaya” bukanlah sekedar tradisi atau pertunjukan seperti yang biasanya dipersepsikan dalam arti sempit, namun merasuk ke seluruh lini kehidupan, yang dipraktikkan dalam keseharian, dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, dsb., yang berpusat pada pengembangan Sumber Daya Manusia.
- “Budaya” dalam strategi pembangunan daerah biasanya menjadi urusan sekunder, bahkan tersier, sehingga alokasi anggarannya pun tidak sebesar urusan primer. Namun bila tidak dirawat dan dipraktikkan dengan benar, peradaban akan terkikis, sehingga seluruh “urusan primer” pun akan menjadi sia-sia. Mengutip Charles Landry (2020), “Not ‘what is the value of culture’, but ‘what is the cost of NOT valuing arts/culture’”.
- Dalam lingkup kota, perlu adanya kepemimpinan yang paham benar bahwa potensi budaya dan kreativitas harus dikelola dengan layak, serta diberi akses dan peluang yang setara, agar dapat menjadi bahan bakar terbarukan bagi pembangunan yang inovatif, inklusif dan berkelanjutan.

Seusai iterasi pertama pengisian borang Mondiacult bersama lintas OPD Kota Bandung, 4 April 2024
Dengan adanya borang Mondiacult ini, setidaknya kita di Kota Bandung jadi dapat mengetahui dan mengukur sendiri, seberapa jauh perhatian dan keberpihakan kita terhadap sektor budaya dan kreativitas, sampai dengan bercermin pada berbagai hal yang telah dihasilkan dari aktivasi sektor budaya dan kreativitas. Sambil terus bersama-sama belajar, tidak hanya tentang konten borang, namun juga tentang jalinan komunikasi yang membaik dan semoga terus terjaga baik – antar dinas, antar personel, dan antar pihak hexa helix – demi tujuan yang sama: dampak nyata Bandung sebagai Kota Kreatif Dunia. Terima kasih, jajaran Pemerintah Kota Bandung, mari kita lanjutkan dulu kewajiban yang satu ini, sebelum berangkat ke program-program seru berikutnya.
Pertengahan Januari 2024 lalu, 



BEYOND adalah sebuah konferensi terkemuka mengenai penelitian dan pengembangan untuk industri kreatif, dan telah tiba pada tahun ke-6 penyelenggaraannya. Kali ini, BEYOND yang berlangsung pada 21-22 November di The Royal Institution, London, bermitra strategis dengan British Council, berkolaborasi dalam menentukan tema Global Creative Economies. Konferensi ini mempertemukan audience dari beragam latar belakang (pimpinan bisnis, kreatif, peneliti, pembuat kebijakan, jurnalis dan penyandang dana), dan juga sekitar 30 delegasi internasional (Turki, Ukraina, Uzbekistan, Filipina, Mesir, Maroko dan Jepang). Informasi lebih lengkap mengenai BEYOND dapat diakses di sini:
Pada BEYOND, terdapat sesi dengan format TEDTalk, dan sesi panel. Saya ditempatkan dalam sesi panel dengan tema “Emerging Trends in The Creative Economy: Perspectives from The Global South”, bersama
Inti dari paparan saya adalah tren ekonomi kreatif di pasca pandemi, ketika orang telah menentukan prioritas baru. Di Indonesia, dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya, terdapat hal-hal yang menjadi karakteristik dan potensi umum, sehingga Ekonomi Kreatif pun mengarah ke sana, untuk memenuhi kebutuhan dengan lebih relevan, dengan sensitivitas terhadap isu-isu global. Hal-hal tersebut meliputi: keberagaman sumber daya alam dan budaya, dominasi usia muda/produktif, teknologi tepat guna, padat karya, usaha mikro & kecil, dan scale & balance (dalam konteks lingkup usaha, proporsi konsumsi sumber daya, dsb.). Diikuti dengan contoh-contoh kecenderungan karya produk kreatif (yang membawa kata-kata kunci upcycling, food security, responsible fashion, digital for equality, dan material culture technology), Laboratorium UKM Masa Depan, indeks kota kreatif, serta tema-tema utama dari rekomendasi kebijakan yang selama ini diajukan oleh Indonesia di forum-forum global (SDG, informal workers, intermediary, inclusivity, digital transformation, measurement/index, culture-based innovative experiments & future discoveries).








Dari acara itu, yang membuat agak deg-degan bukan berbicara di dalam ruangan yang dipadati audience dari kalangan terpilih, tapi karena ruang auditorium/teater 



Shanghai, Kota Desain UNESCO sejak 2010, melalui Shanghai UNESCO Creative City Promotion Office, kembali menggelar World Design Cities Conference (WDCC) secara luring, setelah sebelumnya dilaksanakan secara bauran di 2022. Dalam rangkaian acara WDCC ini terdapat UNESCO Creative Cities Summit, kali ini dengan tema Design Our Future Cities, yang diadakan pada tanggal 26 September 2023.




























































Juli 2023 lalu, saya kembali menginjakkan kaki di Jeju, sejak pertama kalinya mengunjungi pulau itu di tahun 2014 sebagai salah satu pembicara di pertemuan PAN Asia Network. Selang sekian tahun, terlihat banyak perubahan di Jeju; dulu sepertinya fasilitas akomodasi dan transportasi terbatas, tidak seperti sekarang, banyak pilihan hotel dan tempat-tempat makan, museum, dan destinasi lainnya. Meskipun merupakan bagian dari negara Korea Selatan, Jeju tidak mensyaratkan visa bagi WNI. Proses persiapan perjalanan pun menjadi jauh lebih mudah.








































































































Pada slide awal ini, diperlihatkan hasil dari WCCE ke-3 yang diselenggarakan di Bali sebagai official side-event bagi G20 2022, berupa Bali Creative Economy Roadmap. Hasil dari WCCE diharapkan merupakan langkah berikut dari WCCE sebelumnya; diupayakan tidak mengulang pernyataan yang sama, namun membangun dari yang sebelumnya. Peta jalan ini bermaksud untuk memetakan prioritas arah pengembangan ekonomi kreatif di berbagai negara, yang ditentukan oleh konteks kepentingan dan potensi masing-masing.
Slide berikutnya memuat linimasa hingga tahun 2043, di mana diperkirakan bahwa empat kuadran tersebut dapat dibentangkan dalam kisaran tahun-tahun tertentu. Sehingga isu-isu pada peta jalan pun dapat disusun sesuai dengan skala prioritas dan relevansinya terhadap situasi dan kondisi tertentu.
Slide 6 dan 7 dengan judul inclusivity, informal economy, intermediary, aggregators memuat contoh isu pada kuadran Current State – Conceptual Ideas, berupa riset yang dilakukan oleh (saat itu bernama) International Advisory Council of Creative Industries Policy and Evidence Centre (PEC) yang berpusat di Inggris dengan tema informal economy. Riset ini mengangkat bagaimana beragam praktik ekonomi kreatif di mana para pekerja sektor informal, termasuk usaha mikro dan rumahan, berkontribusi pada rantai produksi barang/jasa kreatif, terutama di negara-negara bagian Selatan (the Global South). Juga model intermediary atau agregator dalam ekosistem ekonomi kreatif, mengenai metoda keterlibatan sektor informal dalam rantai produksi barang/jasa kreatif, merujuk dari salah satu artikel dalam ADBI Policy Brief (2021), berjudul “How Governments Could Better Engage with The Working Practices of The 21st Century Creative Economy”.
Berikutnya, kuadran Current State – Concrete Action, pada slide 8, 9, 10 dengan judul up-/re-skilling, creativity & innovation in decision making, creative ideas and policy standards, memuat Rekomendasi Kebijakan “Inclusive Creative Economy and The Future of Work” (G20 Riyadh, 2020) yang memuat argumen bahwa ekonomi kreatif merupakan sektor yang berpeluang besar membuka lapangan kerja secara inklusif di masa mendatang (slide 8); penguatan kelembagaan ekonomi kreatif melalui keberlangsungan diskursus di kalangan akademik terkait ekonomi kreatif dan/atau kreativitas pada umumnya (ICON ARCCADE, FSRD ITB) dan pengesahan kebijakan yang didorong oleh komunitas (Perda Ekraf Kota Bandung No.01/2021) (slide 9); serta DesignAction.bdg, workshop Design Thinking bersama pemerintah untuk menguji kebijakan dan/atau menghasilkan cara-cara inovatif dalam menerapkan kebijakan/regulasi bagi seluruh stakeholder kota (slide 10).
Slide 11 menampilkan contoh penerapan kuadran Future Landscape – Concrete Action dengan cakupan IP, IP marketing & financing in the Global South, mitigation of counterproductive impacts from the digital world. Salah satu model yang sedang berjalan adalah Lokanima, sebuah agregator bagi UMKM konten digital di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singhasari di Jawa Timur, di mana upaya untuk pendanaan berbasis kekayaan intelektual dilakukan, namun belum sepenuhnya berjalan penuh sesuai dengan yang dimaksud oleh undang-undang.
Slide 12-16 mengilustrasikan penerapan kuadran Future Landscape – Conceptual Ideas, dengan tema creative city index, culture-based innovation and future discoveries. Indeks Kota Kreatif (IKK) yang digagas ICCN di sekitar 2016, dan telah melalui FGD lintas K/L dengan dukungan dari Kemenko Ekonomi di tahun 2017 (ketika sektor ekonomi kreatif masih di bawah koordinasi Kemenko Ekonomi), merupakan upaya menyelaraskan antara 10 Prinsip Kota Kreatif ICCN, berbagai existing indexes, dengan indeks kinerja pemerintah Indonesia. Gagasan ini seluruhnya terangkum dalam Buku Putih Kota Kreatif ICCN (2017, 2021), dan menjadi dasar pembuatan dashboard IKK yang dimaksudkan menjadi alat bantu pemda dalam membuat kebijakan.

ICCN melibatkan seluruh anggota jejaringnya di 37 provinsi dalam kegiatan ini. Lokakarya di Bandung (27-29 Juli) sekaligus juga menjadi ajang Rakornas ICCN, bekerja sama dengan penyelenggara mitra Bandung Creative City Forum (BCCF). Rangkaian lokakarya intensif luring dan daring selama beberapa bulan tersebut menghasilkan 37 program di 37 provinsi, berupa (pemberdayaan) penjenamaan kota dan/atau cipta ruang, yang dapat diwujudkan oleh para pelaku Hexa Helix di tiap kota/kabupaten. Seluruhnya terdokumentasi dalam “Buku PKN 2023 – Gerakan Kalcer untuk Jenama Berdaya“; prosesnya terangkum dalam “Modul Lokakarya PKN 2023“, yang semoga dapat segera diterbitkan oleh Kemdikbudristek.
Salah satu highlight dari rangkaian PKN Gerakan Kalcer dengan ICCN ini adalah dihasilkannya sebuah Rekomendasi sebagai aspirasi para pelaku lintas stakeholder kota/kabupaten kreatif se-Indonesia, yang diserahkan ke Dirjen Kebudayaan Bang Hilmar Farid; dititipkan, untuk dibawa sebagai masukan di Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI). Harapannya, tentu saja, butir-butir aspirasi ini dapat diadopsi oleh KKI menjadi kebijakan kebudayaan nasional.




